Saturday, March 28, 2009

Kekerasan Orde Baru dan Setahun Mei Kelabu
Oleh Ignas Kleden


DI Jerman ada pepatah Alles neu macht der Mai (Mei membuat semuanya baru). Pepatah itu tentulah berhubung dengan perputaran musim, ketika bulan Mei membawa musim semi sampai ke puncaknya, saat daun-daun dan kembang baru muncul dengan tenaga gaib dari rahim Bumi yang lelap selama musim dingin.

Di Indonesia, bulan Mei tidak banyak membawa pembaharuan klimatologis. Tetapi Mei 1998 tak dapat dilupakan, karena membawa akhir sebuah cerita panjang yang penuh saat-saat pahit dan getir, dan membuka awal sebuah pembaharuan, sekalipun belum seperti diharapkan banyak orang. Bagaikan baru kemarin terjadinya, Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari tugas, menyerahkan kekuasaan kepada BJ Habibie. Tetapi 21 Mei 1998 rupanya bukanlah awal musim semi dalam politik Indonesia. Peralihan kekuasaan itu sudah didahului dan kemudian disusul oleh berbagai kekerasan di banyak kota, dari pulau ke pulau. Politik Indonesia sedang ditimpa kemarau panjang, dan setitik api ternyata dapat mengakibatkan kebakaran besar dan kecil.

Adalah suatu yang mungkin khas Soeharto bahwa dia yang telah mendapatkan dan memperbesar kekuasaannya dengan menggunakan berbagai kekerasan, harus mengakhirinya dengan epilog kekerasan panjang yang belum juga tamat hingga kini. Dengan itu hendak dikatakan bahwa apa pun alasannya, dan bagaimanapun penjelasannya, secara faktual Orde Baru tak dapat dibayangkan tanpa kekerasan. Secara gampangnya dapat dikatakan, kekerasan yang dilakukan oleh rezim Soeharto adalah kekerasan dari negara, oleh negara, untuk masyarakat. Akan diuraikan secara singkat bahwa masyarakat yang mengalami kekerasan itu adalah mereka yang mewakili kehidupan komunal dalam suatu komunitas budaya, dan mereka yang mewakili civil society dalam suatu masyarakat hukum. Selain itu, kekerasan Orde Baru telah mengalami suatu perkembangan canggih yang amat tinggi tarafnya, sehingga untuk mengakhirinya dibutuhkan suatu tingkat sophistication yang sama baiknya.

***

DALAM tipologi yang sederhana, kekerasan Orde Baru dapat dibedakan ke dalam tiga jenis.

Kekerasan jenis pertama yang paling mudah diamati adalah kekerasan fisik, yang secara teknis kita namakan saja represi, yaitu penggunaan kekuatan fisik berupa ancaman senjata, teror, intimidasi, penculikan atau penjara untuk memaksakan kehendak penguasa dan menekan dan membatasi kehendak pihak lain. Ternyata kekerasan fisik ini berfungsi secara efektif karena didukung oleh beberapa prasarana kelembagaan.

Secara legal kekerasan apa pun yang dilakukan oleh negara dapat dengan mudah dibenarkan oleh hukum, sejauh kekerasan itu diberlakukan pada sekelompok orang atau satu individu yang dianggap melakukan tindakan yang membahayakan negara. Seperti kita tahu, rumusan "membahayakan negara" atau "tindakan subversif" adalah suatu pengertian yang tidak pernah jelas isi dan batasnya. Pasal-pasal itu bagaikan karet busa yang selalu dapat menyerap apa saja yang dikehendaki penguasa untuk membungkam setiap tindakan atau pendapat politik yang dianggap merugikan kekuasaan atau kewibawaannya.

UU subversi mendapatkan pasangannya dalam doktrin stabilitas nasional. Mestinya doktrin itu, menurut kata-katanya, harus mencakup keamanan negara dan keamanan masyarakat, ketenangan pemerintah dan ketenangan rakyat. Sayang, dalam praktiknya hal ini tidak terjadi. Jadi rupa-rupanya yang dimaksud dengan stabilitas nasional adalah keamanan negara dan keselamatan pemerintah saja. Sebagai contoh, sebelum berakhirnya Orde Baru, setiap 100 mahasiswa yang mendatangi gedung MPR pastilah dianggap mengganggu stabilitas nasional. Sebaliknya, kalau kantor LBH dilempari batu, atau kalau kantor pusat PDI diserang oleh ratusan orang dan mengakibatkan banyak orang mati atau cedera berat, tidak ada pejabat keamanan yang berbicara tentang ancaman terhadap stabilitas nasional, seakan-akan lembaga-lembaga tersebut bukanlah bagian dari nasion Indonesia.

Secara ekonomi-politik Pemerintahan Soeharto amat menekankan stabilitas nasional karena hal ini menjadi prasyarat bagi perencanaan dan pembangunan ekonomi. Selain memberi ketenangan bekerja kepada pemerintah, stabilitas nasional itu juga akan menarik hati para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia tanpa banyak rasa waswas.

Secara sosial-politik penggunaan kekerasan fisik atau represi dipermudah oleh adanya Dwifungsi ABRI yang memberi kesempatan luas kepada militer di Indonesia untuk turut-serta dalam politik sipil dan birokrasi sipil. Dwifungsi tersebut telah membawa banyak akibat, baik secara politik praktis maupun secara budaya politik. Suatu akibat yang amat nyata adalah gejala yang dapat kita namakan kriminalisasi konflik politik, tetapi sebagai masalah kriminal yang harus diselesaikan dengan pendekatan keamanan, dan diatasi dengan kekerasan fisik.

Tidaklah mengherankan bahwa setiap potensi konflik politik (antara mahasiswa dan pemerintah, antara media massa dan pemerintah, antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, antara LSM dan birokrasi, atau antara sebuah kelompok komunal dengan pemerintah daerah) tidak ditanggapi sebagai masalah politik dalam demokrasi yang menghalalkan konflik tersebut, tetapi sebagai potensi kriminalitas yang mengancam keamanan negara.

***

KEKERASAN jenis kedua yang kurang transparan tetapi sama efektifnya adalah kekerasan struktural atau dominasi. Wujudnya terdapat dalam keadaan tidak berimbang antara berbagai kekuatan sosial (unequal exchange of social forces), baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik.

Dalam ekonomi ketidak-seimbangan itu terdapat antara penjual dan pembeli atau antara produsen dan konsumen. Wujud paling keras dari ketidakseimbangan ini adalah monopoli, yaitu keadaan di mana hanya terdapat satu penjual di pasar (dan karena itu dapat menentukan harga jual sesuka hati), dan monopsoni di mana hanya ada satu pembeli di pasar (dan karena itu dapat menentukan harga beli secara sewenang-wenang). Praktik monopoli (hak jual pada satu orang) atau oligopoli (hak jual pada beberapa orang saja) adalah sasaran yang diguncang oleh gerakan reformasi 1998. Sejauh menyangkut hubungan produsen dan konsumen, maka hak-hak konsumen di Indonesia sudah banyak disosialisasikan dan juga diadvokasi oleh badan-badan seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.

Dalam politik ketidakseimbangan itu lebih mencolok. Antara lain: ketidakseimbangan antara negara dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, antara birokrasi dan warganegara, antara the ruling party dan partai politik lainnya, antara eksekutif dan legislatif, atau antara ABRI dan sipil. Sebagai contoh yang gampang, kalau para pelanggan listrik terlambat atau lalai membayar, maka pelanggan tersebut akan kena sanksi oleh PLN. Sebaliknya, kalau listrik sering mati dan banyak kerja (di komputer misalnya) yang dirugikan, maka pelanggan sangat sulit meminta ganti-rugi pada PLN. Demikian pun Golkar sebagai the ruling party dapat mempergunakan semua kekuasaannya dalam memerintah, tetapi partai lain tidak boleh melakukan oposisi politik. Atau ABRI yang dapat masuk ke dalam politik sipil dan birokrasi sipil, tetapi tidak akan terbayangkan hal yang sebaliknya.

Dominasi seperti tersebut di atas merupakan suatu kekerasan, karena struktur yang ada sudah membuat pihak yang satu lebih kuat, lebih unggul dan lebih enak (tanpa yang bersangkutan harus terlalu bersusah-payah untuk itu), sementara pihak lain berada dalam kedudukan lebih lemah, lebih terbelakang, dan lebih berat (sekalipun yang bersangkutan berusaha mati-matian untuk memperbaiki keadaannya). Pihak yang terakhir ini terpaksa oleh keadaan untuk menerima kondisinya yang tidak menguntungkan. Dalam masyarakat tradisional misalnya, kaum bangsawan, karena statusnya, dapat memaksakan banyak hal kepada wong cilik tanpa perlu melakukan ancaman atau represi. Ada suatu selisih kekuasaan (power differential) yang menyebabkan pihak yang lebih lemah harus terus-menerus menerima paksaan dari pihak yang lebih kuat, tanpa dapat melawan atau melakukan negosiasi untuk perbaikan keadaan.

***

KEKERASAN jenis ketiga adalah kekerasan kultural yang dapat kita namakan hegemoni. Yang terjadi di sini bukanlah ketidakseimbangan di antara kekuatan-kekuatan sosial yang ada, melainkan suatu ketidakseimbangan dalam tukar-menukar makna (unequal exchange of meaning). Pihak yang satu dianggap memproduksi makna sedangkan pihak lain hanya menjadi konsumennya.

Selama Orde Baru apa yang dikatakan oleh Presiden Soeharto tentang kebudayaan nasional misalnya, dianggap lebih benar dari apa pun yang ditulis oleh seorang antropolog berdasarkan penelitiannya. Demikian pun, apa yang diucapkannya tentang agama cenderung dianggap amat penting, sekalipun mantan presiden itu tidak pernah belajar teologi atau sosiologi agama. Terlebih lagi, kalau Presiden Soeharto berbicara tentang Pancasila, maka ucapannya didengar dengan khidmat bagaikan kebenaran. Orang lebih mempercayai apa yang dikatakan oleh Presiden Soeharto dari apa pun yang dikatakan oleh seorang ahli ilmu politik tentang Pancasila berdasarkan studi yang mendalam, atau apa pun yang dikatakan oleh seorang ahli filsafat yang melakukan refleksi sistematis tentang Pancasila.

Hegemoni adalah makna yang diterima bukan karena bobot kebenaran yang dikandungnya, tetapi oleh bobot kekuasaan dan kewibawaan yang mendukungnya. Dalam pendidikan di sekolah, para guru juga mempunyai semacam hegemoni. Apa yang mereka katakan lebih dipercaya oleh murid-muridnya dari apa yang dikatakan oleh orangtua murid. Hal ini terjadi tidak selalu karena ucapan guru lebih masuk akal atau lebih terbukti, tetapi karena para guru mempunyai kekuasaan atas diri anak-didiknya selama mereka belajar di sekolah tersebut.

***

KALAU diperhatikan secara teliti, ketiga jenis kekerasan itu mempunyai efek yang berbeda.

Represi menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan kehendak sendiri dan melanggar kebebasan kehendak orang lain. Di sini yang dilanggar adalah asas otonomi setiap individu. Orang dipaksa melakukan suatu tindakan yang menurut pertimbangannya sendiri tidak patut, atau bahkan tidak boleh dilakukan. Kalau seorang tahanan di bawah ancaman penganiayaan dipaksa menandatangani suatu kesaksian palsu maka di sana terjadi suatu represi secara harafiah.

Dominasi atau kekerasan struktural telah melembagakan ketimpangan dalam pembagian hak dan karena itu melanggar asas keadilan. Menurut teori demokrasi mana pun pemerintah sebagai eksekutif menjalankan kekuasaan, sedangkan rakyatlah yang mengawasi pemerintah dalam menjalankan kekuasaan itu. Selama Orde Baru yang terjadi adalah pemerintah menjalankan kekuasaan tanpa dapat dikontrol oleh rakyat, sedangkan rakyat yang tidak mempunyai kekuasaan apa pun dikontrol secara ketat oleh pemerintah.

Hegemoni atau kekerasan kultural mengakibatkan macetnya kebebasan berpikir dan kemungkinan berpendapat yang kemudian menyebabkan seseorang lebih suka menerima pendapat orang lain yang dianggapnya lebih berwibawa daripada mencoba mengajukan pendapat sendiri. Pemaksaan seakan-akan terjadi secara bebas dan sukarela, sehingga hegemoni sering dinamakan juga suatu pemaksaan liberal. Akan tetapi dengan itu dibatalkan seluruh proses pencerahan dan kita terperangkap kembali ke dalam selbstversculdete Unmuendigkeit atau ketidak-dewasaan yang dibikin sendiri, untuk mengutip ucapan yang amat masyhur dari filosof Pencerahan Immanuel Kant.

Adapun kekuatan dari tiga jenis kekerasan itu pun berbeda-beda. Represi dimungkinkan oleh kuasa-lebih (surplus power), dominasi lahir dari nilai-lebih (surplus value), sedangkan hegemoni ditopang oleh makna-lebih (surplus meaning).

***

PERLU dikatakan bahwa selama Orde baru negara mempunyai tiga sarana kekerasan tersebut. Berakhirnya Orde Baru langsung mengakhiri hegemoninya (yang terlihat dari berbagai kritik dan hujatan terhadap mantan Presiden Soeharto), sedangkan reformasi dengan tuntutan tanpa kompromi untuk menghapus KKN adalah sebuah berondongan ke arah semua jenis dominasi yang selama bertahun-tahun berjalan enak dan tanpa gangguan. Dalam pada itu kekuatan utama yang dimanfaatkan Orde Baru untuk represi yaitu ABRI menjadi jauh lebih berhati-hati karena berhadapan dengan pendapat umum yang menolak Dwifungsinya.

Ternyata setahun pemerintahan Presiden Habibie juga merupakan periode kekerasan. Kali ini bukan kekerasan oleh negara, dari negara, terhadap masyarakat, tetapi kekerasan dari dan oleh kelompok-kelompok masyarakat terhadap siapa saja, yang dianggap menjadi representasi kekerasan Orde Baru, baik represinya, baik dominasinya maupun hegemoninya.

Kekerasan komunal misalnya adalah reaksi yang muncul dalam bidang sosial-budaya, sebagai suatu bidang yang selama Orde Baru diremehkan sebagai faktor-faktor non-ekonomi dan yang konflik-konfliknya dipetieskan oleh doktrin SARA. Kekerasan komunal adalah semacam pembalasan terhadap hegemoni negara yang meremehkan nilai-nilai budaya atau memanfaatkannya untuk tujuan kekuasaan. Demonstrasi dan militansi para mahasiswa adalah reaksi terhadap dominasi negara terhadap civil society, melalui manipulasi hukum untuk kepentingan penguasa.

Rupanya dibutuhkan lebih banyak analisa tentang kekerasan sekarang ini dalam hubungan dengan kekerasan negara dari masa sebelumnya, daripada berbicara tentang kemungkinan bahaya-bahaya lain yang tidak relevan, yang mungkin bermaksud mengalihkan perhatian, tetapi dapat menimbulkan kesimpulan dan kepercayaan yang jauh dari kenyataan. Kesalahan analisa akan menimbulkan bencana fatal bahwa kita akhirnya memberikan obat sakit perut kepada masyarakat kita yang barangkali sedang menggigil karena demam berdarah.

(* Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta).


No comments: