Saturday, March 28, 2009

Banjir dan Negara

Kamis, 7 Februari 2002

Banjir dan Negara yang Tak Hadir
Oleh Ignas Kleden


BANJIR yang melanda Jakarta sepanjang minggu lalu (sejak 28 Januari 2002) telah menimbulkan penderitaan di banyak tempat di Jakarta, dari Kedoya, Duri Kosambi, Kebun Jeruk, Daan Mogot, dan Rawa Buaya di sebelah Barat, Pondok Pinang, Tanah Kusir, Radio Dalam, Puloraya, Kemang, Mampang, Pejaten, Pasar Minggu di Jakarta Selatan, Cipinang, Kampung Melayu, dan Jatinegara di sebelah Timur, Priok, Pluit, Muara Karang, Sunter, dan Kelapa Gading di Utara dan Jalan Thamrin, Sudirman, Setiabudi, Dukuh Atas, Manggarai dan Kuningan di Jakarta Pusat. Untuk Jakarta, inilah musibah yang lengkap karena tak ada arah mata-angin yang luput dari sergapannya. Pertanyaan yang diajukan antara warga kota bukan lagi "apakah banjir masuk rumah?" tetapi "setinggi apa air di tempatmu: sebetis, sepinggang, sedada, atau hingga dekat atap rumah?"

Sungguh, inilah banjir yang paling mengguncang seantero kota, sanggup merenggut lima belas jiwa dalam sehari, dan meninggalkan beribu-ribu orang tanpa rumah, tanpa makanan, tanpa peralatan dapur dan tanpa alat-alat penyelamat. Di berbagai tempat penduduk yang terkena musibah harus menolong diri sendiri, dengan bantuan para dermawan dan donatur, atau dengan sumbangan dari posko beberapa partai politik yang datang membantu.

Memang terdengar kritik bahwa parpol-parpol ini mencoba mengail di air keruh. Tetapi, apa salahnya, kalau parpol-parpol ini hadir di tengah krisis dan memberi bantuan nyata kepada penduduk dan kemudian mendapat simpati dari penduduk? Yang dibutuhkan pada saat seperti ini adalah adanya bantuan, sedangkan motif bantuan itu merupakan hal yang sekunder, sepanjang bantuan itu diberikan tanpa mengikat.

***

DALAM teori negara yang mana pun, liberal atau sosialis, negara diharuskan hadir saat masyarakat dilanda krisis. Ada perbedaan antara kedua sistem itu sejauh menyangkut keadaan normal. Dalam sistem sosialis, negara selalu (memaksa) hadir, entah dibutuhkan atau tidak. Sedangkan dalam sistem liberal, masyarakat diberi kebebasan sejauh mungkin mengatur diri sendiri, sementara negara harus hadir bila dibutuhkan masyarakat atau diminta oleh anggota masyarakat. Dalam welfare state yang merupakan kompromi kedua sistem itu, hampir secara harafiah dikatakan, bila seorang warga datang kepada negara dan mengatakan bahwa dia lapar, maka dia tidak diperbolehkan pulang ke rumahnya dengan perut kosong dan tangan hampa.

Seorang kepala keluarga bebas mengatur keluarganya tanpa campur-tangan polisi, tetapi kalau keluarga itu terserang oleh segerombolan perampok, maka kepala keluarga dapat meminta bantuan polisi, dan polisi sebagai aparat negara berwajib membantu, sekali pun tidak dibayar dengan uang terima kasih oleh keluarga itu. Dengan rumusan lain, dalam teori demokrasi, negara harus hadir bilamana masyarakat membutuhkannya, sedangkan negara harus menahan diri dari intervensi yang tak perlu, apabila masyarakat masih dapat mengatur dirinya sendiri. Pembacaan puisi misalnya, tidak perlu diatur oleh negara, karena hal itu dapat diatur oleh organisasi kesenian masyarakat sendiri. Selain itu hampir tidak ada pejabat yang mempunyai pengertian yang memadai tentang puisi.

Keadaan yang jelas memerlukan campur tangan negara adalah bila masyarakat dilanda krisis (entah karena peperangan, wabah penyakit, kelaparan, gempa, letusan gunung api atau banjir seperti yang dialami Jakarta sekarang). Fungsi subsidi air negara justru dituntut saat masyarakat tak sanggup lagi membantu dirinya sendiri. Inilah salah satu rationale terpenting untuk legitimasi adanya negara. Bila fungsi ini pun tidak terpenuhi, kita amat sulit memahami mengapa harus ada negara dengan kekuasaan yang demikian besar.

***

MEMANG, alam pikiran masyarakat, lebih khusus lagi alam pikiran pejabat negara, belum terbebas seluruhnya dari praktik dan kebiasaan Orde Baru. Dalam masa ini intervensionisme negara berlangsung sedemikian ekstrem, sehingga hampir tak ada inisiatif masyarakat yang dapat dijalankan tanpa izin dan restu negara. Hal ini berlaku sejak dari izin menerbitkan surat kabar dan majalah, menyelenggarakan diskusi dan seminar, hingga acara peluncuran buku dan pementasan teater.

Menurut teori, yang ideal untuk sebuah negara demokratis adalah negara justru membantu menyiapkan prasarana berupa gedung teater, bila ada animo besar dalam suatu kelompok masyarakat untuk menghidupkan teater. Dalam kenyataannya, pemerintah selama Orde Baru justru melakukan intervensi yang tidak perlu seperti memeriksa naskah teater (yang tidak banyak dipahaminya), dan segera menyatakan tidak ada dana apabila sekelompok seniman meminta gedung teater.

Tentu contoh yang diajukan di sini agak karikatural mengenai perlu tidaknya campur tangan negara. Dalam beberapa kasus, hal ini bisa penuh dengan ambivalensi. Sebagai contoh, apakah hukum negara harus diberlakukan dalam masalah-masalah yang dapat diatur hukum adat? Apakah konflik antara dua kelompok etnik di daerah dapat diselesaikan dengan hukum adat saja atau harus dengan hukum negara juga?

***

DENGAN mengakui ambivalensi seperti itu harus diakui, ada beberapa situasi kritis yang mengharuskan campur tangan negara, baik diminta maupun tidak diminta. Di kelurahan Kedoya Selatan, Jakarta Barat, misalnya, banjir telah merendam tujuh RT sejak Senin 28 Januari 2002, dengan puncaknya pada 1 Februari yang lalu saat air mencapai ketinggian antara 2,6 meter hingga 2,8 meter. Hampir 3.000 warga mendadak tanpa rumah dan tanpa pertolongan sama sekali. Sampai Senin 4 Februari (selama delapan hari) belum ada pertolongan apa pun dari Pemda DKI. Para korban harus menolong diri sendiri, dengan bantuan dermawan (organisasi maupun perorangan), dan bantuan lain dari posko tiga partai politik: PAN, PDI Perjuangan, dan Partai Keadilan.

Kedoya Selatan hanya salah satu contoh yang penulis ketahui, dan amat mungkin bukan pula kasus yang paling berat. Pokok soal ialah: apakah seorang gubernur ibu kota boleh memaafkan dirinya dengan alasan: ini bencana alam, dana Pemda terbatas, dan saya hanya manusia biasa dengan kemampuan terbatas? Kalau sudah diketahui ada siklus lima tahunan untuk banjir besar, mengapa tidak ada persiapan sama sekali yang menunjukkan perhatian dan antisipasi pemerintah kota? Mengapa dana Rp 500 milyar tidak digunakan sebagian untuk menolong penduduk yang sedang menderita, hanya karena alasan dana itu akan digunakan untuk rehabilitasi pasca-banjir? Seandainya ada warga yang kehilangan ayah ibunya karena tak ada pertolongan pada waktunya, apakah artinya rehabilitasi bagi mereka ini?

***

TENTU saja benar, ini bencana alam, dan ini pula yang berulangkali diucapkan pejabat Pemda DKI. Yang tidak dikatakan ialah bahwa alam ini membencanai kita, karena alam itu telah dicederai habis-habisan oleh orang kota sendiri, sementara pemerintah kota berbuat seakan-akan tak berdaya menghadapinya. Air yang berlebih harus diserap, dan kalau tidak ada lagi tanah yang dapat menyerapnya, dia akan mengalir ke mana saja dan menyedot ke dalam banjir kehidupan para warga dan prasarana Kota Jakarta.

Kita tak hendak terlibat debat yang sia-sia tentang apakah banjir di Jakarta ini masalah lokal, regional, atau nasional. Namun demikian, perlu ditegaskan, keadaan ini tak dapat dibiarkan terus-menerus oleh suatu politik yang rasional. Ali Sadikin mengatakan banjir di Jakarta adalah masalah pemerintah pusat, bukan hanya masalah Pemda DKI, karena menyangkut tata-ruang dan pengaturan daerah resapan hujan di Jabotabek.

Baiklah! Tetapi, bagi masyarakat yang sedang menderita yang jadi pertanyaan ialah mengapa negara (pada berbagai tingkat hierarkinya) tak tampak hadir saat dia amat dibutuhkan? Mengapa negara demikian getol mengejar orang-orang yang-dengan modal sendiri-berjualan di kaki lima, tetapi tak hadir saat mereka kelaparan dan terancam penyakit? Mengapa negara hadir dan demikian rajin mengejar tukang-tukang becak yang setia mengangkut penduduk ke gang-gang sempit dalam panas dan hujan, tetapi negara tak hadir dengan perahu karet ketika penduduk terancam tenggelam oleh air yang terus meninggi? Mengapa negara hadir dan setia memeriksa kartu penduduk warga ibu kota, tetapi tak hadir lagi ketika warga dengan kartu penduduk DKI yang sah, sedang kelaparan karena kehilangan kompor dan terancam tenggelam waktu malam karena ada kiriman banjir baru?

Bahwa negara kita belum dapat mengatasi KKN, sudah dimaklumi masyarakat. Bahwa negara belum sanggup mengatasi krisis ekonomi sejak tahun 1997 hingga kini, sudah dapat diterima. Bahwa demikian banyak korban telah mati sia-sia dalam konflik di berbagai daerah, karena negara tak sanggup mengatasinya, sudah pula diterima dengan penuh pengertian. Tetapi, bahwa banjir besar di jantung RI, berlangsung selama seminggu penuh, tanpa kehadiran nyata dari negara dan aparatnya, hal ini menimbulkan kesulitan besar untuk memahaminya, juga untuk suatu masyarakat yang penuh pengertian seperti Indonesia.

* Dr Ignas Kleden, sosiolog, Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (The Center for East Indonesian Affairs), Jakarta.

No comments: