Saturday, March 28, 2009

INTELEKTUALISME BAZAR

Tajuk Rencana<br /> BERKEMBANGNYA POLA INTELEKTUALISME BAZAR DI INDONESIA<br /><br /><br /> PERNYATAAN yang dilontarkan Dr Ignas Kleden di Yogyakarta hari <br />Senin (17/7) menunjuk dengan tepat salah satu sisi "gelap" <br />perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia. <br /> Menurut Kleden dalam orasi menyambut peluncuran buku Komat-<br />Kamit Selo Soemardjan itu, banyak kegiatan ilmu sosial yang tidak <br />menunjang perkembangan ilmu sosial. Kegiatan ilmuwan sosial satu <br />sama lain tidak saling berhubungan. Keadaan itu menunjukkan para <br />ilmuwan sosial kita ibarat pedagang bazar yang kegiatannya tidak <br />bisa dikoordinasi menjadi institusi ekonomi yang lebih besar. <br /> PERNYATAAN Kleden mengingatkan kita pada kritik ahistorisme <br />ilmu sosial di Indonesia yang pernah dilontarkan Arief Budiman. Ilmu <br />sosial kita selalu berangkat dari titik nol, tidak mengabaikan data <br />dan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh ilmuwan sebelumnya. <br /> Sekarang, ketika kritik Arief Budiman itu belum mampu <br />menggerakkan minat ilmuwan sosial bebenah diri, dengan penekanan <br />yang berbeda, ilmuwan sosial kita dikritik mengembangkan pola <br />intelektualisme bazar. <br /> Istilah bazar yang diadopsi dari kosa kata ekonomi, <br />menggambarkan centang perentangnya perkembangan ilmu sosial di <br />Indonesia. Ilmuwan sosial bekerja sendiri-sendiri. Mereka tidak <br />saling berkomunikasi. Akibatnya terjadi saling tumpang tindih <br />obyek penelitian, tidak ada kesempatan saling mengoreksi dan <br />memperkaya hasil penelitian sesama kolega. Lebih jauh lagi, <br />seperti dalam ekonomi bazar, kegiatan ilmuwan sosial kita, selain <br />sendiri-sendiri, sekaligus tetap dalam lingkup kecil-kecil.<br /> LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) secara institusional <br />diharapkan sudah mengatasi centang perentang itu, setidaknya <br />kegiatan penelitian yang di bawah koordinasinya. Tetapi harapan itu <br />belum sepenuhnya terpenuhi. Bekerja sama dengan Dewan Riset <br />Nasional, instansi yang secara resmi "mendaftar" segala bentuk <br />penelitian ilmiah (sosial-nonsosial), centang perentang di lapangan <br />tergambar juga dalam kegiatan mereka. <br /> Kenyataan yang bisa kita saksikan ialah, banyak hasil <br />penelitian dibiarkan tersimpan rapi; tak pernah dipublikasikan; tak <br />pernah diuji di kalangan sesama ilmuwan sosial; apalagi dimanfaatkan <br />sebagai bahan keperluan pengambilan kebijaksanaan politis. <br /> Apa akibatnya? Obyek dan hasil penelitian tak pernah dikenal <br />luas, tak pernah diuji di antara sesama ilmuwan, dan tak punya akses <br />untuk pengambilan kebijakan politis. Yang kita saksikan kemudian, <br />bukan hanya di antara ilmuwan sosial di luar LIPI terjadi duplikasi <br />obyek penelitian, bahkan kalangan sesama LIPI pun tidak saling <br />tahu kegiatan sesama kolega. Karena itu tak pernah terjadi debat <br />yang menguji suatu hasil penelitian sosial. <br /> Akibat berikutnya, ilmu sosial di Indonesia memberi kesan <br />mandek. Jangankan mengharapkan ada gugatan atas teori-teori besar <br />(grand theory), alih-alih gugatan saling mengritik dan memperkaya <br />pun tak terjadi. Dalam hakikatnya ilmu sosial hanya mampu <br />menjelaskan (explanation) tentang gejala masyarakat, dan tidak mampu <br />menyampaikan jalan keluar, kedudukan ilmu sosial pun tertinggal jauh <br />dibanding ekonomi (ilmu sosial yang kemudian berkembang sebagai <br />cabang tersendiri), apalagi dengan ilmu-ilmu eksakta. <br /> Ditambah dengan keadaan lembaga-lembaga di luar LIPI, baik di <br />lingkungan perguruan tinggi, pemerintah maupun nonpemerintah yang <br />memiliki pola kerja yang mirip, perkembangan ilmu sosial semakin <br />tertatih-tatih.<br /> KEADAAN itu diperparah oleh gejala "kemandulan" di kalangan <br />ilmuwan sosial. "Mandul" bukan karena tidak ada kesempatan membaca <br />hasil penelitian sesama kolega, bukan karena ilmu sosial hanya mampu <br />menjelaskan, tetapi karena para ilmuwan sosial tidak tergerak terus-<br />menerus mengadakan penelitian, terus-menerus menghasilkan karya ilmiah. <br /> Ignas Kleden dalam sebuah wawancara dengan Kompas, 23 April <br />1995, menyebut keadaan itu sebagai kemewahan yang dimiliki kaum <br />akademisi Indonesia. Kemewahan akademisi di Indonesia tidak pernah <br />dimiliki akademisi di negara lain. <br /> Begitu seseorang lulus sekolah atau menjadi doktor, katanya, <br />dengan mudah seseorang masuk dalam dunia selebriti. Posisinya <br />sebagai ilmuwan sudah diperoleh dengan mengantungi ijazah. Padahal <br />di berbagai negara lain, tugas akademisi adalah meneliti dan <br />mempublikasikan penelitian. Publish or perish, sebuah etos kerja <br />ilmiah belum berlaku bagi ilmuwan sosial di Indonesia. <br /> Keadaan itu selain mengakibatkan "kemandulan" ilmu sosial <br />maupun ilmuwan sosial, mengakibatkan juga sedikitnya hasil publikasi <br />ilmu sosial di Indonesia. Di bidang sosiologi misalnya, kata Kleden, <br />Indonesia termasuk sebagai negara dalam the least represented <br />countries dalam jurnal ilmiah internasional. <br /> Pendapat Kleden dikutip sekadar memperkaya dimensi kita dalam <br />melihat pola kerja ilmuwan sosial di Indonesia. Apa yang <br />dikemukakannya, di Yogyakarta awal pekan ini maupun berbagai <br />pendapat sebelumnya, menjelaskan kepada kita betapa centang <br />perentangnya ilmu sosial di Indonesia. <br /> CENTANG-PERENTANG atau kemandekan ilmu sosial sering dikatakan <br />karena tidak tersedia dana yang cukup. Tanpa menolak kebenaran <br />alasan di atas, seharusnya centang perentang diatasi lewat <br />introspeksi di kalangan ilmuwan sosial: sejauh mana mampu tampil <br />dengan pantas yang kehadirannya diperhitungkan seperti halnya <br />terjadi pada ilmu ekonomi, misalnya. <br /> Dalam kerangka seperti itu, kita tempatkan pernyataan Kleden, <br />sosiolog pertama Indonesia yang secara komprehensif menggugat teori-<br />teori Clifford Geertz. Mendobrak pola intelektualisme bazar harus <br />dilakukan oleh ilmuwan sosial (Indonesia) sendiri, profesi yang <br />secara kuantitatif, dari hari ke hari kita lihat semakin besar. <br />&#26;

No comments: