Saturday, March 28, 2009

Gejala Kekerasan Massa

Semakin Bertali-temali


Diskusi dipandu DR. Ignas Kleden (sosiolog).



MESKIPUN diskusi diselenggarakan sebelum kerusuhan Tanahabang dan Rengasdengklok, tapi dibanding dengan kerusuhan sebelumnya seperti Situbondo, Tasikmalaya, dan Sanggau Ledo, terlihat ada analogi. Ada kesamaan dan kebedaan. Sama dalam arti ada kesan tiba-tiba dan menimbulkan korban jiwa serta harta cukup besar. Berbeda dalam arti latar belakang kejadian, mungkin juga motivasi pelaku.

Selama ini cara menganalisis kekerasan massa dapat dikelompokkan dalam tiga macam. Pertama cara pandang politik: kerusuhan terjadi karena ada dalang, yang disebut seorang panelis sebagai penjelasan murahan. Kedua, keberhasilan pembangunan tetap menciptakan kesenjangan, padahal nalar massal berbeda dengan nalar individual. Ketiga, kekerasan massal adalah pantulan kekerasan yang tumbuh pada awalnya dari sistem negara. Penjelasan kedua dan ketiga, dikategorikan sebagai penjelasan psikologi sosial dan struktural.

Meskipun berbeda-beda, ketiganya menawarkan jalan keluar yang kurang lebih seragam, yaitu dialog saling berkomunikasi, bahkan perlu satu badan pemantau semacam Posko Kewaspadaan. Adanya Posko Kewaspadaan itu diambil sebagai jalan keluar, sebuah lembaga fisik preventif mengatasi berbagai kerusuhan yang muncul secara sporadis seperti terjadi beruntun akhir-akhir ini.

Menurut para panelis yang psikolog, dari ketiga pendekatan itu, analisis psikologi sosial relatif yang paling sedikit dilakukan. Padahal pendekatan politik, sosial, dan ekonomi, justru menafikan proses dinamika mental individu; kurang dipahami bahwa perilaku massa pada dasarnya tidak sama dengan perilaku individu sehari-hari; kekerasan tak dengan sendirinya identik dengan keberingasan massa.

Dari pengalaman bahwa kekerasan massa dan keberingasan massa bukan fenomen baru, kita belajar bahwa kekerasan massa selalu memiliki satu warna spontanitas, tak terduga-duga. Spontanitas beringas semacam itu muncul, pada dasarnya adalah salah satu bentuk luapan rasa kecewa, sebab selain perilaku beringas, rasa kecewa pun bisa dimanifestasikan dengan kekecewaan terus menerus.

Kalau rasa kecewa dan frustrasi dialami oleh ratusan orang, dan sama-sama meluapkannya dengan tindakan agresif, meledaklah kerusuhan massal. Mereka lantas menjadi massa spontan yang sulit terkendali, beringas dan serba berang, sebaliknya gampang diarahkan pada perbuatan-perbuatan yang merusak.

Perilaku lembaga panutan, yang mencerminkan ketidakadilan, sok kuasa, dan aparat keamanan yang main gampar dalam penyidikan, ditambah dengan tayangan televisi yang menggambarkan kekerasan fisik, lengkap sudah persyaratan kekerasan sebagai sesuatu yang seolah-olah sudah seharusnya. Tawuran pelajar di Jakarta dan ramai-ramai penumpang bus kota membunuh pencopet, sekadar kita sebut sebagai contoh.

***

NAMUN pendekatan psikologis pun, dalam arti melihat proses dinamika mental, rupanya belum mencukupi. Mengapa? Sebab proses itu berkembang dalam sebuah bingkai yang disebut masyarakat. Pendekatan terhadap suatu gejala masyarakat tidak bisa hitam putih, antara psikologi dan sosiologi, melihat kecenderungan ini mestilah kelabu, ujar seorang panelis.

Pernyataan ini disambung panelis lain yang mendekatinya dari segi sejarah, dengan menunjuk adanya perbedaan antara perilaku keberingasan massal di tahun 60-an dengan tahun 90-an. Di tahun 60-an, kekerasan dilakukan sesuai dengan prosedur klasik sebagai pilihan. Ambillah contoh, di tahun 60-an, ketika pada awalnya anak-anak muda takut-takut demonstrasi anti-PKI tetapi karena situasi masyarakat waktu itu mengarus anti-PKI, mereka pun jadi berani dan beringas bahkan ikut membunuhi orang yang diduga PKI.

Di tahun 90-an, kekerasan justru berkembang dalam dua bentuk, fisik dan nonfisik. Taruh sebagai contoh, aparat kepolisian yang membubarkan jambore kere-kere di Medan karena dianggap bisa mengganggu stabilitas keamanan sama dan sebangun dengan kere-kere yang melempari aparat keamanan itu dengan bekas bungkus nasi karena tak menerima cara perlakuan pembubaran jambore.

Manakah perilaku kekerasan di sana? Dua-duanya adalah bentuk kekerasan. Aparat keamanan melakukan kekerasan secara sistematis dan prosedural, sebaliknya kere-kere melakukan kekerasan secara fisik. Sama-sama sebagai perbuatan kekerasan, contoh itu juga menunjukkan bahwa tak selamanya kekerasan harus dilihat sebagai sesuatu yang negatif.

Setuju dengan adanya perbedaan perilaku kekerasan tahun 60-an dan 90-an, panelis lain menunjukkan kenyataan tentang kompleksitas masyarakat. Kompleksitas itu terlihat secara kuantitatif dalam arti banyaknya fungsi-fungsi, maupun secara kualitas dalam arti tingkat hubungan di antara fungsi-fungsi dalam masyarakat.

Demi pembangunan sistem, barangkali kekerasan yang dilakukan secara prosedural dan sering disebut kekerasan nonfisik itu dianggap wajar dan sepantasnya. Taruhlah ketika ilmu ekonomi ditempatkan lebih penting dibanding yang lain, maka kekerasan mengambil bentuk di dalam kurangnya memberikan tempat pada ilmu-ilmu lain, dan itu dianggap sebagai hal yang wajar.

***

KENYATAANNYA, kekerasan fisik dan nonfisik itu (di Indonesia) tidak bisa terlepas dari perilaku (keras) negara. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab.

Di antaranya ialah, keberhasilan pembangunan membawa pula perkembangan baru mengenai norma-norma dalam masyarakat; kebijakan massa mengambang menghalangi masyarakat menyalurkan aspirasi politik mereka; begitu banyak rambu larangan yang mengakibatkan kurangnya kesempatan masyarakat menyalurkan aspirasi mereka, bahkan di tingkat yang paling remeh sekalipun.

Akibatnya, ketika rasa tersumbat tak memperoleh jalan keluar, bahkan juga oleh lembaga-lembaga semacam DPR maupun Komnas HAM, orang beramai-ramai menyalurkannya lewat simbol-simbol permusuhan. Karena mereka tidak bisa menabrak tembok kekuatan dan elite kekuasaan, kemarahan pun disalurkan ke gedung pemerintah, toko, dan tempat ibadat golongan minoritas, sebagai simbol-simbol kekuasaan, kekuatan ekonomi, kekuatan sosial, atau sekadar menjadikannya sebagai "musuh".

Jalan keluar yang selalu dianjurkan ialah: konflik, perilaku keras, dan beringas dihindari; dicari jalan damai, dicari dalang kerusuhan. Kerusuhan di Sanggau Ledo misalnya, diselesaikan dengan perdamaian, sehingga kasus-kasus serupa yang memberi kesan "balas dendam" pun masih terus muncul. Padahal seharusnya, sepanjang sebagai kekerasan yang berkonotasi dengan pelanggaran HAM, halnya harus diselesaikan secara hukum dan bukan upacara perdamaian.

Semua itu terjadi, menurut para panelis, karena selama ini tidak pernah ada pengembangan institusi atau usaha yang menjembatani agar konflik tidak terjadi. Kita tidak dilatih untuk memanage konflik. Bahkan setiap terjadi konflik, selalu dikemukakan dengan pernyataan sudah terkendali, dicari dalang kerusuhan sambil diancam agar siapa pun jangan melakukan kerusuhan.

***

LANTAS apa yang kita inginkan bersama? Kita ingin jangan sampai masyarakat kita menjadi masyarakat berperilaku keras (violence society). Kita ingin mencegah kecenderungan semacam itu; bahkan mengharapkan secara berangsur-angsur kekerasan bisa dikurangi. Idealnya kita bisa menghilangkan sumber utama kekerasan.

Budaya menghindari konflik rasanya tidak bisa dipertahankan. Bahkan dalam keadaan dunia mengglobal sempit seperti sekarang, kita akan terus menerus oleng dalam kebiasaan menghindari konflik. Kita perlu belajar memanage konflik. Yang perlu kita lakukan, kita tidak terjebak dalam pemikiran-pemikiran mikro, dan di sini perlunya dilakukan berbagai pendekatan, selain pendekatan psikologis juga pendekatan budaya.

Caranya? Karena salah satu sumber terjadinya konflik, perilaku beringas, dan rusuh, adalah kurangnya dialog dan kurangnya komunikasi, perlulah dimanfaatkan segala media untuk berdialog: saling mendengarkan.

Anehnya, kata seorang panelis, justru ketika televisi dan media massa semakin banyak dan canggih seperti sekarang, media itu tak mampu berperan sebagai sarana komunikatif. Informasi sepenuhnya adalah barang dagangan, bukan bahan untuk berdialog.

Kedudukan agama yang disinggung sepintas, memang diharapkan bisa menjadi sarana untuk meredam emosi-emosi agresif. Namun ajaran agama-agama, yang seharusnya menyejukkan itu, sering disampaikan secara emosional.

Kesimpulannya: beberapa kejadian rusuh, beringas, dan merusak akhir-akhir ini, tidak bisa dibedah hanya dengan analisis mikro (psikologi sosial). Kejadian-kejadian itu dan kecenderungannya, harus didekati pula lewat berbagai pendekatan lain, terutama kajian politik praktis-struktural dan budaya; sebab gejalanya semakin kompleks, rumit, bertali-temali. (sts)


No comments: