Oleh Ignas Kleden
PADA saat orang mulai berbicara tentang perlunya reformasi sistem
politik, ada juga yang mencoba bersuara lain. Dikatakan misalnya bahwa
daripada berbicara tentang reformasi sistem politik lebih realistis
memikirkan pembaruan budaya politik. Dalam diskusi akademis, istilah
budaya politik kadangkala menimbulkan sinisme. Dianggap budaya politik
tidak lebih dari sekadar argumen dan dalih ilmiah untuk membenarkan
praktek politik yang sedang berjalan.
Sinisme tersebut tentulah ada sebab-musababnya. Salah satunya ialah
karena budaya politik tidak lain dari nilai dan kebiasaan yang
berkembang di kalangan elite politik, dan menjadi semacam subkultur
dalam kalangan ini. Masalahnya timbul karena nilai-nilai dan kebiasaan
tersebut dianut oleh sekelompok orang yang relatif berkuasa dan
berpengaruh secara politik. Akibatnya, nilai-nilai, pandangan,
kebiasaan dan tingkah laku kelompok sosial ini dengan mudah menyebar,
diikuti dan diterima oleh kalangan masyarakat yang lebih luas.
Dengan demikian, kalau dalam bidang ekonomi gaya hidup kelas menengah
kota mudah menjalar dan ditiru oleh strata sosial lainnya (juga kalau
pendapatan mereka sebenarnya tidak mencukupi untuk membiayai gaya
hidup tersebut), maka budaya politik adalah semacam "gaya hidup" dalam
bidang politik yang dengan mudah menular kepada warga negara biasa
yang tidak menjadi bahagian dari elite politik (meskipun tingkah laku
tersebut tidak selalu disetujuinya secara sadar).
Kesulitannya ialah bahwa dalam meniru sebuah tingkah laku politik,
orang kebanyakan lebih mengandalkan mata daripada telinga. Apa yang
dilihatnya dengan mata kepala lebih dipercayai dan lebih cepat ditiru
daripada apa yang didengarnya melalui ajaran-ajaran dan
penataran-penataran resmi. Di sinilah kesulitan yang akan dihadapi
oleh para petinggi politik kita sebagai anggota elite politik.
Ada semacam kepercayaan dalam kalangan ini bahwa rakyat banyak dapat
diyakinkan dengan kata-kata dan ucapan-ucapan mulia yang disampaikan
dalam bentuk wejangan. Padahal yang terjadi ialah bahwa apa yang
didengar akan selalu diuji kembali dengan mata kepala mereka. Kalau
kemudian ternyata bahwa apa yang didengar terlalu besar bedanya dengan
apa yang dilihat, maka mereka akan dengan mudah memilih meniru apa
yang dilihat dan melupakan begitu saja apa yang didengar.
***
DALAM menghadapi budaya politik kita mau tak mau akan berhadapan
dengan sebuah dilema umum yang dihadapi dalam kebudayaan. Ada
kepercayaan, yang buat sebahagian memang ditunjang oleh teori ilmu
sosial, bahwa budaya politik adalah seperangkat nilai, norma dan
kebiasaan yang menjadi dasar bagi tingkah laku para elite politik.
Seterusnya diandaikan pula bahwa budaya politik tersebut didasarkan
pada nilai-nilai budaya dominan yang sedang berlaku.
Jadi berkembanglah anggapan bahwa tingkah laku politik di Indonesia
misalnya haruslah didasarkan kepada nilai-nilai budaya Indonesia
seperti sopan santun, kesediaan menggunakan cara-cara yang tidak
menyakitkan perasaan dalam menyatakan perbedaan pendapat, kesediaan
untuk berkorban bagi kepentingan umum yang lebih besar, dan hormat
kepada kekuasaan dan kepada mereka yang memangku kekuasaan.
Yang dilupakan dalam pembicaraan tentang budaya politik ialah bahwa
kebudayaan tidaklah hanya berisikan nilai-nilai dan norma-norma,
tetapi sekaligus memberi kemungkinan yang sama besarnya bahwa nilai
dan norma tersebut diselewengkan untuk kepentingan ekonomi,
kepentingan kekuasaan atau kepentingan lainnya, di mana penyelewengan
tersebut juga dengan mudah dilakukan atas nama nilai-nilai budaya yang
sama.
Secara teoretis dapatlah dikatakan dengan sederhana: budaya politik
tidak sekadar menjadi dasar bagi tingkah laku politik tetapi juga
dibentuk dan diberi wujud nyata oleh tingkah laku politik. Hubungan
antara budaya politik dan tingkah laku politik bukanlah bahwa yang
pertama mempengaruhi yang kedua, tetapi juga bahwa tingkah laku
politik mempengaruhi wujud dan sifat budaya politik. Ini berarti,
tingkah laku politik yang bersih akan menghasilkan budaya politik yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, dan sebaliknya tingkah laku
politik yang korup akan menghasilkan budaya politik yang dengan mudah
memaafkan (dan pada
akhirnya membenarkan), berbagai penyelewengan.
***
PADA titik itulah terlihat bahwa budaya politik pada dasarnya suatu
pengertian yang deskriptif. Dia hanya melukiskan segala apa yang
terjadi dalam tingkah laku politik, tanpa terlalu menghiraukan apakah
tingkah laku tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan
ketentuan-ketentuan normatif. Maka pertanyaan yang pantas dan perlu
diajukan ialah: kalau budaya politik sudah terlalu jauh dari
norma-norma politik yang umum, bagaimana kita dapat meninjaunya
kembali?
Salah satu jalan keluar yang bisa diusulkan di sini ialah bahwa kita
sebaiknya berhenti (untuk sementara waktu) berbicara tentang budaya
politik dan kembali berpikir tentang moralitas politik. Kita harus
bertanya lagi dengan penuh kesungguhan: apa yang dimaksudkan dengan
nilai-nilai sopan santun? Apakah dengan itu barangkali hanya
dimaksudkan hormat kepada mereka yang memangku kekuasaan, dan bukannya
juga hormat dan kesantunan terhadap hak-hak orang-orang kecil yang
telah memberikan kekuasaan tersebut kepada para elite politik?
Apa pula yang dimaksudkan dengan cara-cara yang tidak menyakitkan
perasaan? Perasaan siapa yang sebenarnya disakiti dan perasaan siapa
yang tidak disakiti? Apa pula yang kita maksudkan dengan kepentingan
umum? Dalam kaitan ini ada beberapa hal yang barangkali boleh dianggap
tetap dan baku. Persatuan nasional misalnya adalah perkara yang tidak
pernah boleh dipermainkan. Tetapi dalam bidang ekonomi, kepentingan
umum itu kepentingan siapa? Bolehkah kita menyusun kriteria tentang
apa yang dinamakan kepentingan umum?
Tidaklah berlebihan kalau timbul harapan bahwa para wakil rakyat
memberi sedikit waktu dan perhatian meninjau kembali masalah tersebut.
Hal ini amat penting untuk menimbulkan kembali kepercayaan yang
demikian mendasar bahwa politik di Indonesia adalah suatu hal
bermartabat yang berdiri di atas moralitas politik yang bisa
dipertanggungjawabkan.
***
PERSOALAN budaya politik ini menjadi jauh lebih penting dalam suatu
masyarakat yang pada umumnya masih bersifat paternalistis seperti
kebanyakan komunitas di Indonesia, di mana hubungan antara anggota
masyarakat masih didasarkan pada pola patron-klien. Dalam pola ini
tingkah laku orang kecil akan banyak mengikuti apa yang dilakukan oleh
mereka yang dianggap menjadi panutan, tanpa mempersoalkan sendiri
apakah yang dilakukan oleh panutan mereka itu benar atau tidak.
Di situlah terdapat suatu titik yang amat rapuh. Karena, kalaulah
model ini disederhanakan, maka hanya ada dua pilihan.
Pertama, kelompok yang dianggap menjadi panutan diharap bertingkah
laku benar sehingga tingkah laku para pengikutnya akan benar. Kalau
panutan bertingkah laku sembarangan maka hal yang sama akan ditiru
dengan segera oleh para pengikutnya. Di sini elite politik diandaikan
juga menjadi semacam elite secara moral, dan para pengikutnya dianggap
mempunyai ketergantungan moral.
Kedua, tidak ada kelompok yang dianggap menjadi panutan, karena baik
para elite politik maupun warga negara biasa diandaikan bertingkah
laku menurut moralitas politik yang ditentukan oleh hukum dan
sensibilitas politik. Jadi kalau seandainya pun elitenya
memperlihatkan tingkah laku yang tidak pantas, hal itu tidak
serta-merta ditiru begitu saja oleh rakyat kebanyakan. Elite politik
tidak dengan sendirinya menjadi juga elite secara moral, sedangkan
warga negara biasa dianggap mempunyai kematangan moral.
Malahan dianggap bahwa elite politik yang mempunyai kekuasaan yang
besar lebih mudah pula tergoda untuk melakukan penyelewengan,
sementara rakyat kecil lebih kecil godaannya karena kesempatan untuk
menyeleweng pun lebih kecil. Asumsi demokratis mengenai kontrol sosial
bersumber dari pandangan mengenai egalitarianisme moral ini.
Dalam suatu masyarakat dengan pola dasar patron-klien, suatu budaya
politik yang baik sangat tergantung kepada tingkah laku elite
politiknya. Masalahnya kemudian: apa yang dianggap sebagai tingkah
laku politik yang dapat dijadikan panutan?
Ada banyak kemungkinan, tetapi di sini hanya diajukan dua kemungkinan
yang menurut pertimbangan penulis cukup sering dihadapi dalam
kehidupan politik. Pertama, tingkah laku politik didasarkan pada apa
yang dinamakan kepantasan politik (political propriety). Kedua,
tingkah laku politik didasarkan pada moralitas politik (political
correctness).
Perbedaan utamanya ialah bahwa pertimbangan pertama pada dasarnya
bersifat estetis. Yang mendapat tekanan di sana adalah kepantasan,
keindahan, kepatutan tingkah laku. Sedangkan yang kedua adalah suatu
pertimbangan etis. Yang ditekankan adalah apakah tingkah laku politik
dapat dibenarkan atau harus ditolak berdasarkan norma-norma yang ada
dalam hukum dan sensibilitas politik yang dianut.
Kesulitan dengan pertimbangan estetis adalah bahwa dia menjadi sangat
subyektif, seperti halnya selera orang dalam mendengar musik atau
memandang sebuah lukisan. Sedangkan dalam pertimbangan etis dapat
dilakukan wacana untuk mencari kriteria yang dapat dipegang bersama
berdasarkan alasan-alasan yang dapat didiskusikan.
Untuk mengatakan secara ringkas: kalau kita selalu berpegang pada
budaya politik yang menekankan estetika politik maka sulit sekali
untuk melakukan peninjauan ulang terhadap kebiasaan dan kecenderungan
yang ada dalam tingkah laku politik. Karena dalam budaya politik,
suatu pola tingkah laku diterima karena sudah biasa diterima.
Sebaliknya kalau kita berpegang pada moralitas politik, maka terbuka
kemungkinan untuk melihat kelemahan-kelemahan budaya politik
berdasarkan patokan yang disepakati. Di sini sebuah tingkah laku
politik tidak diterima begitu saja karena sudah biasa diterima dalam
suatu kelompok masyarakat, tetapi diterima karena dapat diterima
dengan alasan-alasan yang membenarkan penerimaan tersebut.
Pembaharuan sistem politik yang sekarang ramai dibicarakan rupanya
hanya mungkin dilaksanakan kalau ada pergeseran yang nyata dari
estetika politik kepada etika politik, yang didukung juga oleh
peralihan nyata dari pemikiran yang didasarkan pada budaya politik
kepada pertimbangan berdasarkan moralitas politik. Artinya suatu
perangkat nilai diterima tidak sekadar diterima karena dianggap
merupakan nilai-nilai kita, tetapi dia diterima menjadi nilai-nilai
kita karena ada alasan dan wacana yang dapat membenarkan
penerimaannya.
Kalau ini tidak dilakukan maka bukan mustahil seluruh pemikiran
politik akan terbawa kepada suatu logika yang aneh: nilai-nilai
politik menjadi baik hanya karena nilai-nilai itu dianggap merupakan
nilai budaya kita, dan seperangkat nilai yang lain menjadi jelek hanya
karena dianggap bukan merupakan nilai budaya kita.
(* Ignas Kleden, sosiolog; tinggal di Jakarta).
No comments:
Post a Comment