Saturday, March 28, 2009

Kasus Soeharto dan Abolisi Masa Lampau
Oleh Ignas Kleden


PERTIMBANGAN Presiden Megawati Soekarnoputri untuk menghentikan penuntutan perkara bekas Presiden Soeharto menarik perhatian publik, melahirkan reaksi luas. Ada dua jenis reaksi utama yang sejauh ini diumumkan media massa. Yang satu, argumentasi hukum, bahwa pemberian abolisi menyebabkan adanya intervensi pemerintah dalam proses yudisial yang sedang berlangsung, yang pada tahapan ini telah memutuskan status tersangka bagi mantan presiden itu. Alasan sakitnya Soeharto secara permanen tidak harus membatalkan diteruskannya proses hukum, karena dia juga bisa diadili secara in absentia. Abolisi juga dilihat akan mengurangi efektivitas Undang-Undang (UU) Antikorupsi.

Argumentasi lain bersifat politik. Abolisi dianggap akan memperlemah komitmen nasional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dengan mengeliminasi KKN sejauh mungkin, mengabaikan amanat Ketetapan (Tap) MPR No XI/MPR/1998, selain bertentangan dengan semangat UU tentang Tindak Pidana Korupsi. Pertimbangan Presiden Megawati pada dasarnya bersifat kemanusiaan, meski konsiderans kemanusiaan ini belum diumumkan secara utuh oleh media massa. Tulisan ini ingin memberikan beberapa argumentasi tambahan tentang pertimbangan kemanusiaan ini.

Pertama, bila jasa seorang kepala negara menjadi pertimbangan pokok untuk menghentikan perkara mantan Presiden Soeharto, mengapa hal yang sama tidak diberlakukan kepada Abdurrahman Wahid saat menghadapi masalah Buloggate menyangkut dana Rp 30 milyar? Mengapa dia di-impeach dan kasusnya tidak dihentikan berdasarkan pertimbangan jasanya memulihkan pemerintahan sipil, memberi kebebasan menyatakan pendapat dan mendorong keterbukaan politik? Mengapa harus ada ukuran ganda?

Kedua, lebih dulu perlu diperjelas, siapa saja yang harus dimasukkan dalam pertimbangan kemanusiaan. Dalam hal Soeharto, patut diperhitungkan kondisi orang-orang yang
mengalami kekerasan politik dan menjadi korban berbagai ketidakadilan selama mantan presiden itu berkuasa, meski semua ini harus dibuktikan dalam pengadilan yang bebas dan terbuka. Di sinilah kita berhadapan dengan soal sikap terhadap masa lampau.

***

ADA tiga opsi yang tersedia untuk menentukan sikap terhadap masa lampau, khususnya terhadap kesalahan-kesalahan di masa lampau. Opsi pertama, memilih untuk tidak melupakan dan tidak mengampuni (never forget, never forgive). Opsi ini telah diberlakukan secara konsisten terhadap orang-orang yang dianggap terlibat peristiwa G30S, dan mereka yang dianggap pernah menjadi anggota Partai Komunis Indonesia. Kesalahan mereka selalu diingat, mereka ditangkap, dipenjara, disiksa, atau dibuang, dengan atau tanpa pengadilan, dan ingatan terhadap kesalahan mereka dipertahankan melalui buku-buku pelajaran sejarah dan indoktrinasi politik.

Opsi kedua, mengampuni sekaligus melupakan (forgive and forget). Opsi ini kelihatannya menjadi dasar utama bagi Presiden Megawati dalam mempertimbangkan pemberian abolisi. Kesulitan dengan pilihan ini ialah, seandainya ada cukup banyak orang yang menderita kekerasan politik, mengalami pelanggaran HAM, dan kehilangan hak-hak ekonominya selama masa pemerintahan Soeharto, maka pemberian abolisi ini seakan-akan membenarkan kekerasan politik dan ketidakadilan yang pernah mereka alami.

Maka, bila kita berbicara tentang pertimbangan kemanusiaan, maka siapa saja yang patut dimasukkan dalam pertimbangan kemanusiaan ini: mantan Presiden Soeharto saja, atau juga mereka yang telah banyak menderita selama masa pemerintahannya, tanpa dapat memperoleh ganti rugi terhadap berbagai kehilangan yang mereka alami, baik berupa harta-benda, tanah, mata pencaharian, hak-hak atau mungkin kehidupan itu sendiri.

Keberatan utama terhadap abolisi ialah, di sini diperlihatkan perhatian dan simpati terhadap orang yang diduga melakukan kesalahan atau kejahatan, tetapi sama sekali tidak dipertimbangkan kepentingan pihak-pihak yang menjadi korban dari kesalahan atau kejahatan itu. Janganlah terjadi, pertimbangan kemanusiaan untuk satu orang yang pernah amat berkuasa, mengabaikan pertimbangan kemanusiaan bagi orang-orang yang justru banyak menderita karena kekuasaan itu. Dengan kata lain, pertimbangan kemanusiaan hanya dapat dipertanggungjawabkan bila hal itu tidak menimbulkan dan bahkan membenarkan munculnya ketidakadilan baru.

Berdasarkan pertimbangan itu, di sini hendak diajukan usul untuk opsi ketiga yaitu terhadap kesalahan masa lampau kita dapat memaafkan, tetapi jangan sekali-kali melupakannya (forgive but never forget). Mengapa tidak boleh dilupakan? Pada satu pihak, orang hanya dapat memaafkan kesalahan yang diketahuinya. Saya tak dapat benar-benar memaafkan suatu kesalahan, yang tidak saya ketahui pasti pernah terjadi atau tidak pernah terjadi. Selain itu, pada pihak lain, melupakan kesalahan di masa lampau sama dengan tidak belajar sesuatu pun dari kesalahan-kesalahan itu. Implikasinya, kita menutup sebagian sejarah politik, dengan akibat kita akan terus mengulang kesalahan yang sama yang pernah dibuat tetapi tidak diingat lagi. Jerman tidak hendak melupakan kesalahannya selama Perang Dunia II. Tempat-tempat pembakaran orang Yahudi dijaga dan dirawat hingga kini, dan dokumen-dokumen tentang kejahatan perang Jerman diselamatkan dan disimpan dengan teliti. Maksudnya, agar supaya kesalahan dan kejahatan masa lampau jangan sekali-kali diulang kembali, hanya karena orang melupakan masa lampaunya.

Dalam kasus Soeharto, perlu diklarifikasi secara publik melalui pengadilan, apakah segala sangkaan mengenai pelanggaran yang dilakukannya di masa lampau, benar-benar terjadi atau hanya dugaan yang sekadar timbul dari antipati atau rasa benci tak beralasan. Bila kesalahan-kesalahan telah terbukti, dapat dipertimbangkan pengampunan dalam bentuk amnesti, bila dianggap perlu dilakukan. Penegasan ada-tidaknya kesalahan-kesalahan itu patut dilakukan untuk menunjukkan, tidak seorang pun boleh diistimewakan sedemikian rupa, sehingga dapat terhindar dari hukum, dan agar seandainya terbukti ada kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan mantan Presiden Soeharto, maka hal yang sama jangan dilakukan kepala negara lain di negeri ini, sekarang dan di masa depan. Selain itu ada sedikit keadilan bagi mereka yang pernah menjadi korban kekuasaannya.

Memberikan abolisi pada saat ini-ketika masih banyak hal yang dipertanyakan-akan berakibat, sejarah politik kita yang terdekat pun akan tetap tertutup kabut yang kita ciptakan sendiri. Gelapnya sejarah itu menghalangi proses belajar dan pendewasaan sebagai bangsa. Selain itu, adalah tidak adil (dan juga tidak manusiawi) melupakan semua pengorbanan dan penderitaan yang dialami oleh orang-orang, seandainya memang ada kekerasan politik, penyelewengan keuangan negara, dan pelanggaran HAM yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto. Abolisi yang tidak hati-hati hanya mengakibatkan abolisi ingatan kolektif dan abolisi masa lampau Indonesia. Menghomati seorang bekas presiden memang penting, tetapi masih lebih penting menghormati keadilan dan kebenaran.

* Ignas Kleden, sosiolog, Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (The Center for East Indonesian Affairs), Jakar

No comments: