Oleh Ignas Kleden
SETIAP pemilihan presiden, para wakil rakyat di MPR memberikan suaranya untuk seorang tokoh yang dianggap paling layak mengepalai pemerintahan, memimpin negara, dan bangsa ini untuk kurun waktu lima tahun sesuai ketetapan konstitusi.
Pemilihan itu mencerminkan keyakinan pemilih tentang calon yang dikehendaki, baik kualifikasi maupun integritasnya. Suara diberikan dengan harapan, calon terpilih akan menjalankan tugas dengan baik, minimal tidak melakukan pelanggaran atau skandal besar, tidak membawa negara dan bangsa ke dalam bahaya, dan tidak mengambil tindakan yang melanggar hukum yang berlaku.
Ini berarti, saat seorang presiden membahayakan negara (misal membubarkan DPR dan membekukan undang-undang dasar) atau terbukti melakukan korupsi besar, atau menjual kedaulatan negara dengan membiarkan suatu super-power membangun pangkalan militer di Indonesia tanpa persyaratan jelas, dapat diramalkan akan muncul gugatan publik tentang keabsahan pemerintahannya.
Soalnya menjadi tidak sederhana, bila yang dimasalahkan adalah prestasi presiden. Pertanyaannya, apakah seorang presiden terpilih dapat diminta turun dari kekuasaannya karena terbukti tidak berprestasi sebagaimana diharapkan? Apakah belum berhasilnya pemerintahan memulihkan ekonomi nasional dapat menjadi alasan untuk menghentikan pemerintahan itu? Apakah kegagalan pemerintahan mencegah meluasnya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dapat menghilangkan legitimasinya?
KALAU pemilihan presiden diibaratkan suatu undian besar, maka prestasi pemerintahan presiden seumpama besarnya taruhan dalam permainan itu. Tidak ada jaminan apa pun bahwa seseorang pasti memenangkan taruhan. Kalau beruntung peserta mendapat rezeki nomplok, kalau kalah, dia mungkin harus menjual mobil atau rumahnya.
Moral analogi ini ialah suatu pemerintahan yang telah terbentuk melalui prosedur yang sah harus diterima, sementara para pemilihnya tidak boleh menyesali "harga" yang telah dibayar saat memberikan suaranya untuk seorang calon, karena tak ada seorang pun yang memaksanya memberikan suaranya pada saat pemilihan. Kalau pemerintahan itu menghasilkan lebih banyak dari "harga" yang telah dibayarkan, para pemilih dapat bersyukur. Kalau pemerintahan itu menghasilkan kurang dari "harga" yang telah dibayarkan, kekurangan itu patut diterima sebagai biaya yang harus ditanggung para pemilih yang telah secara bebas memberikan kepercayaan kepada seorang calon sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Amat aneh bila para pemilih memberikan suaranya kepada seorang calon, hanya dengan kemungkinan tunggal bahwa dia harus berhasil, dan tidak memperhitungkan bahwa calon terpilih itu mungkin saja gagal, atau sekurangnya tidak memenuhi sebagian besar harapan yang telah mereka letakkan di pundaknya. Dengan demikian, bila presiden yang sah terbukti tidak memenuhi setengah atau sepertiga dari harapan yang dibebankan kepadanya, hal ini harus ditanggung sebagai biaya yang selayaknya dikenakan kepada para pemilihnya selama masa presiden terpilih memerintah.
Usaha menurunkan presiden di tengah masa pemerintahannya karena dianggap kurang berprestasi, merupakan perilaku ketatanegaraan yang sulit dibenarkan, karena dengan itu terbukti, pemilih yang telah memberikan suaranya kepada seorang calon tidak mempunyai komitmen dan keberanian untuk menerima akibat dari pilihannya, baik atau pun buruk.
Sebagai perbandingan, Kanselir Jerman Gerhard Schroeder pada periode pertama pemerintahannya, dianggap gagal mendorong pertumbuhan ekonomi Jerman, sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi negeri itu termasuk paling rendah di kalangan negara-negara Uni Eropa. Meski demikian, Schroeder tidak diturunkan di tengah jalan, bahkan kini mendapat periode kedua. Contoh lain, banyak rakyat Amerika Serikat (AS) yang tidak setuju rencana aksi militer terhadap Irak, tetapi Presiden Bush tidak di-impeach. Warga negara Jerman dan AS tahu, itulah akibat yang harus ditanggung karena telah memilih kedua tokoh itu sebagai kepala pemerintahan.
Ini bukan berarti, presiden tidak bisa diturunkan di tengah jalan bila ada alasan luarbiasa yang mengharuskannya, tetapi pasti bukan karena alasan prestasi kerja. Tentu saja para ahli hukum tatanegara perlu merumuskan alasan-alasan force majeure ini, tetapi dalam pengalaman Indonesia ancaman membubarkan DPR saja sudah dianggap membahayakan negara dan cukup menjadi alasan untuk menurunkan presiden di tengah jalan.
Sebaliknya, presiden yang berhasil tidak dengan sendirinya bisa terus diperpanjang masa pemerintahannya secara tak terbatas. Dalam teori, prestasi dan akuntabilitas yang baik tidak memberi hak tak terbatas bagi seorang presiden memerintah seumur hidup, sedangkan prestasi yang kurang dan akuntabilitas yang rendah tidak membenarkan menghentikan seorang presiden sebelum berakhir masa jabatannya.
ARGUMEN ini tidak mengimplikasikan bahwa para pemilih harus menerima begitu saja apa pun yang dilakukan presiden pilihannya. Kritik jelas dapat dan perlu terus dilakukan. Namun, sasaran kritik bukan pada legitimasi pemerintahan yang ada, tetapi pada akuntabilitas tindakan-tindakan politik yang dijalankannya. Akuntabilitas ini menjadi suatu pokok pertimbangan penting guna memilih atau tidak memilih kembali presiden yang sedang memerintah, bila kelak setelah lewat masa lima tahun, dilaksanakan pemilu untuk memilih presiden yang baru. Oleh karena itu, kritik terhadap suatu pemerintahan tidak selayaknya ditujukan kepada legitimasi presiden dan pemerintahan yang dibentuknya. Bila hal itu dilakukan, para pemilih sendirilah yang telah menyalahi akuntabilitasnya sendiri, karena tidak mau bertanggungjawab terhadap akibat yang kurang menguntungkan dari pilihan yang telah mereka lakukan secara bebas.
Hal ini patut mendapat perhatian sungguh-sungguh, karena berkali-kali telah terbukti, tokoh politik yang telah berperan besar membawa seorang calon kepada jabatan presiden, kemudian hanya dalam waktu kurang dari satu tahun menjadi orang pertama yang meminta presiden yang telah dijagokannya untuk mundur dari jabatannya. Anehnya, hal ini dilakukan tanpa sedikit pun merasa salah atau merasa malu. Inkonsistensi dan sikap yang tidak konsekuen ini akan amat mengacaukan kehidupan politik, karena terlihat, orang-orang yang telah memberikan pilihannya tidak mempunyai keberanian moral secuil pun untuk bertanggungjawab atas akibat dari pilihannya. Oportunisme ini tidak bisa menjadi dasar kuat untuk suatu politik yang sehat, karena tidak didukung suatu etika minimum tentang tanggungjawab terhadap pilihan politik.
MESKI demikian, yang dipertanyakan kini ialah mengapa masalah prestasi atau kurang berprestasinya seorang presiden menjadi isu dan kontroversi yang mengganggu stabilitas politik? Rupanya masalahnya harus dicari di tempat lain. Bisa diandaikan, untuk rakyat banyak masalah prestasi dan kurang berprestasinya suatu pemerintahan bukanlah hal yang menjadi perhatian utama mereka.
Masalah utama rakyat banyak dan anggota masyarakat biasa ialah apakah suatu tindakan politik dan kebijakan ekonomi memperingan atau memperberat beban hidup mereka sehari-hari dan mencerminkan kepekaan atau tidak sensitifnya pemerintah terhadap keadilan. Kalau orang- orang yang jelas merugikan keuangan negara karena tidak memenuhi kewajiban membayar utang dalam jumlah amat besar, tidak dihukum bahkan diberi keringanan, sementara rakyat banyak harus menanggung beban pencabutan subsidi, maka kontras itu dapat menimbulkan persepsi umum yang meragukan tekad pemerintah untuk menegakkan pemerintahan yang bersih dan keadilan yang mempertimbangkan sensitivitas masyarakat banyak.
Bila ketidak-puasan masyarakat ini meluas karena merasa asas keadilan dilanggar, lalu timbul gejolak politik, maka isu soal performance dan underperformance pemerintah dapat mudah dimainkan elite politik untuk memperbesar ketidak-puasan itu. Para lawan politik pemerintah dapat memanfaatkan momentum ini untuk mendapat simpati dan pengaruh bagi politik mereka sendiri.
Jadi, persoalannya bukan prestasi atau tidak berprestasinya suatu pemerintahan, meski pun hal ini tetap amat penting. Sebab, dipandang dari persepsi rakyat banyak, keberhasilan pemerintahan kurang penting dibanding efek dan dampaknya terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Masalahnya, apakah pemerintah memihak keadilan atau memperlihatkan toleransi terhadap ketidak-adilan, apakah pemerintah memperlihatkan tekad untuk menyelamatkan kepentingan umum atau menyelamatkan fasilitas dan hak istimewa kelompok tertentu yang jelas-jelas merugikan negara.
PERSOALAN prestasi dan kinerja seorang presiden dapat memperjelas pengertian kita tentang politik sebagai seni kemungkinan-kemungkinan atau the art of the possible. Tujuan politik bukan mendapatkan seorang pemimpin dengan bakat dan kemampuan serba luar biasa yang dapat menciptakan keajaiban dalam politik atau mukjizat dalam ekonomi.
Sasaran politik ialah siapa pun yang memimpin negara dan mengepalai pemerintahan dapat diatur dan sedikit-banyaknya "dipaksa" sistem politik dan sistem hukum yang ada untuk mengurangi kekeliruan sejauh mungkin, dan melaksanakan tugasnya sebaik mungkin demi kepentingan dan kebaikan umum dengan mengekang kepentingan pribadi.
Kemungkinan inilah yang menyebabkan pemilihan seorang presiden masih bermakna dan bermanfaat, karena ada keyakinan atau harapan, calon terpilih dapat didorong untuk berprestasi, dan calon yang mempunyai kecenderungan otoriter dapat dikekang nafsu-nafsu kekuasaannya.
Prestasi, kinerja, dan performance presiden adalah taruhan yang telah dipasang untuk jangka waktu lima tahun. Prestasi yang bagus adalah berkah dan keuntungan, tetapi underperformance atau prestasi yang kurang, patut diterima sebagai biaya yang harus ditanggung pemilih selama lima tahun itu. Sebaliknya, pemerintah sendiri sebaiknya tidak memberi kesempatan bahwa masalah prestasi bisa dipolitisasi elite politik, semata-mata karena tidak diperhatikannya komunikasi politik yang menjelaskan itikad pemerintah untuk bertindak politically correct.
Menurunkan seorang presiden di tengah jalan hanya karena dianggap kurang berprestasi dan kurang memenuhi harapan pemilih, akan merupakan tindakan menyalahi prinsip fairness, karena dengan itu kesempatan yang telah diberikan kepada seorang calon ditarik begitu saja, tanpa pemilihnya bersedia dan berani menanggung akibat dari pilihannya.
Ignas Kleden Sosiolog, Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (Center for East Indonesian Affairs/CEIA) Jakarta
No comments:
Post a Comment