BUKU, KECERDASAN, DAN PENDIDIKAN
Buah Pikiran untuk Bulan Buku Oleh Ignas Kleden
Bagian kedua dari dua tulisan KALAU kita mencoba mencari definisi berpikir, maka hal ini akan merupakan pekerjaan yang tidak berkesudahan. Mungkin setiap masab pendidikan akan mengajukan definisinya sendiri. Maka baiklah saya kutipkan saja sebuah pendapat tentang berpikir yang pernah saya peroleh dalam pelajaran logika duapuluh tahun lalu. Kata guru logika: berpikir adalah membedakan, atau lebih tepat, saya membedakan maka saya berpikir (distinguo, ergo cogito). Definisi ini sangat sederhana tetapi tidak sederhana dalam praktek dan konsekuensinya. Seluruh proses belajar seorang anak sebetulnya terdiri dari usaha untuk membeda-bedakan: bahwa meja berbeda dari kursi, ibu berbeda dari bapak, dan, pada tingkat lebih lanjut, bahwa berkata benar berbeda dari berbohong. Tahap tertinggi dalam usaha ini adalah membedakan apa yang benar dan apa yang salah, di mana benar atau di mana salah, serta mengapa benar dan mengapa salah. Kalau salah dan benar ini menyangkut pengetahuan maka kita berurusan dengan ilmu. Kalau salah dan benar menyangkut nilai maka kita berurusan dengan moral. Konsekuensinya ialah bahwa berpikir dan kecerdasan meningkat sejauh ada kemungkinan berbeda pendapat, yaitu perbedaan yang timbul karena perbedaan yang terdapat dalam cara membeda-bedakan. Sebagai contoh yang gampang, kita semua kiranya sepakat bahwa tiap orang melakukan kesalahan, dan tidak ada orang yang bebas dari kesalahan. Namun demikian, pada waktu harus menarik kesimpulan, kita bisa sangat berbeda pendapat. Kalau tiap orang bisa melakukan kesalahan, maka kontrol harus ada supaya jangan terlalu banyak kesalahan yang terjadi. Ini suatu jenis kesimpulan. Akan tetapi dengan premis yang orang juga bisa berkesimpulan: kalau tiap orang dapat melakukan kesalahan, tak perlulah kita terlalu meributkan kesalahan orang lain. Kesimpulan ini berbeda karena nilai yang dianut juga berbeda. Pada kesimpulan pertama, dianut asas bahwa kesalahan harus disingkirkan (melalui kontrol dan kritik), pada yang kedua dianut asas, kalau tiap orang melakukan kesalahan maka harap dimaafkan. Yang pertama bersifat kritis, yang kedua bersifat positivistis. Ilustrasi itu hanya mau menunjukkan bahwa perkembangan inteligensi dan peningkatan kecerdasan -- secara prinsipil -- akan meningkat kalau perbedaan pendapat dihargai sama tingginya dengan kesamaan pendapat. Ini tidak berarti bahwa kesamaan pendapat adalah sesuatu yang selalu merugikan. Yang hendak dikatakan di sini hanyalah perbedaan pendapat dan kesamaan pendapat barulah merupakan sesuatu yang meningkatkan kecerdasan kalau kedua hal tersebut benar- benar merupakan hasil dari usaha mempergunakan pikiran melalui pertukaran pikiran dengan pikiran lain. Filsuf Hegel pernah mengatakan bahwa berpikir dan pikiran itu seperti ayam dan telur. Kita hanya mungkin menghasilkan buah pikiran kalau kita berpikir, semeentara kita hanya mungkin berpikir kalau pikiran kita mengolah dan mengerjakan buah pikiran tertentu. Perbedaan pendapat dan kesamaan pendapat membantu perkembangan inteligensi kalau keduanya diterima sebagai hasil dari proses berpikir yang berkembang terbuka. Keduanya menjadi penghalang untuk peningkatan kecerdasan kalau keduanya sudah ditetapkan sebagai tujuan yang bersifat apriori. Sebagai contoh marilah kita bayangkan dua situasi berikut ini. Dalam situasi pertama sudah ditetapkan lebih dahulu bahwa pendapat peserta diskusi harus sama pada akhirnya. Pada situasi kedua sudah ditetapkan lebih dahulu bahwa pendapat peserta diskusi harus berbeda pada akhirnya. Kedua situasi tersebut ditandai oleh sikap dogmatis yang sama kuatnya dan karena itu tidak mendorong meningkatnya kecerdasan. Pada yang pertama semua orang harus berpegang pada satu pendapat yang sama (yang tidak bisa diubah). Pada yang kedua tiap orang berpegang pada pendapatnya sendiri (yang tidak bisa diubah). Pertukaran pikiran tidak mungkin terjadi dalam kedua situasi itu. Sebabnya adalah karena kesamaan pendapat atau perbedaan pendapat tidak diterima sebagai hasil atau produk melainkan sebagai tujuan atau target dari proses berpikir. Berpikir produktif tidaklah sama dengan berpikir dengan sasaran tertentu. Dalam bahasa logika: efficient logic tidak sama dengan final logic. Hal lain yang perlu dikemukakan di sini ialah bahwa pikiran manusia dan karena itu juga kecerdasannya bukan hanya produk individual tetapi juga suatu produk sosial. Kita biasanya menjadi pintar bersama-sama atau bodoh bersama-sama. Hal ini sangat berhubungan dengan lingkungan mental (mental ecology) di mana kita hidup. Seperti lingkungan hidup alam, maka lingkungan hidup mental pun tidak imun terhadap polusi dan pengotoran. Dan kalau lingkungan alam kotor karena limbah industri atau sampah yang tidak sempat diolah kembali maka lingkungan mental kita terkena polusi karena perbahasaan yang kita gunakan. Kalau kita terbiasa menggunakan kata-kata dan istilah-istilah yang kosong (umumnya dalam slogan-slogan), maka pikiran kita terlatih untuk tidak bekerja. Dan pedoman dalam berbahasa sebetulnya ada. Kalau bahasa yang kita gunakan adalah kata-kata kita sendiri maka itu merupakan tanda bahwa kita berpikir. Sebaliknya semakin sering kita mempergunakan bahasa yang sudah merupakan slogan umum semakin pula kita kurang berpikir. Kalau seorang mahasiswa ditanya mengapa dia memilih jurusan teknik, dan dia menjawab hendak menjadi insinyur elektro yang bekerja di daerah transmigrasi yang memerlukan penerangan baru, maka dia benar-benar berpikir. Tetapi jawaban seperti ini amat jarang kita dengar. Yang lebih sering adalah jawaban yang bergaya semboyan, yang bukannya merupakan kata-kata dia, karena dia hanya mengutipnya dan kemudian mengulangnya secara mekanis. Bahasa dan pikiran memang saling menunjang atau saling merugikan. Bahasa yang baik akan mempertajam pikiran, dan pikiran yang tajam pada giliran berikutnya akan menjernihkan bahasa. Sebaliknya bahasa yang kabur akan mengaburkan pikiran, dan pikiran yang kabur pada gilirannya akan semakin merusak bahasa. Kecerdasan suatu bangsa mungkin akan diukur dari kecerdasannya berbahasa. Hubungan bahasa dan pikiran ini menjadi amat jelas kalau kita mencoba mempergunakan suatu bahasa asing. Yang sering terjadi ialah bahwa karena peralatan bahasa asing itu tidak cukup kita kuasai, maka pikiran kita pun menjadi tidak tajam, seperti halnya kalau kita berpikir dalam bahasa Indonesia misalnya. Akan tetapi kalau penggunaan bahasa Indonesia sendiri menjadi kabur, maka pikiran kita lambat-laun akan menjadi kabur juga. Kalau kita kembali kepada persoalan buku maka beberapa kaitan berikut kiranya boleh diusulkan untuk dipertimbangkan. Pertama, buku memang sebuah sarana yang efektif untuk meningkatkan kecerdasan. Kedua, peranan buku untuk meningkatkan kecerdasan baru akan efektif jikalau buku ditempatkan dalam suatu suasana umum yang mendukung perkembangan inteligensi. Ketiga, perkembangan inteligensi akan berjalan baik, jikalau ada kesempatan untuk itu dan jika terbukti secara sosial budaya bahwa berpikir adalah sesuatu yang bukan hanya bermanfaat tetapi juga dibenarkan dan dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti perbedaan pendapat dan kesamaan pendapat dihargai sama tingginya kalau keduanya merupakan hasil dari suatu proses berpikir yang terbuka. Keempat, yang kita maksudkan dengan kehidupan sehari-hari adalah suasana sosial-budaya yang memungkinkan proses berpikir yang terbuka dalam arti yang sudah diuraikan di atas. Kelima, kalau semua ini meningkatkan kecerdasan, maka bisalah diharapkan bahwa perkembangan buku akan meningkat juga, karena buku lalu menjadi tempat kecerdasan individual dan kecerdasan kolektif didokumentasikan untuk kemudian diuji kembali melalui praktek pbmacaan yang dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan. Buku adalah input dan sekaligus output kecerdasan kolektif. Kalau kecerdasan adalah produk sosial, sebaiknya kita berpikir kembali bagaimana caranya agar supaya kita menjadi cerdas bersama-sama. * Ignas Kleden, staf SPES, Jakarta
Saturday, March 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment