Saturday, March 28, 2009

'THE THIRD WAY''

DISKUSI AKTUALISASI ''THE THIRD WAY''

Antara Negara Kesejahteraan dan Masyarakat Madani

PENGANTAR REDAKSI

DIRANGSANG buku The Third Way. The Renewal of Social Democracy karya terbaru Anthony Giddens (60), sosiolog, Direktur The London School of Economics, HU Kompas menyelenggarakan diskusi kecil mencoba menemukan aktualisasi gagasan-gagasan pokoknya dengan apa yang sudah-sedang-akan terjadi di Indonesia.

Dibuka oleh Pemimpin Redaksi Kompas Jakob Oetama, diskusi tanggal 15 Februari yang dimoderatori Daniel Dhakidae (Ka Balitbang Kompas) itu menampilkan panelis Chusnul Mari'yah (doktor Ilmu Politik Australian National University), Marsillam Simanjuntak (sarjana hukum FH UI), Ignas Kleden dan Rochman Achwan, dua yang terakhir doktor sosiologi Universitas Bielefeld, Jerman.

Laporan diskusi yang juga dihadiri HS Dillon, Mudji Sutrisno dan Heri Akhmadi itu disampaikan dalam tiga tulisan berikut, satu di halaman 1, dua lainnya di halaman 4.


SEBAGAI paket yang menawarkan alternatif model-model baru pembangunan ekonomi dan politik pada tatanan global, konsep "jalan ketiga" dalam The Third Way: The Renewal of Social Democracy (1998) memang cukup menarik dan merangsang perdebatan.

Selain membuka perspektif baru, buku itu menawarkan sejumlah alternatif yang selintas tampaknya dapat diadopsi oleh negara-negara yang tengah melakukan penyesuaian atau reorientasi pembangunannya menghadapi perubahan mendasar yang dibawa globalisasi.

Namun pertama-tama perlu diingat, kapasitas Anthony Giddens dalam menulis buku ini bukan sebagai seorang ahli sosiologi kritis sebagaimana dia dikenal sebelumnya, melainkan sebagai "perumus" kebijakan yang ditawarkan untuk pemerintahan-pemerintahan berhaluan demokrasi sosial di Eropa, khususnya pemerintahan Partai Buruh di Inggris di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Tony Blair.

Dengan kata lain, isi buku itu adalah policy (kebijakan), bukan kerangka teori. Sebagai suatu policy, seharusnya alternatif-
alternatif yang ditawarkan menjadi sesuatu yang applicable. Persoalannya, applicable atau tidak, tergantung pada sejumlah syarat dan kondisi minimal yang harus dipenuhi oleh negara-negara yang ingin mengadopsi gagasannya.

***

MENURUT Giddens, konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) yang dianut oleh aliran demokrasi sosial klasik (''jalan pertama'') dan konsepsi fundamentalisme pasar (market fundamentalism) yang dianut aliran neoliberalisme (''jalan kedua''), kini sedang krisis. Kedua konsepsi itu ternyata tidak mampu lagi menjawab persoalan-persoalan mendasar yang muncul sebagai akibat perubahan besar di tingkat global.

Perubahan-perubahan itu ialah globalisasi ekonomi, persoalan lingkungan, perubahan peran keluarga dan kerja, serta identitas personal dan budaya. Semua perubahan itu tidak mampu lagi ditangani oleh kerangka pemikiran neoliberalisme maupun sosialis demokrat klasik.

Untuk itu Giddens menawarkan ''jalan ketiga'' berupa konsepsi The Radical Centre, suatu model ekonomi pasar berskala global (globalized world) dalam masyarakat yang mengutamakan solidaritas sosial, yang antara lain ditandai prinsip persamaan, perlindungan yang lemah, kebebasan dalam bentuk otonomi, hak yang disertai tanggung jawab, otoritas yang dibentuk atas dasar partisipatoris, dan solidaritas dalam pluralisme.

Dalam mengajukan tawaran ''jalan ketiga,'' Giddens juga mengemukakan lima dilema pokok, yaitu (1) globalisasi (apa persisnya implikasi persoalannya?), (2) individualisme (dalam pengertian apa, masyarakat modern menjadi semakin individualistik?), (3) ''kanan'' dan ''kiri'' (klaim apa yang harus kita buat ketika keduanya tak punya makna lagi sekarang?), (4) Keagenan politik (adakah migrasi politik dari mekanisme ortodoks ke demokrasi?), dan (5) Masalah lingkungan (bagaimana masalah ini harus diintegrasikan ke dalam politik demokrat sosial?).

Kelima masalah pokok yang diajukan memang merupakan masalah yang bersifat universal, tetapi untuk konteks negara semacam Indonesia dengan segudang masalah domestik yang kompleks, apa yang diajukan Giddens belum terlihat urgensinya di sini. Namun demikian, persoalan keagenan politik (migrasi politik ke arah demokrasi)) barangkali sudah mulai dapat diperdebatkan sekarang sejalan dengan semangat reformasi saat ini di Indonesia.

Untuk mewujudkan gagasan-gagasan yang tertuang dalam konsepsi ''jalan ketiga'' itu, Giddens tetap memberikan tempat penting kepada masyarakat sambil merumuskan kembali peran negara yang tidak mungkin diabaikan begitu saja. Negara tidak lagi sendirian, melainkan harus didampingi sejumlah kelompok masyarakat dalam hal pengelolaan negara.

Oleh karena itu, negara dalam pemikiran Giddens, harus mengalami pergeseran peran dari government menjadi governance, yaitu pengaturan sumber daya secara otoritatif dalam suatu komunitas dan negara. Dalam government, negara merupakan instansi terpenting yang mengatur segala sesuatu dalam kehidupan bersama, sedangkan dalam governance, negara hanya berperan sebagai agen regulator dan agen administratif.

Pergeseran peran negara itu juga bisa dilihat sebagai bentuk lain dari ''migrasi politik'' dari negara ke masyarakat. Persoalan ini dia bahas lebih jauh ketika menyatakan bahwa dalam kehidupan politik tengah terjadi apa yang disebutnya post parliamentary politics (politik pascaparlemen) di mana terjadi migrasi politik dari yang tadinya berpusat di parlemen/kabinet ke single issue group sebagai keagenan politik yang akan semakin besar perannya.

Perhatian yang semakin besar kepada keagenan yang mengurus single issue seperti isu gender dan perlindungan konsumen misalnya, juga mencerminkan semakin pentingnya ''sub-politics''-meminjam istilah Ulrich Beck.

***

SEKARANG, tawaran apa dari Giddens melalui ''jalan ketiga''-nya itu yang relevan atau bahkan dapat diadopsi ke dalam model pembangunan ekonomi dan politik di Indonesia saat ini? Pertama-tama perlu diingat, buku ini ditulis dalam konteks masyarakat Barat (Eropa dan Amerika) yang sudah sejak lama hidup dalam kultur demokrasi dan keadilan sosial yang relatif baik. Secara ekonomis, mereka bahkan telah sampai pada tahap post materialist.

Dengan kata lain, persyaratan-persyaratan bagi terwujudnya konsepsi ''jalan ketiga'' Giddens di dunia Barat telah cukup tersedia. Apakah persyaratan-persyaratan itu juga telah cukup tersedia di Indonesia? Dengan masih berlanjutnya pengaruh militer dalam politik yang mencirikan otoritarianisme, dan mayoritas rakyat dengan tingkat kemiskinan yang serius, jelas persyaratan bagi tawaran Giddens itu belum cukup tersedia di Indonesia.

Namun sebagai gagasan-gagasan alternatif, beberapa pemikiran Giddens kiranya dapat dijadikan inspirasi melihat segi-segi baru dari perkembangan ekonomi dan politik di Indonesia.

Misalnya, dalam bukunya Giddens selain membicarakan revisi terhadap konsep negara kesejahteraan. Dia juga menyinggung persoalan perwujudan masyarakat madani (civil society). Kalau ditempatkan dalam skala prioritas, mana yang lebih dahulu diperlukan, mendorong negara kesejahteraan atau mendorong terciptanya masyarakat madani?

Secara teoretis, dua hal itu sesungguhnya tidak kompatibel. Kalau pilihannya jatuh kepada negara kesejahteraan, dengan sendirinya memberikan kekuasaan atau peran yang lebih besar kepada negara, berarti pula menghambat pertumbuhan masyarakat madani. Sebaliknya bila pilihan jatuh kepada masyarakat madani, berarti peran negara harus semakin diminimalisir.Keduanya akan menjadi pilihan rumit di masa depan.

Hal lain yang disinggung oleh Giddens yang juga perlu dikembangkan lagi adalah soal solidaritas. Dengan merujuk pada situasi politik akhir-akhir ini, dapatkah kita menciptakan semacam mekanisme pembentukan solidaritas baru. Dulu kita mengenal pola politik aliran yang sebenarnya adalah cermin dari suatu pola solidaritas yang oleh almarhum Dr Soedjatmoko disebut sebagai cultural solidarity groups, solidaritas yang tumbuh karena persamaan orientasi budaya. Kini pola solidaritas semacam itu cenderung dianggap sektarian, sementara pola baru belum ditemukan.

Urgensi persoalan ini akan terasa, kalau dikaitkan dengan apa yang oleh Giddens disebut exclusion, yaitu kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses kepada mainstream sosial, kelompok masyarakat yang tersingkirkan melalui proses marginalisasi sehingga tidak lagi memiliki akses kepada sumber daya sosial.

Situasi yang kurang lebih sama dihadapi juga oleh masyarakat-masyarakat lokal di luar Jawa, yang hidup miskin di tengah kekayaan alamnya yang terus dieksploitasi oleh pusat. Tuntutan pemisahan diri dari sejumlah daerah akhir-akhir ini sebenarnya adalah reaksi yang wajar. Kenyataan itu sudah memberikan bayangan, betapa rapuhnya basis integrasi nasional saat ini.

Oleh karena itu, usaha mewujudkan demokrasi di Indonesia saat ini selain akan menuntut perluasan partisipasi politik, juga menuntut mekanisme baru untuk penciptaan solidaritas sosial; suatu masalah yang sangat serius di masa depan. (Manuel Kaisiepo)

No comments: