Saturday, March 28, 2009

Pemahaman Baru tentang "Bangsa"

Perlu Pemahaman Baru tentang "Bangsa"

Jakarta, Kompas

Masyarakat luas terutama kalangan sastrawan dan ilmuwan perlu kembali memahami bahwa sebenarnya "bangsa" pun lebih merupakan fiksi ketimbang fakta. Negara lebih jelas, setidaknya kalau dipandang batas teritorialnya, tetapi anehnya beribu-ribu bahkan berjuta-juta orang telah gugur untuk mempertahankan fiksi tersebut. Karena itu pengertian fiksi dan fakta perlu ditinjau kembali. Juga pula perlu peninjauan kembali terhadap anggapan umum dalam pelajaran kesusastraan, bahwa karya sastra dan karya ilmu sosial hanya bisa dibedakan dari jenis yang disampaikan. Misalnya yang pertama menyampaikan kenyataan imajiner, yang kedua kenyataan empiris.

Rangkuman tersebut dibuat dari ceramah ahli filsafat Dr Ignas Kleden, yang berjudul Menulis Sastra, Menulis Ilmu Sosial, di Teater Utan Kayu Jakarta, Rabu (24/9). Katanya, bahkan data pun yang kerap diartikan sebagai kenyataan alam yang sudah given, masih tergantung pada tanggapan dan pikiran manusia. "Laut untuk seorang oseanolog dari LIPI pasti ditanggapi lain sekali daripada laut dalam persepsi seorang nelayan tradisional di Flores ... Demikian pun tanggapan mereka ini akan lain daripada tanggapan seorang penyair. Bahkan di antara dua atau tiga penyair, laut bisa ditanggapi dengan cara amat berlainan," kata Ignas Kleden.

Ignas mencontohkan, pada Sanusi Pane melalui sajak Di Bawah Gelombang, laut adalah tempat ketidakpastian. Sebaliknya untuk Sutan Takdir Alisjahbana dengan karyanya Menuju ke Laut, laut adalah tempat berjuang yang menggairahkan. Ada tiga istilah yang sebaiknya ditinjau di sini dengan sedikit lebih mendalam, yaitu "data", "fakta" dan "fiksi". Dengan kajian asal-usul kata Latin "dare" (to give) dan bandingannya dengan istilah dalam bahasa Jerman (gegeben), "data" berarti sesuatu yang sudah diberikan. Pertanyaannya, demikian Ignas, diberikan oleh siapa?

"Di sini kita melihat prasangka atau bias positivisme. Sesuatu dianggap data kalau kenyataan itu diberikan alam kepada indra manusia. Istilah mulanya adalah sense data, sebagaimana diperkenalkan oleh orang-orang Berkeley misalnya. Jadi kalau sesuatu diberikan oleh alam kepada indra manusia pastilah hal tersebut ada. Kalau langit memperlihatkan awan kepada mata kita maka awan itu adalah data. Saya menduga, bahwa istilah data adalah suatu warisan dari alam pikiran positivisme," kata Ignas.

Fakta dan fiksi

Menurut Ignas, fakta berasal dari bahasa Latin faktum yang tidak ada padanannya dalam bahasa Inggris. Bahasa Inggris hanya mengambil alih dan mengubahnya menjadi fact. Bahasa Jerman mempunyai padanannya yaitu tatbestand, dengan arti yang persis sama yaitu hasil tindakan nyata. "Di sinilah, saya sekali lagi menduga, bahwa konsep fakta berasal dari alam pikiran yang dikuasai behaviorisme," kata Ignas Kleden. Karena itu, katanya, kenyataan-kenyataan dalam alam disebut data. Dalam sejarah, kenyataan-kenyataan itu dianggap dibuat dan dilakukan oleh manusia melalui tindakannya dan karena itu disebut fakta.

"Dalam alam pikiran positivisme maupun behaviorisme, pengertian fiksi kemudian dikucilkan dari dunia nyata. Fiksi lalu berarti sesuatu yang tidak bisa ditangkap dengan indra, dan sesuatu yang tidak bisa dirujuk pada tindakan nyata yang telah menghasilkannya sebagai fakta," kata Ignas. Padahal, lanjutnya, dalam akar kata Latin yang menjadi sumbernya, yakni fictio, kata ini hampir tidak memperlihatkan segi nonreal. Itu bukan menjadi fiction dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris, fictio menjadi to fashion, to form, to construct, to invent, to fabricate. "Arti asli dari fiksi dalam makna Latin-nya seakan-akan direhabilitasi kembali dengan teori the social construction of reality," kata Ignas.

Bangsa

Sumbangan teori social construction of reality ialah bahwa kemampuan dan kecenderungan persepsi dan konsepsi manusia untuk melakukan suatu konstruksi terhadap obyek tanggapannya, bukan saja terjadi dalam karya sastra tetapi juga dalam ilmu pengetahuan. Jadi bahkan data dan fakta pun tidak luput dari proses konstruksi sosial dalam tanggapan dan pikiran manusia.

"Contoh yang bagus adalah sebuah buku Ben Anderson tentang bangsa. Buku itu mengajukan tesa bahwa bangsa semata-mata suatu komunitas yang dibayangkan ada, suatu imagined community, yang hanya ada selama orang-orang membayangkannya ada. Dengan istilah di sini (seperti anggapan umum tentang fiksi), bangsa sebetulnya lebih merupakan fiksi daripada fakta. Tetapi anehnya beribu-ribu bahkan berjuta-juta orang telah gugur untuk mempertahankan fiksi tersebut. Kalau begitu fiksi tersebut juga fakta, karena kita bisa merujuk pada tindakan-tindakan nyata yang menghasilkan bangsa tersebut: Perang gerilya, perjuangan diplomasi, pembuangan dan pengasingan para pejuang ..." demikian Ignas.

Melalui ceramah yang antara lain dihadiri esais Nirwan Dewanto, vokalis Nyak Ina Raseuki, pengamat teater Ari F Batubara, pekerja seni Nor Pud Binarto serta pemusik Djaduk Ferianto itu Ignas juga menawarkan hal lain. Pembedaan karya sastra dan karya ilmu sosial dari segi bahwa yang satu menampilkan manusia sebagai watak dan karakter yang unik, dan yang lain berupa tipe, tipologi atau model seperti tipe abangan, santri dan priayi, bisa jadi ada gunanya tapi hanya untuk karya sastra realis. Kriteria itu tidak banyak menolong untuk menghadapi karya yang lebih menggarap ide ketimbang peristiwa. Menurut Ignas, pada karya-karya Putu Wijaya, seorang tokoh tidak lagi menjadi representasi tipe orang-orang, tetapi lebih menjadi representasi suatu gagasan.

"Hal yang bagi saya tetap merupakan misteri ialah bahwa baik ilmu sosial maupun karya sastra dengan caranya sendiri kemudian menyampaikan kepada kita jauh lebih banyak kenyataan, daripada sekadar kenyataan yang dilukiskan. Pada waktu Geertz menceritakan perdagangan kopra di Bali dia sebetulnya bercerita tentang seluruh masyarakat Bali, atau pada waktu dia melukiskan cara orang Jawa mengadakan selamatan dia sebetulnya melukiskan seluruh alam pikiran dan struktur sosial orang Jawa. Sebaliknya seluruh perbedaan dan pertentangan antara berbagai aliran di Jawa oleh Geertz dalam desertasinya The Religion of Java, kemudian dilukiskan sama baiknya oleh Kuntowijoyo dalam cerpennya Rumah yang Terbakar," kata Ignas. (tjo)

No comments: