Jakarta, KCM
Menurut sosiolog Ignas Kleden, gejala venalisasi yang di Indonesia kerap diterjamhakn sebagai money politics telah menyebabkan batas antara pragmatisme dan sikap non-pragmatisme menjadi buyar, dan perbedaan antara homo faber dan homo ludens menjadi kabur.
Padahal, terang Kleden, mestinya ada batas-batas yang tegas antara homo ludens dan homo faber. Jika homo ludens menunjuk kepada sifat manusia yang main-main, maka homo faber menunjuk kepada sifatnya sebagai mahluk yang bertindak atau bekerja.
Homo faber memberlakukan pekerjaan untuk mencapai tujuan di luar pekerjaan yang sedang ia kerjakan, adapun homo ludens menjadikan permainan menjadi tujuan dari permainan itu sendiri.
Hingar bingar demonstrasi, kasak-kusuk politik, serta gejala yang muncul dari individu-individu yang mengubah pekerjaannya menjadi permainan semata-mata, adalah ujud dari kekaburan situasi itu.
Dalam hal itu, yang menjadi perhatiannya bukanlah tujuan yang hendak dicapai melalui pekerjaannya itu, tetapi keasyikan, kesenangan dan kenikmatan yang diberikan oleh pekerjaan itu, yang tidak dilihat sebagai beban tetapi sebagai keasyikan itu sendiri.
Itulah kesimpulan Ignas pada HUT ke-35 Harian Kompas, Selasa, 27 Juni di Jakarta.
Pada awal pembicaraannya, sosiolog Ignas Kleden menyitir perkataan Almarhum Arifin C. Noer, tokoh teater modern Indonesia dalam salah satu lakon yang ditulisnya, Ari-Ari atawa Interogasi: Kalau teater mati niscaya masyarakat akan kesepian dan akan segera menjadi gila. Dan kalau masyarakat menjadi gila, teater palsu akan merajalela. Dan akibatnya paling parah, semua warga masyarakat ramai-ramai main teater. Para ilmuwan akan sibuk bermain teater dan lupa akan ilmuanya. Akan bermunculan teater ilmu, tetaer pers, teater agama, teater politik, dan sejumlah teater palsu lainnya.
Ignas lalu memberi penegasan, teater atau drama, atau kerap juga disebut sandiwara, adalah suatu kesempatan tempat orang bermain dengan sungguh-sungguh setelah latihan berbulan-bulan. Namun demikian, penonton tahu bahwa itu permainan belaka, dan bukan suatu peristiwa sungguhan. Permainan, seperti halnya teater, harus tetap dipertahankan adanya agar orang jangan menjadikan pekerjaannya sebagai permainan.
Memang, tambah Ignas, setelah demikian lama hidup dalam kebudayaan yang hanya didefinisikan menurut tujuan dan sasaran, dapat dipahami kecenderungan umum untuk bebas dari keharusan-keharusan untuk mengejar target.
Selama Orde Baru, rasionalitas kebudayaan hanya ditandai oleh apa yang oleh Max Weber dinamakan rasionalitas instrumental atau Zweckrationalitaet, yang sifat-sifat utamanya adalah teknokrasi, profesionalisme, targetism, instrumentalisme, pragmatisme dan dirigenisme, serta korporatisme.
Maka sudah jelas kiranya, akibat perubahan orientasi dari pragmatisme ke non-pragmatisme atau dari homo faber ke homo ludens, maka dengan mudah akan membawa kita kepada hal-hal yang sebaliknya, berupa lemahnya keahlian (sebagai rekasi terhadap teknokrasi), amtirisme (sebagai reaksi terhadap profesionalisme) dan seterusnya.
Salah satu kritik umum selama Orde Baru ialah, bahwa pada waktu itu negara terlalu kuat dan masyarakat terlalu lemah. Anggapan yang berkembang kala itu adalah, kalau negara tidak terlalu mendominasi dan masyarakat diberi lebih banyak peluang dan kesempatan, pastilah keadaan menjadi jauh lebih baik.
Anggapan itu justru tidak terbukti setelah reformasi 1998. Kebebasan yang dibawa oleh reformasi dan didorong oleh masa pemerintahan Presiden Habibie, ternyata membawa lebih banyak kekisruhan, demonstrasi yang berlebihan, kekerasan di daerah, dan pengungkapan berbagai kasus korupsi yang lebih banyak membawa kehebohan dan hingar bingar daripada penyelesaian yang tuntas secara hukum.jy
No comments:
Post a Comment