Lingkungan Politik dan Ekonomi Pengaruhi Unsur Etnis dan Agama
Jakarta, Kompas
Perpadanan dan pertentangan budaya antarunsur etnis dan agama sangat sering ditentukan oleh perubahan lingkungan politik dan ekonomi. Karena itu sentimen dan kerusuhan antaretnis dan agama tidak akan bisa dicari sebab-musababnya dari dalam masing-masing budaya itu tetapi harus ditujukan pada kondisi ekonomi dan politik yang diciptakan penguasa.
Demikian sosiolog Alexander Irwan dalam diskusi buku Nusa Jawa Silang Budaya terjemahan yang ditulis sejarawan Perancis Prof Dr Denys Lombard di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Senin (3/2). Tampil dalam diskusi yang diselenggarakan Yayasan Kawedri bekerja sama dengan Jaringan Kerja Budaya, Forum Jakarta-Paris, the Jakarta Post, Ecole Francaise d'Extreme-Orient, dan PT Gramedia Pustaka Utama itu ialah Prof Dr Taufik Abdullah, Dr Azyumardi Azra, Dr Ignas Kleden, dan Dr Alexander Irwan.
Unsur-unsur sosiologis yang muncul dalam kerusuhan-kerusuhan akhir-akhir ini, seperti etnis Cina, Islam, dan Kristen, dan persaingan ekonomi sudah terlibat dalam proses silang budaya sejak dulu. Perpadanan dan pertentangan selalu bercampur dan sering sulit untuk mengatakan mana yang dominan. Demikian pula konflik yang terjadi dalam proses silang budaya antaretnis dan agama yang berlangsung kini dibarengi dengan terus berlangsungnya perpadanan.
"Bisa dibayangkan, para pelaku kerusuhan antietnis Cina adalah penggemar mi instan dan ikut arisan, penonton setia film kungfu yang ber-asal dari kebudayaan Cina," kata Alexander Irwan, Manajer Center for Indonesia Asia Business Information (CIBI) Bisnis Indonesia itu.
Dikemukakan, nilai-nilai demokrasi dalam bentuk budaya pengakuan akan pluralitas yang mewujudkan sebuah kosmopolitanisme sudah berlaku di nusantara sebelum kedatangan kekuatan dagang dan militer Eropa. Karena itu sangat tidak masuk akal bila dikatakan ide-ide demokrasi di Indonesia merupakan budaya asing yang tidak cocok untuk masyarakat Indonesia.
"Masyarakat nusantara justru sudah mengakui pluralisme dan ikut menciptakan kosmopolitanisme saat bangsa-bangsa Barat sedang mempersiapkan diri untuk melakukan salah satu tindakan yang paling tidak demokratis berupa penjajahan," kata Alexander Irwan.
Menurut pendapatnya, kolonialisme Barat justru merupakan unsur utama yang mematahkan kosmopolitanisme damai di nusantara. Belanda, misalnya, menciptakan sebuah sistem ekonomi dan politik di nusantara yang mendudukkan kalangan etnis Cina dalam posisi berlawanan dengan pribumi. Ketika etnis Cina meniru kulit putih, sistem ekonomi politik yang diciptakan berhasil memadukan unsur agama dan etnis untuk mengubah kosmopolitanisme damai menjadi sektarianisme yang mengandung kebencian.
Zaman VOC
Namun, menurut Ignas Kleden, pendidikan secara Barat justru tidak terjadi di Hindia Belanda pada zaman VOC berkuasa. Masalahnya, selain karena jumlah orang Eropa yang amat sedikit, para pedagang Belanda itu sendiri tidak ingin kalau mereka tersaingi oleh pribumi. Kalaupun ada pendidikan, itu dilakukan terlalu kosmopolit dengan menggunakan tenaga guru dari Jerman, Inggris, Swiss dan sebagainya.
"Pendidikan secara Barat baru benar-benar terjadi setelah Daendels dengan paksa membuat jalan trans Jawa, Anyer ke Panarukan. Adanya jalan ini, selain membuat arus lalu lintas makin lancar, juga mendorong pembuatan sekolah. Sekolah pertama yang ada di Weltevreden (1816), menyusul pembuatan tujuh sekolah (1820), dan tahun 1917 sudah ada 198 sekolah di Hindia Belanda," katanya.
Dikatakan, munculnya koran berbahasa, berhuruf Jawa di Solo, Brotomartani, segera membakukan tulisan-tulisan Jawa, dan penanggalan, yang huruf timahnya dibuat di Haarlem, Belanda. Keadaan ini segera menyebar, dan diikuti dengan hadirnya koran berbahasa Jawa di Yogyakarta, Retno Dumilah.
"Meski pembakuan dan pembaratan kelihatannya sukses, namun upaya itu ada batasnya. Proses pembaratan yang sukses di bidang infrastruktur, seperti tampak dalam pembakuan huruf Jawa, penanggalan, dan bahasa Melayu, ternyata tidak sukses dalam konsep. Nilai-nilai Barat seperti individualisme tidak bisa diterima dalam budaya Jawa, karena tetap memandang hidupnya dalam kesatuan antara makrokosmos dan mikrokosmos," katanya.
Banyak orang Jawa yang belajar di Belanda dan sangat maju dalam pemikiran Barat ternyata tetap tidak menjadi Kristen atau ikut dalam alam pikir Barat. "Pembaratan yang mendalam justru membuat orang tetap menghargai tradisi. Sebaliknya pengetahuan mengenai Barat yang dangkal dan melihat Barat secara sepintas lalu, seperti terjadi dalam kelas menengah baru sekarang ini, justru membuat orang meninggalkan tradisinya," kata Ignas Kleden. (ton/wis)
No comments:
Post a Comment