Saturday, March 28, 2009

Demokrasi

Demokrasi yang Tertunda

Oleh Ignas Kleden

SEJARAH Indonesia Merdeka dapat ditinjau dengan mengidentifikasi apa yang menjadi persoalan yang sedang dihadapi dalam suatu periode tertentu. Di antara banyak soal lainnya demokrasi selalu merupakan pokok pergulatan yang menarik dan tragis. Dia menjadi menarik karena menunjuk dilema penguasa dalam memilih antara keindahan cita-cita pemerintahan oleh rakyat dan godaan serta kenikmatan untuk memaksakan kehendak sendiri atas nama rakyat. Dia juga tragis, karena dilema itu bukanlah sekadar teka-teki teoretis yang hanya menimbulkan debat yang riuh-rendah, tetapi justru pertarungan dalam praktik politik, yang sering mengorbankan kebebasan orang lain, bahkan menelan korban nyawa banyak orang, sengaja atau tidak.

Sejak awal berdirinya maka RI-dalam pandangan para pendirinya-diarahkan ke dua tujuan utama, demokrasi dan suatu masyarakat sosialis. Jalan yang ditempuh untuk mencapai kedua tujuan itu adalah kebangsaan, karena hanya gagasan inilah yang sanggup mempersatukan semua kelompok dan aliran politik untuk mengakhiri kekuasaan kolonial dan merebut, kemudian mempertahankan kemerdekaan nasional. Sekalipun demikian, perkembangan sejarah memperlihatkan bahwa tiap pemimpin politik kemudian memilih isu yang berbeda yang harus diutamakan dan diberi aksentuasi politik.

Soekarno adalah yang paling unik. Dia memberi fokus utama pada kebangsaan dan bergulat sepanjang hayatnya dengan proyek nation building, sebagai sebuah kerja raksasa yang telah diselesaikannya dengan baik. Dalam kaitan itu pemikirannya tentang sosialisme tidak begitu jelas. Marhaenisme sebagai versi Soekarno untuk sosialisme, sulit diterima secara sosiologis, karena seorang marhaen bukanlah seseorang yang tidak memiliki alat-alat produksi secara pribadi, sebagaimana yang dicita-citakan dalam sosialisme. Seorang marhaen, menurut keterangan Soekarno, memiliki alat-alat produksi tetapi dalam ukuran serba kecil; tanah kecil, modal kecil, dan teknologi sederhana. Maka dalam perspektif sosiologis, seorang marhaen sulit dinamakan seorang sosialis, dan lebih tepat dikelompokkan ke dalam petit bourgeoisie atau borjuasi kecil.

Hal yang sangat kurang mengemuka dalam pemikiran Soekarno adalah demokrasi. Seandainya dia diharuskan memilih antara demokrasi atau nasionalisme pada waktu itu, maka Soekarno tanpa ragu-ragu akan memilih nasionalisme. Demokrasi Terpimpin yang kemudian dicanangkannya setelah RI kembali ke sistem presidensial, dapatlah dipandang sebagai semacam jalan keluar yang tidak ideal, yang telah diambilnya untuk menyelamatkan kesatuan bangsa menghadapi demokrasi prosedur atau prosedur demokrasi yang rewel dan makan waktu. Termasuk dalam prosedur itu adalah debat panjang dalam Konstituante, pers bebas dengan suara kritis, pertentangan ideologis antara partai dan instabilitas pemerintahan yang diakibatkannya, serta tuntutan otonomi daerah yang kemudian berkembang menjadi gerakan separatis.

***

ISU sosialisme lebih menonjol dalam pemikiran tiga tokoh lainnya, yaitu Cokroaminoto, Hatta, dan Sjahrir. Di antara ketiganya, Cokroaminoto merumuskan tiadanya pertentangan, bahkan paralelisme antara cita-cita sosialisme dan cita-cita Islam. Sosialisme religius mendapatkan substansi konseptualnya dalam pemikiran tokoh ini. Hatta lebih memperhatikan perumusan versi ekonomi dari sosialisme Indonesia dalam bentuk koperasi. Sementara Sjahrir mencoba menyelamatkan subyektivitas rakyat dalam suatu masyarakat sosialis melalui dua cara. Pertama, dengan mengintegrasikan sosialisme Indonesia ke dalam tradisi politik sosial-demokrat. Kedua, dengan mengintegrasikan paham kebangsaan ke dalam humanisme universal.

Dengan demikian, pemikiran Cokroaminoto dan Hatta bersifat operasional. Yang pertama membuat sosialisme diterima dan didukung oleh umat Islam, sebagai bagian populasi Indonesia yang paling menentukan. Yang kedua, mencoba memberikan pendasaran materiil (material base) kepada sosialisme Indonesia melalui bentuk ekonomi yang khas. Rupa-rupanya Hatta berkeyakinan bahwa koperasi adalah jalan yang dapat membawa Indonesia ke dua tujuan sekaligus; kepada demokrasi melalui demokrasi ekonomi, dan juga kepada sosialisme melalui bentuk pemilikan bersama. Kedua pemikiran ini penting, karena tanpa dukungan oleh suatu sistem ekonomi dan tanpa dukungan politik dari umat Islam, sosialisme tetap sebuah cita-cita yang hanya tergantung di awang-awang.

Sebaliknya, pemikiran Sjahrir bersifat kritis. Dia lebih memperhitungkan risiko yang dapat muncul dari paham kebangsaan maupun dari sosialisme. Kebangsaan yang tidak diimbangi oleh perikemanusiaan dapat membahwa kepada chauvinisme, bahkan kepada fasisme yang dilihatnya potensial dibawa oleh pemerintah pendudukan Jepang. Demikian pula, tanpa subyektivitas rakyat dalam demokrasi maka sosialisme akan mudah membawa kita kepada diktatur. Jadi kecemasan Sjahrir selalu berhubung dengan risiko autokrasi, baik dari kanan (kapitalisme) berupa fasisme, maupun dari kiri (sosialisme) berupa diktatur.

Sekalipun ketiga tokoh tersebut adalah nasionalis sejati, namun kebangsaan bagi mereka rupanya lebih merupakan jalan menuju ke sosialisme dan demokrasi. Hal ini jelas dari penolakan Hatta terhadap Demokrasi Terpimpin dan penolakan Sjahrir terhadap setiap bentuk kerja sama dengan Jepang, sekalipun Soekarno mempunyai penjelasan untuk kedua-duanya. Dapat diperkirakan bahwa proyek nation building yang menjadi karya besar Soekarno, oleh dia sendiri dianggap harus diselamatkan, bahkan tidak boleh dirugikan oleh penerapan demokrasi dengan semua prosedurnya. Secara singkat, pertanyaan Soekarno pada waktu itu adalah: Demokrasi untuk Indonesia, ya atau tidak, sekarang atau nanti? Sebaliknya tentang kemerdekaan nasional, dia tidak mempunyai keraguan sedikit pun. Terhadap skeptisisme Sjahrir bahwa diperlukan persiapan cukup untuk merdeka, Soekarno menjawab Indonesia harus merdeka supaya bisa siap.

***

KETIKA Presiden Soeharto mulai berkuasa maka dia tidak dapat menghindari isu demokrasi, yang telah membuat dia mendapat dukungan dari sebagian besar kekuatan progresif pada waktu itu; mahasiswa, akademisi, cendekiawan dan media massa. Isu itu juga menyebabkan dia mendapatkan dukungan dari kekuatan riil pada waktu itu, yaitu ABRI khususnya Angkatan Darat. Militer Indonesia sedang penuh kekhawatiran terhadap ancaman dari kekuatan kiri, yang secara teoretis tidak menolak diktatur, karena sosialisme dianggap lebih penting dari demokrasi.

Setelah lewat sewindu berkuasa, dia mulai melihat bahwa kekuatan demokratis yang semula mendukungnya sekarang mulai menimbulkan banyak kesulitan. Rencana pembangunan ekonomi dan implementasinya tidak bisa selalu mulus, karena terlalu terganggu oleh pendapat-pendapat bahkan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang semula mendukungnya. Rencana pembangunan Taman Mini Indonesia telah mulai menimbulkan keretakan besar di antara para mahasiswa dan Soeharto, tetapi hubungan ini boleh dikatakan patah-arang dengan adanya Peristiwa Malari pada tahun 1974. Setelah itu kampus dan perguruan tinggi Indonesia praktis dilucuti dari kegiatan politiknya melalui program normalisasi kampus. Penggunaan istilah itu saja sudah menunjukkan persepsi pemerintahan Soeharto, seakan-akan setiap inisiatif dan partisipasi kampus dalam politik adalah kelakuan yang abnormal. Sebaliknya ABRI semakin banyak dilibatkan dalam politik dengan doktrin Dwifungsi ABRI, dengan akibat bahwa setiap konflik politik yang menandai kehidupan demokrasi dihadapi sebagai masalah keamanan dan bukan sebagai masalah politik. Pers yang terlalu menyulitkan pemerintah dibredel tanpa pengadilan. Partai politik dipangkas jumlahnya menjadi tiga saja.

Yang paling menyedihkan di antara berbagai perkembangan adalah sikap terhadap massa. Dalam politik yang demokratis, massa rakyat adalah tulang punggung setiap kekuatan politik. Dari teori politik yang paling primitif hingga ke postmodernisme machtsvorming atau power building selalu berarti memperebutkan hati massa rakyat. Tetapi massa rakyat di Indonesia selama pemerintahan Soeharto telah dijadikan Lebai Malang. Di satu pihak mereka tidak dimungkinkan mengorganisasikan dirinya secara politik karena dicegat oleh kebijaksanaan (?) floating mass, sementara di pihak lain dukungan yang mereka berikan kepada setiap kegiatan politik dianggap kriminal. Dalam retorika pejabat Orde Baru selalu terdengar misalnya bahwa mahasiswa boleh berdemonstrasi dan ini bisa ditolerir asal saja tidak disusupi massa, yang dianggap sulit dikendalikan.

Anehnya, tidak pernah dipertanyakan mengapa gerangan massa sulit dikendalikan. Jawabannya sangat mudah, yaitu karena massa dilarang berorganisasi dan diharuskan mengambang seperti daun kambang yang hanyut bersama arus sungai. Seandainya massa diperbolehkan mengorganisasikan diri, maka mereka juga lebih mudah dikendalikan lewat organisasi politiknya. Yang lolos dari pemikiran politik Orde Baru adalah bahwa depolitisasi massa membuat massa semakin sulit dikendalikan secara politik.

Soeharto kemudian menghadapi dilema tentang jalan mana yang harus ditempuhnya untuk memperoleh dan mempertahankan legitimasinya. Dia dapat memilih untuk tetap mempertahankan suasana demokratis dengan akibat pembangunan ekonomi pada mulanya dapat tersendat-sendat oleh intervensi politik masyarakat berupa pendapat, kritik atau tuntutan akan accountability yang transparan. Atau, dia dapat juga memilih untuk mendorong pembangunan ekonomi, khususnya pertumbuhan ekonomi, sekalipun dengan mengorbankan hak-hak demokrasi rakyatnya. Seperti kita tahu, Soeharto akhirnya memilih yang kedua, dan pilihan ini relatif dapat diterima oleh pendapat umum di Indonesia pada tahun 1970-an. Hal ini mudah dipahami karena terbanyak orang masih belum lupa akan kesulitan ekonomi menjelang akhir pemerintahan Soekarno (inflasi 650 persen, langkanya kebutuhan pokok, meningkatnya harga), sehingga masyarakat sepertinya bersedia mempertaruhkan apa saja asal ekonomi cepat pulih.

( * Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta. )

yang Tertunda

Oleh Ignas Kleden

SEJARAH Indonesia Merdeka dapat ditinjau dengan mengidentifikasi apa yang menjadi persoalan yang sedang dihadapi dalam suatu periode tertentu. Di antara banyak soal lainnya demokrasi selalu merupakan pokok pergulatan yang menarik dan tragis. Dia menjadi menarik karena menunjuk dilema penguasa dalam memilih antara keindahan cita-cita pemerintahan oleh rakyat dan godaan serta kenikmatan untuk memaksakan kehendak sendiri atas nama rakyat. Dia juga tragis, karena dilema itu bukanlah sekadar teka-teki teoretis yang hanya menimbulkan debat yang riuh-rendah, tetapi justru pertarungan dalam praktik politik, yang sering mengorbankan kebebasan orang lain, bahkan menelan korban nyawa banyak orang, sengaja atau tidak.

Sejak awal berdirinya maka RI-dalam pandangan para pendirinya-diarahkan ke dua tujuan utama, demokrasi dan suatu masyarakat sosialis. Jalan yang ditempuh untuk mencapai kedua tujuan itu adalah kebangsaan, karena hanya gagasan inilah yang sanggup mempersatukan semua kelompok dan aliran politik untuk mengakhiri kekuasaan kolonial dan merebut, kemudian mempertahankan kemerdekaan nasional. Sekalipun demikian, perkembangan sejarah memperlihatkan bahwa tiap pemimpin politik kemudian memilih isu yang berbeda yang harus diutamakan dan diberi aksentuasi politik.

Soekarno adalah yang paling unik. Dia memberi fokus utama pada kebangsaan dan bergulat sepanjang hayatnya dengan proyek nation building, sebagai sebuah kerja raksasa yang telah diselesaikannya dengan baik. Dalam kaitan itu pemikirannya tentang sosialisme tidak begitu jelas. Marhaenisme sebagai versi Soekarno untuk sosialisme, sulit diterima secara sosiologis, karena seorang marhaen bukanlah seseorang yang tidak memiliki alat-alat produksi secara pribadi, sebagaimana yang dicita-citakan dalam sosialisme. Seorang marhaen, menurut keterangan Soekarno, memiliki alat-alat produksi tetapi dalam ukuran serba kecil; tanah kecil, modal kecil, dan teknologi sederhana. Maka dalam perspektif sosiologis, seorang marhaen sulit dinamakan seorang sosialis, dan lebih tepat dikelompokkan ke dalam petit bourgeoisie atau borjuasi kecil.

Hal yang sangat kurang mengemuka dalam pemikiran Soekarno adalah demokrasi. Seandainya dia diharuskan memilih antara demokrasi atau nasionalisme pada waktu itu, maka Soekarno tanpa ragu-ragu akan memilih nasionalisme. Demokrasi Terpimpin yang kemudian dicanangkannya setelah RI kembali ke sistem presidensial, dapatlah dipandang sebagai semacam jalan keluar yang tidak ideal, yang telah diambilnya untuk menyelamatkan kesatuan bangsa menghadapi demokrasi prosedur atau prosedur demokrasi yang rewel dan makan waktu. Termasuk dalam prosedur itu adalah debat panjang dalam Konstituante, pers bebas dengan suara kritis, pertentangan ideologis antara partai dan instabilitas pemerintahan yang diakibatkannya, serta tuntutan otonomi daerah yang kemudian berkembang menjadi gerakan separatis.

***

ISU sosialisme lebih menonjol dalam pemikiran tiga tokoh lainnya, yaitu Cokroaminoto, Hatta, dan Sjahrir. Di antara ketiganya, Cokroaminoto merumuskan tiadanya pertentangan, bahkan paralelisme antara cita-cita sosialisme dan cita-cita Islam. Sosialisme religius mendapatkan substansi konseptualnya dalam pemikiran tokoh ini. Hatta lebih memperhatikan perumusan versi ekonomi dari sosialisme Indonesia dalam bentuk koperasi. Sementara Sjahrir mencoba menyelamatkan subyektivitas rakyat dalam suatu masyarakat sosialis melalui dua cara. Pertama, dengan mengintegrasikan sosialisme Indonesia ke dalam tradisi politik sosial-demokrat. Kedua, dengan mengintegrasikan paham kebangsaan ke dalam humanisme universal.

Dengan demikian, pemikiran Cokroaminoto dan Hatta bersifat operasional. Yang pertama membuat sosialisme diterima dan didukung oleh umat Islam, sebagai bagian populasi Indonesia yang paling menentukan. Yang kedua, mencoba memberikan pendasaran materiil (material base) kepada sosialisme Indonesia melalui bentuk ekonomi yang khas. Rupa-rupanya Hatta berkeyakinan bahwa koperasi adalah jalan yang dapat membawa Indonesia ke dua tujuan sekaligus; kepada demokrasi melalui demokrasi ekonomi, dan juga kepada sosialisme melalui bentuk pemilikan bersama. Kedua pemikiran ini penting, karena tanpa dukungan oleh suatu sistem ekonomi dan tanpa dukungan politik dari umat Islam, sosialisme tetap sebuah cita-cita yang hanya tergantung di awang-awang.

Sebaliknya, pemikiran Sjahrir bersifat kritis. Dia lebih memperhitungkan risiko yang dapat muncul dari paham kebangsaan maupun dari sosialisme. Kebangsaan yang tidak diimbangi oleh perikemanusiaan dapat membahwa kepada chauvinisme, bahkan kepada fasisme yang dilihatnya potensial dibawa oleh pemerintah pendudukan Jepang. Demikian pula, tanpa subyektivitas rakyat dalam demokrasi maka sosialisme akan mudah membawa kita kepada diktatur. Jadi kecemasan Sjahrir selalu berhubung dengan risiko autokrasi, baik dari kanan (kapitalisme) berupa fasisme, maupun dari kiri (sosialisme) berupa diktatur.

Sekalipun ketiga tokoh tersebut adalah nasionalis sejati, namun kebangsaan bagi mereka rupanya lebih merupakan jalan menuju ke sosialisme dan demokrasi. Hal ini jelas dari penolakan Hatta terhadap Demokrasi Terpimpin dan penolakan Sjahrir terhadap setiap bentuk kerja sama dengan Jepang, sekalipun Soekarno mempunyai penjelasan untuk kedua-duanya. Dapat diperkirakan bahwa proyek nation building yang menjadi karya besar Soekarno, oleh dia sendiri dianggap harus diselamatkan, bahkan tidak boleh dirugikan oleh penerapan demokrasi dengan semua prosedurnya. Secara singkat, pertanyaan Soekarno pada waktu itu adalah: Demokrasi untuk Indonesia, ya atau tidak, sekarang atau nanti? Sebaliknya tentang kemerdekaan nasional, dia tidak mempunyai keraguan sedikit pun. Terhadap skeptisisme Sjahrir bahwa diperlukan persiapan cukup untuk merdeka, Soekarno menjawab Indonesia harus merdeka supaya bisa siap.

***

KETIKA Presiden Soeharto mulai berkuasa maka dia tidak dapat menghindari isu demokrasi, yang telah membuat dia mendapat dukungan dari sebagian besar kekuatan progresif pada waktu itu; mahasiswa, akademisi, cendekiawan dan media massa. Isu itu juga menyebabkan dia mendapatkan dukungan dari kekuatan riil pada waktu itu, yaitu ABRI khususnya Angkatan Darat. Militer Indonesia sedang penuh kekhawatiran terhadap ancaman dari kekuatan kiri, yang secara teoretis tidak menolak diktatur, karena sosialisme dianggap lebih penting dari demokrasi.

Setelah lewat sewindu berkuasa, dia mulai melihat bahwa kekuatan demokratis yang semula mendukungnya sekarang mulai menimbulkan banyak kesulitan. Rencana pembangunan ekonomi dan implementasinya tidak bisa selalu mulus, karena terlalu terganggu oleh pendapat-pendapat bahkan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang semula mendukungnya. Rencana pembangunan Taman Mini Indonesia telah mulai menimbulkan keretakan besar di antara para mahasiswa dan Soeharto, tetapi hubungan ini boleh dikatakan patah-arang dengan adanya Peristiwa Malari pada tahun 1974. Setelah itu kampus dan perguruan tinggi Indonesia praktis dilucuti dari kegiatan politiknya melalui program normalisasi kampus. Penggunaan istilah itu saja sudah menunjukkan persepsi pemerintahan Soeharto, seakan-akan setiap inisiatif dan partisipasi kampus dalam politik adalah kelakuan yang abnormal. Sebaliknya ABRI semakin banyak dilibatkan dalam politik dengan doktrin Dwifungsi ABRI, dengan akibat bahwa setiap konflik politik yang menandai kehidupan demokrasi dihadapi sebagai masalah keamanan dan bukan sebagai masalah politik. Pers yang terlalu menyulitkan pemerintah dibredel tanpa pengadilan. Partai politik dipangkas jumlahnya menjadi tiga saja.

Yang paling menyedihkan di antara berbagai perkembangan adalah sikap terhadap massa. Dalam politik yang demokratis, massa rakyat adalah tulang punggung setiap kekuatan politik. Dari teori politik yang paling primitif hingga ke postmodernisme machtsvorming atau power building selalu berarti memperebutkan hati massa rakyat. Tetapi massa rakyat di Indonesia selama pemerintahan Soeharto telah dijadikan Lebai Malang. Di satu pihak mereka tidak dimungkinkan mengorganisasikan dirinya secara politik karena dicegat oleh kebijaksanaan (?) floating mass, sementara di pihak lain dukungan yang mereka berikan kepada setiap kegiatan politik dianggap kriminal. Dalam retorika pejabat Orde Baru selalu terdengar misalnya bahwa mahasiswa boleh berdemonstrasi dan ini bisa ditolerir asal saja tidak disusupi massa, yang dianggap sulit dikendalikan.

Anehnya, tidak pernah dipertanyakan mengapa gerangan massa sulit dikendalikan. Jawabannya sangat mudah, yaitu karena massa dilarang berorganisasi dan diharuskan mengambang seperti daun kambang yang hanyut bersama arus sungai. Seandainya massa diperbolehkan mengorganisasikan diri, maka mereka juga lebih mudah dikendalikan lewat organisasi politiknya. Yang lolos dari pemikiran politik Orde Baru adalah bahwa depolitisasi massa membuat massa semakin sulit dikendalikan secara politik.

Soeharto kemudian menghadapi dilema tentang jalan mana yang harus ditempuhnya untuk memperoleh dan mempertahankan legitimasinya. Dia dapat memilih untuk tetap mempertahankan suasana demokratis dengan akibat pembangunan ekonomi pada mulanya dapat tersendat-sendat oleh intervensi politik masyarakat berupa pendapat, kritik atau tuntutan akan accountability yang transparan. Atau, dia dapat juga memilih untuk mendorong pembangunan ekonomi, khususnya pertumbuhan ekonomi, sekalipun dengan mengorbankan hak-hak demokrasi rakyatnya. Seperti kita tahu, Soeharto akhirnya memilih yang kedua, dan pilihan ini relatif dapat diterima oleh pendapat umum di Indonesia pada tahun 1970-an. Hal ini mudah dipahami karena terbanyak orang masih belum lupa akan kesulitan ekonomi menjelang akhir pemerintahan Soekarno (inflasi 650 persen, langkanya kebutuhan pokok, meningkatnya harga), sehingga masyarakat sepertinya bersedia mempertaruhkan apa saja asal ekonomi cepat pulih.

( * Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta. )

No comments: