Saturday, March 28, 2009

Jumat, 3 November 2000

Kontrol atas Kepemimpinan Nasional
Oleh Ignas Kleden


SETELAH genap satu tahun berkuasa, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kembali menjadi sasaran sorotan dan penilaian. Dr Nurcholish Madjid, yang mengaku kenal secara pribadi Gus Dur sejak tahun 1960-an, pagi-pagi telah meminta agar harapan terhadap Presiden baru (setahun lampau) jangan sampai berlebih-lebihan.

Menurut dia, Gus Dur bukanlah tipe orang yang dapat diharap terlalu banyak. Posisi harapan sebaiknya: 49 persen dibanding 51 persen dengan margin dua persen. Sayang Nurcholish tidak memberikan proporsi kuantitatif tentang harapan terhadap Presiden kita setelah lewat setahun berkuasa.

Lebih keras dari itu, Dr Sjahrir bahkan meminta Presiden untuk mundur, karena Gus Dur dianggapnya hanya berkuasa tetapi tidak sanggup memerintah. Persoalan bagi kita sekarang, apa yang sebaiknya dilakukan? Mungkin makin banyak saja pihak-pihak yang merasa bahwa Gus Dur sebaiknya mengundurkan diri, atau barangkali harus dipaksa mundur melalui suatu Sidang Istimewa MPR, misalnya. Akan tetapi, setelah itu apa?

Kalau turunnya Gus Dur harus dijadikan program politik utama sekarang, tanpa kita melakukan persiapan secara khusus untuk menciptakan lingkungan budaya dan kerangka kelembagaan politik baru yang lebih baik untuk masa depan, maka akan terulang lagi cerita tahun 1998. Seluruh energi oposisi diarahkan kepada turunnya Presiden Soeharto, tetapi setelah itu tidak banyak terjadi perubahan. Memang, perubahan tidak disiapkan sebelumnya secara matang (meskipun mahasiswa Indonesia telah melakukan terobosan yang penting), kecuali keterbukaan politik yang lebih luas dalam masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.

Dalam kondisi budaya politik dan kerangka kelembagaan politik yang sama seperti sekarang, maka siapa pun yang akan menjadi Presiden setelah Gus Dur, akan mengulang kesalahan yang sama, khususnya dalam sikap tak berdaya menghadapi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dan kebingungan mengatasi krisis ekonomi dan politik.

***

TADINYA kita berharap bahwa tampilnya Gus Dur dengan latar belakang politik yang jauh dari birokrasi, akan membawa banyak perubahan. Sekarang terlihat bahwa Gus Dur semakin dalam terjebak ke dalam jaringan kesulitan yang sebagiannya timbul karena ulahnya sendiri. Maka fokus pemikiran politik sekarang ialah mengapa gerangan masyarakat Indonesia merdeka ini mudah sekali memberi peluang kepada pemimpin nasionalnya untuk bertindak tidak menurut ketentuan undang-undang, tetapi lebih menurut selera dan kemauannya sendiri?

Presiden Soeharto tidak akan dapat berkuasa 32 tahun lamanya, dan melakukan demikian banyak KKN dan kekerasan politik, seandainya masyarakat tidak mengizinkannya, dan rakyat tidak membiarkannya.

Sebuah psikologi terlihat jelas dalam sikap rakyat terhadap pemimpin nasionalnya di Indonesia. Tatkala seorang presiden baru mulai berkuasa, maka dukungan politik diberikan secara tanpa reserve, sementara sang pemimpin itu dibesar-besarkan dengan berbagai mitos agar kelihatan lebih unggul dari yang sebenarnya. Pengerahan dukungan dan simpati politik terhadap seorang presiden yang baru biasanya berjalan sedemikian rupa sehingga dalam waktu singkat dan seringkali tanpa sengaja, presiden dibuat imun terhadap kritik dan oposisi.

Setiap Presiden Indonesia yang baru berkuasa seakan dikaruniai semacam infalibilitas politik. Kisah yang sama berulang ketika Gus Dur baru diresmikan menjadi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Tingkah lakunya yang sering bertentangan dengan protokol, selalu dimaafkan. Demikian pula kalau ada pernyataannya yang menimbulkan kebingungan dan kontroversi, maka pihak luar dengan mudah dipersalahkan, karena dianggap belum sanggup memahami gagasan Presiden secara benar, yang dipercaya mestilah bermaksud baik dan mengandung visi yang cemerlang.

Ucapan dan pernyataan barangkali saja dapat disalahpahami, akan tetapi tindak-perbuatan sukar sekali disalah artikan. Dalam kasus Bruneigate, sebagai contoh saja, masyarakat Indonesia tidak bisa dipersalahkan lagi bahwa mereka memahami bahwa ada uang dua juta dollar AS yang diberikan oleh Sultan Brunei kepada Gus Dur setelah menjadi Presiden.

Timbul pertanyaan, apakah donasi itu ditujukan kepada Gus Dur sebagai pribadi atau sebagai Presiden? Dalam kedudukan sebagai Presiden, maka seandainya pun uang itu benar-benar (dan bisa dibuktikan) merupakan pemberian pribadi kepada Presiden, akan jauh lebih baik (yaitu lebih banyak mendatangkan keuntungan politik untuk Presiden dan keuntungan ekonomi untuk rakyat) kalau uang itu tetap dianggap sebagai uang negara yang pengaturannya dilakukan melalui birokrasi negara.

***

DALAM analisis wacana, maka persoalannya bukan lagi apakah pemberian itu dimaksudkan untuk pribadi Gus Dur atau untuk rakyat Indonesia, tetapi apakah seorang presiden dalam kedudukan sedemikian tingginya diperbolehkan menerima suatu donasi pribadi dalam jumlah sedemikian besar dari orang lain, sementara dia diharap bertindak penuh tanggung jawab dan tanpa tekanan atau pun bujukan atas nama rakyat yang dipimpinnya, dan atas nama negara dan pemerintahan, yang dia adalah kepalanya?

Pada titik ini kita tidak hanya berhadapan dengan masalah empiris (yaitu benarkah ada uang itu dan apakah uang tersebut merupakan uang pribadi atau bukan), tetapi juga masalah prinsipil yang bersifat etis (yaitu apakah seorang presiden secara prinsipil diperbolehkan menerima donasi pribadi berupa uang dalam jumlah besar, pada hal dia adalah figur publik yang terpenting)?

Dalam perbandingan lain, apakah seorang kepala proyek secara etis boleh menerima donasi pribadi dalam bentuk sejumlah besar uang dari salah seorang peserta tender proyek yang dipimpinnya, atau apakah seorang profesor yang akan memberi ujian promosi boleh menerima donasi pribadi dari promovendusnya sebelum ujian?

Bisa saja pemimpin proyek itu berkata bahwa sikap bebasnya tidak akan terganggu oleh diterimanya donasi tersebut, tetapi hal itu jelas harus diragukan, karena dia ternyata tidak bebas sama sekali dari keinginan menerima donasi tersebut. Adalah jelas bahwa sekalipun pemberian itu bersifat pribadi, pemberi donasi tersebut sangat mempertimbangkan pribadi penerima sebagai kepala proyek, yang tentu saja berlainan sekali dari kedudukannya sebagai orang biasa.

Kesulitan yang dialami Gus Dur untuk sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa dia seakan-akan berada dalam over-legitimacy. Dialah Presiden Indonesia pertama yang mendapatkan kekuasaan melalui pemilihan umum yang terbuka dan demokratis. Ini sudah memberikan padanya legitimasi yang sangat kuat. Selain dari itu, dia mempunyai pendukung tradisional yang amat banyak dan juga amat setia kepadanya.

Ada ketaatan yang relatif konstan kepada pemimpin mereka ini, apa pun yang dilakukan oleh pemimpin tersebut, dan betapa pun banyaknya kesulitan yang mereka alami akibat kontroversi yang muncul dari ucapan atau tindakannya. Para sosiolog menyebut jenis legitimasi ini sebagai legitimasi tradisional, yaitu penerimaan dan pengakuan pada seorang pemimpin atau tokoh karena ada tradisi dan sejarah kepemimpinan yang mendukungnya.

***

SECARA tipologis, seorang pemimpin dengan legitimasi tradisional tidak terlalu terdorong untuk berprestasi sebaik-baiknya (sekali pun dia sanggup untuk itu), karena prestasi dan hasil kerjanya tidak terlalu menentukan legitimasi yang ada padanya.

Legitimasi ini juga tidak begitu terganggu kalau pemimpin atau tokoh yang bersangkutan tidak mencapai banyak keberhasilan dalam tugas dan peranannya. Ini tentu saja amat berbeda dari legitimasi rasional, di mana seseorang harus membuktikan kelayakan dirinya (misalnya melalui kompetensinya) untuk mendapatkan ketundukan dan penerimaan dari orang-orang lain.

Perasaan mantap dengan legitimasi yang demikian kukuh, membuat Gus Dur tidak harus merasa terdorong atau bahkan terpaksa untuk bekerja sebaik-baiknya dalam tanggung jawabnya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, karena keberhasilan ini tidak diharuskan oleh jenis legitimasi yang ada padanya, sedangkan legitimasi itu pun tidak mudah hilang seandainya pun dia gagal dalam kerjanya.

Persoalan yang muncul sekarang ialah bahwa Presiden Abdurrahman Wahid cenderung mengesankan sikap menyia-nyiakan legitimasi itu, misalnya, dengan mengatakan bahwa mengapa rakyat telah mau memilih dia, sedangkan dia sendiri sebetulnya tidak menghendaki jabatan tersebut?

Dengan penuh hormat kepada Presiden kita, haruslah dikatakan di sini bahwa jawaban tersebut bukanlah jawaban yang serius. Gus Dur memang menjadi Presiden karena dipilih, tetapi tidak ada paksaan apa pun bahwa dia harus menerima pilihan tersebut. Dia dapat menolak pilihan rakyat kalau dia merasa tidak siap atau tidak sanggup menjalankan tugas tersebut.

Demokrasi memberikan kesempatan tetapi tidak menjatuhkan paksaan. Tanggung jawab terhadap kepemimpinannya tidak dapat diserahkan begitu saja kepada para pemilihnya, tetapi juga kepada keputusannya sendiri untuk menerima pilihan tersebut. Lagi pula, kalau dia telah menerima kepercayaan dari demikian banyak orang, bukankah ada kewajiban padanya untuk menjaga kepercayaan itu sebaik-baiknya, dan bukannya malahan mempersoalkan kembali mengapa kepercayaan itu telah diberikan kepada dirinya. Kalau logika ini dituruti, maka ketika sekarang banyak orang menghendakinya untuk mundur, mengapa pula dia tidak segera menerimanya?

***

PADA titik inilah amat dibutuhkan dua hal untuk politik Indonesia di masa mendatang.

Pertama, rupanya harapan bahwa setiap presiden baru akan menjadi juru selamat atau Ratu Adil harus ditinggalkan sama sekali. Perlu diperkuat kesadaran lain bahwa seorang presiden yang dipilih, besar kemungkinan akan mengecewakan atau sangat mengecewakan, dan karena itu sudah harus dipersiapkan dan diantisipasi sejak semula apa yang harus dilakukan kalau harapan kepada seorang pemimpin tersebut ternyata meleset sama sekali.

Kedua, pemikiran untuk mendesak Presiden Abdurrahman Wahid untuk mundur di tengah jalan, tidak akan menyelesaikan banyak soal, kalau tidak ada persiapan yang mencukupi tentang apa yang harus dilakukan, supaya terhentinya seorang pemimpin nasional di tengah jalan, tidak menjadi preseden untuk gonta-ganti Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan setiap satu atau dua tahun, yang akan membawa instabilitas politik yang luar biasa, yang mungkin lebih besar risikonya.

Sudah jelas persoalan pokoknya bukanlah mengganti presiden, tetapi mengubah dan memperbaiki serta memperkuat sistem politik Indonesia. Dalam suatu sistem politik yang solid, seorang presiden dengan kemampuan sedang saja mungkin dapat tertolong. Sebaliknya dalam sistem politik yang kacau dan lemah seperti yang ada pada saat ini, maka seorang genius atau seorang suci pun akan segera berantakan di tengah jalan.

Tidak ada pemimpin dengan kekuasaan demikian besar akan dengan sendirinya menjadi lebih baik. Semua akan cenderung merosot kemampuannya dalam mengendalikan diri dan membatasi kekuasaannya, karena kekuasaan besar selalu dibarengi dengan kesempatan menyeleweng yang sama besarnya.

Harapan yang tertinggal ialah bahwa masyarakat sendiri harus membangun suatu sistem politik yang mengurangi kesempatan bagi seorang penguasa untuk menyelewengkan kekuasaannya atau membuatnya terhalang untuk bertindak sewenang-wenang. Keberhasilan seorang pemimpin tidak dapat diandalkan pada moralitas pribadi yang tinggi dari yang bersangkutan semata-mata, tetapi terutama pada terciptanya sistem politik yang menimbulkan demikian banyak inconvenience dan kesulitan kalau pemimpin tersebut nekad menyalahgunakan kekuasaannya.

***

PRIORITAS politik pada saat ini memang banyak, tetapi ada sekurang-kurangnya dua hal yang tidak dapat diabaikan atau ditunda. Yang satu adalah peningkatan kontrol sosial yang efektif terhadap kekuasaan. Yang lain adalah mengubah harapan akan datangnya pemimpin yang baik, menjadi perencanaan dan strategi untuk membuat seorang pemimpin menjadi pemimpin yang baik, atau lebih tepat, mencegahnya agar tidak menjadi pemimpin yang terlalu buruk. Hal ini hanya dapat dilakukan kalau masyarakat aktif bekerja mengawasi tingkah laku pemimpinnya, dan memberikan reaksi yang cepat kepada kekeliruan pemimpinnya.

Kalau masyarakat Indonesia sendiri tidak segera terpanggil untuk menciptakan sistem politik baru yang lebih ketat pengawasannya, maka pada akhirnya yang tercipta adalah suatu keadaan di mana meningkatnya intoleransi kepada perbedaan akan diimbangi oleh berkembangnya toleransi terhadap kesalahan, mudahnya pemaafan terhadap penyelewengan dan akhirnya sikap permisif terhadap kejahatan.

Kalau ini terjadi, maka sistem hukum apa pun tidak akan sanggup menolong, karena hukum hanya dapat berfungsi pada suatu tingkat normalitas politik tertentu. Sebaliknya dalam situasi politik yang abnormal, hanya kekuatan sistem politiklah yang akan sanggup memperbaiki keadaan.

Pengadilan memang ಮೆನ್ಗಂದೈಕ n bahwa setiap tertuduh yang dibawa kepadanya harus diperlakukan sebagai tak bersalah sampai terbukti sebaliknya. Hukum mengandaikan bahwa setiap orang cenderung melakukan kesalahan, dan karena itu tingkahlaku yang benar dan tidak merugikan orang lain, tidak dapat diserahkan kepada moralitas pribadi tiap orang, tetapi perlu diatur dengan peraturan hukum posi-
tif.

Politik Indonesia saat ini rupanya harus mengandaikan bahwa setiap pemimpinnya cenderung dan pasti menyeleweng, dan hanya suatu sistem kontrol sosial yang efektif akan menghentikan penyelewengan dan mengurangi kecenderungan kepada kesewenang-wenangan. Dalam kenyataannya, pemimpin yang baik bukanlah orang yang banyak kebajikannya, tetapi orang yang dicegah dari berbuat banyak kesalahan dan diselamatkan dari berbagai keteledoran (sin of omission) dan kecerobohan (sin of commission).

* Dr Ignas Kleden, sosiolog, Direktur The Go-East Institute (Lembaga Lintas Timur), Jakarta.

No comments: