Sastra yang kreatif adalah sastra yang menciptakan makna dalam kata-kata yang digunakannya, bukan sekadar memakai makna-makna yang ada. Kata-kata seorang sastrawan bukanlah sekadar medium, tetapi adalah message (pesan). Pada titik ini, seorang sastrawan adalah penulis yang menciptakan tradisi"Mungkin di sinilah kita dapat membedakan secara sangat umum antara bahasa seorang ilmuan, ahli hukum, wartawan, atau seorang penyiar televisi, dengan bahasa sastrawan. Dalam suatu ideal-type, sastrawan adalah sekelompok orang yang memproduksi makna kata-kata, sedangkan pengguna bahasa lainnya hanya mereproduksinya," kata budayawan Ignas Kleden ketika tampil sebagai pembahas buku kumpulen cerita pendek (cerpen) Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri, Rabu (28/3), di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Sebanyak sembilan cerpen Sutardji yang dibukukan oleh Penerbit Indonesia Tera itu, kemarin resmi diluncurkan dan mendapat sambutan yang tergolong cukup luar biasa. Ruang Galeri Cipta III yang berada di sayap kanan gedung utama Pusat Kesenian Jakarta (PKJ)-TIM itu dipenuhi pengunjung, sehingga memaksa puluhan orang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Di antara kaum muda tersebut, tampak di antara mereka adalah sastrawan senior Ramadhan KH, penyair Taufiq Ismail, pengarang dan perupa Danarto, mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Salim Said, pelukis Hardi, dan Sekretaris DKJ Syahnagra.
Bagi sebagian kalangan, kemunculan Sutardji yang selama ini lebih dikenal sebagai penyair cukup mengagetkan. Apalagi beberapa karyanya menampakkan bahwa cerpen-cerpen Sutardji sudah memiliki kematangan, baik dari aspek cerita, struktur maupun penggarapannya. Bahkan dalam pandangan Danarto, cerpen-cerpen Sutardji yang muncul pada akhir tahun 1960-an hingga awal tahun 1990-an itu merupakan salah satu mainstream bersama cerpen-cerpen sufi dan cerpen-cerpen peristiwa yang diwakili oleh kumpulan Saksi Mata-nya Seno Gumira Ajidarma.
Makna teks
Berangkat dari pendekatan "dialektika makna dan peristiwa" di atas, dalam diskusi yang dipandu penulis muda Nirwan A Arsuka itu Ignas melihat ada tiga tipologi cerpen-cerpen Sutardji. Pertama, cerpen-cerpen yang sangat kuat maknanya dan tidak begitu mempedulikan peristiwanya. Kedua, cerpen-cerpen yang mencoba memadukan makna dan peristiwa secara seimbang. Ketiga, cerpen yang hanya sibuk dengan peristiwa dan hampir tidak memberikan makna teks apa pun.
Dalam bahasa yang lebih populer, demikian Ignas, makna teks sangat dekat dengan sifat puitis, sedangkan apa yang dinamakan peristiwa sangat dekat dengan sifat prosais. Prosa dengan sifat puitis diwakili tiga cerpen dalam kumpulan ini, yakni Hujan, Senyumlah pada Bumi, dan Pada Terangnya Bulan.
"Dalam cerpen Hujan (dimuat di Kompas, 24 Juni 1990-Red), misalnya, hujan yang dilukiskan pengarang bukanlah hujan referensial tetapi hujan tekstual. Kita tidak dapat memahami hujan dalam cerpen ini dengan merujuk kepada keterangan-keterangan ilmu alam atau kepada teori-teori klimatologis. Hujan di sini hanya dapat dipahami dengan merujuk dan memperhatikan teks cerpen ini," kata Ignas memberi sedikit ulasan untuk cerpen Hujan yang diam-diam ternyata mendapat banyak pujian dari khalayak sastra Indonesia.
Dari sudut pandang ini, Ignas bahkan mencoba menyejajarkan Sutardji dengan Khalil Gibran dan Rabindranath, dua pengarang dunia yang banyak dikenal di Indonesia. Kedua pengarang ini selalu menulis dengan makna teks yang sedemikian kuatnya, sehingga kita sebagai pembaca sering tidak merasa penting lagi apakah yang ditulis itu sebuah risalah ilmu pengetahuan, sepotong biografi, sebuah esai kebudayaan, kenang-kenangan hidup, atau barangkali fragmen sebuah novel.
Tipologi cerpen Sutardji yang kedua terwakili lewat cerpennya berjudul Ayam. Secara keseluruhan, demikian Ignas, cerpen ini merupakan metafor yang berhasil tentang konflik-konflik yang timbul akibat kemiskinan, kesengsaraan, dan kelaparan di satu pihak serta kegagapan sosial dalam menghadapi dan menanganinya. Lewat tokoh-tokoh ceritanya, Sutardji berhasil menghadirkan "peristiwa" dan "makna" secara seimbang, di mana sebuah tragedi bagi suatu pihak acapkali merupakan komedi bagi pihak lain.
Adapun tipologi ketiga, diwakili cerpen berjudul Tahi, menunjukkan kemampuan pengarang mengurut peristiwa cerita dengan jelas. Bahkan cerpen ini mampu menimbulkan rasa mual dalam perut pembaca tatkala membaca kawan si Aku yang memakan tahi yang ia letakkan di rantang makanannya. Namun, sebagai satire, tidak ada kontras dalam cerita sehingga menjadi kritik sosial yang tajam. Sebagai tragedi, tidak ada unsur kegetiran di sana karena kita tak tahu apakah kawan si Aku-dan bahkan si Aku-nya sendiri-masih waras atau sudah berubah akal.
"Hasil akhirnya, bisa dikatakan bahwa Sutardji jauh lebih berhasil menuliskan cerpen-cerpennya dari jenis pertama, di mana makna tekslah yang menjadi tulang punggung suatu cerpen. Ia masih mengalami beberapa kesulitan yang nyata kalau harus menggabungkan maka dan peristiwa dalam suatu cerpen," kata Ignas.
Bagi Sutardji, keberhasilan seorang pengarang-antara lain-bisa dilihat sejauh mana karyanya bisa menjadi karya-karya "klasik". "Saya menulis cerpen sebelum Budi Darma muncul, sebelum Danarto dikenal. Kalau sekarang karya-karya saya itu masih bisa dibaca, hingga 30 tahun kemudian seperti sekarang, itu artinya karya saya sudah menjadi karya "klasik". Ya, seperti karya-karya Beethoven-lah." katanya seraya berseloroh bahwa karya semacam Saman atau Supernova yang kini banyak dibicarakan tak akan semenarik itu pada 30 tahun mendatang. (efix/bre/xjb/ken)
No comments:
Post a Comment