Sunday, March 29, 2009

Politik Indonesia

RENUNGAN AKHIR TAHUN

Kekosongan Individu dalam Politik Indonesia

Oleh Ignas Kleden

PENDIDIKAN nasional di Indonesia rupanya memerlukan pemikiran ulang yang sungguh-sungguh, justru pada saat sekarang ketika politik nasional memperlihatkan dekadensi dan demoralisasi yang luar biasa.

Begitu banyak usaha yang telah dilakukan untuk mencari dan mengusulkan bagaimana proses kemerosotan ini bisa dicegah, tetapi masih terlalu sedikit perhatian diberikan pada hubungan yang relatif langsung di antara pendidikan dan politik. Ini cukup mengherankan, dan membuktikan betapa kuatnya sifat ahistoris dalam ingatan kolektif kita.

Negara RI ini telah berdiri antara lain karena para pendirinya, para Bapak Bangsa itu, oleh sejarah diberi kesempatan mendapat pendidikan yang baik dari pemerintah penjajah Belanda, dan bertumbuh menjadi pribadi dan individu yang matang.

Seterusnya harus segera dicatat, hampir tidak ada tokoh dari generasi pendiri republik ini yang tidak terlibat langsung tugas pendidikan dan pengajaran. Meski hanya Hatta dan Sjahrir yang mendirikan partai politik yang mencantumkan pendidikan sebagai program politik partainya, PNI Baru bukan sesuatu yang unik. Karena sejak dari Tan Malaka yang kiri, Soekarno yang nasionalis, hingga Agus Salim dan Cokroaminoto dengan latar belakang religius-Islam yang kuat, semuanya, tanpa kecuali, memberi perhatian dan terlibat aktif tugas mengajar dan mendidik generasi muda Indonesia.

Rupanya saat itu diandaikan, bukan modal uang yang menjadi dasar suatu pergerakan politik (sebagaimana menjadi keyakinan partai-partai politik tahun 2000-2001 di Indonesia sekarang ini), namun human capital yang hanya mungkin diakumulasi dalam pendidikan yang baik dan benar.

***

PERTANYAAN yang harus dijawab ialah, bagaimana bentuk dan isi pendidikan yang baik dan benar?

Debat yang beberapa minggu terakhir ini muncul ke permukaan tentang perlu-tidaknya menaikkan anggaran pendidikan sudah seharusnya dilakukan. Akan tetapi, diskusi itu tak banyak manfaatnya sebelum lebih dulu dibereskan soal yang lebih pokok, yaitu ke manakah arah pendidikan nasional kita, dan apakah praktik pendidikan nasional yang dijalankan selama Orde Baru (dan praktis masih diteruskan hingga hari ini) masih layak dipertahankan atau harus diubah secara radikal, harus mengalami Umwertung und Umstellung vom Grund aus, suatu penilaian kembali dari dasar serta perubahan dan pembaruan dari akar-akarnya.

Bila hal ini tidak dilakukan, maka penyelewengan dalam pendidikan yang selama ini kita alami justru akan makin berlipat ganda dengan adanya lebih banyak anggaran yang dapat membiayai penyelewengan-penyelewengan itu.

Dengan segera bisa dikatakan, pendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan di sekolah-sekolah kita selama Orde Baru hingga kini mempunyai watak instrumental yang kuat dan hampir tidak mempunyai efek emansipatoris.

Yang ditekankan dalam latihan-latihan di sekolah adalah pembentukan ketaatan kepada otoritas, kepada guru, dan kepada peraturan sekolah, yang dalam tingkat makro berarti ketaatan kepada negara dan ketundukan kepada kekuasaan negara.

Sifat pendidikan yang membebaskan seseorang dari kungkungan lingkungan yang sempit, yang membuka cakrawala dunia baru, yang memberi inspirasi, atau yang membuat seseorang sanggup berpikir sendiri, membuat pertimbangan sendiri, dan menerima konsekuensi perbuatannya dengan berani, hampir tidak mendapatkan tempat, bahkan tempat yang terkecil pun, dalam pendidikan nasional kita.

Kecenderungan ini bukannya merupakan hasil dugaan spekulatif belaka, tetapi dapat dilihat sampai pada tingkat pelaksanaan didaktis yang paling praktis dan teknis.

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian, anak-anak tidak disuruh mencari jawabannya sendiri, tetapi sekadar memilih dari antara jawaban yang sudah disediakan, meski jawaban itu bertentangan dengan apa yang dialaminya sehari-hari (bangun tidur harus minum apa, harus dijawab denga minum air jeruk, meskipun tiap pagi anak itu minum susu di rumahnya). Sistem ujian pilihan ganda (multiple choice) yang dipraktikkan secara luas hingga kini mempunyai akibat berikut.

Bila seorang guru bahasa Inggris di SMP menyuruh para siswa menulis surat pendek dalam bahasa Inggris, maka dengan itu para siswa dilatih mempraktikkan bahasa Inggris secara aktif dalam membuat tulisan. Tetapi, bila ini dilakukan, maka guru itu harus menggunakan cukup banyak waktu untuk memeriksa tiap kertas ujian (yang pasti berbeda satu dari yang lain), memperbaiki kesalahan, dan memberi contoh yang benar. Atas cara ini, anak-anak dibina daya ciptanya karena sang guru mau berkorban dengan melakukan lebih banyak pekerjaan.

Sebaliknya, dengan pilihan ganda pekerjaan guru amat dipermudah, karena apa yang dianggap sebagai jawaban yang benar sudah tersedia dengan pasti, sehingga segala yang berbeda dari ketentuan itu dengan sendirinya salah. Para siswa tidak diberi kesempatan berpikir bebas, mencari jawaban lain yang mungkin berbeda dari yang telah ditentukan, tetapi bisa saja benar, karena mereka diharuskan berpikir hanya dalam kerangka jawaban yang sudah disiapkan dan memilih salah satu di antaranya. Kreativitas tidak dirangsang, ketundukan amat diutamakan, dan pekerjaan guru dipermudah, karena ada standardisasi jawaban. Standardisasi jawaban ujian hanyalah turunan (derivative) dari regimentasi pendidikan dan pengajaran, yang berasal dari penyeragaman politik.

Maka, dengan mengingat segala jasa baik Orde Baru dalam memperluas kesempatan pendidikan, dengan pedih harus dicatat dua watak pendidikan nasional yang amat mencolok hingga kini. Pertama, pendidikan dan pengajaran di sekolah memberi perhatian terbesar terhadap pembentukan ketundukan terhadap kontrol oleh otoritas dan kekuasaan. Kedua, pendidikan lebih membela guru (sebagai representasi penguasa) dengan mengorbankan para murid (sebagai representasi warga negara dan masyarakat).

***

BILA deskripsi dan analisa ini mengandung sedikit kebenaran, maka tidak mengherankan apa yang kita alami dalam politik kita kini. Ciri yang mencolok dari politik Indonesia saat ini ialah menipisnya rasa tanggung jawab para pemimpin dan elite politik, sampai pada tahap yang lebih rendah dari rasa tanggung jawab orang-orang yang mereka pimpin. Kasus Akbar Tandjung adalah contoh terbaru yang amat mencolok. Keterangannya, dia lupa menerima Rp 40 milyar bisa diterangkan dengan dua cara.

Pertama, dia harus mengatakan lupa untuk menghindari atau, sekurang-kurangnya, memperkecil tanggung jawabnya. Kedua, dia benar-benar lupa, karena sudah terlalu terbiasa tidak memperhatikan apa yang menjadi milik negara yang harus diingat dan dipertanggungjawabkannya.

Ahli fenomenologi seperti Alfred Schutz misalnya mengatakan, lupa adalah sesuatu yang bukan seluruhnya terjadi tanpa disengaja. Selalu ada sedikit unsur kesengajaan dalam lupa. Seseorang lupa untuk datang ke suatu undangan karena undangan itu tidak terlalu mendapatkan perhatiannya. Sedangkan keadaan memperhatikan atau tidak memperhatikan suatu barang adalah hasil suatu pilihan yang disengaja dan dikehendaki.

Sebagai contoh, pemuda yang benar-benar jatuh cinta pada seorang gadis dan membuat janji bertemu dapat dipastikan tidak akan lupa janji itu, karena dia benar-benar memperhatikannya. Sebaliknya seorang yang ingin menghindari utang atau malas mengembalikan buku ke perpustakaan cenderung lupa, karena dia memang memilih untuk tidak memperhatikannya. Jadi, bila Akbar Tandjung lupa telah menerima Rp 40 milyar, mungkin dia benar-benar lupa, karena dia sudah memilih untuk tidak memperhatikan uang negara, atau sudah terlalu terbiasa untuk tidak memperhatikan mana uang negara dan mana uang Golkar, misalnya.

Demikian pun, para anggota DPR kita hampir tak pernah lupa meminta penambahan fasilitas untuk pekerjaan mereka, sampai membeli mesin cuci dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga pasaran, tetapi selalu lupa mempertanggungjawabkan seberapa banyak UU yang telah mereka hasilkan selama tahun 2001 misalnya, sebagai pekerjaan pokok mereka.

Mereka juga tidak lupa membuat studi banding ke luar negeri, ke tempat-tempat yang jauh. Tetapi mereka mudah sekali lupa untuk membuat peninjauan lapangan dan studi banding tentang konflik-konflik yang ada di Sampit, Poso, Ambon, atau Papua.

Demikian pula mereka pasti tidak akan lupa meminta uang jalan untuk perjalanan-perjalanan ke luar negeri, tetapi mudah sekali lupa untuk mempertanggungjawabkan kepada rakyat, apa yang telah mereka pelajari dalam perjalanan-perjalanan yang mahal itu, dan apakah mereka benar-benar menguasai metode komparatif dalam melakukan studi itu.

Hal yang sama dapat dikatakan tentang sakit dan sehat. Sakit tidak saja bersifat klinis, tetapi bersifat fungsional. Kita hanya perlu mempelajari sedikit psikologi untuk memahami, orang mudah sakit supaya menghindari tanggung jawab atau dapat bebas dari suatu pekerjaan. Seorang mahasiswa mudah sekali sakit perut, cepat pening, atau berat rasa kantuknya, supaya tidak perlu berkutat dengan bahan-bahan ujian yang harus dihadapinya. Badan memberi alasan kepadanya (yaitu sakit) agar supaya dia terhindar dari kewajiban belajar.

Dikatakan secara paradoksal: politik Indonesia tidak mendorong orang memiliki keberanian moral untuk menerima tanggung jawab atas perbuatannya, tetapi mendorong orang meningkatkan keterampilan psikologis untuk menghindari tanggung jawab.

***

KEADAAN ini tentu tidak dapat dibiarkan terus-menerus. Kalau politik masih dipahami sebagai keseluruhan usaha untuk menggerakkan masyarakat, dan menggunakan kekuatan-kekuatan sosial yang ada di dalamnya secara dinamis, melalui suatu organisasi dengan otoritas yang diakui bersama, ke arah tujuan yang telah disepakati, maka hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa tanggung jawab. Segera terlihat, tanggung jawab itu akan dituntut pada berbagai tingkatan.

Pada tingkatan yang fundamental, pertanyaan tentang tanggung jawab akan berkenaan dengan komitmen kepada tujuan yang telah disepakati, misalnya reformasi politik. Pada tingkat lain, tanggung jawab berhubungan dengan penggunaan otoritas atas cara yang masih sesuai atau tidak sesuai dengan tujuan ITU, misalnya apakah pemimpin dan elite politik menggunakan wewenangnya untuk mengorganisasikan kekuatan-kekuatan sosial secara produktif sesuai tujuan semula, atau memanfaatkan wewenang itu untuk tujuan yang lain sama sekali, misalnya memperkuat suatu kelompok khusus yang memberi dukungan politik kepadanya, tetapi dengan itu mengorbankan seluruh organisasi kekuatan-kekuatan sosial yang secara bersama akan menggerakkan masyarakat kepada tujuan yang dikehendaki.

Tingkah laku elite politik kita memperlihatkan konsentrasi mereka hanya pada satu titik dari seluruh rangkaian proses politik, yaitu hanya pada partisipasi mereka dalam otoritas atau keturutsertaan mereka dalam kekuasaan, tanpa terlalu hirau kekuasaan itu digunakan untuk tujuan apa.

Pengertian politik dalam jangkauan luas sosial-politik (Gesellschaftspolitik) telah dipersempit secara amat vulgar hanya menjadi power politics, yaitu perhitungan kalah-menang dalam persaingan memperebutkan bagian dalam otoritas, bukannya persaingan dalam gagasan politik tentang bagaimana membawa masyarakat secepatnya kepada tujuan yang dikehendaki, dan cara-cara mana yang sebaiknya ditempuh agar membawa hasil yang diinginkan, tanpa harus melanggar HAM atau membawa biaya sosial terlalu tinggi.

Salah satu cerminan lain dari kecenderungan ini adalah hobi para ahli hukum untuk memenangkan perkara, tanpa peduli apakah dengan itu dia masih akuntabel terhadap keadilan. Untuk mengutip kata-kata yang sangat cerdas dari almahrum Subchan ZE (meninggal 1967): the rule of law telah dipreteli menjadi the rule of lawyers.

***

JALAN manakah yang sebaiknya ditempuh untuk meningkatkan rasa tanggung jawab ini, atau lebih minim lagi, bagaimana caranya menahan meluas dan lajunya proses dekadensi dan demoralisasi ini?

Usul yang diajukan di sini adalah kembali kepada pendidikan, tetapi dengan mengucapkan, "Caveant Educatores!" (Waspadalah hai para pendidik). Pendidikan bukan usaha untuk menciptakan alat atau instrumen, bukan pula menciptakan instrumen untuk pasar atau untuk negara. Pendidikan adalah mengantar seorang anak manusia agar mencapai tingkat kemandirian tertentu, sehingga dia dapat dinamakan seorang individu.

Tulisan ini ingin mengatakan, dengan methodological exaggeration, pendidikan nasional selama Orde Baru telah mengabaikan secara sempurna pendidikan individu, yaitu manusia yang cukup otonom, cukup mandiri, cukup bebas dalam pikirannya, sehingga dapat bertanggung jawab. Hanya seseorang yang matang dalam kebebasan dapat bertanggung jawab. Seseorang yang melakukan suatu tindakan di bawah todongan senjata tidak dapat dimintai tanggung jawab sepenuhnya.

Tanpa adanya pendidikan yang dapat membantu proses kematangan seseorang menjadi individu, yang akan kita dapati hanyalah kawanan, yang dapat digerakkan untuk sembarang tujuan. Dia dapat digerakkan untuk tujuan baik, tetapi dengan mudah digerakkan untuk membunuh, merampok, menjarah, tanpa ada keberanian sedikit pun untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.

Seorang yang tidak matang sebagai individu akan dengan mudah melemparkan tanggung jawab, karena dia tak pernah dilatih memutuskan sesuatu sendiri secara bebas. Anak-anak tidak dilatih menjawab pertanyaan menurut apa yang dapat dipikirkan, tetapi hanya sebatas kerangka jawaban yang sudah disiapkan dalam pilihan ganda.

Barangkali ini adalah versi Orde Baru tentang kebebasan yang bertanggung jawab, yaitu hanya bebas memilih satu jawaban di antara empat atau lima jawaban yang disiapkan.

Perlu ditegaskan kini, bukan saja kebebasan harus dibatasi oleh tanggung jawab, tetapi tanggung jawab hanya mungkin lahir dari kebebasan (tidak ada tanggung jawab yang lahir dari situasi terbelenggu).

Uraian ini jangan dikacaukan dengan faham individualisme.

Mendidik seseorang menjadi individu yang matang adalah hal yang tidak ada hubungan dengan filsafat politik individualisme yang mengatakan, kehidupan masyarakat pada akhirnya harus membela dan menyelamatkan hak-hak individual.

Pendidikan individu yang matang-sebagai inti tugas pendidikan-justru akan melahirkan tanggung jawab, sebagai dasar kehidupan sosial yang tertib, dan kehidupan politik yang ada martabatnya, karena seorang yang bertumbuh dalam kebebasan, akhirnya juga bebas untuk menentukan apakah dia melakukan sesuatu yang memberi kehormatan kepada dirinya, atau mendatangkan kenistaan untuk martabatnya sendiri.

* Dr Ignas Kleden Sosiolog, Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (The Center for East Indonesian Affairs), Jakarta


No comments: