ANALISIS wacana muncul sebagai suatu pendekatan ilmu-ilmu sosial sekurang-kurangnya dalam sepuluh tahun terakhir. Sampai tingkat tertentu, dia merupakan penerapan praktis dari apa yang dikenal sebagai epistemologi dalam studi filsafat. Pertanyaan yang diajukan bukanlah mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, melainkan justru mengenai bagaimana orang memandang apa yang terjadi, dan mengapa pula dia memandang kejadian tersebut dalam perspektif yang satu dan bukannya dalam perspektif lainnya.
Dalam arti itu, analisis wacana ( discourse analysis ) tidak terlalu mempersoalkan apakah benar Dr. Syahril Sabirin, misalnya, telah ditawari berbagai jabatan lain oleh Presiden Gus Dur kalau saja dia bersedia mundur dari jabatannya sebagai Gubernur BI. Yang dipersoalkan adalah apakah seorang presiden yang telah mengetahui kesalahan seorang pejabat tinggi (yang menurut pertimbangan presiden merupakan alasan cukup untuk memecatnya) dapat dan boleh menawarkan jabatan lain kepada pejabat tinggi tersebut sebagai substitusi bagi pengunduran dirinya dari jabatannya. Taruhlah hal itu, misalnya, dilakukan Presiden Gus Dur demi alasan kemanusiaan agar yang bersangkutan jangan terlalu kehilangan muka, seorang analis wacana masih akan tetap bertanya apakah tindakan menawarkan jabatan lain tersebut merupakan tindakan yang dapat dibenarkan?
Apakah manusiawi kalau setiap orang yang telah melakukan kejahatan tidak diberi hukuman yang pantas menurut hukum, tetapi dicoba disembunyikan kesalahannya agar dia tidak kehilangan muka? Bukankah lebih manusiawi menghukum seseorang yang bersalah, supaya kesalahan yang sama tidak terulang pada pejabat lainnya dan masyarakat umum mendapat pegangan mengenai apa yang dimaksud dengan clean government ?
Kalau logika itu diteruskan, pada akhirnya seorang pembunuh tidak usah dihukum asal saja dia mengakui perbuatannya dan kemudian meminta maaf. Pada titik itu, keadilan telah diabaikan karena yang menjadi perhatian dan yang diselamatkan adalah pihak pembunuhnya, sedangkan pihak yang mengalami pembunuhan itu sama sekali tidak dijamin haknya dan tidak dipulihkan kerugiannya kecuali cuma dengan permintaan maaf dari si pembunuh.
Dengan demikian, analisis wacana menekankan bahwa setiap tindakan politik dapat didiskusikan pada sekurang-kurangnya dua tingkat, yaitu pada tingkat empiris (sebagai suatu matter of fact ) dan pada tingkat normatif (sebagai suatu matter of principle ). Hal ini penting karena tindakan politik yang tidak dibimbing oleh prinsip-prinsip politik yang eksplisit dapat menjadi self-justifying political action karena dia dapat menciptakan tujuan baru yang akan selalu membenarkannya.
Contoh yang ilustratif dalam kaitan ini adalah prinsip "subsidiaritas" (" subsidiarity" principle) dalam hubungan antaranegara dan masyarakat. Prinsip ini mengatakan, negara tidak perlu mencampuri urusan-urusan yang dapat diatur sendiri oleh masyarakat. Akan tetapi, pada saat masyarakat tidak sanggup lagi mengatasi soal yang dihadapinya, negara wajib campur-tangan secara aktif, apalagi kalau masyarakat sendiri mengajukan permintaan kepada negara untuk membantu menyelesaikan masalah mereka.
Kasus Ambon, misalnya, semakin hari semakin berkembang menjadi tragedi kemanusiaan (dan bukan hanya tragedi nasional). Kalau tidak segera dihentikan, dia dapat mengalami eskalasi menjadi crime against humanity yang mungkin sekali akan membuat intervensi internasional menjadi tak terelakkan, apa pun retorika yang diajukan mengenai kedaulatan nasional.
Memang, pada mulanya pemerintah dapat berkata bahwa masalah konflik dan kekerasan di Ambon harus diselesaikan oleh masyarakat Ambon sendiri. Akan tetapi, pada saat masyarakat tidak sanggup lagi mengatasinya, sementara pembunuhan berjalan terus dengan tingkat irasionalitas yang absurd, pemerintah berwajib mengembalikan keamanan dan ketertiban di sana.
Tentu saja masalahnya amat kompleks dan tidak bisa dihadapi dengan simplifikasi yang berlebihan. Meskipun demikian, kompleksitas masalah tidak dapat memberi hak kepada pemerintah atau kepada siapa pun untuk terus membiarkan terjadinya pembunuhan. Rumah sakit Ambon sudah hancur terbakar, dan harapan terakhir untuk orang-orang yang luka-parah dan terancam hidupnya sudah menghilang bersama asap api.
Ada beberapa tingkat soal di sana, seperti masalah konflik politik, khususnya konflik elite politik, dendam antara kelompok agama yang anggota keluarganya sudah terbunuh, serta konflik yang mungkin berasal dari ketidakseimbangan penguasaan ekonomi yang muncul ke permukaan sebagai konflik antaragama. Soal-soal itu dapat diselesaikan pada beberapa tingkat.
Apa yang belum dapat diselesaikan memang harus menunggu waktu (seperti perdamaian kembali antara keluarga dan komunitas agama). Akan tetapi, apa yang dapat diselesaikan sekarang harus diselesaikan secepatnya. Masalah bunuh-membunuh adalah soal yang dapat ditangani oleh pemerintah dengan aparatus represifnya (dan untuk itulah negara diberi wewenang untuk memonopoli penggunaan kekerasan). Masalah hak asasi manusia tidak bisa menjadi dalih bahwa polisi, dengan bantuan militer, tidak melakukan intervensi langsung untuk menghentikan pembunuhan. Hak warga negara untuk hidup merupakan hak asasi pertama yang harus dibela. Dan kalau hak itu terancam oleh orang lain, negara diwajibkan membela mereka yang terancam dan menindak mereka yang mengancam. Prinsip ini demikian jelasnya, walaupun dalam praktek mungkin mengalami komplikasi.
Pemberlakuan keadaan darurat sipil merupakan tindakan yang amat terlambat karena wacana yang dikembangkan di Jakarta tidak mendukung penyelesaian. Anggapan bahwa masyarakat Ambon sendirilah yang harus menyelesaikan soal mereka terdengar seperti sangat demokratis, tetapi sebetulnya mengabaikan tugas pokok negara sebagai penjaga ketertiban umum dan pelindung hak atas kehidupan para warganya.
Adalah jelas bahwa masyarakat Ambon sudah lumpuh sama sekali, baik pada tingkat kesadaran maupun tingkat organisasi sosialnya. Pengandaian bahwa kekacauan telah timbul karena ulah provokator tidak bisa dijadikan kesibukan diskusi politik saja. Mengapa yang diributkan justru kelihaian para provokator dan bukannya getirnya nasib rakyat dan masyarakat Ambon yang semakin hari semakin terlunta-lunta (dan karena itu semakin mudah diprovokasi dari hari ke hari)? Mengapa mereka tidak diberi hak untuk sedikit berharap atas perlindungan negara? Kebingungan kita rupanya sudah berkembang luas karena wacana politik mengenai kasus Ambon ini tidak pernah diuji secara serius dalam suatu analisis wacana.
Demikian pula persoalan hak interpelasi DPR dapat ditempatkan dalam analisis wacana yang sama. Persoalannya bukanlah apakah DPR dapat memakai hak tersebut atau tidak (karena hak tersebut dijamin oleh undang-undang), melainkan apakah pencopotan dua orang menteri (Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla) dapat menjadi alasan cukup bagi DPR untuk menggunakan hak tersebut. Mengapa DPR tidak memakai hak tersebut untuk menanyakan kepada pemerintah mengapa masalah Ambon menjadi demikian berlarut-larut dan tidak dapat diatasi pada tingkat tertentu? Apakah yang akan dipersoalkan wewenang presiden untuk memecat kedua menteri tersebut ataukah tingkat kelayakan alasan presiden dalam memecat mereka?
Pertanyaan pertama bersifat formal-legal dan jawabannya sudah jelas pula, yaitu hak prerogatif untuk memilih dan mengganti menteri-menteri yang membantunya. Pertanyaan kedua menyangkut kebijakan politik, yaitu mengapa gerangan presiden merasa perlu memakai hak prerogatif tersebut, dan mengapa pula justru kedua menteri tersebut yang menjadi sasaran hak prerogatifnya.
Dalam analisis wacana akan segera terlihat kecenderungan dalam penggunaan hak interpelasi ini. Pertama, politisi kita ternyata lebih peka terhadap persoalan yang menyangkut elite politik (dua orang menteri) daripada persoalan yang menyangkut rakyat banyak (masyarakat Ambon). Kedua, politisi kita ternyata lebih peka terhadap masalah politik yang menyangkut anggota partai mereka daripada yang menyangkut kepentingan umum. Politik Indonesia tetap saja elitis dan eksklusif dalam orientasinya, dan tiadanya analisis wacana akan menyebabkan konstruksi elitis dari politik ini akan tetap dilestarikan. Rakyat hanya menjadi bahagian dari suatu nomenklatur dalam bahasa politik, tetapi praktis tersingkir dari wacana, sambil dibiarkan ditelan bencana.
*) Sosiolog, Direktur The Go-East Institute (Lembaga Lintas Timur), Jakarta
Kolom ini dikutip dari Majalah TEMPO edisi 17-23 Juli 2000
No comments:
Post a Comment