Saturday, March 28, 2009

Dari Patrimonialisme ke Demokrasi

Dari Patrimonialisme ke Demokrasi
(Kata Sambutan untuk DPR/MPR Baru)

Oleh Ignas Kleden

DALAM waktu kurang dari seminggu telah dilantik anggota DPR dan MPR
baru, dan telah terpilih pula Dr Amien Rais sebagai Ketua MPR.
Pergantian orang-orang yang menduduki kursi lembaga-lembaga yang
terhormat itu memancing harapan tertentu. Setidak-tidaknya merekalah
para wakil rakyat yang dijagokan baik oleh golongannya masing-masing,
maupun oleh partai-partai politik hasil suatu pemilu, yang telah
berlangsung dengan pemaksaan, teror, dan manipulasi yang paling rendah
tingkatnya selama tigapuluh tahun terakhir.

Apa yang secara politis menjadi peristiwa yang amat penting ini,
ditinjau dari segi sosiologi politik belum menjanjikan sesuatu apa
pun. Karena dari aspek ini, yang terjadi sekarang barulah pergantian
personalia. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pergantian
personalia tidak dengan sendirinya membawa serta pergantian cara
kerja, pergantian kebijaksanaan, pergantian kebiasaan dan pergantian
etos jabatan. Dengan lain perkataan, pergantian personalia belum
menjamin pembaharuan sistem politik, apa lagi perubahan budaya
politik.

Pernah ada saatnya muncul anggapan seakan-akan seluruh politik
Indonesia hanya ditentukan oleh Presiden Soeharto (waktu itu) seorang
diri. Karena itu obsesi perlawanan politik yang utama adalah
membawanya turun dari tahta kekuasaan. Diandaikan, kalau dia dapat
dipaksa meninggalkan kekuasaannya, banyak keadaan akan berubah dalam
politik Indonesia.

Anggapan tersebut sekarang terbantah buat sebagian besarnya. Setelah
kekuasaan diserahkan kepada Presiden Habibie, banyak keadaan yang
menentukan politik Indonesia tetap tidak berubah. Tak dapat disangkal,
Presiden Habibie telah membawa beberapa perubahan selama masa
pemerintahannya yang sudah berlangsung limaratus hari lebih.
Penampilan Presiden Habibie dengan cepat membuat jabatan presiden
tidak lagi terasa angker, sakral atau menakutkan. Pers menjadi jauh
lebih bebas, apalagi setelah momok bagi kebebasan pers berupa Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dihapuskan oleh Menteri Penerangan
yang sekarang. Demikian pula banyak UU dihasilkan. Dan yang paling
mutakhir tentu saja, pemberian opsi ganda kepada rakyat Timor Timur
untuk memilih otonomi yang luas atau memilih merdeka. Pilihan
dilakukan melalui semacam referendum.

***

SEKALIPUN demikian, persoalan adalah: apakah perubahan-perubahan yang
dibawa oleh pemerintahan Presiden Habibie itu telah mengubah watak
dasar politik Orde Baru dan berhasil menerobos kebekuan-kebekuan yang
ada di dalamnya? Jawabannya, sayang sekali, adalah "tidak".

Untuk menyebut beberapa contoh, penggunaan kekerasan dalam politik
tidak berkurang, tetapi malahan meningkat dan meluas. Demikian pula,
praktik korupsi dan kolusi semakin berkembang dalam skala, lingkup,
intensitas dan gaya. Jumlah uang yang dilibatkan dalam kasus Bank Bali
mencapai angka astronomis yang tidak bisa dipahami lagi artinya oleh
banyak rakyat kita. Lingkup korupsi dan kolusi disinyalir telah meluas
dari birokrasi negara ke dalam birokrasi partai politik. Intensitasnya
pun sangat tinggi karena berlangsung dalam hitungan satu-dua bulan,
dan dilakukan dengan cara yang sangat kasar dan ditutup-tutupi dengan
berbagai muslihat yang mengesankan tak adanya keberanian moral dan
kemauan politik untuk melihat borok luka di tubuh sendiri. Sementara
itu otonomi pengadilan tidak mengalami kemajuan setapak pun.

Di bolak-balik dengan cara apa pun, persoalan politik Indonesia masih
dalam stereotip yang lama dengan segala akibatnya. Kita masih
menyaksikan kompetisi dan pertarungan yang tak seimbang antara hukum
dan kekuasaan politik. Kemacetan politik Indonesia, dulu maupun
sekarang, disebabkan oleh kekalahan hukum di depan kekuasaan politik.
Hukum hanya diberlakukan untuk orang-orang yang tidak mempunyai
kekuasaan, sedangkan kesalahan dan keonaran yang muncul di kalangan
penguasa dan pejabat selalu ditutupi dengan berbagai cara.

Cara yang digunakan untuk menutupi kesalahan dan pelanggaran oleh
pejabat tinggi atau penguasa adalah cara yang sudah baku. Yang paling
mudah adalah menyangkal bahwa terjadi suatu pelanggaran. Kalau ini
tidak mungkin dilakukan karena fakta pelanggaran terlalu jelas, maka
dicari penjelasan yang memaafkan. Kalau ini pun masih tidak mungkin,
maka kasus pelanggaran itu dipetieskan saja dengan menutup mulut semua
petugas terhadap setiap pertanyaan. Kalau kekuasaan telah terlibat
dalam suatu pelanggaran yang bersifat publik sehingga tak dapat
disangkal dan tak dapat pula dipetieskan (misalnya karena tekanan
HAM), maka cara terakhir adalah mencari 'kambing hitam' yang harus
siap 'disembelih' untuk menebus dosa seorang penguasa atau pejabat
tinggi.

***

STRATEGI seperti ini mungkin saja efektif untuk menyelamatkan muka
bopeng kekuasaan, tetapi sangat merugikan dan bahkan menghancurkan
baik pendidikan politik maupun pendidikan hukum. Menganggap (sadar tak
sadar) bahwa hukum hanya berlaku bagi orang yang tak mempunyai
kekuasaan, menimbulkan anggapan lain bahwa pelanggaran hukum juga
hanya mungkin dilakukan oleh orang yang berada di luar lingkup
kekuasaan. Kalau dalam masa perjuangan kemerdekaan ada kelatahan untuk
menganggap segala yang tak beres adalah akibat kesalahan Belanda, maka
sekarang ini muncul anggapan bahwa kekacauan politik dan ekonomi
adalah kesalahan rakyat.

Tidak mengherankan, kalau mahasiswa berdemonstrasi menolak RUU
Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan rakyat bersimpati dan turut
mendukung demonstrasi mereka, maka para pendukung ini dengan mudah
sekali dicap pembonceng yang menunggangi gerakan mahasiswa untuk
tujuan mengacau. Sebaliknya, kalau ada anggota aparat keamanan diduga
keras telah menembak mati mahasiswa dalam kasus Semanggi II, maka juru
bicara militer dengan mudah berusaha memaafkannya dengan alasan
"sedang stres".

Orang lupa bahwa yang paling banyak menanggung beban stres dalam
politik Indonesia adalah rakyat kebanyakan. Sekonyong-konyong dagangan
mereka harus terhenti karena harga barang naik tiga empat kali lipat.
Sementara itu tiap hari mereka melihat dan mendengar dari berbagai
media terbongkarnya berbagai kasus korupsi besar yang melibatkan
pejabat-pejabat tinggi, yang tidak pernah jelas dan tuntas
penyelesaiannya. Setelah ribut-ribut sebentar, para pejabat yang
diduga terlibat dinyatakan bersih karena tidak ada cukup bukti. Sangat
logis (tidak berarti benar) bahwa Rudy Ramli-lah yang menjadi korban
kasus Bank Bali yang melibatkan penggelapan uang sejumlah hampir 80
juta dollar (kurs bulan Juni 1999). Bukankah dia tidak termasuk dalam
lingkungan orang-orang yang mempunyai kekuasaan politik? Teten Masduki
membawa bukti-bukti kuat dalam kasus AM Ghalib, dan hasilnya Teten
justru yang diusut oleh polisi. Kekuasaan di Indonesia masih saja
dianggap sakral dan pemangku kekuasaan dianggap "harus suci" atau
infallible.

***

SEMUA ini menunjukkan bahwa betapa pun kita mempunyai berbagai pranata
demokrasi modern (Pemilu, MPR, DPR, Partai Politik dan pers serta
media elektronik) alam pikiran politik di negeri ini masih terbenam
dalam Weltanschauung (pandangan-dunia) yang sangat feodalistis.
Pengandaiannya adalah kekuasaan tidak bisa diatur oleh hukum tetapi
harus dibela dan dilayani oleh hukum. Hukum hanya berlaku untuk
orang-orang yang tunduk kepada kekuasaan, tetapi hukum tidak bisa
mengatur kekuasaan itu sendiri. Dalam arti itu, hukum bukannya menjadi
sarana bagi demokratisasi karena memperlakukan semua orang sama di
hadapan (equal before the law) hukum, tetapi lebih menjadi alat
patrimonialisme yang melindungi penguasa dari tuntutan rakyatnya.

Kalau persepsi patrimonial tentang hukum ini tidak dapat digeser ke
arah persepsi demokratis tentang hukum, maka dapat diperkirakan dari
sekarang bahwa pranata demokrasi apa pun, dan personalia siapa pun
yang ditempatkan di sana, tetap akan terbawa kepada kecenderungan
menempatkan kekuasaan politik beyond the law (lebih tinggi dari hukum)
dan itu artinya, mengutip Nietzsche, juga beyond good and evil (lebih
tinggi dari norma baik dan buruk).

Para pejabat kita memang gemar berbicara tentang negara hukum. Namun,
ini lebih terdengar sebagai retorika atau bahan hapalan. Ujian
terhadap negara hukum harus diberlakukan pertama-tama kepada
kekuasaan. Kalau pejabat tinggi dan pemangku kekuasaan bisa dibawa ke
pengadilan yang bebas dan otonom, maka barulah pada saat itu kita
dapat berbicara tentang negara hukum. Memberlakukan hukum pada rakyat
kecil bukanlah tes untuk demokrasi, karena rakyat selalu berada di
bawah hukum, apakah itu hukum adat, hukum raja-raja, hukum penjajah
atau hukum negara merdeka.

Indonesia baru saja dilaporkan sebagai juara satu di antara berbagai
negara di dunia dalam hal korupsi. Anehnya, dalam dua-tiga tahun
terakhir ini tidak terdengar ada pejabat yang dibawa ke pengadilan
atau ke penjara gara-gara korupsi. Mereka yang jelas terkena
pelanggaran hukum (misalnya menjadi pengedar bahan narkotik), kalau
masih berada dalam lingkungan kekuasaan, akan dilindungi oleh asas
praduga tak bersalah. Ada asas lainnya yang sama benarnya yang jarang
dirujuk dalam kaitan ini, yaitu asas power tends to corrupt (asas
praduga penyelewengan kekuasaan).

Menghadapi laporan surat kabar atau majalah berita asing tentang
korupsi di Indonesia, respons yang resmi, sudah bisa diduga, adalah
menyangkal habis-habisan. Seperti biasa, dikatakan bahwa laporan
tersebut amat berlebihan, karena wartawan asing tidak cukup paham
keadaan di Indonesia. Uniknya, tidak pernah dipersoalkan jangan-jangan
kita sendiri tidak begitu paham lagi apa yang kita lakukan dalam
politik, sehingga dapat terjadi bahwa mencuri timbunan uang negara dan
uang rakyat akan dianggap tindakan ibadah, atau menembak mati rakyat
kecil masih dianggap tindakan membela rakyat.

Hadirnya DPR baru dan MPR baru menjadi momentum untuk menghidupkan
lagi harapan dan komitmen baru. Salah satu check point untuk
keberhasilan kedua lembaga tinggi itu adalah sanggup-tidaknya para
anggota dan pimpinannya mendorong pergeseran paradigmatis dari
konsepsi patrimonial tentang hukum menuju konsepsi demokratis tentang
hukum. Pergeseran ini hanya mungkin dilakukan melalui praktik politik
yang nyata, dengan menyeret penguasa dan pejabat tinggi yang diduga
melakukan pelanggaran hukum dan kejahatan moral ke pengadilan yang
independen dan otonom. Kalau hal ini tetap tidak dilakukan, dan
pengadilan hanya sibuk mengurus pencuri ayam tetangga atau pencuri
udang di tambak orang, maka reformasi yang telah menelan banyak korban
itu akan hanya berarti reformasi penyelewengan kekuasaan dan distorsi
kedaulatan rakyat. Atas cara itu demokrasi dipaksa mengalami deformasi
menjadi patrimonialisme Abad Pertengahan, tepat pada saat kita
meninggalkan milenium kedua.

(* Ignas Kleden , sosiolog, tinggal di Jakarta).

No comments: