Sunday, March 29, 2009

Mengelola Tema-tema Tradisional

Pemilu Jerman 2002

Mengelola Tema-tema Tradisional

Pengantar Redaksi

Direktur Center for East Indonesian Affairs (CEIA) Jakarta, Dr Ignas Kleden, merupakan satu di antara 12 ilmuwan sosial dari 12 negara yang diundang DAAD (Lembaga Pemerintah Jerman untuk Pertukaran Akademis) meninjau tahap terakhir Pemilihan Umum (Pemilu) Jerman 2002. Pemilu Jerman berlangsung 22 September 2002. Hasil perjalanan sosiolog dan kolumnis di berbagai media massa yang berada di Jerman selama 11 hari tersebut, dituangkan dalam dua tulisan, masing-masing di halaman ini dan halaman 43.


PEMILU Jerman baru saja berlangsung pada 22 September yang lalu, dan dimenangkan oleh Gerhard Fritz Schroeder dengan mengalahkan Edmund Stoiber. Partai yang dipimpin Schroeder, Partai Sosial Demokrat (SPD) yang berkoalisi dengan Partai Hijau meraih 47,1 persen suara (306 kursi). Sementara itu, penantangnya partai gabungan Kristen Demokrat (CDU) dan Kristen Sosial (CSU) yang berkoalisi dengan Partai Liberal (FDP) serta mendukung Stoiber meraih 45,9 persen suara (295 kursi).

Tulisan ini dibuat bukan untuk melaporkan hasil Pemilu Jerman yang ke-15 sejak tahun 1949 itu, tetapi untuk menceritakan sedikit suasana dan tema-tema kampanye yang dikemukakan oleh masing-masing partai yang mendukung Schroeder dan Stoiber.

Dua hari sebelum Pemilu Jerman, 20 September 2002, hari Jumat malam pukul 20.00 waktu setempat, saya ikut mendengar langsung kampanye terakhir Edmund Stoiber, pemimpin dan calon kanselir dari CSU di Gedung Max-Schmeling, am Falkplatz, Berlin. Ruangan besar itu penuh sesak dan di pintu masuk anggota Partai Union (CDU/CSU) membagi-bagikan brosur kampanye mereka, sebagian berisikan program partai dan sebagian lainnya berisikan profil dan anekdot tentang Stoiber sebagai calon penantang dalam pemilu kali ini.

Suasana luar biasa ramai meskipun acara itu berlangsung tidak di lapangan terbuka, sebagaimana yang saya saksikan seminggu sebelumnya di Kota Aachen, tatkala Gerhard Schroeder (kanselir Jerman yang sekarang) mengucapkan pidatonya di depan ratusan mahasiswa di lapangan yang terletak antara Dom (katedral) Aachen dan Rathaus (gedung parlemen), atau ketika Joschka Fischer (Menteri Luar Negeri Jerman dalam kabinet Schroeder) dari Partai Hijau, mengucapkan pidato kampanyenya di Marienplatz, Muenchen, pada malam hari 18 September yang lalu.

Saya tak pasti dan tidak sempat bertanya apakah pemilihan gedung itu untuk kampanye terakhir Stoiber memang disengaja, mengingat nama gedung itu (Max-Schmeling) diambil dari nama seorang petinju Jerman yang cukup terkenal dan sudah meninggal dunia.

Dua pidato kampanye tersebut (yaitu dari Schroeder dan Stoiber) terdengar bagaikan sebuah perdebatan tak langsung antara dua partai terbesar dalam politik Jerman semenjak Pemilu 1949, yaitu CDU/CSU di satu pihak dan SPD di pihak lainnya. Perdebatan itu buat sebagian massa menarik karena melibatkan argumentasi tentang tema-tema tradisional dalam politik Jerman, dan sebagian juga menjemukan karena tidak memperlihatkan imajinasi baru mengenai posisi Jerman-Bersatu, yaitu Jerman setelah Wiedervereinigung, baik dalam politik Eropa maupun dalam politik dunia, khususnya dalam hubungan Utara-Selatan.

***

Apa yang untuk mudahnya saya namakan tema-tema tradisional tersebut menyangkut soal-soal seperti pengangguran dan kesempatan kerja, politik perpajakan, pertumbuhan ekonomi, politik pendidikan, politik luar negeri khususnya hubungan Jerman-Amerika, masalah kesehatan dan kebijaksanaan pemerintah terhadap imigran asing. Tema-tema tersebut dibicarakan dalam kampanye dengan nada tinggi oleh Schroeder dan Stoiber meskipun dengan argumentasi yang berlawanan. Schroeder, misalnya, berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi Jerman dengan sedikit meminta pengertian, karena dalam empat tahun pemerintahannya semenjak tahun 1998, ekonomi Jerman mengalami pertumbuhan yang paling lambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara dalam Uni Eropa.

Menurut polling yang dilakukan oleh lembaga Emnid pada tahun 1998, terdapat 23 persen responden yang mengatakan bahwa ekonomi Jerman akan membaik, sedangkan pada tahun 2002 hanya 13 persen yang mengatakan demikian. Tentang pengangguran, 31 persen responden pada tahun 1998 mengatakan pengangguran akan meningkat, sedangkan pada tahun 2002 terdapat 47 persen yang mengatakan demikian.

Dengan sendirinya tema itu kemudian dimainkan habis-habisan oleh Stoiber.

Salah satu semboyan kampanye Stoiber berbunyi: "Pilihlah kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi". Jalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, demikian Stoiber, adalah dengan memberi insentif berupa keringanan pajak (Steuersenkung) untuk memancing lebih banyak investasi yang pada gilirannya memungkinkan terciptanya lebih banyak lapangan kerja. Teorinya, sebagaimana dapat dipelajari semenjak Presiden Reagan berkuasa di Amerika ialah bahwa keringanan pajak itu akan memberikan lebih banyak tabungan dan kegairahan kepada kelas pengusaha untuk melakukan lebih banyak investasi dan membuka usaha dan lapangan kerja baru.

Sekarang masyarakat Jerman sudah lebih paham bahwa semboyan itu tidak benar seluruhnya dalam kenyataan, sekurang-kurangnya karena dua alasan.

Pertama, tabungan yang diperoleh dari keringanan pajak tidak selalu dijadikan modal oleh kelas pengusaha untuk melakukan investasi.

Kedua, sebaliknya dari yang pertama, yang merangsang pengusaha untuk membuka usaha baru bukanlah adanya kelebihan tabungan pada mereka, tetapi adanya kemungkinan baru dalam pasar. Kalau ada kemungkinan yang cukup realistis dalam pasar, pengusaha akan terdorong mengambil risiko untuk membuka usaha baru sekalipun tidak ada keringanan pajak. Para ahli ekonomi barangkali akan mengatakan bahwa inilah antinomi antara supply-side economy dan demand-side economy. Yaitu apakah suplai akan sanggup menciptakan permintaannya sendiri dalam pasar, ataukah bahwa permintaan dalam pasarlah yang merangsang suplai yang lebih banyak.

Schroeder sebaliknya menghadapi persoalan tersebut lebih dengan argumen politis daripada argumentasi teknis-ekonomis, yang menurut hemat saya, lebih baik penguasaannya daripada Stoiber. Argumentasinya antara lain adalah bahwa keringanan pajak akan mengurangi pemasukan untuk keuangan negara dan hanya menguntungkan kelas pengusaha, yang belum tentu akan melakukan investasi baru, sementara masalah-masalah sosial seperti tunjangan untuk para penganggur yang mencapai angka empat juta orang, uang untuk pendidikan, dan bantuan untuk dana kesehatan, atau masalah imigran yang setiap tahunnya mencapai 600.000 orang, memerlukan cukup banyak uang kas negara yang akan masuk melalui pajak.

Pada titik ini perdebatan keduanya bagaikan mengulang polemik lama antara jalan liberal dan jalan sosialis tentang cara yang tepat menciptakan kemakmuran bagi seluruh masyarakat. Pihak CDU/CSU bersama dengan Partai Liberal (FDP) mengambil jalan liberal, kurang lebih dengan pengandaian bahwa peningkatan pertumbuhan satu persen saja akan menciptakan sekian ribu lapangan kerja baru, sementara pendapatan negara juga dapat dijamin melalui peningkatan pajak pertambahan nilai (Mehrwertsteuer).

Dengan demikian, pokok soal adalah menggenjot investasi baru yang akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya pihak sosial-demokrat bersama Partai Hijau beranggapan bahwa keringanan pajak akan tambah memanjakan kelas pengusaha, sementara demikian banyak masalah sosial yang harus dipecahkan dengan intervensi dan uang negara.

***

Adalah unik bahwa baik Stoiber maupun Schroeder dalam berbagai pidato kampanye mereka selalu menekankan bahwa program politik yang mereka tawarkan akan menciptakan kemakmuran bagi seluruh masyarakat Jerman dan keadilan sosial sejauh mungkin bagi semua warga.

Masyarakat produktif (Leistungsgesellschaft) ala Stoiber (Ich bin ein Mann der Mitte: Politik saya adalah jalan tengah) dianggap menjadi prasyarat karena tanpa pertumbuhan ekonomi mustahil mengharapkan penyelesaian dan pembiayaan untuk berbagai masalah sosial lainnya. Sebaliknya, suatu Jerman yang solider (ein solidarisches Deutschland) ala Schroeder berpendapat bahwa peranan negara dan pembiayaan oleh negara masih tetap dibutuhkan mengingat bahwa masalah-masalah sosial tetap memerlukan sebuah negara sosial sebagaimana diajarkan dalam teori Soziale Marktwirtschaft (the social market economy) karena ekonomi kapitalis pada dasarnya hanya berminat terhadap pertumbuhan dan tidak ada perhatian terhadap masalah-masalah sosial.

Persoalannya adalah, apakah seseorang harus mempunyai penghasilan cukup agar mempunyai cukup makanan (posisi liberal), ataukah seseorang harus makan cukup terlebih dahulu untuk bisa memproduksi cukup banyak (posisi sosialis).

Dalam analisa terakhir kampanye-kampanye itu, disengaja atau kebetulan, mengalami konvergensi pada suatu titik yang dianggap setia kepada tradisi politik Jerman dan tradisi ekonomi Jerman semenjak Konrad Adenauer, Ludwig Erhard, dan Williy Brandt, dan di pihak lain diharapkan juga menunjukkan kepekaan terhadap apa yang diharap oleh masyarakat Jerman sekarang. Perbedaannya, yang dianggap akan menentukan hasil Pemilu pada hari Minggu 22 September nanti ialah bahwa Schroeder akan lebih memainkan suasana, sedangkan Stoiber lebih mempercayai argumen-argumen yang sudah selalu diulang-ulangnya.

Koran dan televisi Jerman menyebut Schroeder sebagai seorang kanselir-media (Medien-Kanzler), karena dia pandai sekali memanfaatkan penampilannya di media massa untuk mendapatkan dukungan, suatu hal yang menimbulkan diskusi dalam kalangan ahli ilmu politik Jerman sekarang tentang pengaruh Amerika dalam kampanye politik, khususnya apa yang dinamakan Medialisierung der Politik (peranan besar media massa dalam membentuk pendapat umum dalam politik) sehingga politik terancam bahaya kehilangan substansinya. Sebaliknya, Stoiber menekankan berulangkali bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah penguasaan soal (Sachkompetenz).

Dalam kampanyenya yang terakhir di Berlin pada 20 September malam, Stoiber menceritakan pengalamannya dengan seorang wartawan yang mempersoalkan penampilannya yang kurang menarik dan kurang meyakinkan dibandingkan dengan Schroeder. Dia menjawab, "Seandainya Anda harus menghadapi suatu operasi besar di rumah sakit, apa yang Anda lakukan? Apakah Anda akan mencari seorang dokter yang lucu, ganteng, dan menyenangkan, ataukah seorang dokter yang andal?" Tentu saja dia tidak akan menambahkan keterangan bahwa masyarakat Jerman bukanlah pasien, dan pemerintah sebenarnya bukanlah dokter. *

No comments: