Saturday, March 28, 2009

Clifford Geertz

LEBIH JAUH DENGAN DOKTOR IGNAS KLEDEN<br /><br /> DOKTOR Ignas Kleden (46) berlatar belakang ilmu filsafat, <br />tetapi kegiatan sehari-hari terutama di bidang sosial, politik dan <br />kebudayaan. Tahun 1982 memperoleh gelar MA ilmu filsafat dari <br />Universitas Munchen. Awal tahun 1995 memperoleh gelar doktor <br />sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman. Disertasinya menggugat <br />studi-studi Clifford Geertz (69) tentang Indonesia secara <br />keseluruhan. <br /> "Selama ini studi-studi tentang Geertz bersifat sektoral. Para <br />peneliti hanya meninjau satu sektor tertentu tanpa terlalu banyak <br />memperhatikan hubungannya dengan sektor lain," katanya kepada <br />Kompas, awal April lalu. <br /> Menurut bapak satu anak kelahiran Flores Timur ini, Geertz <br />bersama sejumlah sarjana Amerika, adalah generasi pertama yang <br />membawa studi Indonesia keluar dari Belanda. Geertz antropolog yang <br />dengan berani memasuki berbagai sektor sekaligus dan berani <br />mengemukakan pendapat-pendapatnya dengan elegan sekaligus <br />provokatif. <br /> Nama Clifford Geertz, antropolog kelahiran San Francisco 23 <br />Agustus 1926 itu sangat populer. Teori-teorinya tentang masyarakat <br />Jawa dijadikan referensi, bahkan seolah dianggap sebagai satu-<br />satunya kebenaran. Tahun 1992, guru besar Institute for Advanced <br />Studies Universitas Princeton itu memperoleh penghargaan dari <br />Fukuoka Asian Cultural Prize Foundation. Dia dinilai berjasa <br />melakukan penelitian lapangan di Indonesia sebagai bagian dari studi <br />perbandingan kebudayaan Amerika dan Asia. Dari 17 buku yang <br />ditulisnya, termasuk bersama istrinya, Hildred Geertz, beberapa buku <br />sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. <br /> Ignas Kleden, sekarang sebagai staf sebuah LSM, SPES, sejak <br />tahun 1989 meninggalkan kesibukannya sebagai staf di LP3ES menuju <br />Jerman, meneliti karya-karya Geertz. Dalam sebuah wawancara panjang, <br />sampai membutuhkan dua kali pertemuan di kantornya, Tebet Barat, <br />Ignas menguraikan sebagian kecil tentang Geertz, Indonesia dan ilmu <br />sosial. <br /> Karena keterbatasan ruangan, wawancara dengan Bung Ignas, suami <br />Dr Ninuk Kleden Purbonegoro (antropolog) dan ayah seorang anak <br />(Pascal), hanya dimuat sebagian. <br /><br />BARANGKALI Anda orang pertama Indonesia yang menggugat teori-<br />teori Geertz secara keseluruhan.<br /> Sampai sekarang sudah ada lebih dari 40 publikasi ilmiah <br />tentang studi Geertz mengenai involusi pertanian saja. Masih banyak <br />lagi studi kritis tentang penelitiannya mengenai sektor-sektor lain. <br />Umumnya studi-studi sekunder itu bersifat sektoral, hanya meninjau <br />satu sektor tertentu (misalnya pertanian) tanpa banyak memperhatikan <br />hubungannya dengan sektor lain (misalnya perdagangan). Dalam studi <br />saya, saya berusaha mendekati studi-studi Geertz secara keseluruhan. <br />In toto, begitu. <br /> Disertasi saya bagi menjadi tiga bagian. Pertama, saya berusaha <br />menunjukkan dan membuktikan bahwa dalam semua penelitian, Geertz <br />tidak berbuat lain daripada menerapkan tesis involusi. Hal ini perlu <br />saya lakukan, karena Geertz tidak pernah mengatakan demikian. <br /> Kedua, saya meninjau secara kritis apakah involusi dalam <br />bidang-bidang tersebut bisa dipertahankan atau tidak kalau <br />dibandingkan dengan data sekunder lain tentang sektor yang sama. <br />Ketiga, kalau memang ada involusi dalam berbagai sektor yang <br />diteliti di Indonesia, apakah hal ini lebih merupakan persoalan <br />empiris atau hermeneutik, yaitu persoalan data yang mencukupi atau <br />tidak, atau malah persoalan interpretasi sesuai atau tidak. Ini <br />persoalan obyek penelitian atau persoalan peneliti, persoalan <br />Indonesia atau persoalan Geertz sendiri? <br /> Kesimpulan saya, involusi ala Geertz lebih merupakan hasil dari <br />interpretasi yang dibuatnya. <br /> Bagaimana gugatan itu lebih dijabarkan?<br /> Pertama-tama Geertz hanya menunjuk adanya involusi pertanian. <br />Namun sekalipun dia tidak pernah berbicara tentang involusi dalam <br />bidang lain, dalam studi saya menjadi jelas bahwa yang ditunjuk <br />Geertz dalam penelitiannya sekurang-kurangnya tujuh sektor di <br />Indonesia tahun 50-0an itu tak lain dari involusi atau proses di <br />mana terjadi perubahan sosial terputus di tengah jalan. Ketujuh <br />sektor itu meliputi pertanian, perdagangan kecil (petty trade), <br />aliran, perkotaan, agama, politik klasik (the theater state) serta <br />hubungan antara negara bangsa dan etnisitas. <br /> Kedua, dalam meninjau studi-studi itu dua hal menjadi pokok <br />perhatian saya, yaitu isi (content) dan kerangka (framework). <br />Sekalipun isi penelitian-penelitian itu banyak yang sudah <br />kadaluwarsa, kerangka yang ditawarkan Geertz tidak bisa diabaikan, <br />malahan amat banyak dipakai baik oleh peneliti asing tentang <br />Indonesia maupun oleh peneliti-peneliti Indonesia sendiri. <br /> Ketiga, penelitian saya lakukan karena merasa betapa <br />tergantungnya kita pada kerangka-kerangka teoritis yang dibuat oleh <br />peneliti asing tentang Indonesia. Sekurang-kurangnya dalam ilmu-ilmu <br />sosial kita belum merdeka. Ini tidak berarti kita harus menutup diri <br />dan membuangnya sama sekali penelitian yang dilakukan orang asing, <br />tetapi hanya dalam arti, kita sangat tergantung pada hasil-hasil <br />penelitian yang dibuat orang asing tentang diri kita dan negeri <br />kita. Ada beberapa hasil studi yang dilakukan sarjana kita sendiri, <br />dengan kewibawaan sendiri, tetapi justru kurang dihargai oleh <br />kalangan bangsa sendiri. <br /> Dalam hubungan itu, disertasi saya semacam exercise untuk <br />mengecek seberapa kuat sih penelitian yang dilakukan Geertz, <br />sehingga pengaruhnya sedemikian besar. Dalam hal ini saya tidak ada <br />kompleks antiasing. Keberatan saya, pandangan diri kita sendiri, kok <br />sangat tergantung orang asing. Sejak dulu, sejak zaman Belanda <br />sedikit sekali usaha kita untuk meninjau kembali teori-teori yang <br />dibuat oleh orang lain tentang negeri kita. <br /> Artinya sejak dulu kita kurang menggugat teori-teori tentang <br />diri kita sendiri.<br /> Ya. Kalau Anda lihat, banyak sekali penelitian tentang <br />Indonesia yang sudah dilakukan sarjana Belanda, jasa mereka amat <br />besar. Akan tetapi konsep-konsep yang mereka bangun seringkali <br />diambil alih begitu saja. Saya kira konsep kita tentang desa yang <br />harmonis, tenteram dan homogen adalah hasil konstruksi orang <br />Belanda. Ternyata kehidupan di desa sangat heterogen dan dinamis. <br /> Mengapa Belanda? Ada kaitan dengan penjajahan?<br /> Begini. Ada semacam pertentangan di antara ahli-ahli Belanda <br />dulu. Apakah pembaruan harus masuk ke sini atau tidak. Pihak-pihak <br />yang berpihak pada politik etis sangat menganjurkan pembaruan dan <br />kemajuan di kalangan pribumi, dan ini dilakukan untuk membalas budi <br />kepada tanah jajahan. Tetapi di kalangan mereka sendiri ada juga <br />orang-orang yang sedikit romantis dalam pandangan mereka. <br /> Orang seperti Boeke misalnya sedikit romantis, sehingga dalam <br />pandangannya dia memisahkan sektor yang kapitalis dan sektor yang <br />prakapitalis. Yang prakapitalis adalah kehidupan asli di desa <br />menurut dia jangan dirusak struktur sosial atau nilai-nilainya oleh <br />nilai yang bersifat kapitalis. Karena apa? Karena di desa-desa yang <br />dominan bukan sikap ekonomis tetapi sikap sosial seperti harmoni, <br />gotong royong, dan tolong menolong. <br /> Pandangan seperti itu diteruskan oleh sarjana-sarjana seperti <br />Geertz dengan teorinya tentang involusi pertanian, yang melihat <br />bahwa gotong royong atau tolong menolong menemukan realisasinya yang <br />bersifat ekonomis dalam involusi pertanian, di mana petani yang <br />mendapat lebih banyak hasil tidak menjualnya untuk investasi, tetapi <br />menyerahkan sebagian kepada orang-orang yang tidak mempunyai tanah. <br />Dengan kata lain, peningkatan produksi per hektar tidak <br />mengakibatkan peningkatan per kepala. Karena pertambahan hasil <br />pertanian hanya digunakan untuk memberi makan kepada penduduk yang <br />bertambah banyak. <br /> Salah satu argumennya ialah, pemilikan tanah di Jawa (sampai <br />tahun penelitian) tidak pernah berkembang menjadi pemilikan tanah <br />besar, seperti halnya pemilikan tanah besar borjuasi pertanian di <br />Filipina. Pemilikan tanah tetap relatif kecil karena tanah cenderung <br />dibagi-bagikan. <br /> ***<br />MENGAPA Anda mengambil tokoh Geertz?<br /> Pertama, dia bersama dengan beberapa sarjana Amerika lainnya <br />adalah generasi pertama yang merebut konsentrasi studi Indonesia di <br />Belanda dan mendekonstrasikannya ke Amerika. Sebelum itu, Belanda <br />merupakan pusat terpenting studi Indonesia. Sekarang sudah ada <br />banyak pusat seperti itu di dunia. Tetapi Geertz dengan teman-<br />temannya adalah orang-orang non-Belanda pertama yang dengan <br />berwibawa memindahkan otoritas itu keluar Belanda. Untuk generasi <br />post-kemerdekaan jelas orang-orang seperti Geertz lebih menarik, <br />karena dia menulis dalam bahasa Inggris yang lebih mudah dipahami <br />oleh generasi baru dibandingkan dengan bahasa Belanda.<br /> Kedua, dialah antropolog yang dengan berani memasuki <br />berbagai sektor sekaligus dan berani juga mengemukakan pendapat-<br />pendapatnya dengan cara yang sekaligus elegan dan provokatif, <br />terlepas dari apakah pendapat itu dapat dipertahankan atau tidak. <br />Profesor saya di Jerman pernah bilang, Geertz itu boleh dianggap <br />sebagai Max Weber untuk Asia Tenggara. Menurut saya beberapa <br />pendapat Geertz sekalipun terbukti salah akan tetap menarik, karena <br />sebagai pendapat yang salah pun tetap merupakan kesalahan yang <br />inteligen dan menarik. <br /> Dari eksplorasi Anda, apakah Anda menemukan kesalahan-kesalahan <br />fatal yang dilakukan Geertz?<br /> Kritik kepada Geertz saya lakukan pada dua tingkat. Pertama, <br />pada tingkat empiris dengan mengecek apakah data-data yang <br />digunakannya mencukupi atau tidak. Kedua, pada tingkat hermeneutik, <br />dengan melihat apakah interpretasinya tentang data-data tersebut <br />bisa diterima atau tidak. Tekanan dalam studi saya ada pada kritik <br />hermeneutik ini, karena kritik-kritik yang bersifat empiris sudah <br />dilakukan oleh banyak peninjau lain dalam sektor-sektor yang menjadi <br />bidang keahlian mereka. <br /> Jadi persoalannya bukan kelengkapan data, tapi ketepatan <br />penafsiran?<br /> Ya. Geertz sebetulnya tidak begitu banyak melakukan penelitian <br />lapangan. Yang pertama di Pare tahun 1952-54 dan kedua di Bali tahun <br />1957-58. Penelitiannya di Maroko dilakukan dua kali pada tahun 1964 <br />dan diteruskan pada tahun 1965-66, tetapi rupanya tidak seintensif <br />penelitiannya di Jawa dan Bali. Jadi buku yang merupakan studi <br />etnografis yang benar-benar hanya disertasi dia, The Religion of <br />Java (1960).<br /> Rupanya, dengan buku ini Geertz mau menunjuk metode etnografi <br />dalam antropologi secara jelas dengan mengandalkan uraian dan <br />analisisnya terutama pada pengamatan dan wawancara langsung di <br />lapangan. Sampai-sampai timbul kritik bahwa studi ini sangat <br />mengabaikan studi-studi lain yang dibuat sebelumnya, yang sedikit <br />sekali dirujuk oleh Geertz. <br /> Bukunya yang paling sensasional, Agricultural Involution <br />(1963), adalah hasil studi kepustakaan. Demikian juga studi <br />perbandingan yang dibuatnya tentang Islam di Indonesia dan Maroko, <br />lebih merupakan esai yang bagus daripada etnografi yang ketat <br />seperti dalam disertasinya. <br /> (Ignas Kleden lantas menguraikan panjang lebar tentang kerangka <br />teoritis yang digunakan Geertz, yang bertolak dari kritik yang <br />diajukannya kepada fungsionalisme struktural yang pada tahun 50-60-<br />an menguasai ilmu-ilmu sosial di AS, Red).<br /> Dampak disertasi Anda untuk pengembangan dan penelitian ilmu-<br />ilmu sosial di Indonesia?<br /> Soal dampak tentu saya tidak tahu, dan kita tidak mungkin <br />berbicara tentang dampak disertasi itu diterbitkan. Sekadar catatan <br />kaki, saya memang mempelajari penelitian-penelitian Geertz, tetapi <br />itu hanyalah teknik dalam studi. <br /> Persoalannya, bagaimana melihat banyak hal hanya dengan <br />memandang satu hal saja (how to see the whole firmament in a grain <br />of sand). Ini sebetulnya teknik yang dianjurkan oleh Geertz sendiri <br />dalam thick description, metode yang cocok untuk mendalami proses-<br />proses perubahan sosial sebelum kita berbicara tentang hasil-hasil <br />pembahas sosial. <br /> Itulah sebabnya bagi saya penting melihat kerangka-kerangka <br />teoretis yang digunakan Geertz, sekalipun isi penelitian itu sendiri <br />banyak yang sudah kadaluwarsa. Mengenai teori, perlu dibuat catatan, <br />teori itu bukan otoritas tetapi hanya instrumen. Kalau berguna dan <br />cocok silakan pakai, kalau tidak, boleh dibuang. Hal yang masih <br />banyak kita jumpai ialah, karena Geertz atau Kahin bilang begitu, <br />lalu dengan sendirinya dianggap benar.<br /> ***<br />LANTAS bagaimana Anda menempatkan studi Geertz dalam konteks <br />Indonesia sekarang?<br /> Almarhum Harry Benda pernah bilang, para peneliti asing yang <br />datang ke Indonesia harus dikritik dalam satu hal. Pagi-pagi sebelum <br />melihat apa-apa, mereka sudah siap pertanyaan di kepala "apa yang <br />salah dengan negeri ini?" Tentu mereka boleh saja bertanya begitu, <br />tetapi sebelumnya mereka harus lihat dulu apa yang ada di sini. <br />Dalam hal ini saya kira Geertz juga terjebak. Karena dia merasa <br />menemukan proses involutif di mana-mana.<br /> Apakah di bagian akhir disertasi, Anda ajukan beberapa tesis <br />tertentu? Contohnya...<br /> Saya kira ada. Tetapi mungkin kurang menarik untuk ditemukan di <br />sini karena sifatnya teoretis dan akademis.<br /> Apakah Anda termasuk pengagum Geertz?<br /> Untuk seseorang yang melakukan studi, pertanyaan apakah dia <br />kagum atau benci sebetulnya tidak relevan. Sebuah studi misalnya <br />bisa timbul karena seorang merasa kagum atau jengkel. Tetapi begitu <br />dia mulai melaksanakan studi tersebut, dia harus mengikuti <br />peraturan-peraturan penelitian dan mengontrol perasaannya sendiri. <br />Kagum atau tidak adalah pertanyaan yang sebaiknya diajukan kepada <br />para fans kaum selebriti. <br /> Tentang kaum selebriti ini, saya punya komentar kecil tentang <br />kaum akademisi Indonesia. Saya kira kaum akademisi di sini punya <br />satu kemewahan yang tidak ada di negara lain. Begitu seorang lulus <br />sekolah dan menjadi doktor atau apa sajalah, dengan mudah dia masuk <br />ke dunia selebriti. Kalau dia ngomong di beberapa seminar, dia <br />menjadi cepat sekali populer seperti bintang film. Padahal tugas <br />kaum akademisi adalah meneliti dan mempublikasikan penelitiannya, <br />atau publish or perish. Jadi kalau mengikuti etos yang sebenarnya, <br />akademia itu dunia yang kejam juga sih. <br /> Di negara maju, seorang pengajar di universitas yang selama <br />setahun tidak menghasilkan satu tulisan pun akan gawat posisinya. <br />Mungkin dia turun pangkat atau kehilangan pekerjaan. Jadi betul-<br />betul berlaku asas penelitian dan publikasi, atau binasa! <br /> Dari segi itu Geertz ini boleh dicontoh dan dihormati. <br />Publikasinya menimbulkan diskusi baru. Umpamanya dalam bukunya yang <br />terbit tahun 1988, dia bilang bahwa antropolog-antropolog yang <br />berhasil dan berpengaruh dalam disiplin disebut adalah mereka yang <br />juga sukses secara sastra dalam penulisan mereka. Lalu tiba-tiba <br />Geertz menjadi bahan diskusi dan gunjingan dalam literary criticsm.<br /> Di sini publikasi ilmiah belum menjadi persyaratan yang begitu <br />ketat.<br /> Benar. Yang saya tahu dalam sosiologi umpamanya. Indonesia <br />merupakan negara yang termasuk the least represented countries dalam <br />jurnal-jurnal ilmiah internasional. Sebaliknya di negara maju, <br />orang-orang yang tidak berniat bekerja di akademia, tidak berniat <br />untuk promosi doktor. Walaupun dia jauh lebih pintar dibanding <br />calon-calon doktor yang ada. <br /> Di samping itu saya ingin mengusulkan pada kesempatan ini agar <br />orang-orang Indonesia yang hendak dikirim belajar ilmu sosial jangan <br />terlalu Indonesia-sentris. Tidak mesti bahwa seorang sosiolog atau <br />seorang ahli ilmu politik yang belajar di Amerika atau Australia, <br />harus mengambil lagi-lagi Indonesia sebagai pokok penelitian. <br /> Setahu saya dalam sosiologi, baru Dr Arief Budiman yang <br />mengambil negara lain sebagai pokok studi untuk disertasi (Cile, <br />Red). Saya juga terjebak dalam rame-rame yang sama, dan baru sadar <br />menjelang selesai.<br /> Di universitas-universitas Jerman, kita dengan mudah menebak <br />apakah seseorang berasal dari negara maju atau negara berkembang, <br />berdasarkan bidang studinya. Tidak ada orang Jepang yang datang ke <br />Jerman untuk belajar tentang sosiologi pembangunan Jepang atau <br />politik Jepang. Demikian pun susah sekali bertemu dengan orang <br />Taiwan yang datang ke Jerman dan menulis disertasi tentang ekonomi <br />Taiwan misalnya. <br /> Orang Jepang yang belajar sosiologi, pasti mengambil pokok <br />studi seperti konsep masyarakat borjuis pada Werner Sombart atau <br />pengertian rationalisasi pada Max Weber atau konsep autopoesis dalam <br />teori sistem Niklas Luhmann dan seterusnya.<br /> Pada kongres sosiologi sedunia di Bielefeld tahun lalu, ada <br />peristiwa yang sangat mengesankan saya. Pada waktu itu ada sebuah <br />sesi tentang sosiologi Niklas Luhmann. Ternyata yang bicara di sana <br />adalah tujuh orang Jepang, dengan dihadiri oleh Luhmann sendiri, dan <br />ceramah mereka disampaikan dalam bahasa Jerman.<br /> Saya bayangkan seperti tujuh orang Amerika atau Belanda yang <br />bicara tentang Indonesia di depan kita dengan menggunakan bahasa <br />Indonesia yang baik dan benar. <br /> Masih adakah relevansi studi-studi Geertz untuk keadaan <br />sekarang?<br /> Seperti sudah saya bilang, ada dua hal yang harus diperhatikan, <br />yaitu isi penelitian dan kerangka teoretis yang digunakan dalam <br />penelitian. Geertz menjadi penting dan menarik karena kerangka-<br />kerangka teoretis yang ditawarkan. <br /> Ambil contoh teori dia tentang involusi. Dalam pertanian ada <br />begitu banyak argumen yang melawan involusi pertanian di Jawa. Dan <br />ahli-ahli sosiologi pertanian bilang bahwa involusi dalam pengertian <br />"pembagian kemiskinan" itu hampir sulit sekali dibuktikan. Karena <br />dengan adanya revolusi hijau, petani besar menjadi kuat, petani <br />kecil mendapat manfaat yang sedikit sekali. <br /> Namun involusi sebagai proses perumitan organisasi pertanian, <br />masih bisa dipakai kerangkanya, juga untuk meneliti sektor lain. <br />Ternyata hal inilah yang dilakukan oleh sarjana ilmu sosial lain.***<br /><br /> <br />Pewawancara: <br />St. Sularto&#26;

No comments: