Samuel P Huntington |
Negara berbangsa hampir tidak ada pada 300 tahun yang lalu. Namun, sekarang, sudah hampir diruntuhkan oleh munculnya masyarakat dan kepentingan pluralistik di dalam batasan negara. Hasilnya adalah kekacauan, yang terjadi akibat benturan peradaban-peradaban. Untuk mengatasi benturan tersebut, kini kita harus belajar untuk hidup dalam sebuah dunia multiperadaban dengan distribusi kekuasaan yang luas di antara peradaban dan negara.
"Amerika, Uni Eropa, Rusia, Cina, Jepang, India, Brasil, Afrika Selatan, dan negara-negara Islam seperti Iran, Arab Saudi, juga Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk meredusir konflik yang terjadi pada peradaban mereka sendiri dan menengahi konflik antarkelompok yang ada," kata Samuel P Huntington, Profesor Universitas Albert J Weatherhead III Universitas Harvard dalam Konferensi The Struggle for Indonesia yang digelar oleh Strategic Intelligence di Jakarta, Rabu (24/5).
Acara dibuka dengan sambutan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Abdurrahman mengatakan, pertemuannya dengan Huntington kali ini adalah pertemuan mereka yang kedua. Sebelumnya, beberapa tahun lalu, Abdurrahman pernah bertemu Huntington di Tokyo, Jepang.
Tiga kecenderungan
Samuel P Huntington adalah penulis buku The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order. Menurut Huntington, selama beberapa dekade terakhir, tiga kecenderungan utama telah terjadi di dunia. Pertama, barangkali yang paling mendasar, perkembangan ekonomi dan globalisasi ekonomi; kedua, meningkatnya kesadaran identitas etnis, kultural dan agama; ketiga, terjadi transisi dari rezim yang otoritarian ke bentuk sistem politik demokrasi pada banyak negara di seluruh dunia.
Negara berbangsa adalah suatu gejala yang jarang dan baru dalam pemaslahatan manusia. Sebagai suatu bentuk organisasi politik, konsep itu tadinya tidak diketahui di luar negara-negara Barat. Pada abad ke-20, pelajar-pelajar Nasionalisme Barat yang berasal dari dunia ketiga kembali ke kampung halamannya untuk memimpin gerakan-gerakan pembebasan nasional. Sementara konsep dari bangsa telah terkait dengan konsep negara.
Sistem negara modern pada Traktat Westphalia pada tahun 1648. Untuk menjamin kesetiaan, mencegah perpecahan, menganjurkan persatuan, dan memajukan efisiensi pemerintah, pemerintahan mencoba membentuk rakyatnya menjadi suatu jati diri nasional yang umum melalui penekanan, pendidikan, mobilisasi, dan penulisan kembali terhadap sejarah. Pada abad ke-20, model Eropa Westphalia yang internasional ini, yaitu antarnegara, kemudian diekspor ke seluruh dunia dan menerima mandat internasional dengan diciptakannya Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dengan demikian, negara-negara mencoba menjadikan rakyat mereka menjadi bangsa-bangsa. Bangsa-bangsa mencoba menciptakan negara mereka sendiri. Dua proses sejarah yang berkaitan tetapi berbeda, menyatu dan menjadi umum untuk berbicara tentang negara berbangsa. Akan tetapi, istilah-istilah ini tidak sepenuhnya menggambarkan realita politik global masa kini.
Pertama, kebanyakan negara mencakup masyarakat dari dua atau lebih bangsa atau kebangsaan (istilah yang sering digunakan untuk bangsa yang tidak memiliki negara sendiri) dan bangsa tertentu sama sekali tidak memiliki negara. Selain itu, karena suatu bangsa pada umumnya adalah suatu kelompok terdefinisi, jumlah dan jati diri bangsa-bangsa terus-menerus berubah.
Kedua, bangsa-bangsa dan negara-negara berbeda secara mendasar. Bangsa-bangsa adalah masyarakat etnis/budaya; sumber jati diri untuk masyarakat. Negara-negara adalah institusi politik, sumber dari kekuasaan. Tidak ada alasan dalam logika atau pengalaman tentang mengapa sumber-sumber identitas dan kewenangan harus bertemu dan hal itu belum pernah terjadi selama sejarah manusia.
Ketiga, sementara negara berbangsa merupakan institusi yang utama dari dunia modern selama satu abad lebih, hampir pada umumnya institusi tersebut dipandang dalam keadaan sekarat/pecah. Secara keseluruhan dalam dunia kontemporer, kewenangan negara tampaknya mengalami pengikisan. Pada waktu yang bersamaan, jati diri kebangsaan yang ada dipertanyakan dan diuraikan kembali di seluruh dunia.
Mempertanyakan kembali
Di seluruh dunia, masyarakat mempertanyakan, mempertimbangkan kembali, dan menguraikan kembali kesamaan apa yang ada pada mereka dan apa yang membedakan mereka dengan masyarakat lain. "Siapakah kita? Di manakah kami berasal? Krisis jati diri nasional menjadi suatu gejala global," kata Huntington.
Modernisasi, perkembangan ekonomi, urbanisasi, dan globalisasi telah mendorong masya-rakat untuk memperkecil jati diri mereka dan untuk menguraikannya kembali dengan pengertian kemasyarakatan yang lebih sempit dan intim. Jati diri subnasional etnis, komunal, dan jati diri regional lebih diutamakan daripada jati diri nasional yang lebih luas. Di antaranya, termasuk pergerakan-pergerakan atas nama bangsa-bangsa Quebec, Scot, Fleming, Catalonia, Basque, Lombard, Corsica, Kurdi, Kosovo, Berber, Chiapas, Chechnya, Palestina, Tibet, Mindinoa Muslim, Sudan Kristen, Abkhazia, Tamil, dan lain-lain.
Akan tetapi, penyempitan jati diri ini disamai pada tingkatan yang lain oleh perluasan jati diri, karena masyarakat semakin banyak berinteraksi dengan bangsa lain yang memiliki adat istiadat dan peradaban yang berbeda. Pada saat yang bersamaan-melalui sarana komunikasi modern-masyarakat mampu mengasosiasikan diri mereka dengan masyarakat yang secara geografis berada jauh tetapi memiliki kesamaan bahasa, agama, atau adat istiadat.
Di dunia kontemporer, ada tiga tipe benturan kekerasan antara peradaban yang telah ada. Pertama, perang antara major state dengan peradaban lain. Seperti Israel dan Arab, India dan Pakistan, atau juga Yunani dengan Turki. Di kawasan Asia Tenggara, kata Huntington, Indonesia jelas-jelas adalah kekuatan regional yang utama, sementara Australia berada di tempat kedua. Konflik kepentingan secara natural juga berkembang antara Indonesia dan Australia, terutama pada kasus Timor Timur.
Tipe kedua adalah kekerasan antarperadaban. Seperti masyarakat Hindu dan Muslim di India, juga kekerasan antara masyarakat Muslim dan Kristen di Ambon dan Lombok.
Tipe ketiga adalah kekerasan yang muncul dari gerakan-gerakan etnis, kultural, dan regional yang meminta otonomi politik atau kemerdekaan dari sebuah negara. Seperti perjuangan bangsa Quebec, Scot, Fleming, Catalonian, Lombard, dan Tibet.
Untuk mengatasi benturan peradaban-peradaban itu, Huntington menyarankan agar kita belajar hidup dalam sebuah dunia yang multiperadaban, belajar menerima perbedaan.
Konflik dalam peradaban
Pada acara tersebut juga tampil sebagai pembicara, yakni Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, sosiolog Dr Ignas Kleden, ekonom Dr Sjahrir, Dr Mari Pangestu, dan Kevin Evans (Koordinator Program UNDP Governance Unit). Acara yang terbagi dua sesi tersebut dipandu oleh Sjahrir dan HE Sir Robin Christopher (Duta Besar Inggris untuk Indonesia).
"Saya lihat Profesor Huntington sudah merevisi kembali beberapa pokok bukunya yang pernah diluncurkan tahun 1996 dan tulisannya pada tahun 1993. Yang penting adalah konflik itu sering terjadi di dalam peradaban itu sendiri, bukan antarperadaban, seperti Barat-Timur, Islam-Barat. Akan tetapi, yang sering terjadi adalah konflik di dalam, seperti di kalangan orang Islam sendiri terjadi konflik. Di kalangan orang Barat sendiri juga masih terjadi konflik. Jadi, tidak makrokonfrontasi antara Barat dengan Timur atau Utara lawan Selatan," kata Juwono.
No comments:
Post a Comment