Bagian Kedua - Habis
Demokrasi yang Tertunda
Oleh Ignas Kleden
TERLIHAT di sini suatu psikologi politik yang menarik. Yaitu, baik dalam masa pemerintahan Soekarno maupun dalam rezim Soeharto, masyarakat Indonesia selalu dapat dibuat percaya bahwa demokrasi adalah sesuatu yang dapat ditunda, kalau ada urgensi lain yang lebih mendesak. Soekarno mendahulukan nation building dan menunda demokrasi, sedangkan Soeharto mendahulukan pembangunan ekonomi juga dengan menunda demokrasi.
Tentu saja Soeharto tak dapat menghindari isu demokrasi. Maka dicanangkannya apa yang dinamakan Demokrasi Pancasila, yang apa pun tujuannya, namun telah menimbulkan satu akibat yang sangat nyata: kebebasan demokratis dan partisipasi politik mengalami pemasungan secara besar-besaran. Pemasungan ini terlihat di hampir semua lini penting.
Dapat disebutkan antara lain: pembatasan saluran untuk aspirasi politik dengan pengurangan secara drastis jumlah partai politik, hilangnya kemungkinan masyarakat mengorganisasikan dirinya karena politik floating mass, hancurnya otonomi legislatif karena adanya mekanisme recall anggota DPR, pengawasan langsung media massa oleh penguasa dan pembredelan koran dan majalah serta acara-acara TV, pelarangan buku-buku yang tidak disenangi pemerintah, regulasi ketat untuk acara-acara kesenian, depolitisasi kampus melalui program normalisasi kampus, domestikasi kaum buruh melalui doktrin Hubungan Industrial Pancasila, pembatasan ruang-gerak LSM melalui pengetatan pengawasan oleh birokrasi, ditekannya otonomi pengadilan ke bawah pengaruh eksekutif, penculikan dan penahanan para aktivis politik tanpa proses pengadilan, pemberlakuan operasi militer terhadap daerah-daerah yang berusaha mendapatkan lebih banyak otonomi, dan secara umum penciptaan suasana ketakutan politik yang menyebabkan orang lebih memilih untuk tidak berinisiatif daripada mencoba berinisiatif. Tentu saja daftar ini belum lengkap tetapi cukuplah untuk menunjukkan apa artinya Demokrasi Pancasila dalam praktiknya.
Pertanggungjawaban Soeharto terhadap langkah-langkah antidemokratis itu dilakukan dengan dua cara. Keluar, ke dunia internasional, dikatakannya bahwa Indonesia sedang mencoba mewujudkan suatu jenis demokrasi yang lebih sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Tentu saja alasan seperti itu bukannya tidak berbunyi, karena juga dalam ilmu-ilmu sosial orang mulai berbicara tentang indigenisasi, dalam ekonomi dan politik muncul retorika Asian Values, sementara dalam social movement muncul paham dan gerakan komunitarian yang secara gigih membela hak-hak dan kekhasan setiap komunitas, terutama komunitas minoritas. Ke dalam, pada tingkat nasional, dia menekankan perlunya pembangunan ekonomi sebagai suatu landasan materiil untuk demokrasi, yang tidak bisa dipercepat realisasinya, karena harus berkembang menurut stages of development, yang kira-kira paralel dengan tahap-tahap pertumbuhan ekonomi dalam teori Rostow.
Di Indonesia saat ini beberapa ahli ilmu politik kita berbicara tentang pemerintahan darurat. Menurut dugaan saya, unsur darurat dalam konsep itu ialah bahwa demokrasi boleh ditunda sementara waktu kalau ada keperluan lain yang lebih mendesak. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa penundaan demokrasi berakibat bahwa demokrasi akhirnya tak pernah dilaksanakan.
Tak perlu diuraikan panjang lebar di sini bahwa penundaan itu menjadi semakin mantap dengan turut sertanya militer Indonesia dalam politik sipil dan birokrasi sipil melalui praktik Dwifungsi ABRI. Ada dua akibat yang dengan mudah bisa dibayangkan dari adanya dwifungsi itu. Pertama, militer Indonesia perlahan-lahan menyesuaikan dirinya dengan politik sipil dan etos demokrasi. Kedua, sipil semakin menyesuaikan diri dengan subkultur dan disiplin militer. Menurut pengalaman selama ini, kemungkinan kedualah yang benar. Hal itu dapat dilihat kecenderungan umum kepada penyeragaman, gaya pemerintahan yang serba top down kecenderungan minta petunjuk dalam birokrasi (petunjuk adalah versi sipil dari perintah dalam militer), dan kebiasaan untuk melihat konflik politik bukan sebagai hal yang normal dalam demokrasi dan harus diselesaikan secara politik, tetapi sebagai bahaya yang mengancam negara dan karena itu harus dihadapi sebagai masalah keamanan.
***
PERALIHAN kekuasaan dari Soeharto kepada Presiden Habibie langsung menimbulkan persoalan demokrasi, karena penyerahan kekuasaan itu tidak disertai oleh pensahan melalui mandat MPR. Legalitas pemerintahan Habibie masih menjadi bahan perdebatan para ahli hukum tata negara sampai hari ini. Defisit legalitas ini dalam praktiknya bisa diimbangi dengan usaha mendapatkan legitimasi, baik melalui jalan teknis maupun melalui jalan moral. Secara teknis Habibie dapat memenangkan legitimasi itu kalau dia dapat mengatasi masalah sembako dan krisis ekonomi Indonesia. Secara moral dia juga akan memperoleh legitimasi kalau sanggup menunjukkan integritas dirinya dengan menghadapkan mantan Presiden Soeharto ke pengadilan. Sementara itu konflik-konflik komunal yang mengakibatkan kerusuhan dan pembunuhan besar-besaran ternyata tidak bisa dihentikan. Namun demikian, masalah demokrasi yang amat sulit adalah sikap terhadap pemilu yang akan diadakan pada 7 Juni 1999. Ada tiga sikap yang muncul dalam wacana politik sementara ini. Pertama, pemilu sebaiknya dilaksanakan sesuai yang diagendakan dan diamanatkan oleh MPR. Kedua, pemilu hendaknya dibatalkan. Ketiga, pemilu ditunda pelaksanaannya. Usul penundaan ini lebih banyak menyangkut manajemen persiapan dan pelaksanaan pemilu seperti pencairan dana pemilu oleh pemerintah, pencetakan kartu suara, pendaftaran calon pemilih, pembentukan badan pengawas pemilu, yang lebih bersifat teknis dan karena itu tidak akan dibahas di sini.
Fokus uraian adalah pada dua sikap pertama. Pertanyaan tentang sikap pertama ialah: Mengapa pemilu harus dilaksanakan? Jawabannya sudah menjadi pengetahuan umum. Yaitu, hanya dengan pemilu Indonesia bisa mendapatkan suatu pemerintahan yang benar-benar dikehendaki dan dipilih oleh rakyat. Asumsinya, pemilu adalah prosedur demokrasi, yang sekaligus dapat menyelesaikan masalah legalitas maupun masalah legitimasi. Pemerintahan hasil pemilu adalah legal karena dia memenuhi prosedur hukum yang ditetapkan oleh UU. Dia juga mendapatkan legitimasi, karena hasil pemilu dianggap menjadi petunjuk kehendak dan keinginan rakyat.
Lalu, mengapa pula ada keinginan dan kehendak agar pemilu dibatalkan? Di sini alasannya mempunyai beberapa komplikasi. Kecemasan utama-dengan alasan yang realistis-ialah bahwa jangan-jangan dalam pemilu ini Golkar (sebagai partai yang mempunyai infrastruktur terbaik) akan menang lagi dan pemerintahan Presiden Habibie-yang dianggap pemerintahan peralihan tetapi menjadi sekarang calon presiden Golkar-akan semakin mantap kedudukannya. Kecemasan ini tidak akan muncul kalau selama setahun pemerintahannya Presiden Habibie dapat menyelesaikan krisis sembako dan krisis ekonomi, mengatasi berbagai kerusuhan komunal, atau menghadapkan mantan Presiden Soeharto ke pengadilan. Seperti sudah diketahui, prestasi Presiden Habibie dalam dua hal pertama ternyata tidak memuaskan, sedangkan determinasinya dalam menyelesaikan masalah ketiga sangat diragukan. Itulah sebabnya, dapat dipahami kekhawatiran kalau pemilu justru semakin memperkuat suatu pemerintahan dengan kualifikasi yang tidak istimewa.
Pada tahap ini demokrasi di Indonesia ibarat memakan buah simalakama. Kalau pemilu dibatalkan, kita tidak mempunyai prosedur lain untuk mendapatkan legalitas dan legitimasi bagi suatu pemerintah baru. Sebaliknya, kalau pemilu dilaksanakan, maka kita harus siap menerima kemungkinan bahwa pemerintahan yang sekarang akan berlanjut dengan kedudukan yang semakin kukuh karena sudah mendapatkan legalitas dan legitimasinya dari pemilu.
Untuk tidak melenceng dari garis argumentasi, patut dipertanyakan kembali soal berikut ini. Mengapa gerangan pemerintahan Habibie dianggap sebagai pemerintahan peralihan? Alasannya, pemerintahan ini meneruskan masa jabatan Presiden Soeharto, dan diberi kekuasan eksekutif dengan cara yang dianggap "belum lengkap memenuhi syarat", karena belum disahkan oleh MPR. Kalau itu soalnya, mengapa masih ada keberatan bahwa syarat itu dilengkapi, kalau dalam pemilu ini Golkar memang sungguh-sungguh menang dan Habibie sebagai calon presidennya tetap berkuasa?
***
PADA titik ini kelihatan bahwa demokrasi tidak hanya dijamin oleh prosedur, tetapi juga oleh substansinya. Istilah "substansi" mungkin amat mengganggu para penganut pascamodernisme yang menolak setiap bentuk esensi. Apalagi sekarang ini kita sedang berada dalam suatu dunia mental yang oleh filosof Habermas dinamakan masa pascametafisis. Tetapi marilah kita berbicara secara lebih pragmatis tanpa terlalu terhalang oleh pedantisme akademis. Demokrasi bukanlah hanya tata cara, prosedur, dan bukan juga hanya tata negara, tetapi adalah isi, tujuan, tingkah laku, bentuk komunikasi dan interaksi, serta tata nilai. Maka pertanyaan Soekarno dulu sekarang terulang lagi dalam versi lainnya: Demokrasi, prosedur atau substansi? Apakah para mahasiswa mempertaruhkan nyawa di jalan-jalan hanya untuk menegakkan prosedur yang benar? Kalau prosedur demikian pentingnya, mestinya rakyat Indonesia sudah cukup puas dengan formalisme konstitusional ala Soeharto. Ternyata prosedur barulah dipercaya, kalau prosedur itu berjalan tanpa distorsi oleh kekuasaan atau oleh money politics. Memang demokrasi prosedur atau prosedur demokrasi harus dijalankan untuk mencegah pengambilalihan kekuasaan dengan cara yang mana saja, dan mencegah juga penggunaan kekuasaan semata-mata menurut selera penguasa. Prosedur adalah rambu-rambu yang ditegakkan oleh legalitas.
Sebaliknya, legitimasi lebih berhubungan dengan komitmen yang diberikan oleh penguasa tentang untuk apa dan untuk siapa kekuasaan itu digunakan. Sebagai contoh, suatu tes terpenting untuk setiap pemerintahan reformasi sekarang ini adalah komitmen yang jelas dan konsekuen terhadap pemberantasan KKN. Untuk saat ini personifikasi KKN yang prototipikal adalah mantan Presiden Soeharto, keluarganya dan orang-orang yang dianggap kroninya. Pandangan ini harus dibuktikan benar-salahnya melalui pengadilan yang independen dan otonom.
Tuntutan ini (yaitu komitmen yang tegas terhadap pemberantasan KKN) tidak bisa lagi ditawar-tawar karena sudah menjadi syarat minimal untuk mendapatkan legitimasi. Siapa pun yang berkuasa tidak dapat menghindarinya. Karena itu tersedia dua pilihan yang tidak bisa dimanipulasi. Pertama, pemerintah yang sanggup melaksanakan pemberantasan KKN secara konsekuen (artinya bisa ditunjuk dengan praktik dan bukan hanya dalam omongan dan janji) pastilah akan mendapatkan legitimasi penuh. Kedua, pemerintah yang tidak sanggup melaksanakannya, pastilah kehilangan legitimasinya dan karena itu sebaiknya berbesar hati untuk mengundurkan diri dengan segera.
Bertahan dalam kekuasaan sambil tidak mampu memenuhi minimum requirement sebagaimana dikemukakan di atas hanya akan menimbulkan kekacauan politik dan kerusuhan sosial terus-menerus. Maka kiranya dapat dibenarkan bahwa akan terlalu mahal kalau rakyat mati terus-menerus demi suatu kekuasaan yang tidak jelas digunakan untuk apa dan untuk siapa. Psikologi pemerintahan darurat perlu segera diakhiri, karena kalau tidak, mungkin demokrasi akan ditunda sekali lagi. Kali ini bukan untuk menyelamatkan kebangsaan (sebagaimana dilakukan Soekarno) atau untuk mendorong pembangunan ekonomi (sebagaimana dilakukan Soeharto), tetapi sangat mungkin akan menimbulkan risiko besar, baik untuk persatuan nasional maupun untuk ekonomi nasional. Yang dipertaruhkan di sana bukan saja nasib pemerintahan Presiden Habibie, tetapi nasib 200-an juta rakyat, yang dimashurkan rukun-damai di sebuah negeri yang konon yang berlimpahan susu dan madu.
(* Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta).
No comments:
Post a Comment