KATA para ahli, sejarah adalah penyelidikan yang dilakukan pada masa sekarang, tentang masa lampau, untuk masa depan. Pilihan yang tersedia cukup terbatas. Pertama, orang mempelajari sejarah dengan sungguh-sungguh sehingga mengambil pelajaran yang bermanfaat dari apa yang telah dilakukan di masa lampau, gagal atau berhasil. Kedua, orang memanipulasi sejarah dengan akibat bahwa dia akan dikhianati sendiri oleh sejarah. Ketiga, kita dapat juga bermasa-bodoh dengan sejarah dengan akibat bahwa sekali kelak kita akan condemned to repeat past mistakes (terkutuk menjadi keledai yang berulang kali terperosok ke lubang yang sama).
Filosof Inggris, pemenang Hadiah Nobel untuk kesusastraan, Sir Bertrand Russel, menurut riwayatnya gemar menunjukkan sebuah tragedi manusia dalam berhadapan dengan sejarahnya. Katanya, kita memang harus mempelajari sejarah, tetapi lebih sering terjadi bahwa yang kita pelajari dari sejarah hanyalah kenyataan pahit bahwa kita tak pernah belajar dari sejarah-the only thing we learn from history is that we never learn from it.
Dalil tersebut dapat ditunjukkan kebenarannya di Indonesia saat ini. Akan segera terlihat bahwa apa yang ditolak 30 tahun lalu mulai diterima lagi dengan penuh semangat sekarang, dan apa yang diterima 30 tahun lalu sekarang mulai dihujat bagaikan penuh nista. Sebagai contoh soal, Orde Baru telah lahir antara lain karena ribut-gaduh politik selama Soekarno berkuasa secara efektif (sejak Juli 1959) tidak punya banyak kaitan yang berarti dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Dalam bayangan Soekarno, revolusi yang dianggapnya seluas semesta takkan menggubris angka-angka indikator ekonomi makro, mana pula memperhatikan denyut kehidupan ekonomi mikro. Pertumbuhan ekonomi, pendapatan nasional, peningkatan tabungan, pengaturan suku bunga, serta struktur ekspor-impor hanyalah "riak kecil" dalam deburan gelombang revolusi. Apa boleh buat, ternyata riak kecil di atas terumbu karang telah membuat kapal Orde Lama karam dan tenggelam.
LALU datanglah Soeharto dengan para teknokratnya. Politik dan seluruh retorika revolusi segera dianggap omongan besar tukang obat. Rakyat yang lapar memerlukan makan dan bukan revolusi. Inflasi yang melangit harus dijinakkan dengan disiplin stabilisasi dan bukan dengan memaklumkan perang kepada imperialisme dan kolonialisme. Politik dilihat sebelah-mata sebagai kesukaan manggung para power artist tetapi bukan tekad dan usaha memperbaiki nasib rakyat dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Segera dilupakan oleh rezim Soeharto bahwa politik adalah mendengarkan aspirasi rakyat dan memperjuangkan perwujudannya dengan mempergunakan kekuasaan yang ada, semacam pemerintahan dari rakyat dan oleh rakyat. Maka dalam waktu singkat demokrasi segera bermetamorfose menjadi teknokrasi. Politik adalah mengumpulkan tenaga ahli yang mempunyai kepakaran teknis untuk berbagai bidang. Masalah-masalah politik tidak perlu diselesaikan melalui diskusi, negosiasi dan keputusan politik, karena semuanya dapat diubah menjadi masalah teknis dan dipecahkan dengan analisa teknis berdasarkan technical know-how. Teknokrasi adalah semacam elitisme yang menekankan pemerintahan untuk rakyat tetapi mengabaikan pemerintahan dari rakyat dan oleh rakyat.
Dalam arti itu kemakmuran berarti menaikkan angka pertumbuhan ekonomi, pendidikan di sekolah berarti mencetak buku Inpres, mengutak-atik kurikulum dan membangun gedung sekolah. Demikian pula kemajuan tidak lebih dari membuka lebih banyak jalan raya atau membangun lebih banyak gedung tinggi, seperti juga kehidupan beragama dipahami sebagai memperbanyak gedung ibadah dan subsidi yang lebih besar untuk mencetak Kitab Suci. Hukum artinya menangkap lebih banyak orang dan memasukkan mereka ke penjara dengan atau tanpa pengadilan, kebersihan kota berarti mengejar pedagang asong, teknologi identik dengan membuat pesawat terbang, sementara mencerdaskan bangsa berarti menghasilkan lebih banyak lulusan S2 dan S3. Inilah profil berbagai sektor kalau dipandang dan ditangani sebagai masalah teknis menurut etos teknokrasi.
Kalau sektor-sektor yang sama ditangani secara politis menurut etos demokrasi maka profilnya akan segera berubah total. Kemakmuran lalu berarti terbukanya akses yang lebih luas dan lebih adil untuk tiap warga terhadap sumber daya. Pendidikan di sekolah berarti menolong peserta didik menemukan bakatnya dan mendorongnya mengembangkan sendiri bakat-bakat tersebut secara kreatif. Kemajuan adalah peningkatan peradaban dan perbaikan kualitas hidup. Kehidupan agama, untuk mengutip Soedjatmoko, menjadi sarana memperluas inner space untuk mengimbangi menyempitnya ruang fisik akibat pertumbuhan penduduk. Teknologi tidak persis identik dengan pesawat terbang, tetapi berarti pengembangan human software yang bernama technical intelligence, seperti juga kecerdasan tak berarti lain dari kemerdekaan dan kemandirian menggunakan daya-nalar (Im Kopf faengt die Freiheit an, kata anak cucu Bismarck, atau kemerdekaan hanya bisa dimulai dalam pikiran, kata Pramoedya Ananta Toer).
Dikatakan secara ringkas, teknokrasi ditandai oleh elite teknis yang terbatas, yang memandang semua soal sebagai masalah teknis yang harus diselesaikan dengan keahlian teknis yang hanya perlu dibenarkan oleh efektivitas penerapannya. Montir yang tak sanggup menjalankan lagi mobil mogok tak diakui keahliannya, seperti juga dokter yang resepnya tak pernah menyembuhkan akan ditinggalkan pasien. Dalam demokrasi jumlah besar "klien" adalah bukti seorang politikus mempunyai legitimasi. Dalam teknokrasi terjadi hal yang sebaliknya: bukan jumlah besar klien yang membuktikan bahwa keahlian seorang dokter itu teruji dan terpuji, tetapi justru keahlian yang teruji akan mengundang jumlah besar kliennya. Keahlian dokter itu hanya perlu diuji oleh teman-teman sejawatnya. Demokrasi adalah judgement by people, teknokrasi adalah judgement by peers.
Penerapan teknokrasi selama pemerintahan Soeharto mengakibatkan bahwa berbagai penyelewengan kekuasaan, pelanggaran moral dan bahkan pelecehan hak-hak asasi oleh penguasa tidak dilihat lagi sebagai kesalahan politik, pelanggaran hukum ataupun kejahatan moral, tetapi semata-mata sebagai technical error atau kekeliruan teknis. Dengan demikian defisit moralitas dari kesalahan itu dinafikan. Korupsi tidak lebih dari administrasi yang bocor, penembakan mahasiswa hanyalah kekeliruan prosedur, sedangkan penangkapan orang-orang kritis tanpa proses pengadilan adalah tindakan pengaman bagaikan mengenakan safety belt.
KEKALAHAN politik Soeharto adalah kekalahan teknokrasi, sedangkan kekalahan teknokrasi berarti bangkitnya kembali demokrasi. Sekalipun demikian, dengan pengalaman selama Orde Baru, semestinya ada pelajaran baru bahwa politik bukanlah sekadar kesibukan dengan kekuasaan saja (memperebutkan kekuasaan, membagi kekuasaan, memakai kekuasaan dan mengawasi kekuasaan). Politik pada dasarnya berarti memakai kekuasaan untuk mempengaruhi penyelesaian masalah-masalah teknis atas cara yang lebih sesuai dengan asas keadilan dan lebih menjawab aspirasi orang banyak.
Pengalaman selama satu tahun pemerintahan Presiden Habibie, yang seyogianya menjadi pemerintahan transisi, mulai menimbulkan kecemasan baru. Diskusi politik muncul dengan riuh-rendah, tetapi semuanya terbatas pada masalah pembagian kekuasaan, absahnya kekuasaan, atau perebutan kekuasaan. Mulai dari masalah legalitas dan legitimasi pemerintahan Habibie, penerimaan atau penolakan hasil Pemilu '99, debat dan intrik tentang calon presiden dan calon wakil presiden, hingga ke nasib partai gurem dalam KPU, seluruhnya adalah wacana tentang perebutan, penggunaan dan pembagian kekuasaan. Yang absen dalam berbagai diskusi itu adalah pertanyaan tentang untuk apa dan untuk siapa kekuasaan itu akan digunakan oleh penguasa baru nanti, dan mekanisme apa yang harus diusulkan dan diperjuangkan sejak sekarang untuk menjaga agar kekuasaan itu digunakan sesuai dengan maksud yang sudah ditetapkan.
Diskusi tentang kekuasaan amat perlu difokuskan kepada pertanyaan tentang hubungan antara penyelesaian politis dan penyelesaian teknis, antara kekuasaan dan keahlian, antara kebutuhan kita akan para ahli dan hak rakyat untuk turut menentukan untuk apa keahlian itu digunakan, sehingga para teknokrat tetap menjadi bagian dari dinamika demokrasi dan tidak bersekutu antara sesamanya menjadi suatu oligarkhi para ahli. Karena itulah diskusi politik reformasi seyogianya lebih maju dari diskusi politik tahun lima puluhan, yang temanya bukan semata-mata tentang kekuasaan sebagai kekuasaan saja tetapi tentang hubungan di antara kekuasaan sebagai fungsi yang dikendalikan rakyat dengan keahlian sebagai fungsi yang dikendalikan oleh kekuasaan politik.
Tanpa adanya persiapan seperti ini kita akan selalu mengulang kesalahan yang sama, yaitu terjebak ke dalam suatu kekuasaan yang tidak menunjukkan komitmen kuat kepada penyelesaian masalah secara teknis yang berhubungan dengan kehidupan orang banyak (suatu demokrasi tanpa bobot teknokrasi). Atau sebaliknya, keahlian sendiri telah menjadi suatu jenis kekuasaan yang berjalan tanpa legitimasi dari rakyat dan tidak dikendalikan oleh kekuasaan politik yang diberikan oleh rakyat (suatu teknokrasi tanpa dasar demokrasi dan lebih mirip oligarkhi tersendiri).
Karena itulah ada urgensi besar untuk berpikir (dan bukan hanya berbicara) tentang apa yang dapat diusulkan dan harus diperjuangkan untuk didesakkan kepada penguasa baru tentang penggunaan kekuasaan yang akan diberikan kepadanya dalam menangani masalah-masalah teknis yang demikian banyak. Penguasa mana pun yang akan terpilih dituntut untuk menghadapi dengan sadar (tidak harus memberikan jawaban yang masih dicari bersama rakyat) bagaimana krisis ekonomi sekarang dapat diatasi dan bagaimana dia melihat perimbangan di antara sektor moneter dan sektor riil dalam ekonomi Indonesia, apa yang harus dilakukannya terhadap masalah pengangguran dan kesempatan kerja yang menjadi kritis akibat krisis ekonomi tersebut.
Selanjutnya apa sikap penguasa baru terhadap situasi pendidikan nasional yang telah dibikin ambruk oleh rezim Soeharto yang hanya rajin berkhotbah tentang SDM, apa yang perlu dibuat menghadapi ketenagakerjaan, angkatan kerja yang membesar dan upah yang lebih adil, apa visi pemerintah baru terhadap anak-anak dan orang jompo dan apa hak-hak mereka, apa komitmen penguasa baru terhadap kaum telantar, para gelandangan dan penganggur serta kaum penderita cacat, bagaimana visinya tentang hubungan tentang industri dan lingkungan hidup, apa pula sikapnya terhadap kaum buruh dan tani, apa yang akan dilakukannya terhadap perpustakaan dan perbukuan, bagaimana dia melihat kaitan antara cita-cita law enforcement dan kemungkinan untuk itu yang ada dalam structural arrangement.
Apakah dia sadar bahwa dukungan yang diberikannya kepada civil society mengandaikan pembatasan kekuasaan negara, sejauh mana ada apresiasinya terhadap kesusastraan, musik dan seni pada umumnya, bagaimana pemikirannya tentang bahasa daerah dan sastra daerah serta sastra nasional dan bahasa nasional, bagaimana pandangannya tentang hubungan antara agama dan politik di masa depan, apakah dia sadar bahwa keterbukaannya terhadap pers dan media dapat menguntungkan dan merugikan kekuasaannya, apakah ada sedikit pemahamannya tentang kaitan antara globalitas dan lokalitas di dunia sekarang, dan bagaimana dia melihat hubungan antara modal asing dan kebudayaan asing.
MASALAH-masalah di atas hanyalah sebagian kecil dari check-list yang layak disodorkan ke setiap calon penguasa baru, dan harus didesakkan jawabannya oleh seluruh masyarakat politik Indonesia. Maka diskusi politik yang lebih produktif adalah melihat kaitan antara masalah kekuasaan dan penggunaan kekuasaan secara politis untuk mendesakkan, mempengaruhi penyelesaian teknis atas masalah di atas. Di sini tidak terkandung maksud mengusulkan menghentikan diskusi politik, tetapi diskusi itu tidak banyak gunanya untuk mempersiapkan reformasi kalau hanya terbatas pada diskusi tentang organisasi kekuasaan saja (machtsvorming, menurut Bung Karno), tanpa kaitan langsung dengan fungsionalisasi, aplikasi serta dedikasi kekuasaan (machtsaanwending, kata Bung Karno pula). Suatu diskusi tentang power for power's sake mungkin mengasyikkan untuk memahami teori Machiavelli tetapi tidak membantu mempersiapkan masa depan.
Ironi yang sekarang terlihat jelas ialah bahwa keinginan verbal yang berulangkali dikemukakan agar ada pengawasan yang lebih efektif terhadap kekuasaan, tidak disertai oleh pemikiran, diskusi dan desakan publik yang sama kuatnya perihal persoalan teknis mana saja yang perlu diperhatikan oleh penguasa baru nanti. Hal ini diam-diam memperlihatkan semacam pengandaian bahwa penyelesaian masalah teknis yang amat penting dapat diserahkan dan dipercayakan begitu saja kepada penguasa baru. Tidak ada usaha pembentukan pendapat umum tentang urgensi, prioritas dan biaya dari berbagai persoalan teknis yang sedang mendesak sekarang yang tidak bisa dihindari oleh penguasa yang mana pun. Pendapat umum seperti ini bukan saja menjadi antisipasi tetapi menjadi semacam remote control secara politis dan juga teknis tentang kemampuan dan komitmen penguasa yang akan datang.
Diskusi tentang kekuasaan tanpa technical underpinning (tanpa dukungan keahlian teknis) akan mengulangi situasi diskusi politik tahun lima puluhan. Demikian pun diskusi teknis tanpa political underpinning (tanpa kontrol demokrasi) akan segera mengembalikan watak nonpublik dari politik Orde Baru. Reformasi seyogianya sanggup menggabungkan demokrasi dan teknokrasi dalam suatu modus vivendi yang produktif. Karena kalau hal ini tidak dilakukan, maka dapat dipastikan dari sekarang bahwa status quo akan segera kembali, dikehendaki atau tidak dikehendaki, dari pintu depan dengan permisi atau dari pintu belakang dengan diam-diam.
( * Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta.)
No comments:
Post a Comment