Sunday, March 29, 2009

“Oikos dan Polis”: Privat dan Publik

“Oikos dan Polis”: Privat dan Publik

Dibandingkan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, perkembangan tingkah laku manusia, baik secara moral, sosial maupun politik, tidak banyak mengalami kemajuan yang berarti selama — sekurang-kurangnya— dua milenium terakhir. Bertrand Russel banyak benarnya, kematangan moral manusia jauh tercecer dibandingkan dengan kematangan intelektualnya. Sebagai contoh soal, ambilah masalah demokrasi. Istilah dan prakteknya berasal dari masa Yunani antik. Athena sebagai negara-kota dianggap sebagai model pertama dari demokrasi yang dipraktekkan dalam kehidupan politik.

Namun sering dilupakan bahwa demokrasi negara-kota itu mempunyai berbagai biaya, yang untuk masa sekarang tidak dapat lagi dibenarkan oleh perkembangan kehidupan masyarakat yang dinamakan civil society. Pertanyaan tentang apakah dengan mendorong demokrasi akan tercipta juga secara otomatis civil society, dapat dijawab dengan meninjau kembali kehidupan polis Athena. Istilah civil society sendiri berasal dari perkataan Latin societas civilis yang merupakan terjemahan para filsuf Kristen abad pertengahan untuk istilah Yunani politike koinonia, yang berasal dari masa Athena dan berarti pengelompokan politik.

Dalam konteks Athena, vokabuler itu punya makna yang relatif terbatas dan jelas. Pengelompokan politik (politike koinonia) untuk masa itu dianggap terwujud dalam negara-kota Athena (polis), sedangkan negara-kota ini dianggap merupakan tujuan (telos) dari sifat manusia sebagai makhluk sosial (zoon politikon). Adapun kehidupan bersama dan interaksi para anggota polis diatur oleh seperangkat nilai-nilai dan norma yang didefinisikan secara budaya (ethos).

Yang tidak banyak diketahui ialah apa yang dilakukan supaya para warga polis dapat diperlakukan sederajat dan merdeka. Yang pertama, dibedakan dengan tegas polis sebagai ruang publik dan politis dari oikos (rumah tangga) sebagai ruang privat dan komunal. Dengan demikian, mereka yang tidak dapat dianggap sebagai orang bebas dan sederajat (seperti halnya para budak atau kaum perempuan dan anak-anak) tidak diperlakukan sebagai anggota polis tetapi hanya dipandang sebagai anggota oikos. Adapun rumah tangga sebagai ruang privat dan komunal ini tidak diatur oleh hukum (ethos), melainkan hanya diatur menurut kebijaksanaan kepala keluarga atau kepala komunitas. Dengan demikian, dalam negara-kota Athena tidak terdapat dilema antara civil society dan kehidupan komunal di satu pihak, dan dilema antara civil society dan negara di pihak lainnya. Dalam konteks Athena, dilema ini diselesaikan dengan menganggap bahwa polis adalah tempat pertemuan dan persatuan masyarakat dan negara, sedangkan kehidupan komunal hanya dianggap sebagai unsur residual, yang tidak dimasukkan ke dalam polis tetapi ditampung di dalam oikos, yang tidak mengalami kehidupan demokratis yang dimasyhurkan itu.

Ini semua berarti bahwa ketegangan antara kehidupan komunitas dan kehidupan politik tidak muncul karena berbagai perbedaan budaya dan perbedaan osial, secara dramatis diintegrasikan ke dalam polis yang dianggap sebagai suatu solidarity group yang homogen dengan anggota yang sanggup untuk bersatu dalam berbagai tindakan bersama. Dilema politik masa Athena kurang lebih paralel dengan dilema sosial-ekonomi pada masa modern ini. Pertanyaannya ialah, siapa yang mengalami demokrasi pada masa itu (seperti juga siapa yang mengalami kesejahteraan pada masa sekarang)? Jawabannya: anggota-anggota polis. Memang dalam negara-kota semua diperlakukan sebagai orang bebas dan sederajat, tetapi tidak berarti bahwa semua penduduk Athena adalah bebas dan sederajat. Mereka yang tidak bebas dan tidak sederajat diumpetin dalam suatu ruang residual yang bernama oikos, yang tergantung pada kebaikan hati kepala keluarga atau kepala komunitas, tanpa ada hak apa pun secara hukum. Demikian pun berbagai kelompok dalam negara-kota dapat diperlakukan sebagai homogen, karena semua perbedaan budaya dan social differentials (seperti asal-usul, status, gender) telah ditinggalkan dalam suatu tempat penampungan yang bernama oikos.

Dilihat dengan perspektif masa sekarang, maka kesederajatan dan kemerdekaan para warga dalam negara-kota, harus dibiayai oleh ketidakbebasan dan serba perbedaan dalam kehidupan komunal yang dianggap berada di luar pengelompokan politik polis dan tidak relevan untuk kehidupan publik dalam negara-kota Athena. Baik negara sebagai ruang politik maupun civil society sebagai ruang publik dianggap ditampung dan dipersatukan dalam negara-kota, sedangkan kehidupan rumahtangga dan kehidupan komunal harus menanggung membiayai semua yang bersifat budaya, komunal dan privat tanpa perlindungan hukum dan perlindungan politik apa pun.

Persoalan yang ditinggalkan polis Athena, untuk masa-masa seterusnya, dan dalam berbagai variasi, rupanya tetap menjadi warisan persoalan yang tetap dihadapi oleh negara dan civil society dalam berbagai zaman, yaitu biaya politik dan biaya sosial dari kemerdekaan, dan kesamaan dalam demokrasi dan kehidupan publik. Perubahan yang agak berarti setelah Athena terjadi di negara-negara Eropa abad pertengahan, ketika kedaulatan yang bersifat total dan monolitik (overarching level of souvereignty) dalam negara-kota, mengalami dualisasi dalam kekuasaan politik antara raja yang memiliki kekuasaan politik dan para bangsawan dan para vasal (estates) yang memiliki tanah dan bawahan yang hidup di atas tanah-tanah mereka. Kedudukan para bangsawan dan para vasal sebagai penguasa kecil membuat posisi mereka menjadi ambivalen, karena mereka sekaligus menjadi anggota dari negara dan kekuasaan politik (karena dapat ikut memerintah), tetapi sekaligus juga menjadi anggota dari masyarakat yang harus tunduk penuh kepada kekuasaan politik seorang raja. Ketegangan antara negara dan masyarakat belum mengalami kristalisasi dalam feodalisme Eropa.

Diferensiasi yang menentukan terjadi pada waktu munculnya monarkhi absolut menjelang revolusi Perancis, yang dianggap menjadi watershed yang memisahkan civil society pramodern dan modern. Sebelum masa itu, seorang raja di Eropa hanya diperlakukan sebagai "saudara tua" (primus inter pares) di antara para bangsawan yang menjadi sesama penguasanya. Munculnya absolutisme menyebabkan bahwa klaim kekuasaan politik menjadi tunggal kembali. Raja yang menganggap dirinya mendapatkan legitimasinya dari Tuhan, menuntut hak untuk menjadi satu-satunya penguasa yang tidak membagikan kekuasaannya kepada pihak lain. Pembenaran teologis terhadap kekuasaan raja kemudian ditunjang secara politik oleh klaim sang raja untuk memiliki monopoli penggunaan kekerasan negara. Patrimonialisme para bangsawan tiba-tiba berakhir secara drastis, karena mereka kehilangan wewenang untuk memiliki birokrasi dan militer sendiri, yang sebelum itu melayani kepentingan mereka secara pribadi. Sekaligus dengan itu pemisahan antara negara dan masyarakat menjadi definitif. Para bangsawan yang tadinya mempunyai kedudukan yang tanggung antara negara dan masyarakat, kini tegas menjadi bagian masyarakat setelah kekuasaan politik mereka dicopot, sekalipun kekuasaan ekonomi mereka atas tanah dan berbagai gelar kehormatan dan hak istimewa tetap dipertahankan. Tentu saja ini cerita pemisahan negara dari masyarakat menurut versi Eropa daratan. Dalam versi Amerika Serikat, pemisahan itu dipertegas oleh sifat negara yang sekuler, yang memberikan toleransi besar kepada kelompok-kelompok religius dalam masyarakat. Sedangkan dalam versi Inggris Raya, pemisahan terjadi antara negara yang merkantilis, dengan kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan usaha ekonomi yang bersifat produktif.

Ini semua hanya sebagian cerita tentang kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh civil society dalam berbagai tahap perkembangannya. Di Indonesia sendiri, pemisahan negara dari masyarakat disebabkan karena negara selama Orde Baru menuntut hampir semua kekuasaan yang mungkin untuk dirinya, dan mencopot hak-hak politik dari kelompok-kelompok masyarakat maupun dari warga orang per orang. Kehidupan komunitas yang dalam masa Athena dianggap masuk ke dalam oikos dikooptasi negara ke dalam dirinya, karena anggapan bahwa negara bertugas menjaga perkembangan seluruh masyarakat dan perkembangan manusia seutuhnya. Dengan klaim itu, baik ruang publik maupun ruang privat telah diklaim oleh negara sebagai tanggungjawab dan haknya, yang amat nyata melalui intervensinya dalam urusan keagamaan dan urusan kebudayaan. Dilema Yunani memang tidak dialami selama Orde Baru karena kehidupan komunal dikuasai negara. Yang berhadapan dengan negara hanyalah kekuatan-kekuatan civil society.

Anehnya, reformasi telah membawa tantangan baru bukan saja untuk negara tetapi juga untuk civil society. Dominasi dan hegemoni negara yang melemah karena perubahan politik langsung terancam dengan munculnya sikap asertif yang sukar dikendalikan dari kehidupan komunitas, bahkan mencapai tahap kekerasan. Ruang publik yang sebelumnya terancam oleh kekerasan politik negara, kini terancam oleh kekerasan komunal dalam ruang-ruang privat masing-masing komunitas. Pekerjaan rumah yang menanti kita sekarang ialah merumuskan secara lebih teliti, hubungan di antara kekuasaan negara sebagai ruang politik, kehidupan civil society dalam ruang publik, serta kebebasan komunal dalam ruang privat kebudayaannya. Atau hubungan di antara kekuasaan politik (yang membawa risiko kekerasan politik), kehidupan publik berdasarkan hukum positif (yang membawa risiko keunggulan kelas dominan), dan kehidupan komunal berdasarkan nilai-nilai budaya (yang membawa risiko kekerasan komunal dalam bentuk etnik ataupun agama).





April 2000




Ignas Kleden
Ignas Kleden

Rocky Gerung
http://www.jurnalindonesia.com
Jurnal Pasar Modal Indonesia (e-mail: jurnal@cbn.net.id)
Hak Cipta © 2000 PT Mitracon Info (Ecfin)
J l. Teuku Cik Ditiro No. 31, Jakarta 10310, Telp. 3107058; 3108057, Fax. 3145584

No comments: