BERKEMBANGNYA POLA INTELEKTUALISME BAZAR DI INDONESIA
PERNYATAAN yang dilontarkan Dr Ignas Kleden di Yogyakarta hari
Senin (17/7) menunjuk dengan tepat salah satu sisi "gelap"
perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia.
Menurut Kleden dalam orasi menyambut peluncuran buku Komat-
Kamit Selo Soemardjan itu, banyak kegiatan ilmu sosial yang tidak
menunjang perkembangan ilmu sosial. Kegiatan ilmuwan sosial satu
sama lain tidak saling berhubungan. Keadaan itu menunjukkan para
ilmuwan sosial kita ibarat pedagang bazar yang kegiatannya tidak
bisa dikoordinasi menjadi institusi ekonomi yang lebih besar.
PERNYATAAN Kleden mengingatkan kita pada kritik ahistorisme
ilmu sosial di Indonesia yang pernah dilontarkan Arief Budiman. Ilmu
sosial kita selalu berangkat dari titik nol, tidak mengabaikan data
dan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh ilmuwan sebelumnya.
Sekarang, ketika kritik Arief Budiman itu belum mampu
menggerakkan minat ilmuwan sosial bebenah diri, dengan penekanan
yang berbeda, ilmuwan sosial kita dikritik mengembangkan pola
intelektualisme bazar.
Istilah bazar yang diadopsi dari kosa kata ekonomi,
menggambarkan centang perentangnya perkembangan ilmu sosial di
Indonesia. Ilmuwan sosial bekerja sendiri-sendiri. Mereka tidak
saling berkomunikasi. Akibatnya terjadi saling tumpang tindih
obyek penelitian, tidak ada kesempatan saling mengoreksi dan
memperkaya hasil penelitian sesama kolega. Lebih jauh lagi,
seperti dalam ekonomi bazar, kegiatan ilmuwan sosial kita, selain
sendiri-sendiri, sekaligus tetap dalam lingkup kecil-kecil.
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) secara institusional
diharapkan sudah mengatasi centang perentang itu, setidaknya
kegiatan penelitian yang di bawah koordinasinya. Tetapi harapan itu
belum sepenuhnya terpenuhi. Bekerja sama dengan Dewan Riset
Nasional, instansi yang secara resmi "mendaftar" segala bentuk
penelitian ilmiah (sosial-nonsosial), centang perentang di lapangan
tergambar juga dalam kegiatan mereka.
Kenyataan yang bisa kita saksikan ialah, banyak hasil
penelitian dibiarkan tersimpan rapi; tak pernah dipublikasikan; tak
pernah diuji di kalangan sesama ilmuwan sosial; apalagi dimanfaatkan
sebagai bahan keperluan pengambilan kebijaksanaan politis.
Apa akibatnya? Obyek dan hasil penelitian tak pernah dikenal
luas, tak pernah diuji di antara sesama ilmuwan, dan tak punya akses
untuk pengambilan kebijakan politis. Yang kita saksikan kemudian,
bukan hanya di antara ilmuwan sosial di luar LIPI terjadi duplikasi
obyek penelitian, bahkan kalangan sesama LIPI pun tidak saling
tahu kegiatan sesama kolega. Karena itu tak pernah terjadi debat
yang menguji suatu hasil penelitian sosial.
Akibat berikutnya, ilmu sosial di Indonesia memberi kesan
mandek. Jangankan mengharapkan ada gugatan atas teori-teori besar
(grand theory), alih-alih gugatan saling mengritik dan memperkaya
pun tak terjadi. Dalam hakikatnya ilmu sosial hanya mampu
menjelaskan (explanation) tentang gejala masyarakat, dan tidak mampu
menyampaikan jalan keluar, kedudukan ilmu sosial pun tertinggal jauh
dibanding ekonomi (ilmu sosial yang kemudian berkembang sebagai
cabang tersendiri), apalagi dengan ilmu-ilmu eksakta.
Ditambah dengan keadaan lembaga-lembaga di luar LIPI, baik di
lingkungan perguruan tinggi, pemerintah maupun nonpemerintah yang
memiliki pola kerja yang mirip, perkembangan ilmu sosial semakin
tertatih-tatih.
KEADAAN itu diperparah oleh gejala "kemandulan" di kalangan
ilmuwan sosial. "Mandul" bukan karena tidak ada kesempatan membaca
hasil penelitian sesama kolega, bukan karena ilmu sosial hanya mampu
menjelaskan, tetapi karena para ilmuwan sosial tidak tergerak terus-
menerus mengadakan penelitian, terus-menerus menghasilkan karya ilmiah.
Ignas Kleden dalam sebuah wawancara dengan Kompas, 23 April
1995, menyebut keadaan itu sebagai kemewahan yang dimiliki kaum
akademisi Indonesia. Kemewahan akademisi di Indonesia tidak pernah
dimiliki akademisi di negara lain.
Begitu seseorang lulus sekolah atau menjadi doktor, katanya,
dengan mudah seseorang masuk dalam dunia selebriti. Posisinya
sebagai ilmuwan sudah diperoleh dengan mengantungi ijazah. Padahal
di berbagai negara lain, tugas akademisi adalah meneliti dan
mempublikasikan penelitian. Publish or perish, sebuah etos kerja
ilmiah belum berlaku bagi ilmuwan sosial di Indonesia.
Keadaan itu selain mengakibatkan "kemandulan" ilmu sosial
maupun ilmuwan sosial, mengakibatkan juga sedikitnya hasil publikasi
ilmu sosial di Indonesia. Di bidang sosiologi misalnya, kata Kleden,
Indonesia termasuk sebagai negara dalam the least represented
countries dalam jurnal ilmiah internasional.
Pendapat Kleden dikutip sekadar memperkaya dimensi kita dalam
melihat pola kerja ilmuwan sosial di Indonesia. Apa yang
dikemukakannya, di Yogyakarta awal pekan ini maupun berbagai
pendapat sebelumnya, menjelaskan kepada kita betapa centang
perentangnya ilmu sosial di Indonesia.
CENTANG-PERENTANG atau kemandekan ilmu sosial sering dikatakan
karena tidak tersedia dana yang cukup. Tanpa menolak kebenaran
alasan di atas, seharusnya centang perentang diatasi lewat
introspeksi di kalangan ilmuwan sosial: sejauh mana mampu tampil
dengan pantas yang kehadirannya diperhitungkan seperti halnya
terjadi pada ilmu ekonomi, misalnya.
Dalam kerangka seperti itu, kita tempatkan pernyataan Kleden,
sosiolog pertama Indonesia yang secara komprehensif menggugat teori-
teori Clifford Geertz. Mendobrak pola intelektualisme bazar harus
dilakukan oleh ilmuwan sosial (Indonesia) sendiri, profesi yang
secara kuantitatif, dari hari ke hari kita lihat semakin besar.
No comments:
Post a Comment