Ignas Kleden
DEMOKRASI DAN DISTORSINYA:
POLITIK REFORMASI DI INDONESIA
Demokrasi lahir kira-kira 5 abad sebelum masehi dalam masa Yunani Antik di kota Athena Demokrasi sudah banyak menimbulkan keraguan. Bukan saja aristokrat merasa terancam kedudukannya oleh adanya sistem yang memungkinkan pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga para filosof populis seperti Socrates bahkan cenderung menolaknya. Menurut filosof ini, demokrasi harus dicegah karena sistem ini memberi kemungkinan bahwa suatu negara akan diperintah oleh orang-orang dungu, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya. Socrates tentulah memahami dengan baik bahwa rakyat tidak selalu memberi dukungan kepada orang-orang yang dianggap mampu, tetapi lebih karena kepada orang-orang yang mereka sukai. Celakanya, orang-orang yang disukai dan dipilih oleh rakyat, bukanlah selalu orang-orang yang kompeten untuk membela nasib mereka.
Lebih dari 2000 tahun setelah itu, kecemasan Socrates terbukti tidak seluruhnya meleset bahkan juga di Indonesia saat ini mengalami secara sangat-sangat serius dilema antara konstituensi dan kompetensi dalam demokrasi. Yaitu apakah mereka yang mengatur kehidupan negara dan masyarakat adalah orang-orang yang di dukung oleh konstituensi yang luas, ataukah mereka yang memiliki kemampuan bekerja yang baik, dengan dukungan integritas yang dapat diandalkan. Berbagai percobaan telah dilakukan dalam politik Indonesia semenjak kemerdekaannya untuk mendapatkan suatu kombinasi yang ideal atau modus vivendi dari tiga komponen kualifikasi yang diharap dapat mendorong dan mengembangkan kehidupan demokrasi yang sehat. Ketiga komponen kualifikasi tersebut adalah: 1) kemampuan dan keahlian dalam bekerja, yang kita namakan saja kompetensi, 2) jumlah orang-orang memilih seseorang untuk mewakili mereka, yang kita namakan konstituensi, dan 3) kesadaran seorang politikus tentang nilai-nilai dan norma-norma yang tidak boleh dilanggar, karena kalau dilanggar maka dia akan berkhianat terhadap prinsip-prinsip perjuangan politiknya sendiri. hal terakhir ini dinamakan integritas.
Kompetensi tanpa konstituensi telah melahirkan teknokrasi, di mana seseorang menduduki jabatan politik semata-mata karena keahliannya, tanpa memerlukan dukungan dari orang-orang yang bersedia memilihnya. Hal ini kita alami pada masa-masa awal Orde Baru, yang menjadikan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas nomor satu, dan karena itu memberikan prioritas politik kepada ahli-ahli ekonomi dalam jabatan-jabatan politik. Mafia Berkeley adalah sebutan pada masa Orde Baru untuk rezim teknokratis dan zakenkabinet adalah penamaam untuk teknokrasi dalam masa pemerintahan Soekarno. Teknokrasi ini masih dapat diterima kalau para ahli yang menjadi politisi tersebut memperlihatkan integritas yang meyakinkan.
Seperti sudah diketahui umum, praktek teknokrasi merugikan partisipasi politik yang luas karena tiga sebab. Di pihak yang satu, karena teknokrat mendapat jabatan politik karena kemampuan dan keahlian mereka dalam suatu bidang teknis (seperti ekonomi, engineering, kesehatan, atau analisa kemasyarakatan), dan karena itu mereka tidak memerlukan konstituensi yang mendukungnya. Akibatnya mereka juga tidak memerlukan partisipasi rakyat yang memberikan suara untuk mereka. Di pihak lainnya, teknokrasi cenderung percaya pada suatu elitisme intelektual yang mengandaikan bahwa soal-soal ekonomi-politik dan sosial-politik dalam suatu negara modern adalah sedemikian kompleksnya, sehingga hanya orang-orang yang terlatih dan terpelajar dan mempunyai ekspertis, yang akan sanggup menanganinya secara kompeten. Partisipasi rakyat luas dalam soal-soal tersebut dianggap cenderung memperumit masalah dan bukannya memecahkan masalah, kira-kira sama halnya seperti seseorang tidak terdidik dalam informatika mencoba membuat software suatu program komputer.
Demikian pun diandaikan dalam teknokrasi bahwa setiap masalah teknis hanya dapat dipecahkan secara teknis, seperti halnya sakit gigi hanya dapat diobati secara teknis-medis oleh dokter gigi. Pertanyaannya ialah apakah semua masalah politik dapat diterjemahkan menjadi masalah teknis? Di sinilah teknokrasi terjebak kedalam suatu kesalahan kategori atau category mistake, karena menganggap semua masalah politis dapat diterjemahkan menjadi masalah teknis semata-mata. Ada perbedaan asasi antara masalah teknis dan masalah politis. Kalau masalah pendidikan dan pengajaran disekolah, misalnya, diterjemahkan menjadi masalah teknis semata-mata, maka pendidikan dan pengajaran dianggap hanya menyangkut masalah kurikulum, buku teks, cara ujian, sistem pemberian nilai dan sebagainya. padahal aspek politis dari masalah pendidikan bersifat lain sama sekali, yaitu pertanyaan apakah suatu pendidikan nasional bertujuan menciptakan manusia dewasa, yang berpengetahuan cukup, dengan otonomi pribadi yang sanggup membuatnya berpikir dan memutuskan sendiri, atau sebaliknya dari itu, pendidikan menjadi alat di tangan negara untuk mengawasi para warganya dan sarana yang harus membentuk ketaatan para warga terhadap negara.
Masalah yang sepintas lalu kelihatan demikian teknis seperti halnya sistem ujian untuk murid-murid SMP dasn SMU sebetulnya mempunyai aspek politik yang serius. Kalau ujian Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia diberikan dalam sistem pilihan-ganda atau multiple choice misalnya, maka cara ini hanya mengajarkan para murid untuk menerka-nerka jawaban dan bukannya berpikir untuk mempertanggung-jawabkan yang diberikan terhadap pertanyaan ujian. Dua hal tampak di sini yang memperlihatkan aspek politis dari metodik dan didaktik. Dengan pilihan-ganda para guru lebih mudah untuk menemukan kesalahan dalam jawaban para murid dengan buku-kunci jawaban. Demikian pun dengan pilihan-ganda guru-guru lebih menghemat waktu dalam memeriksa ujian.
Akan tetapi, dengan cara itu para siswa dirugikan, karena tidak belajar menggunakan bahasa Inggris atau bahasa Indonesia dengan baik. Latihan menulis essei pendek atau menulis surat dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, sudah pasti mengembangkan daya-cipta dan daya-pikir para siswa. Hal ini tidak dilakukan, untuk itu dari para guru dituntut jauh lebih banyak waktu dan tenaga untuk memeriksa sebuah surat berbahasa Inggris daripada memeriksa soal-soal dalam bentuk pilihan-ganda. Dilihat secara politis, sistem ujian dengan pilihan-ganda memperlihatkan dua kecenderungan. Pertama, ia memudahkan guru-guru tetapi merugikan murid. Kedua, dia memudahkan kontrol tetapi mematikan daya-cipta.
Terlihat dari contoh ini bahwa masalah teknis hanya menyangkut pengetahuan, ketrampilan dan keahlian, sedangkan masalah politis lebih menyangkut keinginan, aspirasi, pilihan, dan kemauan. Yang pertama menyangkut technical know-how yang hanya cukup mengandalkan ekspertis dan pengalaman, sedangkan yang kedua menyangkut technical will yang mengandaikan, selain pengetahuan, juga kehendak dan kemauan. Dan ini masih didasarkan pada tujuan yang hendak dicapai dan nilai-nilai yang membenarkan tujuan tersebut. Dalam istilah Max Weber, teknokrasi mengandalkan instrumental rationality atau zweckrationalitaet, yang hanya memperhatikan cara yang efektif untuk mencapai tujuan, sedangkan politik menyangkut pula value-rationality atau weltrationalitaet, yang mempersoalkan apakah tujuan yang diterapkan itu dapat dibenarkan secara rasional, dan apakah cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kelayakannya. Akuntabilitas teknokrasi bersifat ilmiah, sedangkan akuntabilitas politis bersifat etis.
Dengan demikian, teknokrasi sebetulnya tidak dapat mengganti pilihan dan keputusan politis, sekali pun teknokrasi amat diperlukan untuk menerjemahkan keputusan politis menjadi program-kerja yang operasional. Pilihan politik dalam ekonomi untuk mengutamakan ekspor atau pilihan untuk memperkuat pasar dalam negeri, adalah pilihan politis, dan bukannya ditentukan secara teknis. Demikian pun pilihan untuk memperkuat ekonomi rakyat atau meningkatkan economies of scale, atau juga pilihan untuk menggabungkan kedua-duanya melalui strategi community development, adalah pilihan politis dan bukannya putusan yang dapat ditentukan hanya secara teknis semata-mata. Kalau pilihan politis dan keputusan politis sudah ditentukan, barulah para ahli ekonomi dan para ahli lainnya, diminta menyusun suatu program kerja yang dapat menerjemahkan pilihan dan keputusan politik tersebut kedalam operasi teknis yang dapat dilaksanakan dan dikontrol secara teknis. Prosedur ini perlu ditempuh, karena kalau pilihan itu menimbulkan berbagai konsekuensi politis, maka tanggung jawab terhadap tanggung jawab tersebut, akan dihadapi secara politis dan tidak bisa lagi dihadapi secara teknis semata-mata oleh para ahli yang tidak mempunyai kompetensi politis.
Kedua, konstituensi tanpa kompetensi menyebabkan bahwa partisipasi yang luas tidak membawa persaingan yang sehat dan terbuka untuk mendapatkan kompetensi yang terbaik untuk menangani suatu bidang, tetapi menghasilkan kompromi yang gampangan tentang pembagian posisi dan jabatan politis. Kompromi ini tidak tercapai berkat diskusi mengenai kemampuan riil seseorang tetapi lebih menyangkut keterwakilan sebuah golongan dalam spektrum politik. Kompromi ini lebih mementingkan kehadiran suatu golongan politik dalam jabatan politik, dan bukannya alasan kehadiran itu dapat dibenarkan berdasarkan kriteria yang bekenaan dengan kemampuan dan keahlian. Tawar-menawar politik yang tidak didukung oleh argumentasi kompetensi, akan segera berubah menjadi tawar-menawar dagang biasa yang tidak didasarkan pada wacana apa pun yang berkenaan dengan pekerjaan politik yang harus dijalankan, tetapi hanya berhubungan dengan kepentingan suatu kelompok, yang demi keterwakilannya dalam pembagian kekuasan, menyebabkan kerugian dalam perimbangan kepentingan, karena sumbangan orang tersebut dalam produksi kompetensi adalah sangat rendah. Akibatnya, kepentingan umum rakyat banyak dan masyarakat luas dirugikan. Sebagai contoh yang gampang, kalau keuangan negara atau pendidikan nasional misalnya diserahkan kepada orang-orang yang tidak banyak pengertiannya secara formal dan dan tidak cukup pengetahuannya secara material tentang kedua bidang itu, maka rakyat akan menderita karena kekacauan keuangan, dan karena pendidikan yang ketiadaan arah. Hal yang sama dapat dikatakan tentang wakil-wakil rakyat dalam DPR. Sekali pun seseorang mendapat cukup dukungan suara untuk menduduki suatu kursi dalam DPR, perlu dipertimbangkan persyaratan kompetensi yang memungkinkan orang bersangkutan menjalankan kontrol terhadap kegiatan eksekutif. Sekali pun kontrol ini merupakan suatu pengawasan politis, namun pengawasan itu baru dapat dijalankan atas dasar pengetahuan yang memadai mengenai suatu bidang pekerjaan.
Konstituensi tanpa kompetensi sedang kita alami sekarang, di mana cukup banyak politisi dan wakil-wakil rakyat belum memenuhi persyaratan minimum sumber daya manusia di bidang politik, baik karena tingkat pendidikannya yang terlalu rendah, maupun karena pengalaman politiknya terlalu terbatas. Kenyataan bahwa mereka menduduki suatu jabatan politik tidak disebabkan oleh kemampuan mereka dalam menjalankan pekerjaan politik, tetapi lebih karena mereka dapat mengusahakan dukungan politik yang memberikan suara untuk mereka.
Demikian pun perlu dipikirkan secara matang bagaimana sebaiknya relasi yang harus ditetapkan antara komposisi demografi dan demokrasi. Persoalan ini dalam praktek menyangkut beberapa hal. Soal pertama ialah adakah hubungan antara mayoritas dan minoritas. Apakah demokrasi harus tunduk kepada keinginan mayoritas, sekali pun keinginan tersebut akan merugikan hak-hak minoritas? Di beberapa negara maju persoalan minoritas ini diatur sedemikian rupa sehingga suara minoritas justru menjadi suara penentu dalam persaingan antara mayoritas. Di Jerman Partai Liberal (FDP) yang dianggap partai kecil diantara partai-partai besar seperti Partai Sosial Demokrat (SPD) dan Partai Kristen Demokrat (CDU) dan Partai Kristen Sosisalis (CSU), sering kali memainkan peranan yang justru menentukan di antara partai-partai besar, sebagai pelengkap yang menentukan kemenangan. Di antara dua partai yang sama-sama besar, maka aliansi atau koalisi yang dilakukan oleh partai liberal justru menentukan mayoritas mana yang akan menang.
Demikian pun persoalan ini akan muncul di antara masalah representasi dan konstituensi yang ditentukan oleh jumlah suara dan masalah rasionalitas demokrasi yang ditentukan oleh wacana. Ini berarti, kalau seandainya suara mayoritas menghendaki kembalinya rejim otoriter untuk memulihkan kestabilan politik misalnya, apakah aspirasi ini dapat dibenarkan secara demokratis, sekalipun otoritanisme dalam bentuk mana pun per-definisi bertentangan dengan demokrasi sendiri. Demikian pun kalau kelompok-kelompok yang korup melakukan aliansi untuk mempertahankan suatu rejim yang korup yang memberikan berbagai privilese kepada mereka, dan ini mendapat suara dukungan terbanyak, apakah aspirasi dan pilihan ini dapat dibenarkan oleh demokrasi, sekali pun pilihan ini jelas-jelas bertentangan dengan tujuan demokrasi yang mengharuskan adanya kontrol sosial untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Pada titik ini perlulah dicari jalan yang sebaik-baiknya untuk memecahkan dilema diantara demografi dan demokrasi, atau di antara representasi dan rasionalitas demokrasi.
Seterusnya, kompetensi dan konstituensi barulah ada artinya jikalau keduanya didukung oleh suatu integritas politik yang memadai. Dengan istilah itu dimaksudkan kesediaan dan kesanggupan seseorang untuk memainkan peranan politiknya, sambil berpegang pada beberapa prinsip politik yang telah disepakati, yang kalau dilanggar akan menyebabkan kita kehilangan alasan perihal mengapa politik harus dijalankan. Prinsip-prinsip ini menyebabkan bahwa dalam politik sekali pun, beberapa hal mendasar harus dianggap sebagai given bahkan non-negotiable. Ibarat permainan bola, segala siasat dan gerak-tipu dalam permainan diperbolehkan selama semuanya berlangsung dalam kerangka aturan main yang telah disepakati. Tanpa aturan main seperti itu, bukan saja muncul kesulitan dalam mengantisipasi gerak-gerik permainan lawan, tetapi bahkan tidak ada pegangan mengenai apa yang akan dilakukan oleh kawan sendiri dalam permainan tersebut. Konsensus mengenai aturan permainan tersebut dalam politik, dapatlah dinamakan moralitas politik, sedangkan kesediaan untuk berpegang pada moralitas tersebut dinamakan integritas politik.
Tanpa moralitas politik tersebut sebagai aturan main, dan tanpa integritas politik berupa kesediaan mengikuti peraturan tersebut, maka politik hanya membawa kita kepada kedua kemungkinan. Yang satu adalah kecenderungan untuk memanfatkan setiap kesempatan untuk mendapat atau mempertahankan kekuasan dengan segala cara (yang dapat dibenarkan atau tidak dapat dibenarkan). Oportunisme politik seperti ini membuat seseorang bertahan lama dalam dunia politik, tetapi tidak akan meninggalkan banyak bekas dalam sejarah politik di kemudian hari, karena tidak ada satu tujuan yang dipertaruhkan dengan jelas, yang membuat perebutan kekuasaan mempunyai alasan untuk dibenarkan. Yang lain adalah kecenderungan untuk mengubah tawar-menawar politik yang merupakan tukar-menukar argumentasi menjadi tawar-menawar dagang dengan memakai uang sebagai sarananya. Apa yang dikenal di Indonesia sebagai money politics merupakan perwujudan dari apa yang dalam sosiologi dikenal sebagai gejala venality yang untuk mudahnya dapat disebut di sini sebagai gejala venalitas.
Istilah ini menunjuk kepada keadaan di mana uang dipakai untuk membayar sesuatu yang menurut hakekatnya tidak bisa dibeli dengan uang. Ijasah sekolah misalnya menjadi tanda seseorang telah menamatkan suatu tingkat pengajaran tertentu dalam pendidikan di sekolah. Ijasah ini hanya bisa dibayar dengan kelulusan seseorang dalam ujian. Kalau ijasah ini dibeli dengan uang maka di sana terjadi venalitas, yang pada giliran berikutnya akan menimbulkan venalitas yang lain. Kalau kepercayaan orang terhadap ijasah sekolah menurun, maka dalam lamaran kerja keabsahan dan keaslian ijasah tersebut akan dipertanyakan orang. Untuk mendapatkan kepercayaan yang hilang orang kembali akan mengeluarkan uang untuk menyogok kepala personalia di sebuah kantor supaya mengakui dan menerima ijasah tersebut sebagai asli dan absah.
Dalam ekonomi, venalitas yang tidak terbatas akan menyebabkan meningkatnya biaya transaksi, yang selanjutnya mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, yang pada akhirnya akan melumpuhkan ekonomi itu sendiri. Dalam politik dan birokrasi, venalitas yang sama menyebabkan bahwa setiap keputusan politik menjadi amat berbelit-belit dan mengakibatkan kompleksitas yang tidak perlu, yang kembali menghalangi efisiensi dan efektifitas. Sosiolog Niklas Luhmann mendefinisikan kepercayaan sebagai mekanisme sosial untuk mereduksi kompleksitas sosial. Semakin kurang kepercayaan semakin besar biaya transaksi dalam ekonomi, dan semakin berbelit proses menuju suatu keputusan politik dan semakin ruwet pula implementasi keputusan tersebut dalam praktek. Kepercayaan dalam politik dan ekonomi dijamin oleh integritas untuk mengikuti peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam moralitas politik. Apa yang oleh Luhmann dinamakan kompleksitas sosial, akan berubah menjadi regulasi dalam politik, dan kemudian menjelma menjadi biaya dalam ekonomi.
Ketiga soal tersebut di atas (yaitu konstituensi, kompetensi dan integritas) memberikan output yang berbeda dengan tanggung jawab yang berbeda. Konstituensi memberikan legalitas kepada posisi politik seseorang, dengan tanggung jawab yang harus diberikan kepada konstituensinya. Kompetensi memberikan efektivitas kepada posisi politik seseorang, dengan tanggung jawab yang harus diberikan kepada pekerjaan yang dilakukannya dan peran yang harus dimainkannya. Sedangkan integritas memberikan legitimasi kepada seseorang, dengan tanggung jawab yang paling berat, yang harus diberikannya kepada dirinya sendiri. Seseorang yang gagal dalam mempertahankan tingkat tertentu dalam komitmennya kepada moralitas politik, pada akhirnya gagal juga mempertahankan legalitas politik dia, karena lambat-laun konstituensinya juga akan kehilangan kepercayaan kepadanya. Pada saat itu dia mengalami proses delegitimasi.
Ketiga kualitas tersebut dapat ditinjau pula berdasarkan apa yang menjadi sasaran dan apa pula ukuran keberhasilannya. Kompetensi menunjukkan komitmen seseorang terhadap pekerjaannya, yang keberhasilannya diukur berdasarkan prestasi. Konstituensi menunjukkan hubungan dan komitmen seseorang terhadap orang-orang yang memilihnya, yang keberhasilannya diukur berdasarkan dedikasi. Sedangkan integritas menunjukan hubungan dan komitmen seseorang terhadap nilai-nilai yang dianut dan prinsip-prinsip yang menjadi pedoman, dan karena itu diukur berdasarkan kemampuan resistensi terhadap represi politik dan komersialisasi dan tingkat otonomi berhadapan dengan deviasi politik.
Dalam keadaan sekarang di Indonesia tahun 2000, segera kelihatan bahwa ketiga kualitas tersebut mempunyai relevansi langsung menghadapi persoalan yang ada. Krisis ekonomi kita, dan khususnya krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, jelas memerlukan kompetensi yang tinggi dalam pengetahuan ekonomi, dan khususnya dalam ekonomi keuangan. Soal ini tidak bisa ditangani kalau yang menjadi dasar pertimbangan adalah konstituensi. Seberapa pun suara yang mendukung seseorang calon menteri keuangan misalnya, pertimbangan yang harus diutamakan adalah pengalaman dan keahlian orang bersangkutan dalam masalah-masalah manajemen keuangan, yang kalau diabaikan akan menyebabkan krisis ekonomi ini semakin berkepanjangan, dan pada gilirannya akan membatalkan segala sesuatu yang sudah dicapai dalam bidang politik.
Seterusnya, krisis politik pun menunjukkan gejala semakin berkembang dan meningkat, dan semakin menimbulkan kecemasan bahwa krisis ini dapat mengancam integrasi nasional, khususnya integrasi teritorial Republik Indonesia. Keinginan Papua untuk merdeka dan menjadi negara sendiri, kerusuhan dan perkelahian serta pembunuhan di Ambon, yang dalam 20 tahun terakhir telah menelan korban sekurang-kurangnya 4000 jiwa tanpa ada tanda-tanda meredanya konflik, demikian pula pergolakan di Aceh yang belum seluruhnya teratasi, semua ini menunjukkan bahwa kesatuan teritorial negara kita sedang menghadapi suatu kondisi berisiko tinggi. Papua misalnya menuntut pembagian wewenang dengan Jakarta dalam proporsi 80% untuk Papua dan 20% untuk Jakarta, dan ini bukannya hanya menyangkut pembagian sumber daya alam, tetapi juga menyangkut pembagian power and authority.
Menghadapi keadaan segenting ini, kecemasan tentang disintegrasi bukanlah tak beralasan. Sekali pun demikian, yang paling menentukan adalah pertanyaan tentang faktor-faktor apa yang telah menimbulkan demikian banyak pergolakan di daerah-daerah. Kalau pertanyaan ini dijawab secara keliru, maka sebagai konsekuensinya, berbagai langkah penyelesaian yang diambil pemerintah besar kemungkinan tidak akan meredakan suasana, dan malahan menimbulkan komplikasi baru yang tidak diinginkan. Memang, sepintas lalu kelihatannya daerah-daerah menuntut lebih banyak perhatian, hak dan wewenang, suatu hal yang dijawab dengan gagasan otonomi daerah saat ini. Sebuah pertanyaan yang perlu diajukan ialah apakah ketidak-puasan di daerah itu disebabkan oleh karena sentralisme Jakarta selama bertahun-tahun, ataukah disebabkan oleh karena sentralisme Jakarta adalah sentralisme yang korup? Apakah ketidak-puasan itu disebabkan oleh sentralisme atau oleh KKN, dan khususnya oleh korupsi uang negara dalam angka-angka astronomis? Bolehkah kita berkata bahwa Orde Baru sebetulnya tidak begitu jelek dan salah, kalau KKN bisa dicegah dan bisa dihentikan? Dengan lain perkataan, dapatkah reformasi politik kita sebetulnya tidak lain dan tidak lebih artinya Orde Baru minus KKN?
Pertanyaan ini harus dijawab dengan cara yang tepat dan benar, karena kalau tidak kita akan membuat kesalahan baru, karena mengambil langkah-langkah yang tidak menjawab ketidak-puasan di daerah-daerah, dan lebih dari itu, dapat semakin memperkeruh keadaan dan menambah kompleksitas persoalan. Jawaban yang diusulkan di sini ialah bahwa KKN Orde Baru, yang masih terus berjalan hingga saat ini, bukanlah suatu gejala yang kebetulan muncul dalam lingkup ekonomi-politik Orde Baru, dan kemudian meluas atas cara yang tak terkendali. KKN adalah akibat logis dan konsekuensi dari strategi pembangunan Orde Baru. Ini artinya, begitu kita memutuskan mengulang kembali strategi tersebut, maka seluruh penyakit Orde Baru akan timbul lagi. Hal ini mudah sekali dijelaskan. Kalau partisipasi politik dibatasi melalui penyederhanaan partai politik, kalau DPR dibuat bungkam melalui restriksi politik dan regulasi birokrasi, kalau pers dapat dikendalikan dengan doktrin “kebebasan yang bertanggung jawab”, kalau kampus dilarang melakukan aksi politik, dan kalau kebebasan menyatakan pendapat dan melakukan kontrol sosial ditekan dengan jalan represi, maka hasil akhirnya adalah kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan yang akan bermuara pada praktek KKN.
Hal yang sama dikatakan tentang pemulihan ekonomi. Kalau pemulihan ini hanya kembali ke kondisi ekonomi kita sebelum krisis, maka dapat dipastikan dari sekarang, bahwa keadaan tersebut menyiapkan suatu krisis baru lagi yang akan menimpa ekonomi kita di masa yang akan datang. Beratnya krisis ekonomi kita sekarang ini menyebabkan seluruh perhatian pada saat ini terpusat pada program pemulihan ekonomi atau economic recovery, dan hampir tidak terdengar lagi diskusi tentang pembaharuan ekonomi atau economic reform yang justru merupakan cita-cita dan amanat reformasi 1998. Pertanyaan yang sama perlu diajukan disini: Apakah kebijakan ekonomi Orde Baru sebetulnya tidak jelek dan dapat diteruskan, kalau saja tidak terjadi krisis nilai tukar rupiah, yang kemudian memukul seluruh ekonomi Indonesia? Apakah krisis nilai tukar tersebut adalah suatu keadaan sial yang secara kebetulan saja muncul-muncul ke tengah-tengah ekonomi Orde Baru, yang kalau sekiranya tidak terjadi, maka ekonomi Orde Baru dapat terus berjalan dengan aman? Ataukah lebih beralasan untuk percaya bahwa krisis adalah suatu konsekuensial dan bukan sekedar aksidental, karena dia merupakan akibat logis dari kebijakan ekonomi Orde baru? Hanya beberapa minggu sebelum ekonomi kita terpukul oleh krisis yang demikian keras, semua kita masih dibikin percaya bahwa fundamental ekonomi kita berada dalam keadaan baik dan solid. Di mana gerangan kekuatan fundamental tersebut dalam menangkis datangnya krisis, dan menangkal meluasnya krisis ke seluruh sektor ekonomi nasional? Pada titik ini kebijakan ekonomi politik telah bersatu dengan kejujuran intelektual. Saya ingin menegaskan di sini bahwa kesalahan analisis telah terjadi bukannya karena para ahli kita kurang pintar dan kurang berilmu, tetapi sangat mungkin karena mereka kurang berani dan juga kurang jujur dalam mengatakan kebenaran yang menentang keinginan rejim.
Hal yang sama dapat dikatakan tentang kepemimpinan nasional. Tanpa mengabaikan jasa-jasa Presiden Soeharto, dapatkah kita mengatakan bahwa kepemimpinan yang dijalankannya tidak begitu buruk, seandainya tidak ada KKN. Dapatkah kita lebih lanjut mengatakan bahwa represi yang dijalankannya untuk menjaga kestabilan politik, tidaklah begitu merugikan seandainya tidak disertai oleh Dwifungsi ABRI dan pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) yang menyebabkan hilangnya banyak jiwa dari orang-orang sipil yang tak bersalah? Gagasan seperti ini dapat muncul kembali pada saat ini tatkala politik Indonesia terancam oleh instabilitas daerah yang bertubi-tubi. Pertanyaan ini harus dijawab sekarang secara terbuka bahwa kepemimpinan yang mengandalkan represi sebagai kekuatannya pada akhirnya akan menghasilkan kekerasan negara dengan masyarakat sebagai korbannya. Hilangnya hak rakyat terhadap tanah, hilangnya hak rakyat dalam bersuara, hilangnya hak rakyat dalam mendapatkan perlindungan, semua ini bukanlah penyelewengan dari suatu rejim yang mengandalkan represi politik tetapi adalah konsekuensi dari represi politik.
Terlihat dari situasi ini bahwa demokrasi dapat terjebak ke dalam beberapa anggapan yang secara prima facie masuk akal, tetapi amat berbahaya untuk kehidupan demokrasi itu sendiri. Dari pihak developmentalisme muncul godaan untuk percaya, bahwa demokrasi barulah dapat terwujud kalau ekonomi sudah mencapai tahap perkembangan tertentu, yaitu setelah tercapainya tahapan take-off. Sebelum tahapan ini tercapai, suatu otoritarianisme relatif dapat dibenarkan. Paham ini telah diuji dalam seluruh Orde Baru dengan hasil yang sudah kita ketahui semua, yaitu bahwa pembatasan demokrasi untuk tahapan tertentu akan cenderung melestarikan dan memperluas pemasungan demokrasi dan watak otoriter yang ada, baik melalui konsentrasi hasil-hasil pembangunan, maupun melalui sentralisai kekuasaan politik.
Godaan lain muncul dari paham korporatisme negara, yang beranggapan bahwa selama masyarakat belum matang untuk demokrasi, negara harus banyak berperan dengan mengambil alih berbagai peran masyarakat sendiri untuk sementara waktu. Hal ini, dalam paham korporatis, dapat dilakukan, karena antara negara dan masyarakat dianggap tidak ada perbedaan asasi sebagai dua sektor yang berbeda wataknya. Baik negara dan masyarakat membentuk suatu corpus politicum sehingga masyarakat dianggap akan mati kalau terpisah dari negara, seperti halnya badan akan mati kalau terpisah dari kepala. Dengan anggapan seperti ini tidaklah mengherankan bahwa selama Orde Baru negara menjadi demikian ekspansionis dan intervensionis. Hampir tidak ada sektor kehidupan masyarakat yang tidak dimasuki oleh negara, bahkan sektor-sektor yang sangat privat seperti kehidupan keluarga, diterobos melalui program KB. Demikian pula bidang kebudayaan dan kesenian khususnya, yang hanya dapat berkembang melalui kegiatan masyarakat yang bersifat spontan dan kreatif, diatur oleh negara dengan dirigisme yang ketat dengan berbagai regulasi. Bertahannya kehidupan seni selama Orde Baru lebih masuk akal untuk dipahami sebagai hasil dari daya-tahan kebudayaan terhadap intervensi negara, dan bukannya berkah yang dibawa oleh intervensi tersebut. Kesenian tetap hidup bukan karena campur tangan negara, tetapi meskipun ada campur tangan negara.
Pelajaran di banyak negara maju menunjukkan bahwa beberapa sektor kegiatan lebih tepat diserahkan kepada masyarakat sendiri. Lingkungan hidup misalnya tidak mungkin diawasi oleh negara. Ini disebabkan, karena tidak ada biaya cukup besar yang bisa ditanggung oleh negara untuk membayar ongkos pengawasan lingkungan melalui aparatur negara. Juga karena masyarakat sendiri lebih mengetahui bahaya apa yang mengancam lingkungan mereka dibandingkan dengan negara. Sebagai contoh, hutan-hutan di Kalimantan tidak bisa diawasi oleh negara seandainya pun negara mengirim beberapa batalion untuk menjaganya. Sebaliknya, kalau pengawasan hutan itu diserahkan saja kepada wewenang penduduk setempat, maka mereka akan lebih sanggup melaksanakannya dengan biaya mereka sendiri.
Orang-orang Dayak di Kalimantan sangat tergantung pada hasil hutan mereka, niscaya tidak akan membiarkan hutan-hutannya rusak atau dirusakkan oleh siapa saja. Sudah ratusan tahun mereka sanggup menjaga hutan mereka, yang kemudian hanya dalam beberapa tahun dibikin hancur oleh para pengusaha yang mendapat lisensi dari negara dan dilindungi oleh negara. Di bidang kelautan keinginan negara Orde Baru untuk mendorong investasi di daerah-daerah, telah menyebabkan lahirnya sebuah UU tahun 1993 yang tidak mewajibkan retribusi apa pun untuk pemerintah daerah yang harus dibayar oleh investor yang mengembangkan usahanya di bidang budi-daya kelautan atau penangkapan ikan laut. Padahal standar internasional menetapkan bahwa untuk budi-daya kelautan seorang investor harus membayar pajak sebesar 1%, sedangkan untuk penangkapan ikan sebesar 2,5%. Jelas dengan UU seperti itu daerah-daerah yang lautnya digarap oleh perusahaan asing atau nasional tidak dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka, yang justru sangat penting untuk otonomi daerah yang akan segera diberlakukan.
Kalau wewenang untuk menjaga lingkungan ini diserahkan kepada masyarakat sendiri, maka lingkungan hidup akan menjadi sarana penting untuk memperkuat inisiatif dan kontrol masyarakat terhadap negara, dan membuat masyarakat sendiri semakin meningkatkan tanggung jawabnya sebagai suatu civil society. Menguatnya civil society sampai tingkat tertentu banyak meringankan beban negara sendiri, dari segi tenaga dan biaya. Tanpa harus menjadi penganut liberalisme politik, kelihatan di sini kebenaran dari prinsip subsidiaritas. Yaitu bahwa negara mempunyai peranan sekunder dan subsidier terhadap inisiatif masyarakat. Apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri, janganlah diintervensi secara tidak perlu oleh negara. Sebaliknya, apa yang tidak sanggup dilakukan oleh masyarakat sendiri, harus dibantu oleh negara. Intervensionisme telah membalikkan asas ini sacara diametral, sekurang-kurangnya dalam praktek. Yaitu negara mencampuri setiap kegiatan masyarakat, dan dalam keadaan sulit membiarkan masyarakat sendiri bersusah payah menolong dirinya.
Pada giliran berikutnya intervensionisme negara yang lahir dari paham korporatisme ini membuat distorsi besar dalam pelaksanaan demokrasi. Pembagian wewenang antara negara dan masyarakat, atau antara pemerintah dan rakyat cukup jelas menurut prinsip demokrasi. Yaitu negara mengatur dan masyarakat mengawasi, pemerintah mengatur dan rakyat mengawasi. Dalam suatu negara korporatis, pembagian itu tidak dijalankan, karena negara mengatur sekaligus mengawasi masyarakat, seperti juga pemerintah mengatur dan dan sekaligus mengawasi para warganya. Kekuasaan eksekutif dan wewenang untuk kontrol direbut oleh negara dan digenggam dalam satu tangan oleh negara dan pemerintah.
Developmentalisme dalam pembangunan ekonomi dan korporatisme dalam bidang sosial, kemudian semakin diperkuat oleh integralisme dalam bidang kebudayaan. Khusus untuk Indonesia, integralisme ini amat didudukung oleh ketetapan UU bahwa pemerintah diatur berdasarkan asas kekeluargaan. Kalau korporatisme menyangkal perbedaan di antara sektor negara dan sektor masyarakat, maka integralisme menyangkal perbedaan di antara wilayah publik dan wilayah privat. Keluarga adalah suatu bidang kehidupan privat, biar pun berbagai penyelewengan dalam kehidupan keluarga, seperti halnya domestic violence, dewasa ini semakin banyak dibicarakan sebagai isu publik. Sudah jelas bahwa dalam suatu masyarakat dengan kebudayaan yang masih cenderung kepada paternalisme, maka pengertian keluarga di sini amat didominasi oleh konsep patriarki. Kalau pemerintah dan keluarga satu maka adalah jelas bahwa yang menjadi kepala keluarga adalah pemerintah, yang berhak menentukan apa yang baik dan apa yang buruk untuk semua keluarga. Panggilan Bapak untuk segala tingkat pejabat pemerintah merupakan cerminan dari patriarki kebudayaan, yang amat didukung oleh patron-klien dalam berbagai komunitas tradisional di Indonesia.
Kesulitan yang masih kita lihat sampai sekarang ialah meluasnya anggapan bahwa, seperti halnya kehidupan dalam keluarga, berbagai sektor kehidupan publik tidak perlu diatur oleh hukum. Dalam prakteknya, di Indonesia tidak berlaku prinsip good government is less government, tetapi semacam asumsi kebudayaan good government is less rule of law. Rancunya distingsi dan batas wilayah publik dan privat ini menyebabkan bahwa hukum tidak banyak berperan karena segala sesuatu dianggap dapat diatur secara privat. Anomali yang terjadi ialah bahwa ada berbagai regulasi untuk kehidupan privat (seperti pakaian seragam untuk sekolah, baca puisi harus minta ijin, adanya departemen yang mengurus agama, dan bepergian ke luar negeri harus bayar pajak dst), tetapi hal-hal yang menyangkut sektor publik justru ketiadaan peraturan yang mengaturnya. Tidak ada peraturan membuang sampah, tidak ada UU tentang pengaturan saluran air, tidak ada peraturan tentang polusi udara oleh gas kendaraan bermotor, tidak terlaksananya peraturan mengenai pencemaran air sungai dan air laut oleh sampah industri, dan lemahnya hukum menghadapi kasus korupsi. Alhasil soal-soal yang harus diatur secara privat dan kekeluargaan justru direcoki oleh negara, sedangkan soal-soal yang harus diatur oleh negara dianggap dapat diselesaikan dengan saling pengertian secara kekeluargaan.
Dalam arti itu, lemahnya sektor publik, lemahnya civil society dan tidak berdayanya hukum, hanya merupakan satu rangkaian logis belaka. Karena sektor publik harus diatur oleh negara dengan peraturan yang ditetapkan oleh UU, sedangkan civil society berusaha menerjemahkan kekuasaan negara menjadi rule of law, sambil menerjemahkan kebudayaan dalam tiap paguyuban komunal yang bersifat sepsifik menjadi hukum positif yang berlaku buat semua warga. Jadi membicarakan law enforcement, tanpa memperkuat sektor publik, dan tanpa mendorong hidupnya civil society adalah perbuatan yang tidak banyak gunanya. Kehidupan hukum hanya berkembang kalau hukum dirasakan sebagai suatu kebutuhan oleh civil society, dan kalau meluas kesadaran bahwa sektor publik tak dapat diatur hanya dengan improvisasi-improvisasi yang mengandalkan hubungan privat, tetapi memerlukan pedoman yang jelas, khususnya kalau terjadi konflik-konflik kepentingan yang harus diselesaikan secara adil dengan cara yang tidak mengorbankan rasa-keadilan dari pihak yang dirugikan kepentingannya.
***
Kecemasan Socrates bahwa demokrasi memungkinkan orang-orang dungu akan memerintah orang-orang pintar, dapat dijawab oleh demokrasi sendiri. Karena baik orang dungu mau pun orang pintar tetap merujuk pada satu pedoman yang sama yaitu hukum positif, yang berlaku sama untuk semua orang, apakah dia pintar atau bodoh, kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat kebanyakan. Pengalaman di banyak negara berkembang menunjukkan bahwa demokrasi dan hukum saling mengandaikan. Secara normatif hukum membuat orang sama, tetapi hanya demokrasilah yang membuat setiap warga secara riil mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Kapitalisme Amerika umpamanya dapat dikendalikan oleh masyarakat Amerika, karena liberalisme ekonomi diimbangi dengan liberalisme politik yang hidup dalam demokrasi mereka. Kesewenang-wenangan sekelompok orang berkat kekuatan ekonominya dapat dikendalikan oleh kebebasan setiap warga untuk menyatakan aspirasi mereka dan memperjuangkan keadilan melalui hukum. Kapitalisme Indonesia selama Orde Baru justru merajalela karena dia didukung oleh etatisme yang hampir-hampir absolut, tanpa hak masyarakat untuk mengontrol berbagai akses penyelewengan kapitalisme. Pemenang hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi Amartya Sen mengatakan berulangkali dalam studinya bahwa kemiskinan bukanlah pertama-tama lack of income tetapi lack of capability, sedangkan kelaparan di dunia bukanlah disebabkan kekurangan makanan tetapi disebabkan karena kekurangan demokrasi. Negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang baik sering kali kelaparan, sedangkan negara-negara yang pertumbuhan ekonomi yang tidak tinggi tetapi mempunyai demokrasi yang berjalan dengan baik dapat mencegah kelaparan berkat adanya tekanan partai politik terhadap pemerintahan.
Saya ingin mengatakan secara sambil-lalu sebagai akhir uraian ini, bahwa berbagai krisis yang terjadi di Indonesia, baik krisis politik maupun krisis ekonomi sangat mungkin disebabkan oleh kurangnya demokrasi, atau karena terlalu banyaknya distorsi terhadap demokrasi yang kita lakukan. Sebagai contoh, korporatisme negara dalam Orde Baru tidak dikoreksi dengan tepat untuk menghasilkan pembagian wewenang yang lebih baik antara negara dan masyarakat dalam masa reformasi, tetapi malahan mengakibatkan bangkitnya kekuatan-kekuatan komunal yang bersifat agresif, yang bukan saja mengancam negara tetapi sekaligus mengancam civil society. Demikian pula developmentalisme Orde Baru yang menganggap berbagai masalah politik dan kebudayaan akan dibereskan oleh pertumbuhan ekonomi, kini sedang dibalas oleh suatu kondisi ekonomi yang kacau balau, terutama karena berbagai ekses yang diakibatkan oleh developmentalisme itu seperi KKN, tidak bisa lagi ditangani oleh negara yang sedang goyah pada saat ini, sedangkan hukum belum bisa didorong maju oleh civil society yang ada. Demikian pula integralisme negara Orde Baru tidak dikoreksi melalui pemisahan sektor publik dan privat secara jelas, tetapi oleh menguatnya tekanan-tekanan populis terhadap berbagai keputusan politik dan ketentuan pengadilan dan putusan-keputusan hukum. Sektor-sektor privat dengan berbagai sentimen golongan dan preferensi kebudayaan mendesakkan diri ke dalam sektor publik atas nama reformasi.
Hal ini buat sebagian disebabkan oleh lambatnya penanganan terhadap kasus-kasus korupsi di masa lalu, yang amat tertunda-tunda pengadilannya. Menghadapi masa lampau ini kita tidak mempunyai banyak pilihan. Pilihan yang paling mudah adalah tidak melupakan dan tidak mengampuni kesalahan masa lampau dengan akibat seperti yang sudah kita alami pada masa pasca-Gestapu PKI. Pilihan kedua yang mudah menjebak kita adalah mengampuni dan melupakan sama sekali kesalahan yang telah terjadi. Hal ini tidak bijaksana, karena mengabaikan perasaan para korban ketidakadilan di masa lampau. Disamping itu, melupakan masa lampau berarti melupakan sejarah, dan mereka yang melupakan masa silamnya, are condemned to repeat past mistake. Pilihan yang lebih mungkin adalah mengampuni sambil tidak melupakan apa yang telah terjadi. Kesalahan harus diungkapkan dan diadili, dan setelah itu baru ada pembicaraan mengenai pengampunan. Mengampuni tanpa mengadili hanyalah melestarikan ketidakadilan. Demokrasi tidaklah menutup kesalahan atau mengelabui kejahatan, tetapi memberi kesempatan untuk memperbaikinya. Memperbaiki kesalahan hanya mungkin dilakukan dengan mengetahuinya dan menyadarinya, bukan dengan merepresinya ke dalam amnesia.
Demokrasi adalah pilihan kita. Kalau kita gagal mempertahankan pilihan itu maka hanya tersedia dua kemungkinan. Pertama, akan kembali ke suatu rejim otoriter dengan legitimasi yang lebih kuat dari sebelumnya, karena kembalinya rejim ini sangat mungkin disebabkan oleh keinginan rakyat yang tidak tahan lagi dan bahkan merasa muak dengan politik yang tanpa arah dan instabilitas sosial yang berkepanjangan, disertai krisis ekonomi yang tak teratasi. Kedua, pilihan untuk memilih jalan primordial kembali untuk mencari rasa aman dalam suku, kelompok etnis, kelompok agama, atau sentimen kedaerahan sendiri, karena tidak ada kepercayaan lagi bahwa kehidupan dalam sektor publik dapat memberikan suatu jaminan bagi kepastian berasarkan hukum. Kedua pilihan itu sama-sama fatalnya. Kembalinya rejim otoriter akan mengembalikan dan melestarikan kekerasan terhadap masyarakat. Sedangkan kembalinya primordialisme akan menghidupkan kekerasan komunal, yang akan mengancam negara dan menghancurkan civil society sekaligus. Dalam arti itu, apa yang dapat dilakukan sekarang bukanlah berkhayal tentang perkembangan demokrasi, tetapi melakukan pekerjaan rumah yang barang kali amat membosankan, tetapi harus dilakukan yaitu membereskan dan mengoreksi berbagai distorsi demokrasi yang kita lakukan selama ini, dengan menggunakan hukum positif sebagai pegangan utamanya.
Ignas Kleden
The Go-east Institute/ Lembaga Lintas Timur, Jakarta.
Orasi untuk Forum Demokrasi, Jakarta 7 September 2000.
# posted by fordem : 20.10.03
Thursday, October 16, 2003
Rocky Gerung
ETIKA POLITIK OPOSISI
1. Pendahuluan
Dari sudut pandang etika demokrasi, politik oposisi adalah kegiatan parlementarian yang paling terhormat. Norma politik oposisi menempati kedudukan tertinggi dalam tangga etika demokrasi karena melalui norma itulah demokrasi dilindungi dari ancaman mayoritarianisme. Tendensi monopoli kebenaran berdasarkan prinsip the winner takes all dalam politik mayoritarianisme, dapat dikendalikan melalui prinsip falibilisme (fallibilism) di dalam etika demokrasi. Prinsip itu mau meyakinkan kita bahwa perwakilan politik tidak identik dengan penyerahan kedaulatan rakyat. Perwakilan politik itu temporer sifatnya, sedangkan kedaulatan rakyat itu permanen adanya. Oleh karena itu pemberian suara melalui Pemilu tidak identik dengan penyerahan kedaulatan. Bahkan lebih dari itu, falibilisme hendak memastikan bahwa demokrasi justeru bertumpu pada pandangan bahwa kesalahan dan penyimpangan merupakan posibilitas tertinggi dari kekuasaan, dan oleh karena itu kritik dan oposisi harus menjadi permanen di dalam kehidupan demokrasi.
Salah satu akibat serius dari otoriterisme politik di Indonesia pada waktu yang lalu adalah -dengan sendirinya- tidak adanya pelembagaan oposisi. Tentu saja sekedar keperluan akademis, kita dapat mencari sebab-sebabnya pada akar budaya politik Jawa yang inklusionaris, atau pada ide negara integralistik ala Supomo yang mewarnai praktek ketatanegaraan, juga pada politik ekslusionaris Sukarno dan –apalagi- pada sistem korporatis Suharto. Tetapi semua keterangan itu tidak diperlukan lagi untuk dijadikan alasan terbalik bagi perlunya pelembagaan itu sendiri berdasarkan pengetahuan kita tentang paham demokrasi yang benar, dan kebutuhan kita untuk segera menjalankannya. Jadi, bila argumentasi perlunya pelembagaan politik oposisi itu diuraikan nanti, maka hal itu harus diterangkan sebagai konsekwensi dari pilihan dan komitmen kita untuk menjalankan demokrasi. Dengan kata lain, politik oposisi itu adalah konsekwensi teoritis saja dari konsep demokrasi, sedangkan pelembagaan adalah konklusi politiknya. Karena itu untuk tujuan tulisan ini (dan maksud penerbitnya) dua pokok pikiran akan dikemukakan di sini: pertama, kelekatan teoritis antara konsep demokrasi dan oposisi; kedua, keperluan pelembagaan oposisi itu sendiri, lepas dari apakah wahana kebudayaan kita mendukung atau tidak.
Kebutuhan untuk melembagakan politik oposisi itu semakin terasa sekarang ini, justeru karena kita sedang memasuki tahapan konsolidasi demokrasi, yaitu tahap di mana dasar-dasar politik modern harus sudah diletakkan sejak dini, agar diskursus politik selanjutnya dapat berkembang normal. Sedangkan determinasi kebudayaan terhadap etika poltik semakin tidak diperlukan karena telah terbukti justru hanya menghambat perkembangan demokrasi dan membenarkan praktek politik otoriter di masa lalu.
Politik oposisi adalah nilai yang melekat di dalam konsep demokrasi itu sendiri. Bila demokrasi dipahami sebagai wilayah transaksi politik yang sekuler, maka dengan sendirinya setiap hasil transaksi terbuka untuk dipersoalkan ulang. Politik oposisi dimaksudkan untuk menjamin demokrasi bekerja di wilayah sekuler, dan memastikan bahwa monopoli kebenaran, atas alasan apapun, tidak boleh terjadi. Itulah sebenarnya tugas terpenting dari politik adalah menjaga netralitas ruang publik, dengan cara menyediakan alternatif-alternatif pandangan untuk diuji secara rasioanal berdasarkan kekuatan argumentasi. Sebaliknya, sistem politik yang dikendalikan oleh ideologi-ideologi yang doktriner, tidak mengijinkan persaingan argumentasi, dan dengan begitu politik oposisi tidak dimungkinkan.
Masalah besar akan muncul bila sebuah pemerintahan transisi tidak meletakkan dasar-dasar kebudayaan politik yang rasional, plural dan demokratis secara segera. Tidak adanya pengalaman politik plural selama masa otoriterisme merupakan kekosongan yang sangat berbahaya bagi proses konsolidasi demokrasi di masa transisi. Padahal, politik oposisi sangat mengandaikan suatu kebudayaan politik plural.
2. Oposisi dan Demokrasi
Kalau dikatakan bahwa oposisi merupakan kegiatan yang harus ada di dalam politik demokratis, maka dasarnya pada filsafat fallibilisme seperti yang didukung paham liberalisme. Oposisi dalam pandangan liberalisme bukan saja berarti pembenaran secara legal terhadap hak untuk mengkritik sebuah pemerintahan yang sah, tetapi juga diselenggarakan untuk menjamin partisipasi popular di dalam proses pengambilan keputusan. Inilah fungsi kreatif dari demokrasi liberal, selain fungsi primernya yang protektif, yaitu dalam hal ia menjamin kebebasan individu tanpa syarat. Dasar pikiran yang paling koheren dari pandangan ini dirumuskan oleh John Stuart Mill. Menururutnya, kendati sekelompok orang tidak terwakili melalui sistem pemilu yang sah, namun mereka dapat berperan melaului diskusi publik guna ikut mempengaruhi pengambilan keputusan politik formal. Dengan ini demokrasi dicegah menjadi alat politik mayoritas saja. Latar pikiran di balik itu adalah suatu keyakinan bahwa demokrasi harus hidup melalui partisipasi rasional dari seluruh warga negara. Ini berarti demokrasi harus selalu bersifat pembelajaran publik (public learnuing) (Holmes 1995:178).
2.1. Falibilisme
Memilih demokrasi sebagai sistem politik berarti menerima suatu pandangan filosofis bahwa manusia adalah mahluk yang terus-menerus berbuat salah. Tapi dari sini juga ia belajar untuk memperbaiki kesalahannya. Dan demokrasi adalah satu-satunya sistem politik yang menyediakan fasilitas untuk mengoreksi dirinya sendiri demi perkembangan kemanusiaan yang lebih baik. Demokrasi percaya bahwa peluang untuk berbuat kesahan adalah positif bagi kemajuan manusia, sedangkan pemutlakan kebenaran adalah penghalang kemanusiaan. Itulah sebabnya perdebatan publik harus berlangsung secara rasional dan terus menerus. Dengan itu, kesahan-kesalahan politik dapat terus diperbaiki, tanpa pernah mencapai pemutlakan; karena pemutlakan berarti berhentinya kebebasan. Hakekat demokrasi ada di dalam debat publik.
Di dalam demokrasi, falibilisme adalah pengakuan bahwa potensi kesalahan adalah permanen, dan karena itu kritik dan oposisi harus terus dihadirkan. Mill merumuskan konsep itu sebagai usaha setiap orang untuk terus mempertanyakan keyakinan-keyakinannya sendiri: “the beliefs which we have most warrant for, have no safeguard to rest on, but a standing invitation to the whole world to prove them unfounded”. Inilah mekanisme self-realization dari demokrasi dalam upaya mencapai kemajuan. Kita lihat di sini bahwa etika demokrasi bekerja setara dengan kejujuran intelektual (Holmes 1995;181).
Pelembagaan falibilisme adalah fungsi prinsipil dari politik oposisi. Dan itu berarti menyelenggarakan publisitas (publicity) sebagai medan uji pendapat. Publisitas memang harus menjadi kondisi dasar bagi bekerjanya sistem demokrasi. Publisitas menerangkan terpeliharanya rasionalitas di dalam proses pembuatan kebijakan politik publik, karena pilihan dan altrernatif tersedia untuk dipertimbangkan. Artinya, kendati sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) telah menyelesaikan fungsi agregasi dan seleksi politik melalui pemilu, tetapi denyut politik publik setiap hari tetap harus diartikulasikan secara publik juga. Ini akan menjaga mesin demokrsasi bekerja optimal, karena peluang manipulasi mayoritas melalui institusi-institusi politik formal akan tercegah oleh sistem penyebaran issue politik yang beredar di media massa. Filsafat di belakang argumentasi ini adalah apa yang disebut prinsip etik falibilisme tadi, yaitu bahwa mayoritas sekalipun dapat melakukan kesalahan, dan karena itu tetaplah diperlukan intervensi publisitas didalam proses politik.
Wahana paling strategis dari publisitas adalah debat publlik. Mill sangat mengandalkan fasilitas ini sebagai mesin untuk mengumpulkan fakta, memperbaiki kesalahan sebelumnya, serta memungkinkan semua warga negara terlibat dalam penyelesaian politik, dan lebih awas di dalam mengantisipasi ekses-ekses dari suatu kebijakan politik yang diputuskannya (Holmes 1995: 180). Di sini berlaku prinsip democratic imperative, yaitu bahwa siapapun yang akan terkena dengan suatu keputusan politik, layaklah ia ikut dalam proses pembuatannya. Itulah sebabnya politik demokrasi tidaklah selesai di kotak-kotak suara, tetapi harus berlanjut di dalam perdebatan publik yang terjadi setiap hari dan seharusnya diikuti oleh seluruh mayarakat. Di sini sekali lagi diandaikan bahwa kontrol rasionalitas publik selalu mampu mengatasi kecenderungan politik formal.
2.2 Rasionalitas
Rasionalitas adalah tema yang amat penting bagi demokrasi. Bahwa demokrasi membutuhkan prasyarat-prasyarat rasio ekonomi, sudah umum diketahui. Misalnya, demokrasi membutuhkan kelas menengah (agar rakyat tidak tergantung secara ekonomi pada negara), demokrasi membutuhkan kebudayaan terbuka (agar perbedaan dihormati dan perkembangan dihargai). Demokrasi memang hanya dapat bekerja pada suhu civilitas tertentu. Dengan menghitung variabel-variabel itu bahkan dapat disusun semacam peta kemungkinan dan peluang sejarah bagi suatu negara untuk dapat menjadi demokratis. Tetapi suatu hal yang jarang ditajamkan adalah bahwa demokrasi sesungguhnya juga mengandalkan rasionalitas.
Salah seorang pemikir yang berusaha mengajukan pentingnya konsep itu Karl Jaspers, seorang psikiatris yang kemudian lebih terkenal sebagai tokoh filsafat eksistensi. Tesis Jaspers sederhana saja. Menurut dia, amatlah bodoh berharap bahwa kehidupan berlangsung baik dengan mempercayakan di tangan segelintir saja manusia rasional. Hanya bila rasio menyebar luas k eseluruh bangsa, barulah bangsa itu dapat bertahan. Mengalami periode hitam Nazisme Jerman, Jaspers tiba pada kesimpulan bahwa tujuan demokrasi yang sesungguhnya adalah sebuah government of reason, through government by the people. Karena itu, menjadi tugas demokrasi untuk membawa rasio ke dalam seluruh pikiran bangsa. Jaspers berusaha membantah pikiran umum yang menganggap bahwa rasio adalah bukan hakekat kemanusiaan, dan oleh karenanya demokrasi merupakan suatu kesia-siaan saja. Sebaliknya ia berpendapat bahwa kendati demokrasi adalah jalan yang berbatu, tetapi itulah satu-satunya jalan yang paling mungkin bagi perkembangan manusia. Salah satu tesis Jaspers yang penting dalam rangka perkembangan itu adalah bahwa rasio merupakan kualitas yang dimiliki setiap orang, dan oleh karena itu setiap orang harus dipandang sebagai sebuah nilai yang utuh, sehingga tidak boleh diperlakukan semata-mata sebagai alat. Demi itu, demokrasi harus terus-menerus mempromosikan kesetaraan (equality), khususnya dalam hal kesempatan untuk berkembang (Bronner 1997: 30-35).
Kontrol terhadap kekuasaan, di dalam proposal Jaspers, melibatkan tiga kegiatan bersama, yaitu melalui perselisihan akademis tentang suatu issue politik, melalui distribusi kekuasaan dan melalui pemilu. Ini semua mengandaikan, sekaligus mengandalkan, adanya kondisi rasionalitas di dalam mayarakat. Pemilu adalah kesempatan resmi untuk menguji ulang legitimasi kekuasaan. Ini memerlukan publik yang rasional, yang dapat melakukan evaluasi berdasarkan akal sehat seluruh penampilan politik kekuasaan. Dengan akal sehat, publik terhindar dari retorika para demagog yang sekedar meraih suara dengan slogan dan permainan emosi. Oposisi didalam demokrasi dimaksudkan untuk mencegah demagogisasi politik, dan sebaliknya melatih publik untuk menjatuhkan pilihan berdasrkan suatu kalkulasi rasional.
Secara kelembagaan, kondisi rasional bagi politik oposisi sudah tersedia dengan terjadinya distribusi kekuasaan ke dalam-lembaga-lembaga politik yang saling mengimbangi. Tetapi kondisi ini tetap rawan manipulasi karena kepentingan antar-elit dapat berkompromi untuk menahan tuntutan-tuntutan popular yang berasal dari luar struktur politik formal. Itulah sebabnya wilayah oposisi harus juga mencakup institusi-institusi independen yang tidak punya kepentingan langsung dengan kekuasaan, selain sekedar berusaha memelihara kondisi rasionalitas di dalam masyarakat. Di sinilah menjadi penting peran dari universitas dan pers di dalam ikut merawat akal sehat seluruh bangsa.
2.3 Alienasi Politik
Falibilisme, rasionalitas dan publisitas adalah pasangan prinsip yang harus ada dalam politik oposisi. Prinsip-prinsip ini sekaligus bekerja untuk mencegah terjadinya alienasi politik di dalam sistem demokrasi. Alienasi politik adalah keadaan di mana warga negara mengalami apatisme di dalam kehidupan politik. Bukan apatismenya yang penting tetapi akibat-akibatnya pada ikatan-ikatan sosial yang menyatukan sebuah sistem demokrasi. Dari sudut pandang tujuan memajukan kemanusiaan, yaitu tujuan etis sistem demokrasi, alienasi politik adalah sebuah pembalikan yang menghancurkan tujuan semula. Itulah sebanya alienasi politik harus dicegah. Dan itu merupakan tugas politik oposisi.
Menurut Offe dan Preuss, alienasi politik dapat terjadi karena ada jarak waktu antara mandat yang diberikan para pemilih dengan keputusan yang dibuat oleh parlemen dan legislatif. Akibatnya adalah hilangnya rasa partisipasi publik di dalam pengambilan keputusan itu. Alienasi politik juga dapat terjadi karena heterogenitas sosiologis publik harus berhadapan dengan homogenitas para elit parlemen dan birokrasi. Akibatnya adalah terjadi jarak sosial antara rakyat dan politisi. Ini lalu berarti juga jarak visi di antara mereka. Juga alienasi politik dapat terjadi karena semakin jauh jarak antara pengetahuan, nilai dan pengalaman masyarakat awam dengan keahlian dari para politisi profesional. Semua ini dapat berakibat pada memburuknya kehidupan demokrasi, karena ukuran-ukuran normalitas dan tanggung jawab tidak dapat lagi diakses dengan standar yang sama oleh para pemilih dan pembuat keputusan. Garansi politik tidak dapat diberikan lagi oleh para politisi, dan pada saat yang sama demoralisasi politik berkembang di mayarakat (Held 1991:164-165).
Dalam kondisi semacam ini, politik oposisi menjadi tumpuan terakhir demokrasi karena ia harus mengolah kembali sumber moral publik agar tidak merosot menjadi apatisme politik. Dengan mengambil alih suara bisu publik, politik oposisi dapat tampil dalam bentuk new sosial movements guna menyajikan solusi politik tandingan terhadap keputusan-keputusan politik elit. Alienasi politik adalah gejala yang memang sedang menggrogoti sistem demokrasi yang beroperasi di dalam tatanan kebudayaan teknokratik dewasa ini. Politik dalam kebudayaan teknokratis semakin diperlukan sekedar sebagai kegiatan teknis penyelesaian persoalan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan pragmatis warga negara. Mekanisme pengambilan keputusan semakin tidak melibatkan pendapat publik karena kalkulasi-kalkulasi dan parameter kebutuhan publik telah distandarisasi secara ekonomi. Bahkan proyeksi-proyeksi statistik seakan-akan telah mampu mengatasi tuntutan-tuntutan politik di masa depan, sehingga partisipasi politik sehari-hari tidak lagi diperlukan. Di bidang legislasi misalnya, konseptualisasi politik semakin tersisih oleh konseptualisasi teknis yang mendominasi materi undang-undang. Publik sering sekedar dianggap sebagai obyek yang tinggal menerima hasilnya. Ini semua adalah hasil reduksionisme satu dimensi di dalam memandang kebutuhan manusia. Sesungguhnya, demokrasi harus juga dipandang sebagai sebuah kebudayaan yang bermaksud mengembangkan manusia di dalam dimensi yang lengkap.
Dari sisi ini, politik oposisi sungguh mengemban tugas etis yang besar. Setiap orang yang merasa berkepentingan dengan demokrasi dengan sendirinya harus menjadi oposan dari kebudayaan teknokratis itu. Di sini kita melihat bahwa politik oposisi itu sungguh-sungguh melekat di dalam nilai dan konsep demokrasi.
3. Pelembagaan Oposisi
Pada bagian sebelumnya dari tulisan ini, telah dikemukakan kondisi dan beban etis dari politik oposisi. Sekarang, suatu perbincangan yang lebih kontemporer, mengikuti situasi politik yang sedang kita hadapi, yaitu suatu transisi menuju demokrasi.
Pelembagaan oposisi adalah proyek demokrasi yang seharusnya dibangun, menyusul ambruknya sebuah rezim otoriter. Gunanya adalah agar masa transisi menuju demokrasi dapat dipakai secara efektif untuk mencegah rekonsolidasi sisa-sisa rezim lama, dan sebaliknya mempercepat pelembagaan demokrasi yang baru diperoleh itu. Pengalaman dari negara-negara yang pernah dan sedang mengalami masa transisi menunjukkan bahwa ambruknya sebuah rezim otoriter tidak dengan sendirinya mengakhiri relationships of domonation dari rezim itu. Kekacauan politik karena terbukanya pintu kebebasan, sering menjadi alasan kembalinya kekuatan inti rezim lama untuk memanipulasi kecemasan publik, dengan menawarkan ulang ideologi stabilitas dan keamanan sebagai kunci pengendalian sitauasi. Apalagi bila pemerintahan yang baru merupakan hasil kompromi pragmatis yang ikut didukung oleh sisa-sisa kekuatan rezim lama.
3.1 Pola Kekuasaan
Mengetahui relationship of domination dari suatu rezim adalah penting untuk mengefektifkan politik oposisi. Alfred Stepan (Stepan 1990: 42-48) menganalisis pola kekuasaan suatu rezim berdasarkan relationship of domination dari komponen-komponen yang membentuk rezim itu. Menurut Stepan, paling tidak terdapat lima komponen utama yang merangkai pola kekuasaan suatu rezim. 1) kelompok inti yang mendukung, yaitu mereka yang merasa kepentingan ekonomi, politik atau kelembagaannya terjamin oleh rezim yang ada; 2) aparat koersif yang menjaga kekuasaan rezim itu; 3) para pendukung pasif; 4) para penentang aktif; 5) para penentang pasif. Di dalam pola semacam ini, tugas dari politik oposisi adalah mengupayakan perubahan di dalam pola kekuasaan itu dengan tujuan menciptakan konflik dan kontradiksi internal di dalam rezim. Dan dengan mulai terjadinya pelemahan rezim, politik oposisi juga harus cepat menyiapkan kondisi bagi proyek demokratisasi.
Politik oposisi tentu saja pertama-tama harus berdiri di luar pola kekuasaan itu. Bila ia berusaha melucuti legitimasi rezim, maka ia harus bersebrangan secara ideologis dan institusional dengan rezim itu. Situasi ini harus bersifat total, karena hanya dengan begitu daya tampung kooptasi rezim tidak akan mungkin memenuhinya lagi. Baru dengan cara ini politik oposisi dapat menggerakkan publik oposan yang sebelumnya pasif. Di sini politik oposisi berada di dalam upaya aktif untuk memperoleh sebanyak mungkin ruang pengaruh yang potensial akan dimanfaatkan rezim untuk perluasan hegemoninya. Sekali kondisi ini tercapai, maka psikologi kekuasaan akan terganggu. Kalkulasi dari para pendukung rezim mulai berubah, mengikuti proses delegitimasi rezim. Sering agak mengejutkan bahwa unsur-unsur inti dari rezim justeru mulai mengawali langkah keluar dari lingkaran utama kekuasaan. Kalkulasi rasionalnya mendorongnya melihat prospek yang lebih pasti dan aman bagi kepentingannya, justeru di wilayah politik oposisi. Ini menjadi tanda adanya apresiasi baru terhadap proyeksi demokrasi.
Hal yang juga penting dari studi Stepan itu adalah soal sikap militer di dalam menghadapi saat puncak proses delegitimasi rezim. Stepan membedakan antara kepentinga militer sebagai pendukung pemerintah (millitary-as-government) dengan kepentingan militer sebagai lembaga (millitary-as-institution). Dalam kalkulasi di mana kepentingan institusionalnya menjadi terancam oleh situasi yang memburuk, maka militer sangat mungkin menarik dukungannya dari rezim. Ini akan mengendorkan kondisi represif dan mempercepat konsolidasi oposisi.
Pelembagaan oposisi haruslah menjadi awal pelembagaan demokrasi yang lebih luas. Karena itu harus segera menjadi tugas oposisi untuk mengonsolidasikan semua elemen reformis kedalam suatu atmosfir politik baru. Psikologi politik oposisi pasca rezim selalu berupa keinginan untuk terlibat jauh dalam urusan-urusan pengaturan politik. Psikologi ini sering tidak dapat dipenuhi karena urusan-urusan pembangunan kembali sebuah sistem politik memerlukan berbagai keahlian profesional yang sering kali justeru tidak dimiliki para oponen rezim sebelumnya. Konflik pasca rezim sering kali muncul di dalam awal konsolidasi demokrasi. Dan ini dapat menjadi kesempatan kembali bagi rezim lama untuk masuk dalam perpoltikan transisi.
Proposal yang paling mungkin untuk mengawali proses konsolidasi demokrasi dalam suasana transisisonal itu, menurut Stepan, adalah bersepakat dalam hal-hal menyangkut prosedur dan rule of the game, daripada terlibat isu-isu subtantif yang sangat mungkin membelah kembali koalisi oposisi.
3.2 Tugas Ganda Oposisi
Situasi transisi haruslah menjadi masa belajar demokrasi yang terarah. Sejak awal harus diupayakan pelembagaan fungsi-fungsi politik, untuk menyalurkan energi kebebasan yang berlebih di masyarakat. Demokrasi bukanlah kebebasan. Demokrasi adalah kebebasan yang dilembagakan. Karena itu sangatlah penting untuk segera melembagakan oposisi, agar energi politik yang pernah dipakai untuk menumbangkan rezim lama itu tidak gentayangan tanpa arah, atau dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan anti demokrasi dengan menunggangi isu demokrasi itu sendiri. Dengan kata lain, pelembagaan oposisi adalah upaya untuk menyelenggarakan partisipasi politik yang sehat. Bukan saja partai dan parlemen yang harus mengemban fungsi ini, tetapi juga pers dan semua institusi politik publik. Ini berarti suatu pengakuan terbuka terhadap hak publik dalam mengawasi kekuasaan politik.
Karena itu, pelembagaan oposisi dapat juga berarti ancaman bagi pemerintahan baru yang belum solid karena masih harus mengatasi faksionalisme internal, stagnasi ekonomi dan pergolakan politik. Itulah sebabnya sebuah pemerintah transisi akan berusaha inklusif untuk jangka waktu tertentu, yaitu dengan merangkul spektrum politik yang cukup luas, sambil mulai membangun koalisi yang efektif dengan memilih beberapa kekuatan politik strategis saja. Di sini kembali ada jebakan mayoritarianisme, dalam arti keputusan politik yang dibuat kemudian (decision), dapat jauh berbeda dengan apa yang menjadi hasil keinginan pemilu (election). Suara para pemilih tetap tinggal di kotak suara, sementara keputusan politik di bawah meja perundingan para elit. Dengan begitu, terciptalah jarak antara kedaulatan rakyat dengan politik elektoral; hal yang kemudian harus menjadi sasaran politik oposisi.
Masalah dasar sebetulnya adalah bahwa sebuah pemerintahan baru yang demokratis sekalipun, tetaplah berhakekat sebagai sebuah mesin politik yang akan berputar seperti layaknya setiap mesin politik, yaitu mendahulukan konsolidasi kekuasaan di atas konsolidasi demokrasi. Karena itu, pelembagaan oposisi haruslah berjalan di bawah tekanan opini publik yang rasional. Sekali lagi di sini ditekankan pentingnya faktor publisitas dan rasionalitas dalam mendorong pelembagaan demokrasi. Dengan pelembagaan itu, kekuatan oposisi dapat berperan ganda dalam menjaga momentum transisi menuju demokrasi, yaitu meneruskan proyek pelucutan relationship of domination dari rezim lama, dan mencegah upaya konsolidasi kekuasaan dari pemerintahan baru.
Penting untuk diterangkan juga bahwa tugas ganda itu mengandalkan bekerjanya suatu civil society yang secara terus menerus menerus mempromosikan the supremacy of civilian value sebagai ideologi bersama masyakat pro-demokrasi, dan the force of the better argument sebagai alat kerja politik oposisi. Promosi nilai-nilai sipil akan membangkitkan kembali kepercayaan diri masyarakat tentang kemampuan mereka untuk menjalankan partisipasi politik tanpa rasa takut, dan mau bergabung dalam organisasi politik dengan semangat kesetaraan. Dalam proses yang sama, politik harus dilepaskan dari semua klaim trasendental dan membawanya kembali ke dalam dunia sosiologis biasa, dimana pendapat dan keputusan politik selalu terbuka untuk diuji (testable) dan dipersaingkan (contestable) berdasarkan kekuatan argumentasi. Dasar etisnya kembali lagi pada prinsip falibilisme dari demokrasi.
3.3 Konstitusionalisme
Prosedur adalah soal yang sangat penting di dalam proses konsolidasi demokrasi. Perkembangan modern dari paham demokrasi mengarahkan kita pada soal pentingnya paham konstitusionalisme dipegang sebagai prinsip pengatur yang harus menjamin pelembagaan demokrasi dan politik oposisi. Tetapi yang pertama-tama yang harus dipahami adalah filosofi antara konstitusionalisme sebagai prinsip keutamaan hak rakyat. Filosofi itu dirumuskan secara padat misalnya oleh Francois Hotman di dalam Francogalia (1573): “a people can exist without a king.....whereas a king withtout a people cannot even be imagined”.
Konstitusionalisme adalah paham modern tentang warga negara. Ia bukan pertama-tama aturan-aturan ketatanegaraan, melainkan prinsip final tentang hak wargan negara. Itulah sebabnya di dalam sejarah awal perkembangan paham itu, eksplisit diakui hak warga negara untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap penguasa yang otoriter. Baru kemudian konstitusi dipahami sebagai sarana untuk mengatur kehidupan politik secara permanen, yaitu dengan berfungsi sebagai lembaga intermediasi di dalam mengatur hubungan antara pemerintah dan rakyat. Paham konstitusionalisme lalu identik dengan negara hukum, karena pasangan prinsip itu beroperasi untuk tujuan yang sama, yaitu ketertiban dan kepastian. Dengan itu kita dibiasakan untuk menjalankan aktivitas politik dan kenegaraan secara prosedural. Dan demokrasi dalam konteks ini juga dipahami sebagai mekanisme prosedural untuk menjamin berlanjutnya ketertiban politik dan kepastian hukum. Dari sinilah kemudian diterima suatu kredo universal tentang keniscayaan hubungan antara demokrasi, negara hukum dan konstitusionalisme. Saling mengandaikan dan saling membutuhkan.
Politik oposisi, didalam rangka menjaga demokrasi, haruslah kembali pada filosofi awal dari paham konstitusionalisme itu. Tujuannya adalah agar politik oposisi dapat menjalankan peran devil’s advocate berhadap-hadapan dengan kecenderungan negara dalam menafsirkan konstitusi menurut kepentingan politik taktis para elit dan sekutunya.
Dalam konteks ini perlu juga diterangkan bahwa sistem di belakang perkembangan modern dari paham konstitusionalisme adalah pandangan bahwa manusia merupakan makhluk rasional yang mampu mencapai kesepakatan berdasarkan akal pikirannya. Karena itu, paham konstitusionalisme itu sendiri tidak diturunkan dari suatu pandangan transendental tentang ideals dari sebuah kehidupan politik, atau dari sebuah common good yang sudah final, melainkan dari suatu tuntutan historis tentang prasyarat kebebasan hak individu, demi dapat bekerjanya rasionalitas. Artinya, karena kontrak sosial diantara individu harus didasarkan pada kesepakatan bebas, maka pertama-tama hak dan kebebasan individu haruslah dianggap primer.
Di sini jelas bahwa konstitusionalisme adalah suatu rumusan historis untuk menyelamatkan hak dan kebebasan individu dari hambatan dan tekan-tekanan kekuasaan, yang contoh-contoh buruknya bertebaran sepanjang sejarah manusia, konstitusionalisme itu ditumbuhkan dan dirawat. Dengan kata lain, konstitusionalisme adalah hasil perjuangan oposisi di dalam sejarah peradaban., guna menyelamatkan rasionalitas. Di dalam diskusi kontemporer tentang hak-hak asasi manusia, kosntitusionalisme telah memastikan hak-hak sebagai inalienable terhadap kepentingan politik apapun.
3.4 Etika Parlementarian
Parlemen di dalam paham konstitusionalisme adalah lembaga yang secara formal menjadi tempat konstitusionalisme itu ditumbuhkan dan dirawat. Dengan kata lain, parlemen haruslah menjadi perwakilan rasionalitas publik yang bertugas memberi kehidupan bagi konstitusionalisme. Kalau parlemen kehilangan rasionalitasnya, maka matilah konstitusionalisme. Itulah sebabnya menjadi anggota parlemen haruslah bebas dari kesibukan dan kepentingan lain. Ia harus hanya berpikir dan bekerja bagi pertumbuhan konstitusionalisme. Bahkan ia harus mampu mentransendir kepentingan politik partai, demi tanggung jawab etisnya pada peningkatan kualitas demokrasi. Pertandingan kekuasaan sudah selesai di dalam tahap politik pemilu, dan pada tahap politik parlemmen seluruh energi harus hanya dikerahkan untuk memajukan demokrasi.
Etika parlementarian menuntut pengutamaan demokrasi di atas kepentingan politik partai. Karena itu seorang anggota parlemen harus memperlihatkan wajah parlementariannya mendahului wajah partainya. Di sini kita harus tafsirkan paham loyal opposition itu sebagai pertanggungjawaban profesi seorang anggota parlemen kepada prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi, dan bukan sekedar sebagai aktivitas berbeda pendapat berdasarkan kepentingan politik sempit dan jangka pendek. Transformasi peran semacam itu adalah suatu revolusi mental yang sangat membutuhkan kematangan dan keyakinan diri yang kuat. Dari sudut pandang ini, pelembagaan politik oposisi haruslah pertama-tama berarti proses internalisasi nilai-nilai parlementarian ke dalam kultur politik partai untuk mematangkan wawasan setiap calon anggota parlemen.
Tetapi lagi-lagi dari sudut pandang falibilisme, haruslah diingat bahwa politik oposisi tidaklah memutlakkan suatu pandangan alternatif yang diperjuangkannya, melainkan terutama mengemukakan defisit legitimasi dari the existing power. Etika parlementarian menentang pemutlakan tafsir konstitusi yang akan mengikat generasi berikutnya. Landasan filosofi dari pandangan ini masih dapat dilacak pada proposisi politik David Hume yang menentang diikatnya masa depan oleh kontrak sosial masa kini (the prohibition against binding the future). Pandangan yang sama dianut oleh Thomas Jefferson di dalam (Declaration of Independence : It is the right of the people to alter or abolish” any “form of government” which has become “destructive” to life, liberty and pursuit of happiness (Holmes 1995:138).
Persaingan politik di dalam konteks politik parlementarian adalah perkelahian visi dalam rangka memperoleh solusi yang paling baik bagi kelangsungan demokrasi. Oleh karena itu, politik oposisi tidak boleh diselenggarakan berdasarkan suatu paham “hidup mati” suatu kepentingan atau golongan. Prinsip yang mendasari persaingan visi haruslah tetap pada penghormatan atas pluralisme nilai. Etika parlementarian juga sangat bertumpu pada asas pluralisme nilai, justeru karena ia hendak menghindari suatu klaim monopolistik dari mayoritas.
Tadi telah dikemukakan fungsi parlemen sebagai tempat pemeliharaan konstitusionalisme. Sekarang harus ditambahkan bahwa dalam masyarakat yang semakin partisipatif, peran parlemen sebagai pembuat undang-undang sudah sangat terbantu oleh aktivitas sejenis yang justeru dilakukan oleh institusi-institusi non parlemen. Banyak rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh kelompok-kelompok kepentingan di dalam masyarakat, sehingga tugas parlemen menjadi semakin teknis saja. Ini adalah perkembangan penting yang akan semakin mengarahkan etika parlementarian kepada keutamaan pertanggungjawaban publik, mendahului pertanggungjawabannya kepada partai.
4 Penutup
Konsolidasi demokrasi adalah proyek transisi yang amat menentukan masa depan demokrasi suatu bangsa. Dalam priode itu, politik oposisi menjalankan peran historis yang amat penting, yaitu menjaga proyek transisi itu dari incaran rezim lama, dan mencegahnya dari kepentingan politik sempit rezim baru.
Masa transisi yang kita alami di sini, sangat diwarnai oleh dua kondisi itu. Transitional justice menjadi sulit diterapkan karena bercampurnya unsur-unsur politik lama di dalam pemerintahan transisi. Pada saat yang sama, pemerintahan transisi masih harus mencari legitimasi dari sumber-sumber politik primordial, karena promosi politik yang rasional sangat kurang dilakukan pada waktu yang lalu. Parlemen juga masih sangat diwarnai oleh kultur politik partai, yang tentu saja lebih mementingkan kursi politik, dari pada nilai demokrasi. Inilah hambatan-hambatan struktural yang segera harus diakhiri bila kita menghendaki suatu sistem politik yang rasional, plural dan terbuka di masa depan.
Pelajaran pertama tentang demokrasi adlah bahwa tidak ada satu nilai absolut yang boleh masuk kedalam arena politik publik. Kualitas primer yang berlaku dalam kehidupan politik publik adalah kewarganegaraan (citizenship). Artinya, setiap individu yang memasuki kehidupan politik publik, hanya terikat oleh hukum publik dan prinsip-prinsip politik sekuler. Inilah konsekwensi dari memilih demokrasi dari wahana politik di dalam sebuah masyarakat plural semacam Indonesia. Kelurusan pikiran ini membawa konsekuensi, yaitu bahwa arena politik publik harus tetap tinggal sebagai arena yang bebas ideologi, dalam arti bebas dari obsesi-obsesi partikular. Bukan obsesi itu yang tidak berdasar, melainkan intervensinya ke wilayah politik publik. Demikian sebaliknya, keputusan-keputusan politik publik tidak boleh merugikan local truth yang dipelihara di dalam komunitas-komunitas privat. Inilah garis “gencatan senjata” yang harus dipelihara terus menerus oleh akal sehat setiap warga negara, karena hanya melalui garis itulah prinsip-prinsip masyarakat plural, rasional dan terbuka dapat diwujudkan. Dan tugas politik oposisi dimasa transisi adalah berdiri persis di garis itu.
Hal terakhir yang perlu disampaikan di sini adalah soal perubahan paradigmatik dari konsep demokrasi. Yaitu bahwa paham politik itu semakin diterima sebagai tata politik bahasa global. Transisi kebudayaan dunia telah menyatukan persepsi tentang pentingnya pilihan-pilihan dan alternatif politik disediakan dalam pasar ide dan filsafat dunia. Semuanya dimaksudkan untuk mempertahankan kondisi the open society sebagai satu-satunya wacana bagi penyelenggaraan pluralitas. Ketika kita misalnya berbicara tentang pentingnya kedudukan civil siciety di dalam penyelenggaraan politik oposisi, maka sekaligus kita berpikir dalam konteks transnational civil society sebagai jaringan rasionalitas global yang akan mengamplifikasi tema itu ke dalam wacana politik global. Etika politik oposisi harus kita tempatkan juga dalam latar interkoneksi global itu.
Referensi
Bronner, Stephen Eric.ed. (1997) Twentieth Century Political Theory, New York: Routledge
Held, David. (1997) Political Theory Today, Stanford: Stanford University Press
Holmes, Stephen. (1995) Passions and Constraint, Chicago: The University Of Chicago Press.
Stepan, Alfred. (1990) ‘On the Tasks of a Democratic Opposition’, Journal Democracy, 1(2), Spring.
Biodata
Rocky Gerung, mengajar filsafat politik di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok. Pengurus Forum Demokrasi (FORDEM), Jakarta.
# posted by fordem : 16.10.03
A. Rahman Tolleng
DINAMIKA POLITIK DALAM MASA TRANSISI
Ke arah Restricted Democracy?
Bangsa Indonesia dewasa ini memasuki fase kritis dalam kehidupan politik yang sepanjang dua tahun terakhir serba tidak menentu. Kita saksikan simptom-simptomnya hadir di mana-mana. Ditengah suatu perekonomian warisan Soeharto yang masih tetap porak-poranda. Simptom-simptom itu muncul berupa kebangkitan politik. “identitas” atau primordial, menguatnya daya tarik sentrifugal yang mendorong kebangkitan kembali rasa kedaerahan, kecenderungan main hakim sebndiri, penyerobotan dan penjarahan hak orang lain, meningkatnya kriminalitas, dan ledakan-ledakan histeria lainnya. Di semua bidang kehidupan terjadi pergolakan, kegelisahan, pertentangan bahkan bentrokan yang kesemuanya itu menimbulkan ketidakpastian.
Sulit sekali menyelami semua pergolakan itu kalau kita tidak memahami faktor-faktor kekuatan yang menyusun dan mempengaruhi perkembangan masyarakat kita sekarang ini. Salah satu aksioma yang dapat menjelaskan pergolakan itu ialah sifat intrinsik suatu masa transisi yang selalu penuh dengan ketidakpastian. Tetapi membatasi diri pada aksioma itu niscaya tidaklah cukup. Fase terakhir suatu masa transisi adalah pelembagaan semua ketidakpastian tadi melalui suatu pemilihan umum yang demokratis yang pada gilirannya akan membentuk pemerintahan baru. Namun ironisnya, yang terjadi di negara kita di penghujung yang apa selama ini dianggap sebagai masa transisi adalah memuncaknya ketidakpastian itu, dan justru berkembang tanpa arah. Benar-benar menyedihkan dan memalukan sampai-sampai seorang Franz Magnis-Suseno merasa perlu melampiaskan uneg-unegnya dalam sebuah tulisan yang berjudul “Busuk” (Kompas, 2/9). Ia menulis “Yang kita saksikan adalah permainan yang tidak jujur, tidak integrer, tidak etis, dan tidak bertanggung jawab. Barangkali kita dapat menggugat sisa hati nurani mereka yang seharusnya tahu lebih baik”.
Sifat intrinsik masa transisi
Indonesia dianggap memasuki suatu masa transisi dalam kehidupan politik semenjak Soeharto turun tahta. Yang dimaksud dengan masa transisi adalah peralihan dari orde baru yang otoriter menuju suatu sistem politik (yang diperkirakan) demokratis. Orang bisa berbeda pendapat dalam soal ini, terutama jika dinjau dari sudut pandang yang radikal menurut “reformasi total”. Tetapi bagaimana pun juga, harus diakui bahwa dibawah pemerintahan Habibie terlepas apakah itu prakarsa sendiri atau berkat tekanan dari bawah (saya sendiri berpendapat untuk sebagian besar karena tekanan dari bawah), dalam kehidupan politik kita telah terjadi apa yang disebut political openness atau keterbukaan politik. Kita menyaksikan, misalnya, berlangsungnya kebebasan pers, pembebasan sejumlah tahanan politik, dikendorkannya sejumlah pembatasan atas hak-hak sipil dan politik rakyat, dsb. Keterbukaan atau juga sering disebut liberalisasi politik (istilah liberalisasi di Indonesia kurang disukai) ini biasanya dianggap sebagai pertanda dimulainya suatu transisi politik.
Nah, sudah menjadi ciri suatu masa transisi, terutama pada masa fase keterbukaan, aturan main masih kurang menentu dan masih dipertarungkan diantara kekuatan-kekutan yang ikut bersaing. Secara sosiologis, situasi ini dapat diterangkan sebagai keadaan tanpa nilai atau anomi. Pada satu sisi, nilai-nilai yang otoriter telah ditinggalkan, sementara pada sisi lain, nilai-nilai baru yang demokratis masih belum terbentuk. Maka berlangsunglah suatu ketidakpastian yang besar, terutama mengenai apakah keterbukaan itu hanyalah sekedar pelonggaran beberapa pembatasan dalam suatu rezim otoriter ataukah keterbukaan itu pada akhirnya bertumpu pada suatu sistem yang demokratis. Membandingkan dengan masa lalu, seorang jurnalis berkomentar tentang kekalutan masa transisi demokratis di Eropa Timur pada tahun 1989: “Di masa lalu ada aturan yang jelas. Dan ada ketakutan. Sekarang aturan main itu tidak ada, dan tidak ada ketakutan.” Keadaan ini juga berlaku di Indonesia.
Faktor-faktor khas Indonesia
Selain karena memang mnerupakan ciri yang inheren dari masa transisi, ketidakpastian dalam periode itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor setempat di masa transisi itu berlangsung. Bertalian dengan hal ini, sebuah faktor yang menguntungkan Indonesia ialah bahwa perjalanan bangsa ini mempunyai referensi tentang tradisi demokrasi, yaitu pengalaman pada awal 50-an. Namun, sebagai akibat indoktrinasi oleh dua rezim otoriter yang mengutuknya sebagai demokrasi liberal yang syarat akan konflik dan ketidakstabilan politik, maka referensi itu tidak terlampau menyenangkan untuk digunakan. Segeharusnya kita masih bisa mengambil pelajaran tentang nilai-nilai dan budaya demokrasi yang berkembang pada masa itu, tetapi setelah melalui interupsi keotoriteran selama 50 tahun lebih, tampaknya jejak-jejak yang ditinggalkan sudah sangat tipis. Oleh karena itu dalam masyarakat secara keseluruhan terdapat kekurangan pengalaman dan pengertian tentang apa yang dituntut dalam berdemokrasi. Padahal demokrasi membutuhkan pula insan-insan demokrat. Tanpa kehadiran insan-insan demokrat yang secara memadai, perjalanan masa transisi niscaya mengalami kesulitan. Keadaan ini lebih diperkuat lagi oleh kenyataan bahwa depolitisasi yang diterapkan secara sistematis oleh Orde Baru selama 30 tahun lebih, sedikit banyaknya telah melemahkan unsur-unsur civil-society yang dapat dijadikan modal dalam upaya menghidupkan kembali tradisi dan instusi-institusi demokrasi.
Sebuah fakta sosial lain yang tidak kurang pentingnya adalah bahwa degree of cohesiveness atau tingkat pertautan di antara anggota-anggota masyarakat sangat lemah. Tindakan represif Orde Baru telah mengharamkan otonomi lembaga-lembaga seperti partai politik, organisasi massa, lembaga-lembaga legislatif dan lain-lain, yang berfungsi sebagai mediating structure antara negara dan individu. Akibatnya masyarakat tercabik-cabik dan mangalami atomisasi yang luar biasa. Orang-orang sangat sukar saling mempercayai dan dalam keadaan seperti itu suatu kerja sama dan solidaritas diantara warga masyarakat – khususnya dalam hal solidaritas itu atas dasar kesetiaan yang lebih dan modern – sangat rapuh karenanya. Dampak atomisasi ini tercermin dalam proses pembentukan partai sebelum pemilu yang melahirkan lebih dari 100 partai. Ia juga tercermin pada kenyataan pasca pemilu bahwa sebagian besar partai kurang dapat mengontrol anggota-anggotanya.
Selain itu perlu pula dicatat sebagai faktor yang memperhebat ketidakpastian dalam masa transisi, yakni adanya dimensi politik aliran dalam polarisasi masyarakat Indonesia. Faktor yang disebut terakhir ini juga bertalian erat dengan gejala atomisasi masyarakat. Kesukaran menciptakan solidaritas modern atas dasar kesetiaan-kesetiaan luas membuat anggota-aggota masyarakat cenderung “melarikan diri” ke dalam primordialisme. Dibandingkan tahun 50–an, memang masyarakat Indonesia kini sudah sangat berbeda. Proses sekuralisasi sebagaimana diperlihatkan oleh hasil pemilu baru-baru ini, boleh dikatakan cukup subtansial. Sungguhpun demikian, agaknya terlampau dini unutk begitu saja meremehkan masih adanya kecenderungan menggunakan simbol-simbol dan idiom-idiom agama (baca aliran) dalam perpolitikan di Indonesia sekarang ini.
Mendamaikan “ketidaksabaran” dan “ketakutan”
Di atas telah disinggung faktor-faktor objektif, intrinsik maupun ekstrinsik, yang memicu ketidakpastian serta mewarnai dinamika masa transisi yang sedang berlangsung di negeri kita. Dinamika, khususnya ketidakpastian itu, jika dibiarkan atau dihadapi dengan sikap acauh tak acuh, dengan sendirinya akan menjadi kekuatan destruktif bagi transisi. Sebaliknya, jika diarahkan dan dipimpin dalam irama dan tempo yang tepat, dinamika itu akan menjelma menjadi kekuatan konstruktif yang dahsyat bagi kelancaran proses transisi menuju terbentuknya sistem politik yang demokratis. Pekerjaan ini merupakan tantangan utama bagi sebuah pemerintah transisi yang di Indonesia yang sekarang jatuh ke tangan Presiden Habibie.
Sejauh ini ada resep yang baku dan lengkap tentang bagaimana memimpin dan mengarahkan suatu masa transisi. Julio Marta Sanguinethi, mantan Presiden Uruguay (1985-1990) menggambarkan tugas itu sebagai mengendalikan dua emosi yang berseberangan: ketidaksabaran dan ketakutan. Periode transisi menciptakan pengharapan-pengharapan yang tidak jarang menuntut “harus diwujudkan sekarang juga”. Kelahiran kembali kebebasan dapat diandaikan sebagai tali kekang sebuah kekuatan yang merangsang gejolak ketidaksabaran. Pada sisi lain, mereka yang terkait dengan masa lalu dengan sendirinya akan diliputi was-was atau ketakutan. Terutama bagi kaum militer yang anggotanya terlibat dalam tindakan-tindakan represif dan pelanggaran HAM dalam rezim sebelumnya tentu saja menjadi khawatir kalau-kalau militer sebagai institusi menjadi bulan-bulanan serangan. Pengendalian kedua emosi ini – ketidaksabaran pada sejumlah orang dan ketakutan pada yang lain – merupakan prinsip dasar yang harus dipegang oleh pemerintahan transisi jika ingin memulihkan ketertiban daan membawa sebagian besar segmen masayarakat dalam proses transisi demokrasi. Di sini disyaratkan suatu kepemimpinan demokratis yang tangguh.
Empat isu sentral Warisan Orde Baru
Tanpa perlu berpanjang lebar, kita semua pasti sependapat bahwa Orde Reformasi yang demokratis (atau apa pun juga namanya) bukanlah sekedar Orde Baru minus Soeharto. Orde Baru adalah sebuah sistem yang menyeluruh dan ditopang oleh seperangkat device (perlengkapan) dan metode kerja yang tak terpisahkan dari sistem itu. Sehubungan dengan hal itu sekurang-kurangnya ada empat tema sentral yang akan senantiasa menjadi titik sengketa selama masa transisi, yaitu:
(1) Pengadilan Soeharto dan kroni-kroninya atas penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu;
(2) Pengadilan terhadap pelaku pelanggaran HAM selama Orde Baru dan pasca Orde Baru;
(3) Pencabutan dwifungsi (dan polisi); dan
(4) Penyusunan konstitusi yang lebih demokratis melalui amandemen UUD’45 atau membuat konstitusi baru sama sekali.
Keempat tema sentral tersebut bertalian dengan penegakan “politik nilai” tentang apa yang salah di masa lampau sehingga dapat menjadi pegangan bagi terpeliharanya tradisi demokrasi di masa depan. Jika tema ke-3 dan ke-4 dimaksudkan untuk memperoleh jaminan objektif bagi kelangsungan dan keamanan demokrasi, maka tema ke-1 dan ke-2 untuk memenuhi tuntutan akan “kebenaran” (dan “keadilan”) yang merupakan nilai-nilai luhur demokrasi. Penyingkapan “kebenaran” ini betapapun mutlaknya, tidak menyingkirkan kemungkinan untuk melakukan “rekonsiliasi”. Dalam keadaan seperti ini, dimana “truth and reconciliation” merupakan keharusan, diperlukan negoisasi-negoisasi dengan kesediaan melakukan kompromi-kompromi maupun transaksi-transaksi di sana-sini. Jelas hal ini merupakan pekerjaan yang pelik dan melelahkan.
Dari “politik nilai” ke “politik kepentingan”
Karena kebetulan sejarah, Presiden Habibie (lebih tepat duet Habibie-Wiranto) ditakdirkan untuk memimpin masa transisi yang sedang berlangsung. Dipandang dari kinerjanya di masa lalu, ia sesungguhnya tidak memiliki legitimasi untuk menjalankan peran itu. Ia tidak dikenal sebagai seorang reformis di dalam rezim Soeharto, malah sebaliknya ia merupakan bagian penting dari rezim itu dan karenanya ikut memikul tanggung jawab atas dosa-dosa Orde Baru. Tetapi disebabkan perbandingan kekuatan yang relatif seimbang di antara kekuatan pro-statusquo dan kekuatan reformis pada waktu itu, yang tentu saja disertai argumen-argumen konstitusionalistik, maka Habibie secara otomatis menduduki jabatan presiden yang ditinggalkan Soeharto. Dalam kedudukan itu sesungguhnya ia berpeluang untuk menciptakan legitimasi (forward legitimation) bagi dirinya untuk mengantarkan rakyat Indonesia ke dalam kehidupan politik yang demokratis.
Kesempatan emas itu ternyata disia-siakan. Selain memulihkan kebebasan pers dan beberapa tindakan lainnya yang menandai fase keterbukaan politik, Habibie boleh dikatakan tidak lagi mengambil langkah-langkah nyata yang membuktikan bahwa ia mempunyai komitmen yang jelas terhadap demokrasi. Tidak ada “clear break” atau pemutus hubungan secara tegas dengan masa lampau. Harapan seperti itu mungkin terlalu berlebihan untuk dibebankan ke pundak Habibie. Tetapi bagaimana dengan reformasi? Dalam hal ini pun, Habibie seolah-olah tidak mau beranjak lebih jauh dari fase keterbukaan. Maka berlangsunglah suatu halfhearted reformation—“reformasi setengah hati” atau mungkin lebih tepat disebut “reformasi setengah jalan”. Dan akibat logis dari situasi ini tidak bisa tidak memicu pergolakan dan meningkatkan ketidakpastian.
Sambil perlu disebutkan suatu langkah konkret yang diambil Habibie, yaitu melaksanakan referendum di Timor-Timur. Langkah ini, meskipun kontroversial, menyebabkan paling tidak ia memperoleh kredit di dunia internasional. Hanya saja, di sini ia gagal mengantisipasi terjadinya konflik sesudah referendum sehingga Indonesia terpaksa menerima kehadiran Pasukan Keamanan PBB.
Singkat kata, isu-isu sentral yang menyangkut dwifungsi ABRI, Soeharto, KKN dan pelanggaran HAM boleh dikatakan tidak dijamah. Habibie-Wiranto tetap terbelenggu dalam paradigma politik Orde baru dan oleh karena itu tidak peka terhadap kondisi politik yang berkembang. Akibatnya, selain tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan lama, ia sebaliknya justru menimbulkan persoalan-persoalan baru seperti terlihat dalam kasus UU-PKB, Andi Galib dan Bank Bali.
Habibie tentu saja bukan orang bodoh. Ia cukup cerdik untuk memanfaatkan secara maksimal daya tarik pemilu guna mengalihkan masyarakat ke dalam apa yang disebut “politik kepentingan”. Pemilu tentu saja merupakan syarat yang penting, tetapi sama sekali belum mencukupi bagi peneyelesaian suatu transisi demokrasi. Syarat-syarat lain dapat disebutkan di antaranya bahwa tidak ada hak-hak istimewa, bagi tentara misalnya, dalam kehidupan politik. Tetapi Habibie mengabaikan itu semua. Tanpa menyentuh hal-hal mendasar yang lain, ia langsung melakukan loncatan besar dengan menyelenggarakan pemilu di dalam suatu kondisi ekonomi yang sangat buruk. Dan celakanya, banyak elite politik reformasi serta merta menyambut “jebakan” itu. “Politik kepentingan” memang lebih menggiurkan.
Ke arah transisi babak kedua?
Atas dasar itu maka pemilu yang semula dipropagandakan sebagai obat mujarab bagi penyelesaian politik yang kita hadapi, sangat boleh jadi hasilnya justru menimbulkan penyakit baru yang sarat akan apa yang disebut authoritarian temptation atau godaa-godaan otoriter. Petunjuk-petunjuk ke arah itu sebagai berikut.
(1) Selain melalui pemilu, lembaga DPR dan MPR masih diisi dengan pengangkatan. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang tidak menghendaki adanya kursi yang dicadangkan bagi golongan tertentu di dalam lembaga legislatif. Selain itu, adanya pengangkatan anggota TNI (dan Polisi) di DPR sedikitnya banyaknya telah mengaburkan prinsip “civilian supremacy” dalam kehidupan demokrasi.
(2) Hasil pemilu secara kebetulan melahirkan suatu sistem multipartai tanpa satu pun di antaranya yang memperoleh absolute majority. Dengan kenyataan ini, terbuka kemungkinan bahwa presiden terpilih kelak bukanlah pemenang pemilu, yaitu Megawati dari PDI-Perjuangan. Jika hal ini sampai terjadi, maka itu berarti timbulnya suatu pertentangan atau konflik antara konstitusi dan demokrasi. Jalan keluarnya adalah mengamandemen UUD’45 yang bertalian dengan pemilihan presiden (misalnya presiden dipilih secara langsung), tetapi nampaknya kemungkinan itu tidak akan terwujud dalam SU-MPR yang akan datang.
(3) Perbandingan suara di antara kubu-kubu partai yang bersaing dalam pencalonan presiden (terutama jika terbentuk hanya dua kubu) sangat boleh jadi menyebabkan fraksiTNI memegang kedudukan sebagai swing vote yang akan menentukan siapa yang akan terpilih. Ini berarti, jika faktor-faktor lain tidak berubah, TNI masih dimungkinkan mempertahankan kedudukan politiknya hingga periode lima tahun berikutnya.
(4) Polarisasi kepartaian masih cukup mengandung benih-benih politik aliran. Pembelahan yang demikian itu, jika dibawa ke dalam masyarakat luas, akan menimbulkan konflik yang tajam pada gilirannya memperlemah kohesi nasional.
Sebagai penutup, menjadi tanda tanya besar apakah transisi yang berlangsung akan sampai pada garis finis secara memuaskan. Barangkali, satu dan lain hal karena kondisi-kondisi global (pasca-Perang-Dingin yang kurang mentolerir rezim otoriter), dan kondisi-kondisi lokal (perekonomian yang masih terpuruk dan kebangkitan rakyat untuk terus mempertahankan “ruang publik” yang sudah ada), suatu pembalikan untuk kembali kepada rezim otoriter tidaklah terlampau mudah. Tetapi sebaliknya, siapapun pemenang kursi pesiden yang akan datang, demokratisasi diperkirakan hanya akan melahirkan sejenis rezim “restricted democray” atau “demokrasi terbatas”. Apakah kita akan berhenti sampai disitu, atau kita kembali memasuki babak transisi baru, akan banyak tergantung pada penampilan peran pers, LSM dan mahasiswa di masa-masa akan datang.
Jakarta, 5 Oktober 1999
Hasil penyempurnaan pokok-pokok pikiran yang disampaikan pada Seminar Nasional ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia) di Hotel Savoy Homan, Bandung, pada 2 Oktober 1999
No comments:
Post a Comment