(Tentang ''Nyanyian Panjang Bujang Tan Domang'')
Nyanyian Panjang Bujang Tan Domang adalah sebuah prosa liris yang sangat panjang, yang secara tradisional dituturkan secara lisan di antara orang Petalangan, suku asli Riau yang hidup di empat kecamatan di Kabupaten Kampar. Empat kecamatan tersebut adalah Pengkalankuras, Bunut, Langgam, dan Kualakampar.
Ignas Kleden
Panjangnya prosa liris ini dapat dibayangkan setelah direkam oleh Tenas Effendy, dan diterbitkan dalam bentuk buku, hasil kerja sama Ecole Francaise d'Extreme-Orient (EFEO), The Toyota Foundation dan Yayasan Bentang Budaya, tahun 1997. Rekaman diterbitkan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Petalangan dan terjemahan dalam bahasa Indonesia setebal 715 halaman (format 15,5 cm
x 24 cm). Jadi naskah aslinya sendiri panjangnya kira-kira 357 halaman, yang secara tradisional dituturkan secara lengkap oleh penutur yang dikenal sebagai pebilang tombo, yang menghafal teks sepanjang itu di luar kepala.
Tombo adalah cerita yang berisikan tradisi suatu suku. Mereka yang tidak mempunyai tombo dianggap tidak jelas asal-usulnya. Di bekas Kerajaan Pelalawan dahulu terdapat 14 suku orang Petalangan yang memiliki tombo, yang dapat berbentuk nyanyian panjang yaitu prosa berirama, atau tombo biasa. Sebaliknya, nyanyian panjang atau prosa liris ini ada yang berisikan tombo dan ada pula yang lebih bervariasi isinya. Naskah yang dikumpulkan oleh Tenas Effendy ini merupakan rekaman nyanyian panjang yang berisi tombo, yang diteliti di dua desa utama, yaitu Desa Betung dan Desa Talau. Nyanyian Panjang Bujang Tan Domang adalah prosa liris yang berisikan tombo dari suku Monti Raja (atau Sialang Kawan) di Desa Betung, Kecamatan Pengkalankuras, Kabupaten Kampar. Ada beberapa sebab mengapa tombo ini yang dipilih. Pertama, karena Monti Raja dituakan oleh batin-batin (kepala suku) lainnya. Kedua, tombo Monti Raja, menurut pengakuan para tetua adat, dianggap paling lengkap dibandingkan dengan tombo lainnya. Penghormatan kepada tombo ini nyata, antara lain dari digunakannya nama tokoh utama tombo ini yaitu, Bujang Tan Domang Serail, atau dikenal juga sebagai Datuk Demang Serail, sebagai nama Balai Pertemuan di ibu kota Kecamatan Pengkalankuras.
Rekaman seperti ini, dilihat dalam konteks sekarang, mempunyai kepentingan yang jauh lebih luas dari sekadar penelitian filologi. Orang-orang muda yang dapat menghafal tradisi lisan semakin jarang, dan tradisi ini terancam punah kalau tidak segera dilakukan usaha perekaman. Namun, usaha seperti ini jelas bukanlah sekadar ikhtiar melestarikan suatu warisan yang segera hilang, tetapi memberikan berbagai dimensi baru dalam pengertian dan apresiasi tentang apa yang dikenal sebagai kebudayaan tradisional.
Masuknya modernisasi, dan dikotomi yang biasanya dibuat antara modern dan tradisional, menyebabkan penghargaan kepada tradisi jauh dari yang sepantasnya. Bahkan pemikir kebudayaan di Indonesia sekaliber Sutan Takdir Alisjahbana, pernah menyebut kebudayaan tradisional (dengan Borobudur sebagai contoh yang sering diajukannya) sebagai kebudayaan dari zaman jahiliah. Pernilaian itu, dilihat dalam retrospeksi, lebih menunjukkan kekaguman kepada apa yang dibayangkan sebagai modernitas, dan bukannya suatu pengertian yang memadai tentang kompleksitas dan kekayaan kebudayaan tradisional, yang banyak unsurnya tetap relevan bahkan pada masa yang paling modern pun. Lebih dari itu, semakin disadari bahwa berbagai kontradiksi dalam kebudayaan modern, khususnya dalam kebudayaan industri, telah dipecahkan dengan cara yang relatif memuaskan, justru dengan cara-cara tradisional.
Nyanyian Panjang Bujang Tan Domang dapat diambil sebagai sebuah kasus yang menarik dan penting untuk soal ini. Prosa liris ini praktis mempunyai tiga fungsi utama untuk masyarakat Petalangan.
Pertama, dia berfungsi sebagai sebuah sumber sejarah buat suatu suku. Tentu saja sejarah di sini tidak patut dipahami sebagai historiografi kritis dan akademis, tetapi sebagai sebuah rujukan yang mencukupi bagi keperluan suatu suku, tentang siapa yang menjadi orang pertama yang datang ke daerah itu dan kemudian menjadi nenek-moyang suatu suku, dari mana asal-usulnya, dan siapa saja yang menjadi keturunannya.
Demikianlah, pemilik tombo ini menganggap diri mereka berasal dari seorang raja di Kerajaan Johor bernama Raja Alam. Sang raja menikah dengan Putri Mayang dan melahirkan dua putri dan seorang putra. Kedua putri bernama Putri Embun Putih dan Putri Lindung Bulan, sedangkan sang putra bernama Bujang Tan Domang. Raja Alam dan permaisurinya dilarikan oleh Raja Garuda ke Kerajaan Langit. Ketiga anak baginda pergi mencari orangtua mereka. Putri Embun Putih kemudian dinikahi oleh Raja Patih. Putri Lindung Bulan diculik oleh Raja Cina. Sementara itu Bujang Tan Domang dalam pengembaraannya berguru dan mencari ilmu kepada segala orang pandai. Dengan kesaktiannya dia berhasil merebut kembali saudarinya, Putri Lindung Bulan dari Cina dan sanggup merebut orangtuanya dari Kerajaan Langit setelah mengalahkan raja Garuda. Setelah itu Bujang Tan Domang melayari Sungai Kampar, mengalahkan beberapa raja yang zalim, mengunjungi makhluk halus yang disebut bunyian, memberi nama kepada beberapa tempat yang akan diserahkan kepada keturunannya, memperistri Putri Sri Gading dan akhirnya menetap di Sialang Kawan dan mendirikan kerajaan baru di tempat itu.
Kedua, tombo ini berfungsi sebagai dokumen hukum. Di dalamnya disebutkan batas-batas tanah, jenis-jenis tanah dan hutan, hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh anggota suku, dan sanksi terhadap berbagai pelanggaran. Adapun hutan-hutan yang ada dibagi ke dalam empat kelompok. Masing-masingnya adalah tanah kampung yang menjadi tempat permukiman, tanah dusun yang menjadi tempat berkebun, khususnya untuk tanaman keras dan tanah cadangan untuk tempat tinggal, tanah peladang yaitu tempat dilakukan perladangan berpindah-pindah, dan rimba larangan yang dalam istilah sekarang dapat disebut hutan lindung, yang tidak boleh digarap. Rimba larangan ini terdiri dari dua jenis, yaitu rimba kepungan sialang yaitu tempat tumbuh pohon sialang tempat lebah bersarang, dan rimba simpanan tempat hidup berbagai jenis hewan dan tumbuhan, yang menjadi sumber utama untuk obat-obatan tradisional. Dalam istilah sekarang tempat ini dijaga dan dirawat sebagai sumber keanekaragaman hayati (biodiversity).
Pedoman-pedoman tentang penggunaan hutan ditetapkan dengan teliti. Tentang menebang pohon diuraikan apa yang boleh ditebang, seberapa banyak, dan apa yang pantang ditebang.
Tebang tidak merusakkan
Tebang tidak membinasakan
Tebang tidak menghabiskan
Tebang menutup aib malu
Tebang membuat rumah tangga
Membuat balai dengan istana
Membuat madrasah dengan alatnya.
Tentang pantangan dalam menebang dikatakan:
Pantang menebang kayu tunggal
Pantang menebang kayu berbunga
Pantang menebang kayu berbuah
Pantang menebang kayu seminai
...........................
Pantang menebang induk gaharu
Pantang menebang induk kemenyan
Pantang menebang induk damar
............................
Kalau menebang berhingga-hingga
Kalau saja pemegang HPH sedikit meluangkan waktu membaca tambo ini sebelum memulai usahanya, mereka mungkin tidak akan diyakinkan untuk cukup "menebang berhingga-hingga", tetapi mereka pasti dapat diyakinkan bahwa penduduk setempat yang sering dianggap bodoh tidaklah sedungu sebagaimana sering diperkirakan, melainkan menyimpan berbagai kebijaksanaan lingkungan yang kemudian dibela oleh para pejuang lingkungan hidup. Prinsip-prinsip yang dirumuskan di Rio atau di mana pun telah beratus tahun dijalankan dengan setia oleh penduduk Petalangan dan mungkin penduduk dalam berbagai komunitas tradisional di tempat lain.
Ketiga, selain sebagai "buku hukum", tombo juga berfungsi sebagai kumpulan ajaran-ajaran moral yang wajib diikuti oleh anggota suku. Istilah asli untuk code of conduct ini di kalangan orang Petalangan adalah tunjuk ajar. Yang unik di sini ialah bahwa berbagai kelakuan manusia dilukiskan dan diuraikan dalam perbandingan dengan apa yang terdapat dalam alam, yang terlihat pada pohon dan tanaman, atau yang diamati di antara tingkah laku binatang-binatang. Mungkin para pemikir modern akan memandang sebelah mata kepada kode etik seperti ini dan menyebutnya dengan sedikit menghina sebagai suatu naturalisme primitif. Sekalipun demikian, dipandang dari segi lainnya, pandangan ini memberikan suatu alternatif kepada antropologi konvensional yang memberikan tempat yang terlalu utama kepada manusia sebagai makhluk tertinggi dalam alam. Patutlah diingat dalam kaitan ini bahwa evolusi biologis suka membuktikan bahwa dari hewan yang lebih rendah tahap perkembangannya kemudian muncul perkembangan hewan pada tahap yang lebih tinggi, misalnya pada mamalia, dan selanjutnya muncul makhluk yang sekarang dikenal sebagai manusia. Sekalipun demikian, evolusi moral menunjukkan dengan berbagai bukti nyata (perang dunia, genocide, atau pembunuhan dan kekerasan politik seperti halnya di Indonesia sekarang), bahwa manusia lebih sering merosot menjadi lebih rendah daripada hewan dalam tingkah lakunya. Pada titik itulah, lebih bermanfaat melihat manusia dalam solidaritas dengan makhluk-makhluk lainnya di alam ini daripada mengklaim secara angkuh bahwa dialah penguasa yang berhak mengolah dan mengerjakan segala apa yang ada dalam alam ini menurut akal budinya, yang sering ternyata tidak waras. Tombo orang Petalangan dengan baiknya menunjukkan bahwa tanaman dan pepohonan, hewan melata atau hewan berkaki empat, bisa menjadi "guru" yang memberikan tunjuk ajar tentang bagaimana manusia berlaku terhadap sesamanya.
Tengoklah kayu di rimba
Ada yang besar ada yang kecil
Ada yang lurus ada yang bengkok
Ada yang berpilin memanjat kawan
Ada yang dihimpit oleh kayu lain
Ada yang licin ada yang berbongkol
Ada yang tegak ada yang condong
Ada yang hidup ada yang mati
Ada yang berduri ada yang tidak
Ada yang bergetah ada yang tidak
Ada yang berbuah ada yang tidak
...............................
Beragam-ragam kayu di rimba
Beragam pula hidup manusia
Keserakahan dan keugaharian dalam hidup dapat dipelajari dengan sempurna dari kelakuan burung enggang dan burung pipit.
Makan jangan menghabiskan
Minum jangan mengeringkan
Makanan enggang tak tertelan oleh pipit
Makan pipit jangan dihabiskan enggang
Itulah hidup bertenggangan
Hidup senasib sepenanggungan
Demikian pula watak manusia yang ingat diri atau yang menenggang orang lain dilukiskan dengan plastis dan indah berdasarkan pengamatan terhadap dunia binatang.
Beribu banyak manusia
Beribu pula banyak ragamnya
Begitu pula dengan binatang rimba
Baik juga buat dicontoh
Ada yang garang ada yang penakut
Ada yang memakan emak dan bapak
Ada yang memakan bangkai kawan
Ada yang menggigit ada yang mencatuk
Ada yang mengerkah ada yang membela
Ada yang berkawan ada yang tunggal
................................
Ada yang hidup suka berkubang
Ada pula yang di atas kayu
Ada yang terbang ada yang merangkak
Bermacam pula perangainya
Begitu pula sifat manusia
Ini tidak berarti bahwa dalam tombo tidak ada petunjuk tegas yang langsung ditujukan kepada manusia tanpa rujukan kepada alam. Bila dirasa perlu tombo menampilkan ketegasan moral dengan artikulasi yang jelas, yang tidak memungkinkan ambivalensi atau salah pengertian. Kritik dan peringatan kepada orang berhati culas dan yang hanya ingat dirinya, dikemukan tanpa tedeng aling-aling:
Orang pendengki mati berdiri
Orang khianat mati terlaknat
Orang pembohong mati tercampak
Orang sombong mati gembung
Orang tamak mati bengkak
Sebaliknya, batas antara keberanian dan kecerobohan, ataupun garis antara sikap hati-hati dan sikap penakut, atau perbedaan antara kerendahan hati yang sebenarnya dan kepura-puraan ditetapkan dengan relatif jelas:
Kalau duduk ditepi-tepi
Tapi jangan ke tepi sangat
Nanti tercampak ke pelimbahan
Kalau bercakap di bawah-bawah
Tapi jangan ke bawah sangat
Nanti mati dipijak gajah
Kalau mandi di hilir-hilir
Tetapi jangan ke hilir sangat
Nanti hanyut ditelan gelombang
Seluruh moralitas dan kode etik orang Petalangan ini oleh Tenas Effendy telah diringkas menjadi sepuluh perangkat nilai yang utama.
1. Kerukunan adalah suatu asas dasar. Prinsip ini dirumuskan sebagai pedoman yang, untuk situasi politik Indonesia sekarang, dapat dipegang oleh berbagai golongan di Tanah Air pada saat ini:
Sama saudara pelihara-memelihara
Sama sahabat ingat-mengingat
Sama sesuku bantu-membantu
Sama sebangsa rasa-merasa
2. Mufakat merupakan cara mencapai konsensus secara demokratis.
Kalau tumbuh silang sengketa
Sebelum hukum dijatuhkan
Diusut dahulu baik-baik
Carilah sebab mula asalnya
Tilik duduk dengan tegaknya
Salah besar diperkecil
Salah kecil dihabisi
3. Keadilan dirumuskan sebagai kesanggupan untuk tidak memicingkan mata terhadap kesalahan yang sudah jelas di depan mata.
Menimbang sama beratnya
Menyukat sama takarnya
Mengukur sama panjangnya
4. Memegang adat berarti:
Adat dijunjung lembaga disanjung
Pusaka sama dijaga
....................
Kalau hidup tidak beradat
Di situlah tanda akan kiamat
(Sampai di sini saya tak dapat menahan diri untuk mengutip adagium dari seorang sejarawan dan sastrawan Inggris abad ke-19, Thomas Carlyle yang berkata: "Swerving from our fathers' rules is calling our fathers fools").
5. Gotong royong, yang dilukiskan sebagai suatu partisipasi aktif baik dalam kelebihan maupun kekurangan.
Kalau berlebih beri-memberi
Kalau kurang isi-mengisi
Kalau sempit sama berhimpit
Kalau lapang sama melenggang
6. Kesetiaan, yang menyebabkan seseorang dapat dipegang ucapannya oleh orang lain.
Bercakap jangan mengulum lidah
Berkata jangan bercabang lidah
Pepat di luar pepat di dalam
Runcing di luar runcing di dalam
7. Tahu diri, yaitu kesanggupan untuk menempatkan diri dengan benar dalam hubungan dengan orang lain.
Tahu baik dengan buruk
Tahu hak dengan kewajiban
Tahu beban yang kalian pikul
Tahu beban yang kalian bayar
...........................
Tahu hormat pada yang tua
Tahu sayang pada yang muda
Tahu kasih sama sebaya
8. Sikap tidak mencari musuh, yaitu kesanggupan untuk tidak menjelek-jelekkan orang lain.
Buruk orang jangan dicari
Malu orang jangan disingkap
Aib orang jangan dibuka
Kurang orang jangan dijajakan
9. Kerendahan hati, yaitu kesanggupan untuk melihat kelemahan dan keterbatasan diri, dan berusaha mengatasinya.
Bodoh jangan malu berguru
Sesat jangan malu bertanya
Salah cepat meminta maaf
Berdosa cepat meminta ampun
10. Kesabaran dan percaya diri akan membuat seseorang seimbang dalam segala perilakunya.
Teguh kepada keyakinan awak
Berfikir dengan jernih
Tegak dengan pemandangan jauh
Duduk dengan hati lapang
Beberapa contoh yang diberikan di sini dapat menunjukkan bagaimana suatu suku yang selama Orde Baru, dinyatakan sebagai suku yang amat miskin, mempunyai pedoman kehidupan masyarakat yang demikian rapi, yang secara tradisional, dapat dipastikan, sanggup memberikan kesejahteraan hidup yang relatif merata untuk semua anggota sukunya. Memang, pada tahun 1978 telah dilakukan penelitian tentang Penentuan Lokasi Daerah Miskin di Propinsi Riau oleh Direktorat Tata Guna Tanah, Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri. Ditemukan antara lain bahwa kehidupan penduduk harus dikategorikan sebagai miskin sekali, dengan pendapatan per kepala Rp 29.683. Dari tanah suku itu seluas 172.475 ha hanya 4.12 ha yang dianggap sebagai tanah dengan kepemilikan sah. Selebihnya dianggap sebagai tanah negara.
Persoalan yang tidak pernah diajukan dengan terus terang ialah mengapa penduduk di sana menjadi demikian miskin? Jawabannya yang bertahun-tahun didiamkan ialah karena mereka dicopot dari sumber kehidupan ekonomi dan sumber kekayaan budayanya yaitu hutan, sungai, bukit dan tanah-tanah mereka yang harus diserahkan kepada pengusaha perkebunan besar dan pemegang HPH. Usaha kelapa sawit yang dikembangkan di daerah itu jelas sukar mengintegrasikan penduduk setempat sebagai tenaga kerja karena secara tradisional mereka tidak mengenal tanaman tersebut. Pemerintah daerah telah mencoba menyelamatkan hutan dan memberi perlindungan kepada alam di sana dengan SI Gubernur Riau No Kpts. 118/IX/1972, pada 18 September 1972, akan tetapi ketetapan itu sama sekali tidak diperhatikan oleh para pengusaha perkebunan.
Akibatnya, penduduk kehilangan hutan mereka, kehilangan kampung mereka, kehilangan tanah dan batas-batas tanah yang untuk mereka sendiri amat jelas selama ratusan tahun. Bukan itu saja, mereka juga kehilangan referensi utama dari kehidupan budaya dan kehidupan moral mereka. Tidak ada lagi pohon-pohon yang selama itu menjadi petunjuk tentang tingkah laku mereka. Tidak ada lagi burung enggang dan pipit yang selalu memperingatkan mereka tentang bahayanya keserakahan dan pentingnya keugaharian dalam hidup bermasyarakat mereka. Terjadi pemelaratan secara ekonomi dan sekaligus pemiskinan secara budaya.
Proses itu menyebabkan pula bahwa perhatian kepada tombo menjadi berkurang. Karena batas-batas tanah dan hutan yang disebut dalam tombo dan nyanyian panjang telah diratakan oleh traktor dan alat-alat berat lainnya. Orang tidak dapat lagi mendengarkan tombo untuk mendapatkan tunjuk ajar karena pohon dan binatang yang menjadi rujukannya sudah kehilangan habitat, mati, atau berpindah ke tempat lainnya.
Di sini kelihatan betapa eratnya kehidupan ekonomi dan budaya, dan kaitan yang organik antara ekologi fisik dan ekologi sosial-budaya. Pohon-pohon yang ditebang menyebabkan merananya puisi dan prosa liris yang bercerita tentangnya, demikian pun hilangnya hutan-hutan menyebabkan kaburnya kode etik yang merujuk kepada hutan itu. Sementara itu, lingkungan hidup yang terpelihara dengan baik selama ratusan tahun, ditebang dengan cara yang "tidak berhingga-hingga", sehingga sumber-sumber budaya yang selalu merujuk ke hutan itu merana dan kemudian hilang lenyap.
Orang-orang Petalangan memang akhirnya miskin dan melarat karena mereka berada di bawah proses pemiskinan yang keras, justru oleh sesama bangsanya yang menurut ajaran tradisional mereka harusnya "rasa-merasa". Mereka tentu bingung melihat pohon yang sedang berbunga dan sedang berbuah ditebas tanpa merasa pantangan apa pun. Kadang-kadang kita sebaiknya bertanya lagi kepada orang-orang ini apa pandangan mereka tentang apa yang sering dibayangkan sebagai modernitas. Sekarang ini pertanyaan ini tidak perlu diajukan lagi. Karena jawabannya sudah sangat nyata: KKN yang tetap menggelembung, kekerasan yang berkembang seperti penyakit menular, hilangnya tanggung jawab politisi yang hanya sibuk dengan diri sendiri, dengan ekonomi yang gonjang-ganjing setelah tiga puluh tahun lebih menguras apa yang dipelihara dengan tertib dan sopan dalam lingkungan tradisional.
Orang Petalangan dan suku-suku tradisional barangkali tidak banyak mengenal teori perikemanusiaan dan hak-hak asasi. Tetapi satu hal pasti mereka ketahui dengan yakin: manusia menyimpan potensi besar untuk menjadi tidak manusiawi, seperti halnya hewan yang memakan bangkai binatang lain. Ratusan tahun sastra lisan telah menjaga hidup mereka, dan ratusan tahun sastra telah bertumbuh bersama pohon-pohon di rimba larangan. Herankan kita bahwa pada saat pohon-pohon tidak lagi berbunga dan berbuah, kebudayaan apa pun tidak akan lagi dapat diciptakan oleh orang Petalangan? Tambo mereka dilindas oleh hasrat memburu pertumbuhan eknomi dan keuntungan usaha (halal maupun tidak) dan nyanyian panjang semakin tenggelam ditelan deru mesin pabrik.
Ignas Kleden Sosiolog, Direktur Lembaga Lintas Timur (The Go-East Institute), Jakarta
No comments:
Post a Comment