Agama Selalu Dihadapkan Kemungkinan Jadi Ideologi
Yogyakarta, Kompas
Setiap agama, dikehendaki atau tidak, selalu berhadapan dengan kemungkinan menjadi ideologi. Sebaliknya, setiap ideologi yang ingin memantapkan diri cenderung menempuh jalan untuk memberi warna keagamaan kepada dirinya. Ideologisasi agama selalu diimbangi dengan religiofikasi (kecenderungan membuat watak sakral - Red) ideologi.
Demikian antara lain dikemukakan Dr Ignas Kleden dalam seminar yang diselenggarakan Litbang Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), di Kaliurang-Yogyakarta, Senin (16/9). Seminar yang bertema Agama-agama Memasuki Milenium Ketiga ini, berlangsung 15-21 September. Selain Ignas, pembicara yang tampil kemarin adalah Dr Chris Hartono, dan Mohammad Sobary MA.
Dalam presentasinya, Ignas mengemukakan sembilan tesis kecenderungan suatu agama menjadi ideologi. Hal itu dapat dilihat pada dua gejala. Pertama, dalam berhadapan dengan kekuasaan, agama tidak menjalankan fungsi kritisnya, tetapi lebih banyak menjalankan peranannya sebagai sarana legitimasi kekuasaan. Kedua, karena tugasnya menyampaikan keselamatan dan mengajarkan kesempurnaan hidup, agama bisa menjadi sarana ampuh untuk menciptakan hegemoni.
Kata Ignas, dalam ilmu sosial, dunia sosial adalah tindakan sosial dan dunia interaksi sosial. Sedangkan makna tindakan dan interaksi sosial itu bersumber pada dunia simbolik. Kalau tindakan sosial masih mengikuti dunia simbolik, maka yang terjadi adalah integrasi.
Sebaliknya, jika tindakan sosial itu tidak dapat mengikuti dunia simbolik, yang terjadi adalah disintegrasi. Jalan untuk tetap bisa menjaga integrasi adalah menyesuaikan dunia simbolik dengan kenyataan sosial yang ada. "Pada saat itulah sesungguhnya telah terjadi distorsi," kata Ignas.
Distorsi macam itu, lanjut Ignas, sering dilakukan dengan memberikan definisi baru terhadap suatu penyelewengan sosial. "Istilah "pengamanan" untuk penangkapan, "pembersihan" untuk penggusuran, dan berbagai eufemisme lain dalam bahasa Indonesia, adalah contoh untuk distorsi macam itu," tegasnya.
Dalam pengertian macam itulah, menurut Ignas, jika agama membenarkan dan turut melakukan distorsi, maka agama menjadi ideologi. Sebaliknya, suatu ideologi sekuler cenderung memberi watak sakral dan religius kepada dirinya lewat proses religiofikasi.
Dengan cara itu, ideologi berusaha menciptakan penerimaan dan ketaatan sepenuhnya dari suatu masyarakat. Selain itu, ketakutan akan sanksi terhadap pelanggaran menjadi lebih besar, karena pelanggaran terhadap suatu yang sakral dan religius dirasakan lebih berat dampaknya dari peraturan biasa.
Kharisma
Tesis lain yang dikemukakan Ignas adalah, hubungan antara agama dan negara ditandai persaingan peran keimaman dan peran kenabian. Peran keimanan agama adalah peran sebagai institusi sosial. Dalam peran seperti ini agama harus diharapkan membantu proses integrasi sosial, sama seperti peran kebudayaan umumnya. Untuk mewujudkan integrasi itu, agama harus mampu meredam konflik antarinstitusi, dengan pemihakan kepada negara.
Dalam arti itu, agama harus bekerja sama dengan pemerintah sebagai institusi yang lebih besar. Dalam peran keimanannya agama berusaha mempertahankan warisan tradisional dan watak rasional administratif. Sementara peran kenabian agama menampilkan sifatnya yang kharismatis. "Makin besar peran kharismatis agama, agama itu makin mengatasi dan menyimpang dari lembaga sosial, dan makin jauh hubungannya dengan negara," tegasnya.
Sementara itu, Mohammad Sobary yang banyak berbicara bagaimana agama harus bersikap, antara lain mengungkapkan, keagungan pemahaman agama bukanlah yang bersifat normatif. Dalam pemahaman seperti inilah kita tidak akan terjebak pada pemutlakan-pemutlakan kebenaran sebuah golongan agama.
Dalam ungakapan lain, Sobary mengajak mewujudkan agama yang prososial. Artinya harus dilihat pengejawantahan agama dalam tatanan konkret dan bukan puritan, "Penjelasan teologis harus dipadu pada realitas," katanya. (top)
No comments:
Post a Comment