Sunday, March 29, 2009

Hegemoni Amerika

Hegemoni Amerika
- Dari Ibnu Khaldun ke Huntington

Oleh Philips Jusario Vermonte
When there is a general change of conditions, it is as if the entire creation had changed and the whole world been altered, as if it were a new and repeated creation, a world brought into existence anew.

Ibnu Khaldun, The Muqaddimmah

American leaders should abandon the benign-hegemon illusion that a natural congruity exists between their interests and values and those of the rest of the world. It does not.

Samuel Huntington,
The Lonely Superpower

SERANGAN terorisme ke dua kota simbol kemakmuran Amerika Serikat pekan lalu menyisakan berbagai pertanyaan penting untuk dijawab dan dipikirkan ulang mengenai hegemoni. Setelah berakhirnya Perang Dingin yang dipicu oleh bubarnya Uni Soviet (US) tahun 1991, dunia menyaksikan pergeseran struktur politik global. Selama lebih dari 50 tahun, dunia terbelah dalam struktur bipolar, dengan AS dan US berada pada dua kutub yang berbeda secara diametral. Bubarnya US kemudian menyisakan sebuah kutub, yakni AS menjadi kekuatan dominan.

Sejak itu, para pemikir negara-negara Barat, berusaha keras mendefinisikan lingkup global yang baru tersebut dan bagaimana menempatkan AS sebagai sebuah hegemon dalam struktur baru tersebut. Dalam kaitan ini, adalah menarik untuk mengkaji pemikiran dari dua ilmuwan yang hidup dalam dua zaman berbeda, yakni Ibnu Khaldun dan Samuel Huntington. Walaupun tentu saja memiliki perbedaan, di antara keduanya toh terdapat kesamaan penting bahwa keduanya hidup dalam zaman yang sedang menjalani perubahan mendasar struktur global di ruang tempat keduanya hidup.

Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir besar Muslim dengan karyanya yang legendaris, The Muqaddimah, yang hidup pada tahun 1300-an. Samuel Huntington adalah professor ilmu politik di Universitas Harvard yang salah satu bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, mungkin merupakan buku yang paling banyak menjadi referensi dalam wacana tentang politik global pada tahun 1990-an.

Pemikiran Ibnu Khaldun

Pemikiran Ibnu Khaldun sangat relevan dengan situasi politik global saat ini. Hal ini tercermin dalam sebuah tulisan Robert Cox berjudul Towards a Posthegemonic Conceptualization of World Order: Reflections on the Relevancy of Ibn Khaldun (1992). Melalui Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengelaborasi bibit-bibit kemunduran Islam dan jatuh bangunnya kekhalifahan. Di masa hidupnya, walaupun secara kultural Islam masih berada dalam zaman keemasan, namun basis material dari hegemoni Islam ketika itu telah melemah. Misalnya, wilayah-wilayah Islam di Afrika Utara menghadapi tantangan dari suku-suku nomaden tradisional di satu sisi, dan kekuatan Kristen di sebelah utara yang menguasai alur Mediterania di sisi lain.

Di masa itu, kekuatan Kristen dan Yahudi juga mulai tampil sebagai kekuatan perdagangan. Invasi Mongol dari Timur juga mengerosi struktur yang telah terbangun, kota-kota peradaban Islam termasuk sistem irigasi dihancurkan, dan pajak-pajak Mongol merusak administrasi Islam. Ketika itu, Ibnu Khaldun telah dikenal sebagai ilmuwan besar. Ia konon dimintai nasihatnya oleh Pedro the Cruel dari Sevila dan juga penakluk dari Mongol, Tamerlane. Namun, Ibnu Khaldun menolak permintaan tersebut.

Ibnu Khaldun menaruh perhatian besar pada konsep "negara" dalam pengertian yang luas, terutama berkaitan dengan kemunculan (emergence), kedewasaan (maturity), dan kemundurannya (decline). Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa ekspansi kekuasaan akan mendorong penguasa pada perilaku korup, kemewahan, suap dan berbagai dekadensi lain yang menjauhkan rezim penguasa dari rakyatnya dan akhirnya menjadi sebab dari kemundurannya sendiri. Pada dasarnya ia menyatakan bahwa proses-proses politik akan menghasilkan sebuah political order. Proses ini bisa saja gagal, namun bukan disebabkan oleh bentuk atau sistem politik yang digunakan, namun oleh ketidakmampuan (inadequacies) kultur yang dominan dalam struktur politik tersebut dalam menjawab persoalan persoalan yang ada. Kemunduran ini hanya bisa dicegah oleh enlightened individual yang bisa melihat dan menjawab persoalan secara jernih dan mengidentifikasi sebab-sebab kemunduran dari dalam (inside) lingkungannya sendiri.

Pemikiran Huntington

Benang merah yang sama bisa dijumpai dalam berbagai tulisan Samuel Huntington. Walaupun tulisan awalnya mengenai the clash of civilization di jurnal Foreign Affairs tahun 1993 dihujani kritik tajam, melalui bukunya The Clash of Civilization Huntington mengelaborasi lebih jauh persoalan dominasi dan hegemoni AS secara lebih adil. Dalam buku tersebut Huntington memperingatkan AS untuk bersikap open-minded terhadap the otherness, termasuk pada Islam, peradaban Timur pada umumnya dan berbagai peradaban lain. Pendeknya, ia bersikap bahwa AS harus menghindarkan sikap-sikap hegemonik.

Dalam tulisannya yang berjudul The Lonely Superpower di Foreign Affairs (1999), Huntington menyatakan bahwa walaupun Amerika sekarang menjadi satu-satunya superpower, hal itu tidak berarti bahwa dunia saat ini berstruktur unipolar, seperti yang dianggap oleh banyak pihak. Pengertian unipolar mensyaratkan kondisi di mana dunia hanya memiliki satu superpower, tidak adanya major power yang signifikan dan hanya terdapat banyak minor power. Dengan demikian, dalam sebuah struktur unipolar, sebuah superpower akan mampu secara efektif menyelesaikan berbagai isu internasional sendirian, dan tidak ada kombinasi kekuatan lain yang mampu mencegahnya.

Situasi saat ini jauh dari pengertian unipolar. Struktur unipolar hanya pernah terjadi pada kekaisaran Romawi abad kelima dan kekaisaran Cina pada abad kesembilan belas. AS tidak bisa, menurut Huntington, berilusi menjadi hegemon dalam sebuah sistem multipolar. Karena, ada berbagai negara dengan kekuatannya mampu mengedepankan kepentingannya sendiri vis-a-vis Amerika, walaupun tidak bisa menjangkau wilayah yang global sifatnya. Contohnya adalah kekuatan Jerman dan Perancis di Eropa, Rusia di Eurasia, Cina dan Jepang di Asia Timur, India di Asia Selatan, Iran di Asia Barat Daya, Brazil di Amerika Latin, Afrika Selatan, dan Nigeria di benua Afrika.

Sementara itu, di level ketiga terdapat kekuatan lain yang potensial berkonflik, baik dengan kekuatan regional maupun dengan AS sebagai superpower. Di dalamnya termasuk Inggris dalam kaitannya dengan Jerman dan Perancis; Ukraina dalam hubungannya dengan Rusia; Jepang dalam hubungannya dengan Cina; Korea Selatan dalam kaitannya dengan Jepang; Pakistan dalam hubungannya dengan India; Arab Saudi dengan Iran; serta Argentina dalam hubungannya dengan Brazil.

Dengan kenyataan semacam ini, sebenarnya struktur politik global lebih bercorak uni-multipolar. Sehingga, secara alamiah adanya sebuah negara superpower akan menjadi ancaman bagi major power yang lainnya. Bukan tidak mungkin major power beraliansi menghadapi superpower. Misalnya, berbagai kerja sama keamanan Rusia dan Cina; dan Cina dengan India; atau "segitiga strategis" Rusia, Cina, dan India. Uni Eropa pun bisa dipandang sebagai upaya mencegah AS mendominasi struktur dunia yang multipolar. Karena itulah Huntington menyarankan agar AS berhati-hati mengelola kekuatan dan kekuasaannya.

Intisari dari pemikiran Ibnu Khaldun dan Huntington adalah bahwa perdamaian (dunia) akan lebih stabil apabila kekuatan-kekuatan dunia berpikir lebih jernih, inklusif dan saling bekerja sama. Dengan demikian, pemikiran ini lebih dekat kepada pengertian struktur multipolar. Berkaitan dengan sikap AS pascateror minggu lalu, adalah sangat bijaksana apabila AS tidak mempertunjukkan kedigdayaan militernya untuk membumihanguskan Afganistan, yang dicurigainya mendukung aksi terorisme di Washington dan New York.

Dunia akan lebih menghargai Amerika apabila langkah-langkah kooperatif bisa dipilih untuk memerangi terorisme dan tentunya diimbuhi harapan bahwa AS bersedia pula me-review kembali berbagai kebijakannya dan, dengan kekuatannya, terus mendukung tumbuh berkembangnya demokrasi di berbagai tempat di dunia. Karena, sesuai sebuah diktum saat ini, democracies don't go to war each other.

* Philips Jusario Vermonte, peneliti Centre for Strategic and International Studies-CSIS, Jakarta.

No comments: