Saturday, March 28, 2009

Esensialisme Kebudayaan dan Pragmatisme Politik

Esensialisme Kebudayaan dan Pragmatisme Politik

Oleh Ignas Kleden

UNTUK waktu yang sangat lama pemikiran ilmu sosial dan kalangan
politik dikuasai oleh gagasan esensialis tentang kebudayaan. Secara
sederhana dalam gagasan itu diandalkan dan dipercaya begitu saja,
bahwa kebudayaan terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah
selesai, mantap, baku dan berdiri sendiri.

Yang diabaikan dalam gagasan esensialis adalah peranan para pendukung
kebudayaan dalam memberi bentuk dan isi kepada kebudayaan mereka.
Asumsi yang dianut adalah bahwa tingkah laku sekelompok orang akan
tergantung kepada nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan yang
dianutnya. Jadi, untuk mengubah tingkah laku budaya perlulah diubah
terlebih dahulu seluruh perangkat nilai dan norma kebudayaan yang
menjadi pedoman bagi tingkah laku budaya.

Pemikiran seperti itulah yang saya kira telah menjadi dasar kerisauan
saudara Mohamad Muzamil dalam artikelnya berjudul Perubahan Nilai atau
Budaya Politik? (Kompas, 24 Maret 1998). Pertanyaan yang diajukannya
kepada saya sedikit-banyaknya mencerminkan pemikiran kaum esensialis:
"Apakah sistem nilai politik yang berlaku saat ini menyimpang dari
sistem nilai yang telah diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia
sehingga perlu adanya perubahan menyeluruh terhadap sistem nilai?
Ataukah yang terjadi saat ini adalah penyimpangan budaya dari
nilai-nilai dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia?"

Dalam pertanyaan yang simpatik ini diandaikan bahwa ada sistem nilai
yang telah selesai dan baku (yaitu "yang telah diyakini kebenarannya
oleh bangsa Indonesia"). Demikian pun kalau ada penyimpangan dalam
budaya politik maka itu hanyalah penyimpangan budaya dari nilai-nilai
dasar yang dimiliki bangsa Indonesia.

Dalam pemikiran tersebut dibedakan dan bahkan dipisahkan dengan jelas
tingkah laku pendukung suatu kebudayaan dari nilai-nilai dan
norma-norma kebudayaan yang diandaikan baku, selesai, sempurna, dan
tak tersentuh lagi oleh pengaruh tingkah laku budaya dalam kehidupan
nyata. Ada semacam kepercayaan yang bersifat platonis bahwa nilai dan
norma-norma budaya berada pada sebuah "dunia ide-ide" yang otonom,
sedangkan tingkah laku budaya hanya merupakan pantulan dan tiruan yang
kurang sempurna dari dunia ide tersebut. Kalau ada yang menyimpang
dalam kebudayaan maka yang harus diubah adalah tingkah laku budaya dan
bukannya nilai dan norma-norma kebudayaan. Secara populer pemikiran
ini terlontar dalam ungkapan yang acap terdengar: jangan salahkan
kebudayaan, tapi salahkanlah orangnya!

***

KALAU manusia dibentuk oleh kebudayaannya, maka seseorang menjadi Jawa
karena kebudayaannya, demikian pun seseorang menjadi Minang karena
kebudayaannya. Seorang Jawa yang sejak kecilnya hidup di Jepang di
tengah-tengah keluarga Jepang akan menjadi Jepang secara budaya.

Gagasan ini kemudian diperkuat oleh antropologi budaya yang
menyelidiki kebudayaan suatu kelompok budaya. Kalau seorang peneliti
datang ke Mentawai misalnya, maka yang menarik dia adalah bagaimana
pola-pola kebudayaan orang Mentawai saat itu, dan bagaimana
orang-orang Mentawai hidup menurut nilai-nilai dan norma-norma yang
mereka anut. Peneliti tersebut telah menerima kebudayaan Mentawai
sebagai barang-jadi yang sudah ada, sudah terbentuk, dan hanya
memperhatikan bagaimana pola-pola kebudayaan tersebut bekerja dalam
kehidupan sehari-hari.

Yang sering tidak dipersoalkan adalah bagaimana orang Mentawai
membentuk kebudayaan mereka. Bagaimana sejarah mereka mempengaruhi
terbentuknya pola-pola kebudayaan mereka, dan bagaimana pembangunan
dan politik Indonesia saat ini mendesakkan beberapa perubahan dalam
kebudayaan mereka. Prof Reimar Schefold dari Universitas Leiden, yang
semenjak tahun 1970-an menyelidiki kebudayaan Mentawai, menemukan
bahwa dewasa ini ritual-ritual keagamaan dan tabu-tabu orang Sakuddei
di Kepulauan Mentawai menjadi jauh lebih rumit dari sebelumnya. Dengan
ritual seperti itu orang luar menjadi sulit sekali masuk karena
ritual-ritual itu menjadi sulit dipahami, sulit ditembus, menjadi
lebih hermetic.

Terjadi semacam involusi keagamaan dan involusi ritual. Menurut
peneliti ini, pengrumitan ritual itu dimaksudkan untuk melindungi
orang Mentawai dan masyarakat Mentawai dari penerobosan oleh
program-program pembangunan yang kini dijalankan secara nasional, dan
yang dalam banyak kasus menyudutkan mereka pada posisi sulit.
Perumitan ritual dimaksudkan sebagai benteng untuk melindungi
orang-orang Mentawai dari pengaruh-pengaruh luar yang demikian gencar
dan luas.

Terlihat di sini bahwa bukan hanya kebudayaan yang membentuk sifat
orang dan masyarakatnya, tetapi sebaliknya pendukung suatu kebudayaan
secara aktif memberi bentuk dan isi kepada kebudayaan mereka.
Kebudayaan tidak cukup hanya dipandang sebagai nilai dan norma tetapi
dapat dan harus juga dipandang sebagai wacana, yaitu sebagai hasil
bentukan dan hasil konstruksi sosial dari sekelompok orang dalam
mencari orientasi kepada lingkungan hidupnya. Konsepsi bahwa manusia
dibentuk oleh kebudayaan kini diimbangi secara meyakinkan oleh
konsepsi lain bahwa kebudayaan juga dibentuk oleh para pendukungnya.

Dengan demikian sulit sekali mengatakan bahwa ada nilai-nilai, norma,
atau pola kebudayaan yang boleh dianggap selesai, baku dan tak berubah
lagi karena "telah diyakini kebenarannya" oleh semua orang.
Kebudayaan, pada dasarnya, bukanlah soal kebenaran, tetapi soal
praktek dan kebiasaan. Kalau kekerasan terus-menerus dipraktekkan,
maka lambat laun dia akan dibudayakan (sekalipun hal ini tak pernah
dapat dibenarkan!).

***

DALAM sebuah negara modern proses konstruksi sosial kebudayaan itu
berlangsung juga (dan terutama) dalam apa yang dinamakan budaya
politik. Tingkah laku elite politik, bisa sesuai dengan nilai-nilai
umum yang dianggap luhur, tetapi bisa juga menyimpang daripadanya.
Dalam kedua keadaan itu, apakah dia sejalan atau menyimpang, tingkah
laku itu tetap mempunyai kekuatan yang besar dalam membentuk
kebudayaan. Jadi kalau korupsi, kekerasan atau nepotisme hidup subur
dalam politik, dia membentuk budaya politik itu, yang kalau meluas,
dapat juga mengubah kebudayaan. Tanpa ada perlawanan dan kritik
terhadap praktek-praktek tersebut, maka korupsi, kekerasan dan
nepotisme dalam suatu budaya politik akan diterima sebagai bahagian
kebudayaan dan bukan sekadar penyelewengan daripadanya.

Jadi apakah nilai-nilai dalam politik Indonesia sesuai atau menyimpang
dari apa yang oleh sdr Mohamad Muzamil dinamakan nilai-nilai luhur,
kedua proses itu tetap mempunyai pengaruh yang konstitutif terhadap
kebudayaan Indonesia. Anggapan bahwa ada nilai-nilai yang tak
tersentuh, dan ada tingkah laku budaya yang menyimpang, yang tidak
kena-mengena dengan nilai-nilai luhur tersebut, adalah suatu jalan
pikiran esensialis yang melihat kebudayaan sebagai dunia platonis yang
berada di luar sejarah.

***

PERTANYAAN yang sangat menarik adalah mengapa gerangan pemikiran
esensialis tentang kebudayaan ini demikian dominan? Secara ilmiah, hal
ini jelas merupakan pengaruh positivisme yang memandang kebudayaan
sebagai given, barang-jadi yang bisa diteliti secara empiris
gejala-gejala dan pola-polanya. Positivisme hanya sanggup menangkap
kehadiran sebuah kebudayaan dengan pola-polanya sebagaimana sudah
terbentuk. Namun, dia gagal menangkap proses pembentukan kebudayaan
itu.

Dalam proses pembentukan tersebut (yaitu dalam konstruksi sosial
kebudayaan) akan terlihat kekuatan-kekuatan, kepentingan-kepentingan
dan berbagai ide yang membentuk suatu kebudayaan dalam suatu konteks
sejarah yang konkret. Setiap kebudayaan ada riwayat hidupnya, dan
konstruksi sosial adalah semacam biografi tentang kebudayaan
bersangkutan.

Dari segi itu dapat dipahami mengapa penjajah Belanda dulu selalu
mempropagandakan bahwa pribumi adalah orang-orang malas. Dengan
mengatakan bahwa pribumi pada dasarnya malas, maka seluruh tanggung
jawab terhadap kemiskinan dan kemelaratan di daerah koloni dibebankan
kepada pribumi yang tidak mau bekerja keras, sementara seluruh usaha
kolonial dalam mengeruk kekayaan Indonesia untuk dibawa ke luar tidak
lagi disinggung-singgung. Di sini kebudayaan orang-orang pribumi
dibangun dalam satu wacana dengan citra yang membela dan menyelamatkan
kepentingan kolonial dan kekuasaan kolonial.

Dalam politik praktis, esensialisme kebudayaan ini pun banyak
manfaatnya. Di sini diajukan dua strategi pemanfaatannya. Pertama,
dengan menganggap bahwa ada nilai-nilai dan norma yang sudah selesai
dan sempurna sebagai barang-jadi, segolongan orang yang kebetulan
berkuasa merasa dapat menguasai dan bahkan memonopoli nilai dan norma
tersebut, seperti memonopoli penjualan minyak atau kertas misalnya.
Golongan ini merasa dapat menentukan praktek mana yang sesuai dengan
apa yang dinamakan nilai luhur dan mana pula yang bertentangan, tanpa
ada kemungkinan diskusi atau diskursus mengenai tindakan tersebut.

Kedua, kalau kemudian terjadi banyak penyimpangan maka hal tersebut
selalu dapat dinetralisir dengan merujuk terus-menerus kepada apa yang
dianggap penyelewengan yang sedang terjadi di depan mata.
Esensialisme, sampai tingkat tertentu, membebaskan orang dari beban
menanggung hipokrisi, karena kepercayaan yang diciptakannya sendiri,
bahwa tindakan dan tingkah laku budaya adalah satu hal, sedangkan
nilai budaya adalah hal lainnya. Begitulah, seseorang mengambil dan
memanfaatkan uang negara untuk pentingan dirinya, sambil tetap dengan
anggun berbicara tentang nilai-nilai kejujuran dan pengabdian tanpa
pamrih untuk nusa dan bangsa.

Yang dilupakan di sana ialah bahwa tindakan dan tingkah laku budaya
selalu mempengaruhi kebudayaan, dan bahwa nilai-nilai luhur dalam
kebudayaan hanya mungkin ada kalau kita membuatnya luhur. Sebaliknya,
nilai-nilai itu akan babak-belur atau hancur-lebur kalau tingkah laku
itu bagaikan "jauh panggang dari api".

Secara singkat: esensialisme kebudayaan adalah argumen pragmatis untuk
menghindari tanggung jawab kebudayaan dalam politik dengan cara
memisahkan tingkah laku budaya dari nilai-nilai kebudayaan, dan karena
itu menafikan akibat tingkah laku budaya terhadap pembentukan
kebudayaan. Pandangan konstruksionis tentang kebudayaan dapat
menyingkapkan distorsi yang sering muncul dalam kesadaran: orang yang
tak sanggup melakukan apa yang dipercayainya, akan cenderung percaya
pada apa yang dilakukannya.

( * Ignas Kleden, sosiolog; tinggal di Jakarta. )

No comments: