Sunday, March 29, 2009

Oportunitas dan Sensitivitas Politik

Oportunitas dan Sensitivitas Politik

Politik rupa-rupanya suatu kegiatan yang tidak saja berhubungan dengan kemampuan, tetapi juga kesempatan. Hal itu tampaknya lebih disadari oleh Schroeder dari Partai Sosial-Demokrat (SPD) daripada oleh Stoiber dari Partai Kristen-Sosial (CSU). Ini terlihat dari dua langkah Schroeder, dalam hubungan dengan politik dalam negeri dan politik luar negeri. Dalam negeri dia menunjukkan keberhasilannya menangani masalah banjir yang melanda Jerman hanya beberapa minggu sebelum Pemilu, dan ke luar negeri dia menunjukkan keberaniannya mengatakan "tidak" kepada rencana Pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan serangan kepada Irak, untuk menggeser Saddam Hussein dari kekuasaannya.

Masyarakat Jerman umumnya berpendapat bahwa pemerintahan Schroeder cukup tanggap terhadap masalah banjir ini karena di banyak tempat, seperti umpamanya di negara bagian Sachsen-Anhalt yang dilalui oleh Sungai Elbe, kerugiannya ternyata amat besar. Ketua Kamar Dagang dan Industri (Industrie und Handelskammer) negara bagian ini, Hartmut Paul, mengatakan dalam suatu pertemuan dengan kami di Kota Dresden pada 19 September yang lalu bahwa di Sachsen saja banjir itu telah mengakibatkan kerugian besar pada hampir 15.000 perusahaan. Di tengah kota air naik hingga setengah meter. Dapat dipahami, perhatian pemerintahan kanselir Schroeder itu menjadi suatu dukungan moral dan dukungan politis yang menyebabkan bahwa para pengusaha yang menderita musibah itu akhirnya memutuskan untuk meneruskan kembali perusahaannya, dan tidak sampai menyerah kalah.

Masalah yang lebih pelik dan peka adalah tatkala Schroeder mengatakan bahwa selama dia memerintah, Jerman tidak akan turut-serta dalam aksi Amerika Serikat menyerang Irak seandainya pun rencana Amerika itu didukung oleh keputusan PBB.

Pernyataan Schroeder itu menimbulkan reaksi yang terbelah di Jerman dan juga di kalangan masyarakat Uni Eropa. Di satu pihak sikap itu dianggap berani karena dengan itu, Jerman, dalam hal-hal tertentu, tidak saja harus tunduk kepada AS sebagai saudara tuanya, dan dapat mempunyai pendirian sendiri dalam masalah internasional.

Di lain pihak, sikap itu dianggap menunjukkan lagak "mbalelo" Jerman dalam kalangan persekutuan negara-negara Barat, dan di samping itu dipertanyakan apa saja yang menjadi konsekuensi dari sikap tersebut? Apakah itu berarti tentara AS tidak diperbolehkan memakai landasan udara di Jerman dalam aksi meliternya nanti? Dan juga, apakah tentara AS yang akan terluka dalam perang dengan Irak tidak diperbolehkan dirawat di rumah-rumah sakit di Jerman?

Stoiber memang mengatakan berulang kali, juga dalam debat di televisi Jerman, bahwa pernyataan Schroeder tersebut tidak menunjukkan sikap setia-kawan. Akan tetapi, dalam pidato kampanyenya di Aachen pada malam hari 13 September yang lalu, Schroeder bertanya di depan para pendengarnya: "Apa artinya setia-kawan? Apakah sikap itu berarti yang seorang mengatakan sesuatu dan yang lain mengatakan OK? Ataukah dapat juga berarti bahwa dalam persahabatan itu dimungkinkan juga perbedaan pendapat?"

Memang para mahasiswa yang mendengarnya mengangkat tinggi-tinggi poster yang bertuliskan "Dranbleiben, Gerd" (Terus bertahan, Gerd). Saya sungguh tak pasti, apakah reaksi para mahasiswa itu menunjukkan dukungan kepada Gerhard Schroeder untuk tetap bertahan di kursi kanselir, atau juga agar dia tetap bertahan dalam sikapnya terhadap AS.

Malang tak dapat ditolak, sikap ini yang pada mulanya menimbulkan perhatian besar dan juga simpati (bersama antipati) terhadap Schroeder, hanya dalam waktu satu minggu menjadi bencana politik baginya. Menteri Kehakiman dalam kabinetnya, Herta Daeubler-Gmelin dari SPD, menurut sebuah berita dalam koran Schwaebischer Tagblatt, mengatakan dalam sebuah acara pertemuan di dekat Kota Tuebingen di tengah minggu sebelum Pemilu, bahwa aksi Presiden Bush terhadap Irak itu tidak bertujuan lain daripada mengalihkan perhatian dari kesulitan-kesulitan yang harus dihadapinya dalam politik dalam negeri AS. Metode ini, katanya lebih lanjut, sangat disukai, dan bahkan Hitler sendiri sudah menerapkannya.

Tentu saja pernyataan itu menimbulkan heboh besar di kalangan Gedung Putih dan juga di kalangan negara-negara sahabat AS. Sekalipun kemudian dalam suatu konferensi pers, Menteri Kehakiman menyangkal apa yang diberitakan koran tersebut, namun sebagian pengamat politik beranggapan bahwa laporan itu bukanlah salah kutip. Pemimpin redaksi koran tersebut mengatakan pada malam hari setelah konferensi pers yang diadakan oleh Menteri Kehakiman Daeubler-Gmelin," Belum pernah saya melihat seorang berdusta dengan tidak malu-malu, tanpa menjadi merah mukanya, seperti halnya Menteri Kehakiman dalam konferensi persnya."

***

Koran Die Welt (21/9/2002) melaporkan bahwa Gerhard Schroeder langsung mengirim surat kepada Presiden Bush dengan pernyataan yang berbunyi: "Saya ingin memberi kepastian kepada Anda bahwa di meja kabinet saya tidak ada tempat bagi seorang pun, yang menghubung-hubungkan Presiden AS dengan suatu kejahatan." Tentu saja pernyataan ini tidak akan mudah diterima begitu saja oleh kalangan Gedung Putih di Washington, yang tahu bahwa hanya beberapa hari sebelumnya, Schroeder menyatakan penolakannya untuk turut-serta dalam aksi AS menyerang Irak.

Musibah yang kedua berhubung dengan rencana Schroeder untuk menyelamatkan perusahaan Mobilcom yang terancam bangkrut. Pemerintahan Schroeder mengusulkan agar industri ini diberi bantuan sebesar E 400.000.000 (empat ratus juta Euro), yaitu E 320 juta dalam bentuk pinjaman yang dijamin negara dari bank KfW (Kreditanstalt fuer Wiederaufbau), yang merupakan suatu perpanjangan tangan pemerintahan federal, sedangkan sisa E 80 juta akan diberikan oleh state-affiliated bank di negara bagian Schleswig-Holstein di mana industri Mobilcom berada. Langkah ini, yang diambil hanya enam hari sebelum Pemilu, mengalami berbagai kritik sebagai jalan potong yang ditempuh oleh Schroeder untuk menyelamatkan citra pemerintahannya, yang sudah diketahui amat lemah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengatasi masalah pengangguran. Bangkrutnya Mobilcom akan menyebabkan 5.500 pegawainya kehilangan pekerjaan, dan hal ini tentulah menambah angka merah dalam rapor Schroeder mengenai lapangan kerja.

Dari dalam negeri langkah ini dianggap memberikan preseden buruk bagi industri lain yang sedang terancam bangkrut untuk mengharapkan bantuan yang serupa, sementara untuk tahun 2002 saja diperkirakan terdapat 40.000 perusahaan di seluruh Jerman yang terancam bangkrut. Negara niscaya tidak punya dana untuk setiap kali melakukan bailout untuk perusahaan sebanyak itu. Dari luar negeri langkah Schroeder ini dianggap sebagai suatu intervensi negara yang akan merusak pasar, khususnya untuk pasar telepon seluler, karena bantuan dana yang demikian besar terhadap Mobilcom niscaya merugikan persaingan bebas dengan perusahaan-perusahaan seluler lainnya. Kritik ini tampaknya cukup kuat untuk menimbulkan reaksi masyarakat Uni Eropa sekalipun Menteri Ekonomi Jerman Werner Mueller masih berusaha membela kebijaksanaan bosnya, dengan mengatakan bahwa bank KfW yang menanggung sebagian terbesar dari dana bantuan tersebut memberikan marktuebliche Zinzen (tingkat bunga yang tidak menyalahi pasar).

***

Tindakan-tindakan Schroeder ini dapat dipandang sebagai kecekatan menangkap kesempatan untuk mengumpulkan angka dukungan terhadap politiknya. Sebaliknya dari itu, dari pihak Stoiber muncul usaha untuk sedikit memainkan sentimen nasionalisme ekonomi dengan berusaha membatasi jumlah imigran yang masuk setiap tahun ke Jerman dan mencari kerja di sana. Argumen untuk sikap ini pun bukannya tidak ada. Jumlah orang asing di Jerman sudah mencapai 7,3 juta jiwa dari total penduduk Jerman sebanyak 82 juta jiwa. Maka daripada menerima imigran baru setiap tahun, adalah lebih baik mengintegrasikan orang asing yang sudah ada ke dalam masyarakat dan kebudayaan Jerman.

Di samping itu mengapa harus terus-menerus membuka pintu pasaran tenaga kerja di Jerman untuk 600.000 imigran pencari kerja setiap tahun, sementara 4.000.000 orang Jerman sendiri masih menganggur? Daripada berangan-angan tentang terciptanya suatu masyarakat multikultural di Jerman, adalah lebih perlu memperhatikan masalah lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.

Gagasan Partai Union (CDU/CSU) ini oleh para pengkritiknya dianggap sebagai dalih untuk memperbolehkan imigran yang hanya berasal dari kalangan Uni Eropa. Sementara itu, sebuah perhitungan yang dilakukan oleh Deutsche Bank menunjukkan bahwa kalau masuknya para imigran ini dibatasi, penduduk usia kerja akan menurun amat drastis di Jerman. Kalau pembatasan itu berjalan efektif, dalam 50 tahun mendatang penduduk Jerman-dengan tingkat kelahiran seperti sekarang-akan menurun dari 82 juta menjadi 65 juta, dengan angkatan kerja yang menyusut sebanyak 27 persen dan menjadi hanya 30 juta orang pada tahun 2040 (International Herald Tribune, 17/9/2002). Dengan angkatan kerja sekecil itu tidak akan tenaga cukup yang sanggup memikul beban industri, dan pada gilirannya pertumbuhan ekonomi juga akan terancam.

Menghadapi gejala itu Gerhard Schroeder mengatakan bahwa langkah Stoiber untuk memanfaatkan isu imigrasi sebagai tema kampanye menunjukkan keragu-raguan dalam politiknya. Dengan sinis dia mengatakan bahwa mudah-mudahan dia tidak akan sampai tergoda untuk menjalankan politiknya di atas punggung orang-orang yang tidak dapat membela dirinya. Perdebatan-perdebatan ini menunjukkan hal yang menarik bahwa baik jalan liberal maupun jalan sosialis tidak dapat menjanjikan pemecahan mendasar atas berbagai masalah yang dianggap mendesak di Jerman saat ini. Kedua jalan itu pada akhirnya sampai kepada suatu titik buntu yang memerlukan gagasan dari pihak lainnya.

Setelah mendengar uraian Stoiber yang cukup panjang, maka dalam suatu perdebatan terakhir Schroeder berkata, "Pidato Anda memperjelas satu hal untuk saya. Yaitu, bahwa Anda mungkin ingin menjadi kanselir, tetapi Anda tidak mampu untuk itu." Setelah kemenangan Schroeder dengan selisih suara yang amat tipis, dapat dikatakan bahwa pendapat para pemilih tidak menunjukkan kepercayaan yang lebih banyak terhadap kemampuannya untuk memerintah Jerman saat ini dan menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat Jerman dan muncul dari politik Jerman dan perkembangan internasional. Pada titik ini sukarlah mengatakan apakah Schroeder menjadi kanselir sekali lagi karena dia mempunyai kemampuan, atau terlebih karena dia mendapatkan kesempatan untuk itu. (IGNAS KLEDEN)

S

No comments: