Saturday, March 28, 2009

Antikomunisme

Rabu, 21 April 1999

Legislasi Antikomunisme atau Antiketidakadilan?
Oleh Ignas Kleden


MENURUT siaran media massa pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). RUU tersebut yang isinya hanya enam pasal, mengandung empat pasal yang dimaksudkan untuk menindak usaha yang bertujuan menyebarkan ideologi Marxisme-Leninisme dan komunisme, dan setiap percobaan untuk mendirikan organisasinya (DR/5-10 April 1999). Ancaman hukuman atas pelanggarannya maksimal 20 tahun penjara. Kalaulah benar berita itu, maka rencana itu sebaiknya mempertimbangkan beberapa pendapat lain, juga pendapat dari kalangan bukan ahli hukum.

Pertanyaan pertama: apakah ada relevansinya menyusun suatu UU yang dimaksudkan untuk menentang suatu ideologi yang pada dasarnya tidak punya kekuatan dan aktualitas lagi, setelah negara-negara Blok Timur meninggalkan sosialisme dan membuka dirinya kepada kapitalisme? Di kalangan pejabat Pemerintah Indonesia, mungkin masih ada kecemasan bahwa komunisme belum mati dan kekuatan laten yang membelanya mungkin konsolidasi kembali dengan diam-diam.

Terhadap kecemasan itu, terbuka dua kemungkinan. Pertama, kecemasan itu cukup beralasan. Kedua, kecemasan itu tidak cukup beralasan. Kalau kecemasan itu beralasan, maka benarlah bahwa ada pihak yang masih berusaha menghidupkan kembali faham tersebut di Indonesia, meskipun kita tahu, sebagai sebuah ideologi besar di dunia, komunisme sudah kalah total. Salah satu sebab kekalahannya ialah karena sekalipun ideologi itu bertujuan menciptakan keadilan dan pemerataan kesejahteraan, sudah terbukti bahwa ideologi ini tidak sanggup mendorong pertumbuhan ekonomi yang harus menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan yang akan dibagi rata. Dalam jargon politik Indonesia: yang dihasilkannya hanyalah pemerataan kemiskinan.

Demikian pula cukup terbukti bahwa dalam praktiknya di negara-negara komunis dan sosialis, faham ini tetap tidak sanggup menghilangkan jurang yang lebar antara para elite politik dan elite partai di satu pihak dan rakyat banyak di pihak lainnya. Stalin yang menyimpan banyak kekayaan untuk keluarganya, dan harta benda yang ditumpuk oleh Nikolae Ceausescu -seorang pemimpin berpaham komunis dari Rumania- adalah dua dari banyak contoh yang bisa diajukan.

***

KENYATAAN ini telah dipelajari dengan baik oleh negara-negara kapitalis, dan dalam studi itu ditemukan suatu pelajaran berharga. Yaitu bahwa hal yang membuat komunisme menarik bukanlah gejala kemiskinan itu sendiri, tetapi kenyataan bahwa kemiskinan itu disebabkan oleh ketidakadilan yang tidak diatasi. Dalam hubungan inilah sangat patut direnungkan sebuah tesis yang sampai saat ini dibela oleh pemenang hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi 1998, Prof Amartya Sen, bahwa kelaparan di berbagai tempat di dunia ini terjadi bukan karena kekurangan makanan, tetapi karena kekurangan demokrasi.

Hal ini mudah dipahami karena di negara di mana demokrasinya berjalan secara efektif, ada kesempatan dan kemungkinan untuk menarik dan mendesak perhatian umum kepada apa yang dibutuhkan oleh rakyat, dan tindakan apa yang harus diambil untuk mengatasi kesulitan. Sebaliknya, di negeri dengan pertumbuhan ekonomi baik tetapi tanpa demokrasi, tidak ada mekanisme untuk mendesakkan perhatian umum kepada bencana ekonomi yang sedang menimpa. Contohnya Cina pada tahun 1958-1961, mempunyai ekonomi yang jauh lebih baik kondisinya dari India. Tetapi di Cina pada tahun-tahun itu terjadi kelaparan yang mungkin paling besar dalam sejarah dunia, ketika 30 juta orang meninggal karenanya. Sebaliknya negeri-negeri demokratis yang mengalami bencana kekeringan atau banjir, seperti India di tahun 1973 atau Zimbabwe dan Botswana pada awal tahun 1980-an relatif berhasil memberi makan kepada rakyatnya yang akhirnya terhindar dari kelaparan. Kelaparan terakhir di India terjadi pada 1943 ketika India masih di bawah jajahan Inggris. Setelah kemerdekaan, ketika demokrasi multipartai berfungsi baik dengan dukungan pers yang bebas, maka India tidak mengalami kelaparan lagi.

Dengan demikian, sasaran utama yang diserang oleh komunisme adalah ketidakadilan sosial dan ketidakmerataan ekonomi yang diakibatkan oleh kapitalisme, yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi makro dan keuntungan ekonomi mikro. Belajar dari pengalaman ini negara-negara kapitalis kemudian mengambil langkah untuk mengurangi ketidakadilan sosial dan mengendalikan ketidakmerataan ekonomi dalam sistem kapitalis. Prinsip umum yang diterapkan ialah: barang siapa mendapat lebih banyak dalam usaha ekonominya, diharuskan membayar lebih banyak-misalnya melalui pajak pendapatan yang diterapkan secara progresif-untuk mereka yang tidak mempunyai pendapatan karena tidak mempunyai pekerjaan. Perimbangan diatur oleh negara yang berperanan sebagai welfare state.

Sistem ini sekarang mendapat tantangan besar di Eropa, karena welfare state menjadi terlalu mahal untuk negara (misalnya karena semakin banyak orang berusia lanjut yang tidak bekerja), maupun karena efek sampingnya yang memungkinkan orang hidup layak tanpa perlu bekerja keras (karena penganggur dapat tunjangan sosial dari negara). Sistem ini yang didorong dan dibela oleh kelompok politik sosial-demokrat dapat mengurangi secara drastis daya tarik faham komunisme, dan membuat orang lebih toleran terhadap kapitalisme, yang sekalipun tidak ideal tetapi dapat mengurangi ketidakadilan dan ketidakmerataan yang merupakan hal tak terelakkan dalam sistem kapitalisme.

Contoh ini kiranya membuktikan bahwa perlawanan terhadap komunisme tidak akan efektif kalau hanya dilakukan melalui perundang-undangan, tanpa dukungan tindakan dan kebijaksanaan ekonomi-politik, yang sanggup mengurangi baik ketidakmerataan ekonomi maupun ketidakadilan sosial. Selama penerapan sistem kapitalisme hanya mengarah pada konsentrasi kekayaan dan kemakmuran, sambil menimbulkan marginalisasi dan mengerasnya perbedaan kaya-miskin, maka selama itu pula komunisme akan tetap memperlihatkan daya tariknya yang muncul dari appeal-nya kepada simpati moral, untuk orang-orang yang tersingkir dan tertindas.

***

SECARA praktis ini artinya, kalaupun ada bahaya untuk kebangkitan kembali komunisme, potensi itu tidak terutama disebabkan oleh ada-tidaknya orang-orang yang secara diam-diam atau terang-terangan masih membela faham itu, tetapi sangat tergantung pada pertanyaan, apakah ketidakmerataan ekonomi dan ketidakadilan sosial mendapat perhatian untuk diatasi atau tetap dibiarkan. Dengan demikian latennya bahaya komunisme sebagaimana yang dicemaskan oleh sementara kalangan pejabat pemerintah kita, bahkan kekhawatiran tentang kemungkinan munculnya kembali faham itu ke permukaan politik, akan lebih banyak ditentukan oleh strategi ekonomi-politik, bukannya oleh langkah legislasi.

Kedua, kalau runtuhnya komunisme yang ditandai oleh bubarnya sistem ini di Blok Timur, sudah menghilangkan sama sekali kepercayaan orang terhadap sistem ini (sebagai ideologi yang sanggup menggerakkan pembangunan ekonomi), maka UU antikomunisme akan tidak mempunyai banyak manfaat dan relevansi sosial-politiknya. Dalam bahasa Indonesia yang baik: Besar pasak daripada tiang! Kira-kira sama halnya kalau saat ini kita masih bersusah-payah menyusun UU antikolonialisme dan antiimperialisme. Dalam hal itu energi para ahli hukum kita sebaiknya dikerahkan untuk menyusun UU yang secara langsung mencegah praktik ketidakadilan baik dalam ekonomi maupun dalam politik. Ada banyak sekali UU yang masih kita butuhkan untuk keperluan tersebut, UU antimonopoli, UU antikorupsi, UU antikolusi, UU antipolusi, UU antidiskriminasi, UU anti-intimidasi politik, UU antipelecehan hak asasi manusia (HAM), UU antipelecehan seksual, UU perlindungan anak atau UU antikekerasan terhadap perempuan.

***

HAL lain yang perlu dipertimbangkan adalah apakah sebuah UU lebih memungkinkan anggota masyarakat membela dan mempertahankan hak atau lebih memberi wewenang kepada penguasa untuk mempergunakan kekuasaannya melakukan intervensi. Pasal-pasal antikomunisme yang direncanakan itu bisa diperkirakan akan memberikan wewenang yang sangat besar kepada penguasa untuk mengambil tindakan apa saja, untuk menghentikan segala inisiatif yang kebetulan dianggap bertentangan dengan kepentingan penguasa. Hal ini disebabkan antara lain oleh kaburnya pembatasan mengenai apa yang dinamakan komunisme, Leninisme atau Marxisme dalam pandangan politik (bukan pandangan ilmiah) di Indonesia selama ini.

Secara singkat dan atas cara yang sangat dangkal dapat dikatakan sepintas lalu di sini bahwa Marxisme adalah teori tentang kapitalisme sebagai sistem yang secara niscaya menciptakan kelas-kelas dengan kepentingan yang bertentangan. Leninisme memberikan legitimasi kepada penggunaan kekerasan dalam konflik kelas, di samping menunjukkan hubungan erat antara kapitalisme dan imperialisme yang menjadi tahap perkembangan yang lebih mutakhir. Sedangkan komunisme adalah teori tentang masyarakat tanpa kelas yang muncul berkat kemenangan kelas proletariat. Yang sama dalam ketiga paham tersebut adalah bahwa ketiga-tiganya lebih mempercayai perwakilan rakyat dalam kelas daripada perwakilan rakyat dalam partai politik dan parlemen.

Jelas kiranya teori-teori tersebut bukan saja memberi tantangan kepada kapitalisme, tetapi juga kepada demokrasi yang percaya pada perwakilan rakyat dalam partai politik dan parlemen. Maka pertanyaan selanjutnya adalah: apakah demokrasi cukup ampuh untuk mengendalikan dan membatasi ketidakadilan, sehingga orang tidak perlu lagi berpaling kepada paham komunisme untuk mencapai maksud tersebut. Itulah sebabnya UU tentang demokrasi politik dan demokrasi mungkin jauh lebih mendesak daripada UU antikomunisme.

***

SUDAH umum diketahui bahwa Marxisme khususnya bukan hanya merupakan sebuah isu politik, tetapi juga isu akademik. Dia bukan saja menjadi ideologi politik, tetapi juga teori dan metode ilmu sosial. Adanya pelarangan oleh UU akan menyebabkan bahwa ilmu-ilmu sosial di Indonesia juga akan kehilangan kemungkinan untuk mempelajari suatu kelompok teori dan metode yang sangat berbeda dari teori dan metode dalam ilmu-ilmu sosial liberal. Tanpa bantuan teori dan metode yang berinduk pada marxisme ilmiah, banyak masalah ketidakadilan akan sangat sulit dideteksi dan dianalisis.

Pilihan lain adalah mengandaikan saja bahwa potensi untuk konflik kelas tidak ada dan tidak akan ada di Indonesia. Pilihan ini boleh saja diambil tetapi dengan risiko yang besar. Selama pemerintahan Soeharto, kita juga diminta dan disuruh percaya bahwa konflik yang bersifat komunal seperti konflik antaretnik, antaragama, atau antargolongan, tidak ada dan kalaupun ada tak boleh dibicarakan karena adanya doktrin suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Selama seperempat abad konflik ini tidak muncul karena selalu ditekan oleh represi negara.

Sekarang pada saat dominasi negara menjadi goyah oleh guncangan reformasi dan represi negara juga menurun, konflik komunal ini muncul dalam bentuk kekerasan yang meluas secara tak terkendali dan kita ternyata tidak punya pengalaman apa pun untuk menanganinya, baik secara politis maupun secara yuridis. Mungkin lebih realistis untuk mengandaikan bahwa dalam masyarakat mana pun dengan kesejahteraan yang belum merata, selalu ada potensi konflik kelas dalam berbagai bentuknya. Konflik semacam ini hanya dapat dideteksi dan dianalisis dengan memadai kalau kita menggunakan metode dan teori kelas yang memang didesain khusus untuk keperluan tersebut.

Melarang penggunaan teori dan metode analisis kelas, dan berpretensi bahwa konflik kelas tidak pernah ada, hanya akan memberi kesempatan untuk akumulasi dan mengerasnya konflik tersebut, yang pada suatu waktu nanti akan meledak, barangkali dengan tingkat kekerasan yang lebih tinggi dari kekerasan komunal sekarang ini, yang ternyata sudah membuat masyarakat kewalahan, rakyat bingung dan mati sia-sia, dan pemerintah sendiri tak banyak berdaya serta hanya bisa bolak-balik berbicara tentang bahaya disintegrasi, tanpa dapat menghentikan proses yang sedang menuju ke sana.

( * Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta )


Kompas Cyber Media

No comments: