Saturday, March 28, 2009

Tatanan Kehidupan Politik

Dalam Tatanan Kehidupan Politik
Peran Negara Hanya Sekunder

Jakarta, Kompas
Dalam tatanan kehidupan politik berbangsa dan bernegara saat ini, telah terjadi proses
menurunnya kepentingan pusat (decentralized). Generasi baru percaya, peran negara
hanyalah bersifat subsidair dan sekunder terhadap kemampuan masyarakat untuk
mengorganisasikan dirinya sendiri. Negara dibutuhkan sejauh masyarakat memang
membutuhkan bantuannya. Namun, sepanjang bisa melakukan hal-ihwalnya sendiri, negara
tidak perlu ikut campur dalam urusan masyarakat.

Hal itu dikemukakan sosiolog Ignas Kleden yang membacakan orasinya berjudul
Nasionalisme Tradisional dan Masyarakat Baru, pada perayaan HUT ke-30 Lembaga
Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Senin (20/8) malam,
di Jakarta. Sebagai contoh, ia menunjuk "kevakuman" setelah Megawati Soekarnoputri
dilantik sebagai Presiden RI, di mana selama 17 hari belum juga terbentuk kabinet
baru. Ketika roda pemerintahan yang efektif tidak ada, kata Kleden, ternyata
masyarakat telah berhasil menjalankan kesehariannya seperti biasa.

"Tidak ada keluh-kesah bahwa tidak ada garis kebijakan politik yang mengatur kehidupan
publik selama 17 hari tanpa kabinet itu. Inilah contoh sederhana yang bisa membuktikan
betapa governance semakin hari bisa semakin efektif, hanya apabila demokratisasi telah
berjalan secara terbuka dan apabila civil society telah semakin diperkuat oleh
kekuatan-kekuatan progresif dalam masyarakat kita," katanya.

Generasi baru

Menurut Kleden, sebuah generasi baru ikut terlahirkan begitu rezim Orde Baru dengan
Presiden Soeharto dipaksa harus lengser untuk kemudian muncul masa reformasi di bulan
Mei 1998 silam. Fenomena ini tampak paling menonjol di kalangan mahasiswa yang dalam
memperjuangkan gerakan politiknya tidak lagi bisa dipahami berdasarkan
kebiasaan-kebiasaan yang dikenal dalam teori modernisasi.

Cara kerja mahasiswa generasi baru itu lebih banyak terinspirasi secara langsung dan
tak langsung oleh gerakan intelektual dan pemikiran filsafat post-modernisme. Sebuah
aliran pemikiran filsafat yang diketahui mulai masuk ke Indonesia sejak akhir tahun
1980-an dan kemudian lagi di awal tahun 1990-an.

Ciri paling menonjol pada post-modernisme adalah menurunnya kepentingan pusat,
pentingnya keberagaman dan perbedaan, diabaikannya struktur dan organisasi, suburnya
inisiatif yang menuntut pengakuan, dan hak hidup sebagai bagian dari cultural
production dan hidupnya dekonstruksi sebagai bentuk kritik baru.

Kelompok ini, lanjut Kleden, lebih tertarik berbicara soal governance daripada
government atau pemerintahan.

"Pemerintah lahir dari delegasi kekuasaan oleh rakyat, sedangkan governance
menunjukkan kemampuan dan spontanitas setiap kelompok sosial untuk mengatur dirinya
sendiri. Kalau modernisasi menekankan pertumbuhan ekonomi sebagai syarat bagi suatu
kehidupan sosial dan politik yang berkelanjutan, maka generasi baru ini lebih tertarik
mengembangkan minatnya bicara soal kualitas hidup," ungkap Kleden. (ryi)

No comments: