Jawaban untuk Prof. Mubyarto
Oeh Ignas Kleden
TULISAN Prof Mubyarto Intelektualisme Bazar (Kompas 28-7-95)
adalah tanggapan terhadap orasi ilmiah saya pada seminar Masyarakat
Indonesia memasuki Abad XXI 17-7-1995 di Yogyakarta, yang
dimaksudkan juga untuk menghormati 80 tahun Prof Selo Soemardjan.
Tulisan itu saya sambut dengan gembira karena dengan itu saya
mendapat kesempatan menguraikan buah pikiran saya lebih lanjut, dan
karena ternyata Prof Mubyarto telah melaksanakan usulnya sendiri
bahwa "ilmuwan sosial perlu lebih serius berdebat (lisan maupun
melalui tulisan), tentang banyak hal teoretis maupun praktis tentang
berbagai permasalahan sosial yang dihadapi bangsa ini". Saya ingin
menggarisbawahi kata serius dalam kalimat Prof Mubyarto di atas,
dan akan kita lihat nanti apakah tanggapannya sendiri merupakan
sesuatu yang serius, atau sebetulnya tidak begitu serius.
Pada dasarnya tanggapan Prof Mubyarto terdiri dari tiga bagian
utama, yaitu 1) tanggapan tentang format presentasi saya; 2)
tanggapan tentang teori ekonomi bazar; 3) tanggapan tentang
penerapan model ekonomi bazar untuk meninjau keadaan ilmu sosial di
Indonesia dewasa ini. Berturut-turut ketiga hal tersebut akan saya
uraikan di bawah ini.
Format presentasi
Prof Mubyarto rupanya amat keberatan bahwa dalam presentasi, saya
menguraikan secara lisan beberapa hal yang tidak terdapat dalam
teks, tetapi yang menurut pertimbangan saya besar gunanya untuk
memperjelas teks orasi saya. Pertama, dari segi konvensi ilmiah, hal
ini sama sekali tidak dilarang, malah dibutuhkan. Karena banyak
sekali hal yang timbul dalam pikiran kita sebagai second thoughts
setelah makalah itu ditulis. Seorang ilmuwan bergelut dengan gagasan
dan pikiran, dan teks hanyalah fiksasi pikirannya secara tertulis.
Tanpa ini mungkin kemajuan ilmu yang diimpikan Prof Mubyarto akan
sulit sekali terlaksana.
Buat saya pribadi, saya tidak akan berkeberatan kalau seorang
ilmuwan telah menyiapkan makalah tertulis, dan pada saat terakhir
membatalkan makalah itu, karena menurut pertimbangannya dan
ukurannya sendiri makalah tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
dan menggantinya dengan suatu uraian yang lain sama sekali, yang
menurut pertimbangannya sendiri lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, dari segi isi, klarifikasi dan ilustrasi yang saya
kemukakan secara lisan, sama sekali tidak mengganggu pokok-pokok
utama uraian saya. Karena ada tiga hal yang saya tambahkan, yaitu
penjelasan mengenai konsep parokhialisme kebudayaan, peranan LSM
dalam ilmu sosial semenjak tahun 1980-an, dan model Amerika yang
digunakan William Liddle dalam menguraikan demokrasi di Indonesia.
Saya kira kalau tiga hal itu dibuang sama sekali, pokok-pokok
pikiran saya tentang intelektualisme bazar pun tidak akan berubah
sama sekali. Ini terbukti dari kenyataan, bahwa sekalipun Prof
Mubyarto mungkin tidak berbahagia dengan adanya tambahan itu, dia
dapat membuat sebuah tanggapan terhadap orasi saya.
Bahwa Prof Mubyarto tidak terbiasa dengan cara kerja seperti
ini, hal itu sepenuhmya menjadi urusannya sendiri. Tetapi bahwa
dengan itu dia mengira bahwa tambahan itu dilakukan karena "orasi
ilmiah yang disampaikannya (nya=Ignas Kleden, IK) secara tertulis,
banyak diubah dan ditambah dalam presentasi lisannya, mungkin karena
'dagangan' yang sedang diecerkannya sudah pernah 'diecerkannya'
sehingga harus diubah/ditambah untuk menyempurnakannya dan lebih
disesuaikan dengan audiens" adalah suatu jalan pikiran yang,
ironisnya, amat tipikal intelektualisme bazar. Sebabnya, penambahan,
pengurangan, ataupun membuang sama sekali adalah langkah-langkah
kritik dalam pekerjaan ilmiah, dan tanpa itu ilmu sosial tidak akan
bergerak ke mana-mana.
Keberatan Prof Mubyarto terhadap format presentasi ini
mengingatkan saya kepada situasi, di mana sebuah pementasan drama
kemudian dibatalkan, dengan alasan dialog dalam pementasan agak
berbeda dari naskah yang diserahkan.
Teori ekonomi bazar
Uraian Prof Mubyarto tentang teori ekonomi bazar dapat dipilah
menjadi beberapa bagian. 1) Ada keberatan umum bahwa mengapa dalam
usaha saya untuk mengritik teori Geertz, saya masih juga
menggunakan teori ekonomi bazar ala Geertz. 2) Keberatan yang
menyangkut materi bahwa asumsi saya tentang ekonomi bazar keliru,
dan menurut anggapan Prof Mubyarto saya seolah-olah tidak menghargai
ekonomi bazar sebagai "ekonomi rakyat Indonesia yang efisien menurut
ukuran rakyat sendiri". 3) Menerapkan model ekonomi bazar untuk
komunitas ilmu sosial adalah tidak realistis.
Pertama-tama ekonomi bazar hanyalah salah satu bagian kecil
dari studi Geertz tentang Indonesia, yang sekurang-kurangnya
mencakup 7 sektor pertanian (involusi), perdagangan (bazar),
perkotaan (solid town/hollow town), pengelompokan politik (aliran),
agama (the scope/the force of religion), politik klasik (the theater
state), negara modern dan etnisitas (modernisasi
tradisi/tradisionalisasi modernitas). Ini perlu dikemukakan untuk
menghindari kesan, bahwa studi Geertz hanya membahas ekonomi bazar
(tambahan ini perlu untuk pembaca dan bukan untuk Prof Mubyarto yang
saya kira mengenal studi Geertz dengan baik).
Untuk kembali kepada tanggapan Prof Mubyarto tentang teori
ekonomi bazar, kenapa mengritik dan sekaligus menggunakan teori
Geerts? Pertanyaan ini telah muncul dalam diri Prof Mubyarto karena
menurut dia adalah ironis bahwa "betapa pun besar keinginan ilmuwan
sosial Indonesia untuk mendobrak teori lama, ternyata belum ada
kemampuan untuk menggantinya dengan teori lain yang baru, yang lebih
ampuh bagi upaya pemecahan masalah sosial yang dihadap bangsa
Indonesia".
Untuk menjawab pertanyaan ini mungkin perlu dikemukakan sedikit
pandangan saya tentang kritik dalam ilmu sosial, khususnya kritik
teori ilmu sosial, bukan karena pandangan saya sendiri begitu
penting, tetapi supaya diskusi ini berlangsung di atas suatu basis
yang lebih jelas.
Istilah lama dan baru dalam teori ilmu sosial sebaiknya
diterima dengan penuh reservasi (kata orang asing there is nothing
so new under the sun). Mengritik suatu teori ilmu sosial tidak sama
dengan membuang baju lama dan mengenakan baju baru.
Dalam pengertian saya, kritik terhadap suatu teori ilmu sosial
akan berjalan pada dua tingkat utama. Pertama, kita meninjau
bangunan logis teori itu. Kedua, kita meninjau luasan empiris di
mana teori itu diterapkan atau tidak dapat diterapkan. Bagian
pertama biasanya berupa hasil abstraksi dan generalisasi dari
kenyataan empiris yang diselidiki. Bagian kedua merupakan penerapan
kembali secara empiris dari abstraksi tersebut pada suatu lapangan
penelitian yang dipilih. Dengan lain perkataan, bagian pertama
adalah hasil saringan secara induktif dari temuan-temuan empiris
menjadi konsep yang lebih umum, sedangkan bagian kedua adalah
penarikan (derivasi) secara deduktif konsep-konsep operasional dari
sebuah teori yang cukup umum dan abstrak agar bisa dihubungkan
kembali dengan kenyataan dalam penelitian.
Untuk mudahnya, bagian pertama saya sebut bangunan logis. Namun
demikian, mengingat bahwa bagian ini merupakan abstraksi (pada
berbagai tingkatan) dari kenyataan empiris, maka tak dapat dihindari
semua "bias" empiris dari mana teori itu diabstraksikan. Karena itu
sekalipun bagian ini kelihatannya merupakan suatu bangunan logis,
tetapi selalu mungkin untuk melihatnya sebagai hasil dari
konstruksi sosial, atau refleksi dari perkembangan historis,
politis, atau pun ekonomis.
Kalau kita menunjukkan kontradiksi dalam bangunan logis itu,
maka kritik teori akan merupakan suatu falsifikasi (atau menunjukkan
fallacy dalam logika bersangkutan). Kalau kritik lebih diarahkan
kepada pembuktian bahwa suatu teori adalah konstruksi pikiran yang
disusun untuk membela kepentingan atau keinginan tertentu, maka
kritik ini dinamakan dekonstruksi.
Kalau kritik dibuat dengan mengajukan premis yang berlawanan
sama sekali untuk susunan pikiran yang sama, maka yang kita lakukan
adalah kritik dialektis. Semua ini bernama kritik, tetapi mempunyai
penekanan berbeda dan tujuan teoretis yang mengutamakan aspek yang
berlainan.
Bagian kedua dari teori menyangkut luasan empiris. Yang
ditinjau di sini adalah seberapa besar lapangan empiris di mana
teori tersebut dapat diterapkan. Sebagai contoh yang mudah, kita
dapat berdebat apakah teori ekonomi bazar adalah sesuatu yang khas
Indonesia atau dapat diterapkan di bagian dunia lainnya. Atau
apakah teori ekonomi bazar adalah suatu ekonomi prakapitalis atau
juga bagian dari ekonomi kapitalis. Hal ini akan diuraikan pada
bagian berikut (Kompas, 11 Agustus).
* Ignas Kleden, bekerja pada Yayasan SPES, Jakarta.
No comments:
Post a Comment