Saturday, March 28, 2009

Radikalisme

Krisis dan Radikalisme Pelipur Lara
Ignas Kleden *)

SETIAP krisis politik cenderung melahirkan krisis pemikiran. Beban yang terlalu berat mendorong orang mencari jalan pintas yang sesingkat-singkatnya untuk keluar dari kemelut, tanpa memedulikan apakah penyelesaian secara potong kompas itu menimbulkan masalah baru yang barangkali lebih muskil dari keadaan semula. Kecenderungan ini mendapatkan padanannya dalam pemikiran yang menarik kesimpulan secara cepat dan mudah, tanpa memeriksa terlebih dahulu apakah kesimpulan tersebut didukung oleh premis-premis yang memadai ataukah lebih merupakan suatu jumping conclusion dalam silogisme yang tidak lengkap, yang hanya menghasilkan salto mortale dalam logika.

Secara teoretis, generalisasi acap kali bertukar-jalan dengan radikalisme dalam gerakan politik. Kecenderungan ke arah generalisasi itu terdapat dalam hasrat yang menggebu-gebu untuk mencari akar semua persoalan yang ada di Indonesia sekarang, sementara usaha-usaha perbaikan setiap hari dianggap tidak memadai lagi. Kata "akar" dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan radix dalam bahasa Latin. Jadi, usaha politis dan intelektual untuk menemukan akar persoalan bolehlah dinamakan radikalisme.

Pertanyaannya: apakah radikalisme seperti ini berguna dan diperlukan. Ada berbagai bahan yang dapat dikutip dari studi-studi sosiologi tentang manfaat dan mudarat radikalisme ini. Dalam kalangan Marxis ortodoks, masalah kelas sosial dianggap akar persoalan. Selama borjuasi berkuasa, keadaan tidak banyak berubah karena hubungan produksi antara proletariat dan borjuasi akan tetap mempengaruhi tingkahlaku politik dan kebudayaan, sehingga perbaikan apa pun yang dilakukan, tanpa perubahan hubungan produksi tersebut, lebih merupakan tambal sulam yang memberikan kosmetik yang berbeda tetapi tidak menyentuh struktur dasar dalam masyarakat.

Persoalan ini dalam Marxisme mula-mula cukup meyakinkan, karena salah satu kesulitan teoretis didiamkan untuk waktu lama dan mungkin baru pada tahun-tahun akhir ini mulai dikutak-katik di kalangan neo-Marxis. Yang jadi pertanyaan, kalau dialektika adalah kekuatan tunggal yang menggerakkan sejarah, apa pasalnya bahwa dialektika itu hanya boleh diberlakukan di antara kelas (interclass-relation dialectic), yaitu antara borjuasi dan proletariat, dan tidak diberlakukan di dalam satu kelas yang sama (intraclass-relation dialectic)? Mengapa dalam kalangan borjuasi atau proletariat sendiri dialektika itu tiba-tiba tak berfungsi lagi? Jawabannya, barangkali, karena dalam kelas yang sama tidak ada pertentangan yang diakibatkan oleh hubungan produksi yang eksploitatif. Tetapi jawaban ini lebih tautologis sifatnya. Masih dapat dipersoalkan, mengapa dalam borjuasi sendiri tidak terdapat perbedaan dalam hubungan produksi, misalnya di antara mereka yang bermodal sangat besar dan mereka yang modalnya sedang.

Tanpa mau memasuki debat ini secara akademis, tulisan ini ingin menunjukkan satu hal, bahwa pemikiran yang didorong oleh radikalisme cenderung mendarat pada generalisasi, yang enak untuk diterima, tetapi penuh dengan kesulitan teoretis. Demikian pun dalam praktek, generalisasi itu menimbulkan berbagai kontradiksi yang harus didiamkan dengan bantuan propaganda dan represi politik, atau diikhtiarkan untuk diterima melalui Verschleirungsstrategie, yaitu pengelabuan kemampuan refleksi, sehingga orang tidak menyadari lagi adanya kontradiksi tersebut.

Godaan yang sama mulai timbul dewasa ini di tanah air kita. Muncul berbagai ketidakpuasan terhadap usaha politik untuk mengatasi krisis, dan kemudian dicoba dicari akar persoalan, dengan anggapan bahwa begitu krisis ini ditangani pada akarnya, banyak masalah lain akan selesai dengan sendirinya. Asumsi ini sangat berbahaya. Pemikiran ini merupakan jebakan fungsionalisme yang berasal dari pemikiran biologis. Seorang dokter memang tidak segera memberikan obat sakit kepala kepada seorang penderita migren. Lebih dahulu ia memeriksa apakah migren itu merupakan akibat sampingan dari suatu sakit lain, sehingga kalau akar ini ditangani, migren itu akan hilang.

Pemikiran ini tidak selalu dapat diterapkan dalam masalah sosial karena beberapa alasan. Pertama, hubungan sebab-akibat dalam bidang sosial amat longgar. Kausalitas dalam gejala fisik dapat dirumuskan sebagai hubungan di antara faktor A sebagai sebab dan gejala B sebagai akibatnya. Dalam bidang sosial, sebaliknya, gejala B dapat muncul dari lima sebab yang berbeda, sedangkan satu faktor A sebagai sebab dapat menimbulkan lima akibat yang berbeda dan bahkan bertentangan. Syarat ceteris paribus tidak ada dalam bidang sosial. Dalam arti itu, hormat yang tinggi kepada status sosial, yang di Indonesia dianggap menghalangi produktivitas kerja dan efektivitas pemerintahan, di Jepang justru mendukung produktivitas kerja secara luar biasa. Demikian pula, hormat kepada harmoni dalam kebudayaan memang menolong terciptanya toleransi dan perdamaian dalam komunitas-komunitas tradisional. Tetapi, dalam pemerintahan Presiden Soeharto, ia telah menyebabkan lahirnya kekerasan politik yang mendekati kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam biologi, menebang akar pohon akan mematikan seluruh pohon itu. Dalam birokrasi pemerintahan Indonesia, sulit mengandaikan bahwa pemerintahan akan efektif kalau korupsi dikikis habis dengan cara apa pun. Dapat dibayangkan bahwa kalau korupsi diberantas dengan tangan besi dalam waktu singkat, birokrasi akan kehilangan demikian banyak pegawai, di samping hilang juga sistem insentif yang selama bertahun-tahun dimungkinkan oleh korupsi. Akibatnya, seluruh birokrasi mungkin akan macet total, baik karena kekurangan tenaga maupun karena ketiadaan sistem insentif alternatif. Argumentasi ini bukan bermaksud membenarkan korupsi, melainkan ingin memperlihatkan bahwa sukar sekali menentukan suatu keadaan sebagai akar masalah sosial, karena kalau akar itu dicabut, mungkin tumbuh pohon baru yang lain sama sekali wujudnya.

Kedua, dalam prakteknya, radikalisme mudah mendapat penganut, karena dengan itu muncul harapan bahwa banyak soal akan segera teratasi kalau akar persoalan dibereskan. Kesulitannya adalah bahwa akar itu mungkin tidak ada karena segala soal telah jalin-menjalin, sehingga apa yang tidak menjadi akar di Jakarta dapat menjadi akar di Ambon, dan sebaliknya. Demikian pun, sikap militan yang lahir dari radikalisme itu tidak memberi banyak ruang untuk pikiran kritis, yang sering kali menimbulkan kesan reseh tetapi tidak membawa penyelesaian cepat dan spektakuler. Hubungan antara militansi dan kritik bersifat saling meniadakan. Orang yang kritis tidak pernah akan terlalu militan karena dia selalu berusaha mengambil jarak terhadap soal, bahkan terhadap perjuangannya sendiri. Sebaliknya, orang yang militan tidak boleh terlalu kritis, dan kalau perlu sedikit dogmatis. Dia harus yakin akan apa yang dikerjakan dan diperjuangkannya. Radikalisme antara lain disukai karena dia mematikan sikap kritis yang meletihkan itu, di samping memberi harapan bahwa penyelesaian tuntas dapat dicapai dengan satu serangan kepada akar masalah.

Ketiga, mencari akar persoalan dapat menimbulkan sikap totaliter. Kalau kita menganggap bahwa akar semua persoalan sudah ditemukan, akan muncul anggapan berikutnya bahwa kita berhak memaksa orang lain turut membereskan akar persoalan tersebut, dan tidak memberi kemungkinan bahwa orang-orang lain mengangggap soal lain sebagai masalah yang lebih penting untuk ditangani. Uniknya, sikap totaliter ini sering tidak menimbulkan rasa-bersalah, karena sekelompok orang merasa telah menemukan kebenaran dan kemudian merasa harus menyampaikan kebenaran itu kepada orang lain, bahkan dengan kekerasan. Dalam sosiologi berlaku peribahasa "siapa yang hanya mempunyai palu sebagai alatnya di tangan akan mengubah semua orang menjadi paku, dan siapa yang hanya mempunyai sapu sebagai alatnya akan mengubah semua orang menjadi sampah".

Analogi tersebut melukiskan betapa berbahayanya mengklaim menemukan akar persoalan, karena apa yang menjadi akar pada dasarnya adalah apa yang dianggap sebagai akar masalah. Pemilihan dan penetapan anggapan ini memang didasarkan pada sejumlah pengetahuan. Tetapi apa jadinya kalau pengetahuan tersebut keliru, sementara kita telah mengorbankan demikian banyak orang?

Sukarno menganggap akar masalah adalah bahwa bangsa ini tidak cukup revolusioner, dan akibatnya ekonomi berantakan tidak keruan. Soeharto menganggap akar masalah adalah ketidakstabilan politik dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan akibatnya adalah hak-hak demokratis menjadi porak-poranda. Habibie menganggap akar masalah adalah keterbelakangan teknologi, dan akibatnya adalah pemborosan yang fantastis dengan proyek pesawat terbang yang ternyata sulit dijual. Gus Dur mungkin berpendapat akar masalah adalah disintegrasi, dan kenyataannya kerusuhan Ambon tetap berlanjut dan Jakarta mengalami berbagai ledakan bom. Kalau kita sekarang menganggap akar masalah adalah politik, sangat mungkin kita tidak akan pernah dapat mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan ini. Sebaliknya, kalau kita menganggap akar masalah adalah ekonomi (dan politik harus mengalami moratorium), maka jebakan kepada developmentalisme ala Orde Baru kembali disiapkan dengan sebaik-baiknya.

Pemikiran fungsionalisme ini sangat kuat ditunjang oleh pemikiran mekanistis dalam ilmu-ilmu sosial, seakan-akan kalau starter mobil dinyalakan, mesinnya akan hidup, dan kalau gigi dimasukkan dan gas diinjak, mobil akan bergerak. Yang dilupakan ialah bahwa dalam bidang sosial, baik starter, mesin, gas, maupun gigi, masing-masing punya kehendak dan kemerdekaan sendiri, yang tidak bisa disetel begitu saja. Begitu Anda menghidupkan starter, mesinnya dapat mengatakan "tidak" sekalipun dia berada dalam keadaan baik, dan mobilnya tetap di tempat.

Baik fungsionalisme maupun mekanisme dalam pemikiran sosial dan politik menafikan satu hal, yaitu bahwa keputusan politik apa pun yang diambil, akibatnya selalu harus diperiksa kembali. Tidak ada jaminan penuh bahwa keputusan itu berjalan sesuai dengan rencana. Hal ini memang amat meletihkan, tetapi inilah risiko kebebasan manusia. Dalam hal itu, demokrasi, dengan segala kekurangannya, tetap menjadi pilihan terbaik karena dia memang tidak dapat meniadakan kelemahan manusia dan keteledoran masyarakat, tetapi memberi kemungkinan bahwa kelemahan itu dapat diperbaiki oleh kontrol terus-menerus, dan keteledoran dapat dikurangi dengan peringatan terus-menerus. Radikalisme hanyalah pelipur lara yang lahir dari harapan akan penyelesaian yang cepat dan gampang, akibat anggapan keliru bahwa seakan-akan masyarakat adalah mesin yang bisa disetel, dan politik setali tiga uang dengan budidaya tanaman.

*) Sosiolog, Direktur The Go-East Institute (Lembaga Lintas Timur), Jakarta

Kolom ini dikutip dari Majalah TEMPO edisi 14-20 Agustus 2000


No comments: