Saturday, March 28, 2009

Sejarah Pemikiran

Diskusi Buku "The Celestine Prophecy"

Pemikiran Utopis Bisa Melahirkan Perilaku Otoriter

Jakarta, Kompas

Dalam sejarah kehidupan, munculnya pemikiran-pemikiran utopis adalah hal biasa. Meski begitu ia tetap harus diwaspadai, karena ketika muncul keinginan untuk menerapkannya bisa sangat berbahaya. Untuk mewujudkan utopi-utopi orang bisa bertindak otoriter, bahkan dapat menjurus ke arah kekerasan.Ignas Kleden, sosiolog yang merampungkan studi filsafat di Hochschule fur Philophie, Munchen (Jerman), mengemukakan hal ini pada diskusi buku The Celestine Prophecy di Jakarta, Sabtu (30/8). Selain Ignas, diskusi yang dipandu Wimar Witoelar dan dihadiri ba-nyak peminat itu juga menghadirkan astronom Karlina Leksono dan artis penyanyi Oppie Andarista.

Sikap skeptis terhadap buku yang sudah diterjemahkan Gramedia dengan judul Manuskrip Celestine (1997) mewarnai diskusi di sebuah kafe di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan tersebut. Bahkan sejak awal, ketika membuka diskusi, dengan bercanda Wimar Witoelar seperti ingin mengingat: jangan-jangan pesan yang disampaikan dalam The Celestine Prophecy merupakan bagian dari penetrasi kebudayaan dalam arti luas oleh Amerika yang berambisi menjadi 'polisi dunia'.

Sembilan wawasan

Buku berbentuk novel karya James Redfield ini disebut-sebut oleh banyak pengamat mengungkapkan fenomena kebangkitan spiritual baru. Melalui temuan manuskrip kuno dari masa 600 SM di pedalaman hutan dan pegunungan Peru, pembaca diajak untuk menelusuri sekaligus mencari satu demi satu dari sembilan wawasan kehidupan yang termuat dalam manus-krip. Tentang hal ini, Karlina Leksono mengibaratkannya seperti orang mengupas lapisan bawang, sebelum menemukan intinya.

Wawasan pertama, misalnya, mengungkapkan kesadaran tentang peristiwa-peristiwa kebetulan yang misterius yang mengubah hidup seseorang. Peristiwa yang seolah-olah seperti kebetulan itu, menurut wawasan yang termuat dalam manuskrip ini, sesungguhnya bukanlah kebetulan belaka. Tetapi untuk bisa memahaminya diperlukan wawasan kedua, yakni menempatkan kesadaran kita -yang lebih berpikir tentang hal-hal praktis- ke dalam perspektif historis yang lebih panjang. Begitulah seterusnya.

"The Celestine Prophechy menggambarkan adanya sembilan wawasan. Intinya mengajak pembaca untuk mulai menyadari bahwa dewasa ini sedang terjadi pergeseran besar dalam cara pandang mengenai hubungan manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan," kata Budhy Munawar-Rachman dari Yayasan Wakaf Paramadina yang menjadi salah seorang penggagas diskusi.

Peristiwa literer

Menurut Ignas Kleden, secara umum buku yang menarik perhatian banyak orang (sekadar informasi, sejak pertama diterbitkan tahun 1993 sudah dicetak delapan juta eksempelar, di samping itu juga terbit semacam buku panduan untuk menerapkan isi kerohanian novel tersebut) ini mengandung empat aspek. Pertama tentang spritualitas, kedua tentang kosmologi dan metafisika, ketiga pemikiran tentang filsafat sejarah, dan keempat sebagai karya sastra.

Masing-masing aspek yang dikandung The Celestine Prophecy punya kekuatan dan kelemahan, bergantung dari sudut pandang pembacanya. Dilihat dari segi pemikiran spritualitas misalnya, James Redfield mengungkapkan, alam semesta adalah sesuatu yang bersifat spritual dan bukan material. Dengan demikian spritualitas selalu bersifat naturalistik. Dalam kaitan harmonisasi kehidupan, menurut Redfield, baru bisa terwujud kalau ia terhubung dengan apa yang disebut energi alam.

Setelah membedah masing-masing aspek, Ignas akhirnya sampai pada beberapa kesimpulan. Bagi Ignas, karya yang disebut-sebut mengandung fenomena kebangkit-an spritualitas baru ini penuh dengan romantisme. Anggapan bahwa segala hal bisa diselesaikan bila manusia kembali ke alam, bahwa masyarakat bisa dikendalikan secara spiritual, menurut Ignas ini terlalu berlebihan.

Dari aspek kosmologi dan metafisika, secara filosofis posisi The Celestine Prophecy juga sangat lemah. Ini antara lain terlihat dari ketidakmampuan pengarang menjelaskan hubungan alam dengan roh, sementara dunia sosial justru tidak mendapat tempat. Semua peristiwa selalu bermuara pada hubungan antara manusia dengan alam.

Menurut Ignas, dunia sosial ti-dak dapat dianggap apalagi diperlakukan sebagai organisme. Dunia sosial dengan segala pranata kemasyarakatan yang ada harus dilihat sebagai sebuah organisasi. Oleh karena itu, bila suatu organ dan fungsi di masyarakat hilang, hal itu tidak dengan sendirinya meng-ganggu masyarakat lain. Dan itu dimungkinkan karena hubungan dalam masyarakat tidak statis, te-tapi justru dialektik.

Oleh karena itu Ignas Kleden menolak pendapat yang cenderung menempatkan peristiwa-peristiwa di The Celestine Prophecy dalam perspektif historis. Bagi Ignas, rangkaian pemikiran dalam buku ini merupakan peristiwa literer. Pemikiran yang menyebutkan bahwa energi alam tidak pernah habis misalnya, menurut Ignas, hal semacam ini sangat dekat dengan ungkapan cinta kasih. Sedangkan penemuan tiap manuskrip yang menggetarkan itu analogi pencapaian kesempurnaan.

Sebagai buku yang penuh romantisme spritual, The Celestine Prophecy juga memuat pemikiran-pemikiran utopis. Dalam kajian filsafat sejarah, pemikiran semacam ini sangat biasa. Namun satu hal yang perlu diwaspadai, pemikiran utopi -dalam The Celestine Prophecy berupa gagasan tentang surga di atas bumi- amat berbahaya bila dipaksakan untuk diwujudkan.

"Untuk mewujudkan utopi-utopi orang dapat jadi otoriter, bahkan bisa dengan kekerasan-ke-kerasan," ujar Ignas Kleden. (ken)

No comments: