DOKTOR Ignas Kleden (46) berlatar belakang ilmu filsafat,
tetapi kegiatan sehari-hari terutama di bidang sosial, politik dan
kebudayaan. Tahun 1982 memperoleh gelar MA ilmu filsafat dari
Universitas Munchen. Awal tahun 1995 memperoleh gelar doktor
sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman. Disertasinya menggugat
studi-studi Clifford Geertz (69) tentang Indonesia secara
keseluruhan.
"Selama ini studi-studi tentang Geertz bersifat sektoral. Para
peneliti hanya meninjau satu sektor tertentu tanpa terlalu banyak
memperhatikan hubungannya dengan sektor lain," katanya kepada
Kompas, awal April lalu.
Menurut bapak satu anak kelahiran Flores Timur ini, Geertz
bersama sejumlah sarjana Amerika, adalah generasi pertama yang
membawa studi Indonesia keluar dari Belanda. Geertz antropolog yang
dengan berani memasuki berbagai sektor sekaligus dan berani
mengemukakan pendapat-pendapatnya dengan elegan sekaligus
provokatif.
Nama Clifford Geertz, antropolog kelahiran San Francisco 23
Agustus 1926 itu sangat populer. Teori-teorinya tentang masyarakat
Jawa dijadikan referensi, bahkan seolah dianggap sebagai satu-
satunya kebenaran. Tahun 1992, guru besar Institute for Advanced
Studies Universitas Princeton itu memperoleh penghargaan dari
Fukuoka Asian Cultural Prize Foundation. Dia dinilai berjasa
melakukan penelitian lapangan di Indonesia sebagai bagian dari studi
perbandingan kebudayaan Amerika dan Asia. Dari 17 buku yang
ditulisnya, termasuk bersama istrinya, Hildred Geertz, beberapa buku
sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Ignas Kleden, sekarang sebagai staf sebuah LSM, SPES, sejak
tahun 1989 meninggalkan kesibukannya sebagai staf di LP3ES menuju
Jerman, meneliti karya-karya Geertz. Dalam sebuah wawancara panjang,
sampai membutuhkan dua kali pertemuan di kantornya, Tebet Barat,
Ignas menguraikan sebagian kecil tentang Geertz, Indonesia dan ilmu
sosial.
Karena keterbatasan ruangan, wawancara dengan Bung Ignas, suami
Dr Ninuk Kleden Purbonegoro (antropolog) dan ayah seorang anak
(Pascal), hanya dimuat sebagian.
BARANGKALI Anda orang pertama Indonesia yang menggugat teori-
teori Geertz secara keseluruhan.
Sampai sekarang sudah ada lebih dari 40 publikasi ilmiah
tentang studi Geertz mengenai involusi pertanian saja. Masih banyak
lagi studi kritis tentang penelitiannya mengenai sektor-sektor lain.
Umumnya studi-studi sekunder itu bersifat sektoral, hanya meninjau
satu sektor tertentu (misalnya pertanian) tanpa banyak memperhatikan
hubungannya dengan sektor lain (misalnya perdagangan). Dalam studi
saya, saya berusaha mendekati studi-studi Geertz secara keseluruhan.
In toto, begitu.
Disertasi saya bagi menjadi tiga bagian. Pertama, saya berusaha
menunjukkan dan membuktikan bahwa dalam semua penelitian, Geertz
tidak berbuat lain daripada menerapkan tesis involusi. Hal ini perlu
saya lakukan, karena Geertz tidak pernah mengatakan demikian.
Kedua, saya meninjau secara kritis apakah involusi dalam
bidang-bidang tersebut bisa dipertahankan atau tidak kalau
dibandingkan dengan data sekunder lain tentang sektor yang sama.
Ketiga, kalau memang ada involusi dalam berbagai sektor yang
diteliti di Indonesia, apakah hal ini lebih merupakan persoalan
empiris atau hermeneutik, yaitu persoalan data yang mencukupi atau
tidak, atau malah persoalan interpretasi sesuai atau tidak. Ini
persoalan obyek penelitian atau persoalan peneliti, persoalan
Indonesia atau persoalan Geertz sendiri?
Kesimpulan saya, involusi ala Geertz lebih merupakan hasil dari
interpretasi yang dibuatnya.
Bagaimana gugatan itu lebih dijabarkan?
Pertama-tama Geertz hanya menunjuk adanya involusi pertanian.
Namun sekalipun dia tidak pernah berbicara tentang involusi dalam
bidang lain, dalam studi saya menjadi jelas bahwa yang ditunjuk
Geertz dalam penelitiannya sekurang-kurangnya tujuh sektor di
Indonesia tahun 50-0an itu tak lain dari involusi atau proses di
mana terjadi perubahan sosial terputus di tengah jalan. Ketujuh
sektor itu meliputi pertanian, perdagangan kecil (petty trade),
aliran, perkotaan, agama, politik klasik (the theater state) serta
hubungan antara negara bangsa dan etnisitas.
Kedua, dalam meninjau studi-studi itu dua hal menjadi pokok
perhatian saya, yaitu isi (content) dan kerangka (framework).
Sekalipun isi penelitian-penelitian itu banyak yang sudah
kadaluwarsa, kerangka yang ditawarkan Geertz tidak bisa diabaikan,
malahan amat banyak dipakai baik oleh peneliti asing tentang
Indonesia maupun oleh peneliti-peneliti Indonesia sendiri.
Ketiga, penelitian saya lakukan karena merasa betapa
tergantungnya kita pada kerangka-kerangka teoritis yang dibuat oleh
peneliti asing tentang Indonesia. Sekurang-kurangnya dalam ilmu-ilmu
sosial kita belum merdeka. Ini tidak berarti kita harus menutup diri
dan membuangnya sama sekali penelitian yang dilakukan orang asing,
tetapi hanya dalam arti, kita sangat tergantung pada hasil-hasil
penelitian yang dibuat orang asing tentang diri kita dan negeri
kita. Ada beberapa hasil studi yang dilakukan sarjana kita sendiri,
dengan kewibawaan sendiri, tetapi justru kurang dihargai oleh
kalangan bangsa sendiri.
Dalam hubungan itu, disertasi saya semacam exercise untuk
mengecek seberapa kuat sih penelitian yang dilakukan Geertz,
sehingga pengaruhnya sedemikian besar. Dalam hal ini saya tidak ada
kompleks antiasing. Keberatan saya, pandangan diri kita sendiri, kok
sangat tergantung orang asing. Sejak dulu, sejak zaman Belanda
sedikit sekali usaha kita untuk meninjau kembali teori-teori yang
dibuat oleh orang lain tentang negeri kita.
Artinya sejak dulu kita kurang menggugat teori-teori tentang
diri kita sendiri.
Ya. Kalau Anda lihat, banyak sekali penelitian tentang
Indonesia yang sudah dilakukan sarjana Belanda, jasa mereka amat
besar. Akan tetapi konsep-konsep yang mereka bangun seringkali
diambil alih begitu saja. Saya kira konsep kita tentang desa yang
harmonis, tenteram dan homogen adalah hasil konstruksi orang
Belanda. Ternyata kehidupan di desa sangat heterogen dan dinamis.
Mengapa Belanda? Ada kaitan dengan penjajahan?
Begini. Ada semacam pertentangan di antara ahli-ahli Belanda
dulu. Apakah pembaruan harus masuk ke sini atau tidak. Pihak-pihak
yang berpihak pada politik etis sangat menganjurkan pembaruan dan
kemajuan di kalangan pribumi, dan ini dilakukan untuk membalas budi
kepada tanah jajahan. Tetapi di kalangan mereka sendiri ada juga
orang-orang yang sedikit romantis dalam pandangan mereka.
Orang seperti Boeke misalnya sedikit romantis, sehingga dalam
pandangannya dia memisahkan sektor yang kapitalis dan sektor yang
prakapitalis. Yang prakapitalis adalah kehidupan asli di desa
menurut dia jangan dirusak struktur sosial atau nilai-nilainya oleh
nilai yang bersifat kapitalis. Karena apa? Karena di desa-desa yang
dominan bukan sikap ekonomis tetapi sikap sosial seperti harmoni,
gotong royong, dan tolong menolong.
Pandangan seperti itu diteruskan oleh sarjana-sarjana seperti
Geertz dengan teorinya tentang involusi pertanian, yang melihat
bahwa gotong royong atau tolong menolong menemukan realisasinya yang
bersifat ekonomis dalam involusi pertanian, di mana petani yang
mendapat lebih banyak hasil tidak menjualnya untuk investasi, tetapi
menyerahkan sebagian kepada orang-orang yang tidak mempunyai tanah.
Dengan kata lain, peningkatan produksi per hektar tidak
mengakibatkan peningkatan per kepala. Karena pertambahan hasil
pertanian hanya digunakan untuk memberi makan kepada penduduk yang
bertambah banyak.
Salah satu argumennya ialah, pemilikan tanah di Jawa (sampai
tahun penelitian) tidak pernah berkembang menjadi pemilikan tanah
besar, seperti halnya pemilikan tanah besar borjuasi pertanian di
Filipina. Pemilikan tanah tetap relatif kecil karena tanah cenderung
dibagi-bagikan.
***
MENGAPA Anda mengambil tokoh Geertz?
Pertama, dia bersama dengan beberapa sarjana Amerika lainnya
adalah generasi pertama yang merebut konsentrasi studi Indonesia di
Belanda dan mendekonstrasikannya ke Amerika. Sebelum itu, Belanda
merupakan pusat terpenting studi Indonesia. Sekarang sudah ada
banyak pusat seperti itu di dunia. Tetapi Geertz dengan teman-
temannya adalah orang-orang non-Belanda pertama yang dengan
berwibawa memindahkan otoritas itu keluar Belanda. Untuk generasi
post-kemerdekaan jelas orang-orang seperti Geertz lebih menarik,
karena dia menulis dalam bahasa Inggris yang lebih mudah dipahami
oleh generasi baru dibandingkan dengan bahasa Belanda.
Kedua, dialah antropolog yang dengan berani memasuki
berbagai sektor sekaligus dan berani juga mengemukakan pendapat-
pendapatnya dengan cara yang sekaligus elegan dan provokatif,
terlepas dari apakah pendapat itu dapat dipertahankan atau tidak.
Profesor saya di Jerman pernah bilang, Geertz itu boleh dianggap
sebagai Max Weber untuk Asia Tenggara. Menurut saya beberapa
pendapat Geertz sekalipun terbukti salah akan tetap menarik, karena
sebagai pendapat yang salah pun tetap merupakan kesalahan yang
inteligen dan menarik.
Dari eksplorasi Anda, apakah Anda menemukan kesalahan-kesalahan
fatal yang dilakukan Geertz?
Kritik kepada Geertz saya lakukan pada dua tingkat. Pertama,
pada tingkat empiris dengan mengecek apakah data-data yang
digunakannya mencukupi atau tidak. Kedua, pada tingkat hermeneutik,
dengan melihat apakah interpretasinya tentang data-data tersebut
bisa diterima atau tidak. Tekanan dalam studi saya ada pada kritik
hermeneutik ini, karena kritik-kritik yang bersifat empiris sudah
dilakukan oleh banyak peninjau lain dalam sektor-sektor yang menjadi
bidang keahlian mereka.
Jadi persoalannya bukan kelengkapan data, tapi ketepatan
penafsiran?
Ya. Geertz sebetulnya tidak begitu banyak melakukan penelitian
lapangan. Yang pertama di Pare tahun 1952-54 dan kedua di Bali tahun
1957-58. Penelitiannya di Maroko dilakukan dua kali pada tahun 1964
dan diteruskan pada tahun 1965-66, tetapi rupanya tidak seintensif
penelitiannya di Jawa dan Bali. Jadi buku yang merupakan studi
etnografis yang benar-benar hanya disertasi dia, The Religion of
Java (1960).
Rupanya, dengan buku ini Geertz mau menunjuk metode etnografi
dalam antropologi secara jelas dengan mengandalkan uraian dan
analisisnya terutama pada pengamatan dan wawancara langsung di
lapangan. Sampai-sampai timbul kritik bahwa studi ini sangat
mengabaikan studi-studi lain yang dibuat sebelumnya, yang sedikit
sekali dirujuk oleh Geertz.
Bukunya yang paling sensasional, Agricultural Involution
(1963), adalah hasil studi kepustakaan. Demikian juga studi
perbandingan yang dibuatnya tentang Islam di Indonesia dan Maroko,
lebih merupakan esai yang bagus daripada etnografi yang ketat
seperti dalam disertasinya.
(Ignas Kleden lantas menguraikan panjang lebar tentang kerangka
teoritis yang digunakan Geertz, yang bertolak dari kritik yang
diajukannya kepada fungsionalisme struktural yang pada tahun 50-60-
an menguasai ilmu-ilmu sosial di AS, Red).
Dampak disertasi Anda untuk pengembangan dan penelitian ilmu-
ilmu sosial di Indonesia?
Soal dampak tentu saya tidak tahu, dan kita tidak mungkin
berbicara tentang dampak disertasi itu diterbitkan. Sekadar catatan
kaki, saya memang mempelajari penelitian-penelitian Geertz, tetapi
itu hanyalah teknik dalam studi.
Persoalannya, bagaimana melihat banyak hal hanya dengan
memandang satu hal saja (how to see the whole firmament in a grain
of sand). Ini sebetulnya teknik yang dianjurkan oleh Geertz sendiri
dalam thick description, metode yang cocok untuk mendalami proses-
proses perubahan sosial sebelum kita berbicara tentang hasil-hasil
pembahas sosial.
Itulah sebabnya bagi saya penting melihat kerangka-kerangka
teoretis yang digunakan Geertz, sekalipun isi penelitian itu sendiri
banyak yang sudah kadaluwarsa. Mengenai teori, perlu dibuat catatan,
teori itu bukan otoritas tetapi hanya instrumen. Kalau berguna dan
cocok silakan pakai, kalau tidak, boleh dibuang. Hal yang masih
banyak kita jumpai ialah, karena Geertz atau Kahin bilang begitu,
lalu dengan sendirinya dianggap benar.
***
LANTAS bagaimana Anda menempatkan studi Geertz dalam konteks
Indonesia sekarang?
Almarhum Harry Benda pernah bilang, para peneliti asing yang
datang ke Indonesia harus dikritik dalam satu hal. Pagi-pagi sebelum
melihat apa-apa, mereka sudah siap pertanyaan di kepala "apa yang
salah dengan negeri ini?" Tentu mereka boleh saja bertanya begitu,
tetapi sebelumnya mereka harus lihat dulu apa yang ada di sini.
Dalam hal ini saya kira Geertz juga terjebak. Karena dia merasa
menemukan proses involutif di mana-mana.
Apakah di bagian akhir disertasi, Anda ajukan beberapa tesis
tertentu? Contohnya...
Saya kira ada. Tetapi mungkin kurang menarik untuk ditemukan di
sini karena sifatnya teoretis dan akademis.
Apakah Anda termasuk pengagum Geertz?
Untuk seseorang yang melakukan studi, pertanyaan apakah dia
kagum atau benci sebetulnya tidak relevan. Sebuah studi misalnya
bisa timbul karena seorang merasa kagum atau jengkel. Tetapi begitu
dia mulai melaksanakan studi tersebut, dia harus mengikuti
peraturan-peraturan penelitian dan mengontrol perasaannya sendiri.
Kagum atau tidak adalah pertanyaan yang sebaiknya diajukan kepada
para fans kaum selebriti.
Tentang kaum selebriti ini, saya punya komentar kecil tentang
kaum akademisi Indonesia. Saya kira kaum akademisi di sini punya
satu kemewahan yang tidak ada di negara lain. Begitu seorang lulus
sekolah dan menjadi doktor atau apa sajalah, dengan mudah dia masuk
ke dunia selebriti. Kalau dia ngomong di beberapa seminar, dia
menjadi cepat sekali populer seperti bintang film. Padahal tugas
kaum akademisi adalah meneliti dan mempublikasikan penelitiannya,
atau publish or perish. Jadi kalau mengikuti etos yang sebenarnya,
akademia itu dunia yang kejam juga sih.
Di negara maju, seorang pengajar di universitas yang selama
setahun tidak menghasilkan satu tulisan pun akan gawat posisinya.
Mungkin dia turun pangkat atau kehilangan pekerjaan. Jadi betul-
betul berlaku asas penelitian dan publikasi, atau binasa!
Dari segi itu Geertz ini boleh dicontoh dan dihormati.
Publikasinya menimbulkan diskusi baru. Umpamanya dalam bukunya yang
terbit tahun 1988, dia bilang bahwa antropolog-antropolog yang
berhasil dan berpengaruh dalam disiplin disebut adalah mereka yang
juga sukses secara sastra dalam penulisan mereka. Lalu tiba-tiba
Geertz menjadi bahan diskusi dan gunjingan dalam literary criticsm.
Di sini publikasi ilmiah belum menjadi persyaratan yang begitu
ketat.
Benar. Yang saya tahu dalam sosiologi umpamanya. Indonesia
merupakan negara yang termasuk the least represented countries dalam
jurnal-jurnal ilmiah internasional. Sebaliknya di negara maju,
orang-orang yang tidak berniat bekerja di akademia, tidak berniat
untuk promosi doktor. Walaupun dia jauh lebih pintar dibanding
calon-calon doktor yang ada.
Di samping itu saya ingin mengusulkan pada kesempatan ini agar
orang-orang Indonesia yang hendak dikirim belajar ilmu sosial jangan
terlalu Indonesia-sentris. Tidak mesti bahwa seorang sosiolog atau
seorang ahli ilmu politik yang belajar di Amerika atau Australia,
harus mengambil lagi-lagi Indonesia sebagai pokok penelitian.
Setahu saya dalam sosiologi, baru Dr Arief Budiman yang
mengambil negara lain sebagai pokok studi untuk disertasi (Cile,
Red). Saya juga terjebak dalam rame-rame yang sama, dan baru sadar
menjelang selesai.
Di universitas-universitas Jerman, kita dengan mudah menebak
apakah seseorang berasal dari negara maju atau negara berkembang,
berdasarkan bidang studinya. Tidak ada orang Jepang yang datang ke
Jerman untuk belajar tentang sosiologi pembangunan Jepang atau
politik Jepang. Demikian pun susah sekali bertemu dengan orang
Taiwan yang datang ke Jerman dan menulis disertasi tentang ekonomi
Taiwan misalnya.
Orang Jepang yang belajar sosiologi, pasti mengambil pokok
studi seperti konsep masyarakat borjuis pada Werner Sombart atau
pengertian rationalisasi pada Max Weber atau konsep autopoesis dalam
teori sistem Niklas Luhmann dan seterusnya.
Pada kongres sosiologi sedunia di Bielefeld tahun lalu, ada
peristiwa yang sangat mengesankan saya. Pada waktu itu ada sebuah
sesi tentang sosiologi Niklas Luhmann. Ternyata yang bicara di sana
adalah tujuh orang Jepang, dengan dihadiri oleh Luhmann sendiri, dan
ceramah mereka disampaikan dalam bahasa Jerman.
Saya bayangkan seperti tujuh orang Amerika atau Belanda yang
bicara tentang Indonesia di depan kita dengan menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Masih adakah relevansi studi-studi Geertz untuk keadaan
sekarang?
Seperti sudah saya bilang, ada dua hal yang harus diperhatikan,
yaitu isi penelitian dan kerangka teoretis yang digunakan dalam
penelitian. Geertz menjadi penting dan menarik karena kerangka-
kerangka teoretis yang ditawarkan.
Ambil contoh teori dia tentang involusi. Dalam pertanian ada
begitu banyak argumen yang melawan involusi pertanian di Jawa. Dan
ahli-ahli sosiologi pertanian bilang bahwa involusi dalam pengertian
"pembagian kemiskinan" itu hampir sulit sekali dibuktikan. Karena
dengan adanya revolusi hijau, petani besar menjadi kuat, petani
kecil mendapat manfaat yang sedikit sekali.
Namun involusi sebagai proses perumitan organisasi pertanian,
masih bisa dipakai kerangkanya, juga untuk meneliti sektor lain.
Ternyata hal inilah yang dilakukan oleh sarjana ilmu sosial lain.***
Pewawancara:
St. Sularto
No comments:
Post a Comment