Ignas Kleden: Kesenian Mesti Independen dari Intervensi Politik
Jakarta, KompasMeski seni dan budaya dalam kepariwisataan diletakkan sebagai (kata) benda alias cuma dijadikan komoditas, kesenian dalam arti yang sesungguhnya masih tetap bisa hidup dan berkembang. Kendati demikian tetap diperlukan kesadaran untuk mengakui otonomi kesenian sehingga keberadaannya cukup independen, terutama dari intervensi politik.
Demikian pandangan pemikir kebudayaan Ignas Kleden berkaitan dicanangkannya tahun 1998 sebagai Tahun Seni dan Budaya. Di tengah sikap sinis sejumlah seniman dan budayawan terhadap Tahun Seni dan Budaya yang dikhawatirkan hanya menjadi sloganistik, Ignas berharap, pemerintah hendaknya menunjukkan kesungguhan dengan memperbaiki sistem pendidikan nasional yang selama ini terlalu menekankan pada keseragaman. Tanpa upaya itu, ekspresi-ekspresi kesenian dalam arti luas akan sulit tumbuh dan berkembang secara wajar.
"Jika Anda menekankan keseragaman, ekspresi-ekspresi kebudayaan umumnya dan kesenian khususnya akan mati. Kesenian itu 'kan muncul dari pernyataan perorangan dan pribadi. Dengan hanya menekankan pada keseragaman, jelas kesenian tidak mendapat kesempatan dan tidak mendapat kemungkinan berkembang," ujarnya.
Menghargai perbedaan
Dalam percakapan dengan Kompas, Selasa (13/1), Ignas Kleden juga mengingatkan pentingnya kita sebagai bangsa menghargai perbedaan-perbedaan terhadap karya cipta kesenian. Perbedaan pandangan itu bukan hanya dalam pengertian ia berbeda dari yang lain, tetapi juga harus mengakui ada perbedaan dalam gradasi, dan dengan sendirinya sadar akan ada risiko atas perbedaan tersebut.
Tentang hal ini, ia menunjuk keberadaan kelompok teater seperti pimpinan WS Rendra yang kerap bersinggungan dengan kekuatan yang mengatasnamakan kepentingan politik. Menurut Ignas, jika teater-teater itu sangat berhasil maka jelas akan memiliki ekses, termasuk ekses politis. Meski begitu tidak seharusnya muncul reaksi spontan, seperti dalam bentuk pelarangan tanpa lebih dahulu dilakukan semacam pengkajian. Kalaupun karya tersebut benar memiliki ekses politik, mestinya dimunculkan pertanyaan: apa sih persoalan yang diungkapkannya dalam kebudayaan dan kesenian itu sebagai persoalan politik?
Sayangnya, semangat untuk menghargai adanya perbedaan dalam berbagai gradasi itu, yakni dengan terlebih dahulu melakukan semacam pendalaman terhadap karya kesenian, hampir-hampir tidak ada. Yang terjadi justru sebaliknya. Kalau kesenian dianggap tidak menunjang politik dan lebih menimbulkan heboh secara politik lalu dicegah karena dianggap tidak mendukung.
"Dengan kata lain, kalau kita mendukung betul budaya dan seni kita, maka harus ada pengakuan terhadap otonomi dari kesenian itu sampai ia cukup independen dari intervensi politik. Itu baru namanya mendukung, terutama dalam kaitan dicanangkannya tahun ini sebagai Tahun Seni dan Budaya".
Ignas sependapat bila seni dan budaya dianggap penting untuk memperkukuh jatidiri bangsa. Hanya saja, untuk memperkuat asumsi itu diperlukan beberapa nilai dan norma kebudayaan yang mesti dijadikan pegangan. Dalam kaitan ini pemerintah mestinya bertanya, dengan kebudayaan kita sekarang apakah jatidiri itu sudah tercermin, lebih-lebih dengan ruang kemampuan ekspresi individual yang begitu rendah akibat keseragaman pendidikan.
Dalam pandangan Ignas, bangsa ini seakan-akan merupakan satu bagian besar, di mana kebudayaan sangat dipengaruhi oleh faktor politik. Konsep negara kesatuan secara politik itu lalu membentuk konsep tentang kebudayaan, di mana seakan-akan kebudayaan Indonesia itu serba satu. Tidak aneh bila konsep ini kemudian menjelma dalam sistem pendidikan kita yang begitu kuat menekankan keseragaman.
Selera publik
Di tengah situasi demikian, posisi seni dan budaya sebagai ekspresi individual menjadi makin terjepit. Belum lagi tindakan-tindakan represif terhadap kesenian, antara lain, ditandai masalah perizinan pentas dan atau pelarangan karya-karya kesenian dengan alasan yang acapkali tidak masuk akal.
"Mestinya kita percaya dengan selera publik, bahwa kesenian yang jelek, yang hanya memberikan propaganda dan tidak karuan, sudah pasti akan kehilangan peminat dan pendukungnya. Novel-novel murahan misalnya, mungkin dalam satu dua minggu laris, tetapi lama-lama orang malah bisa muntah."
Doktor sosiologi lulusan Universitas Bielefeld, Jerman (1995) ini percaya seleksi alam terhadap karya kesenian akan selalu ada. Karya sastra yang bagus tetap akan dibaca biarpun mungkin publik pendukungnya terbatas. Sebaliknya, seni yang lebih bersifat hiburan meski mungkin mendapat sambutan luas tetap tidak akan bertahan terhadap waktu.
Karya-karya Chairil Anwar boleh saja tidak menyebar luas seperti halnya novel-novel pop. Tapi dengan satu dan lain cara ia telah membentuk tradisi kesusastraan Indonesia. Tradisi yang dibentuknya ini yang penting. Sulit dibayangkan orang bisa memahami tradisi perpuisian Indonesia modern misalnya, tanpa ia terlebih dahulu membaca karya-karya Chairil Anwar.
Pertanyaannya, di mana posisi karya-karya semacam ini di tengah kepentingan dunia pariwisata yang lebih mengarahkan seni dan budaya sebagai suatu komoditas? Menghadapi 'ketegangan' semacam ini, Ignas percaya seni dan budaya sebagai kata kerja masih bisa berkembang. Apalagi, kata peraih master dalam filsafat di Universitas Munchen (1982) ini, dunia kepariwisataan itu sendiri memiliki ketegangan yang tidak kalah anehnya; bahwa fenomena turisme harus dilihat sebagai bagian dari gejala globalisasi yang mempunyai "ketegangan" antara yang global dan yang lokal.
"Gejala turisme itu sebetulnya sekaligus merupakan perpaduan antara yang global dan yang lokal. Artinya, mempertahankan dinamika lokal merupakan bagian dari gejala turisme. Kalau itu dihilangkan ia tidak lagi menarik. Kalau Anda menghapus seluruh dinamika lokal dan memunculkan kekuatan selera dari luar, mungkin dalam beberapa tahun ke depan ia tidak lagi menarik bagi turis," kata Ignas Kleden.
Jalan keluar untuk mengatasi 'ketegangan' antara seni sebagai komoditas dan seni sebagai ekspresi perorangan dan pribadi, antara lain, bisa ditempuh dengan meninggikan bobot dunia produk yang siap diperlihatkan dan dieksibisikan tersebut. Di luar itu, yang tidak kalah menarik untuk ditawarkan sebagai komoditas kepada turis adalah memperlihatkan proses produksi dari kesenian itu sendiri.
Tentang hal ini Ignas mencontohkan apa yang dilakukan satu hotel di Denpasar. Selain mempertontonkan tarian Bali, juga memperlihatkan kepada turis bagaimana anak-anak itu dilatih menari dan dibimbing oleh gurunya. Dengan cara ini, turis secara tidak langsung diingatkan bahwa tari Bali itu lahir dari suatu latihan dan kerja keras. Hal serupa juga bisa dilakukan di semua jenis kesenian. (ken
No comments:
Post a Comment