Saturday, March 28, 2009

Politik

Sabtu, 26 Februari 2000

Argumentasi Sang Jenderal
Oleh Ignas Kleden


MUNDURNYA Jenderal Wiranto untuk sementara dari jabatan Menko Polkam membawa suatu perkembangan lain bagi dirinya sebagai seorang "bintang" radio dan televisi dengan penampilan yang impresif. Tidak mustahil banyak simpati yang diberikan kepadanya setelah dia memberikan berbagai wawancara. Yang penting untuk perkembangan politik ialah bahwa dengan ini dimulai suatu tradisi akuntabilitas politik yang selama ini dituntut. Wiranto tampil, dan wartawan tanpa sungkan boleh menanyakan segala sesuatunya menyangkut dugaan keterlibatannya (sebagai Panglima ABRI waktu itu) dalam pelanggaran HAM di Timor Timur menjelang dan sesudah referendum.

Tulisan ini mencoba memberi apresiasi kepada berbagai hal yang diungkapkan Wiranto dalam wawancara radio dan televisi. Beberapa kritik yang akan diajukan di sini tidak bermaksud lain dari memberikan substansi kepada apresiasi itu, karena akuntabilitas barulah mencapai maknanya kalau apa yang diungkapkan secara publik dihargai melalui tanggapan yang bersifat publik pula. Penulis tidak mempunyai banyak kompetensi untuk mengevaluasi berbagai data yang disampaikan secara amat kronologis oleh Wiranto. Sebaiknya pihak lain yang mempunyai data tandingan dapat ditampilkan dalam suatu panel dengan Wiranto supaya publik mendapatkan bahan perbandingan. Dilihat secara sepintas lalu tentulah amat mengesankan bahwa 4.000 orang asing semuanya aman dan terlindung selama referendum dan tak seorang pun mengalami cedera.

***

SUATU pertanyaan sentral yang berulangkali diajukan adalah apakah TNI sebagai suatu institusi mempunyai keterlibatan dalam pelanggaran HAM di Timor Timur pada saat itu. Wiranto memberikan jawaban yang hampir-hampir bersifat baku terhadap pertanyaan itu. Yakni bahwa sekalipun ada orang-perorangan yang terlibat, dan hal ini memang terbukti dan diakui oleh Wiranto sendiri, namun penyelewengan itu harus dipandang sebagai penyelewengan orang-perorangan dan tidak bisa dikaitkan dengan kenyataan bahwa mereka adalah anggota suatu pranata yang bernama TNI.

Alasan untuk argumen ini pun dikemukakan dengan relatif jelas. Yaitu bahwa dalam suatu operasi militer terdapat berbagai jenjang pengambilan keputusan. Keputusan tertinggi berada pada pimpinan, yang kemudian diterjemahkan secara operasional pada tingkat di bawah, yang kembali diterjemahkan secara taktis pada jenjang yang lebih ke bawah lagi, dan akhirnya diterjemahkan secara teknis dalam pelaksanaan di lapangan. Kalau terjadi penyelewengan pada tingkat lapangan dalam pelaksanaan teknisnya, maka hal ini harus dipandang sebagai kekeliruan atau penyelewengan perorangan dalam menerjemahkan keputusan dari atas. Mereka harus dipandang secara orang perorangan dan tidak bisa digeneralisasi sebagai representasi dari institusi TNI.

Argumen ini kelihatannya masuk-akal dan sepintas lalu memperlihatkan (untuk meminjam vokabuler para fenomenolog) suatu plausibility structure yang tinggi tetapi menimbulkan pada diri saya beberapa kesulitan secara logis. Pertama, apakah semua penyelewengan yang terjadi oleh para anggota TNI harus diasumsikan hanya terjadi pada tingkat pelaksanaan teknis, atau, dapat juga merupakan akibat salah terjemahan/salah interpretasi pada tingkat taktis dan bahkan pada tingkat operasional? Kalau kesalahan itu terjadi pada jenjang yang lebih tinggi, apakah ini pun masih dapat dinamakan kesalahan perorangan atau dapat dianggap sebagai kesalahan institusi?

Pertanyaan ini perlu diajukan karena kita semua tahu bahwa garis komando militer selalu berjalan dari atas ke bawah. Bisa diandaikan pula di sini bahwa dalam komando militer, kejelasan dan eksplisitnya suatu perintah harus cukup terjamin untuk mengeliminasikan sejauh mungkin makna-ganda dalam perintah tersebut yang dapat memberi peluang bagi interpretasi lain dari yang dikehendaki oleh pemberi komando. Karena itulah, maka kalau terjadi suatu tindakan yang melanggar HAM pada tingkat lapangan, apakah hal ini terjadi karena para prajurit di lapangan telah dengan sengaja menyelewengkan perintah itu, atau karena tidak jelasnya perintah yang diberikan?

***

KEMUNGKINAN apa pun yang diambil tetap saja timbul kesulitan dalam menjawab pertanyaan ini. Kalau diambil kemungkinan bahwa para prajurit telah melakukan penyelewengan, dan penyelewengan ini dilakukan karena mereka dengan sengaja telah melanggar perintah ataupun karena mereka tidak mampu memahami perintah, maka patut dipersoalkan kualitas pembinaan dan pendidikan para prajurit kita selama ini. Kalau untuk memahami perintah komandannya saja mereka mengalami kesulitan, maka apakah mereka telah memenuhi persyaratan minimal untuk menjadi prajurit (Atau sebaliknya, apakah para komandan sudah cukup terlatih dengan baik, sehingga dapat memberi perintah yang tidak disalahtafsirkan)?

Demikian pun, kalau penyelewengan telah terjadi karena para prajurit di lapangan telah dengan sengaja melanggar perintah yang diberikan oleh komandannya, maka patutlah dipersoalkan disiplin ketaatan dalam pendidikan militer kita. Bagi orang luar, belum pernah terdengar bahwa dalam militer ada dimungkinkan military disobedience. Mungkin hanya dalam militerlah berlaku asas Gehorsamkeit ist blinde Gehorsamkeit (taat berarti taat secara buta).

Kalau diambil kemungkinan kedua bahwa perintah komandan kurang jelas dan kurang eksplisit sehingga dapat memberi peluang untuk tafsiran ganda, maka apakah "cacat" dalam perintah dan komando ini tetap saja dapat dianggap sebagai kesalahan orang-perorang, padahal kesalahan itu mungkin saja terjadi pada tingkat taktis, operasional dan bahkan pada tingkat strategis? Demikian pun kalau terbukti bahwa perintah yang diberikan itulah yang tidak jelas, maka bukankah pemberi perintah itu yang selayaknya dihukum dan bukannya para prajurit yang melaksanakan perintah tersebut?

Kesulitan kedua adalah bahwa seakan-akan ada asimetri logis dalam argumentasi seperti ini. Kalau kesalahan yang terjadi dalam pelaksanaan teknis di lapangan per definisi harus dianggap sebagai kesalahan orang-perorang maka di mana letak tanggung jawab TNI sebagai lembaga? Pertanyaan ini menyangkut etika kelembagaan dan organisasi. Kalau para prajurit di lapangan melakukan kesalahan maka mereka bagaikan dicopot dari afiliasinya dengan lembaganya, sedangkan kalau mereka berhasil melaksanakan tugas maka TNI amat berbangga menghasilkan prajurit-prajurit yang handal dan mempunyai disiplin yang teguh dan dedikasi tinggi.

Dengan singkat, kalau mereka baik, mereka adalah anggota institusi, sedangkan kalau mereka bersalah maka mereka adalah orang-perorangan. Hal ini kebetulan sedang menimpa TNI dan Jenderal Wiranto tetapi merupakan suatu pertanyaan yang menyangkut banyak lembaga politik kita yang lain. Sejauh mana suatu lembaga turut bertanggung jawab terhadap kesalahan anggotanya, kalau kesalahan itu dilakukan dalam tugasnya sebagai anggota lembaga tersebut. Apakah ada teori yang sanggup membenarkan institutional infallibility dengan konsekuensi yang amat aneh dalam kenyataannya?

***

DENGAN asumsi seperti itu, maka institusi selalu dianggap benar (the institution can do no wrong), sedangkan kesalahan anggotanya akan dianggap bersifat non-institutional dan hanya bersifat individual. Tetapi asumsi ilmu pemerintahan tentang can do no wrong adalah sisi lain dari can do no right. Raja dan ratu Inggris dianggap can do no wrong karena tidak mempunyai kekuasaan apa pun dalam pemerintahan, selain hak-hak simbolis dan seremonial. Jadi, kalau TNI sebagai institusi dianggap selalu tidak terlibat dalam kesalahan dan penyelewengan para anggotanya di lapangan (karena ini adalah kesalahan orang-perorangan), maka selayaknya TNI sebagai institusi juga tidak bisa mengklaim keberhasilannya, kalau para prajuritnya dapat menjalankan semua perintah dengan ketepatan tinggi, dedikasi yang total, dan keahlian yang handal (karena semua ini harus juga dianggap sukses orang-perorangan). Akan tetapi, kalau ini yang terjadi apalagi yang dapat menjadi dasar bagi eksistensi TNI sebagai institusi?

Dalam kenyataannya, kita semua tahu bahwa pimpinan TNI mempunyai wewenang penuh kepada para bawahannya. Menurut pandangan dan harapan saya, barangkali dalam militerlah seharusnya berlaku secara tegas etos noblesse oblige yang merupakan sistem nilai yang membimbing tingkah laku para aristokrat zaman dahulu dan membuatnya menjadi seorang gentleman.

Dalam sistem nilai feodal (di Eropa dan Jepang misalnya) yang telah mencapai tahapan aristokrasi yang matang, maka seorang pimpinan bertanggung jawab terhadap kesalahan anak-buahnya, dan sebaliknya memberikan kredit penuh kepada anak-buahnya kalau yang terakhir ini mencapai suatu prestasi. Hal ini dilakukan sebagai tanda bahwa para aristokrat itu bukanlah hanya pemilik tanah, pemilik status dan berbagai gelar kehormatan, tetapi juga adalah pemimpin politik dari orang-orang yang berada dalam kekuasaannya. Secara analog, seorang bapak atau ibu amat berbangga kalau anaknya menjadi juara di sekolah, atau mendapat hadiah dalam perlombaan musik dan olahraga, tetapi kalau anaknya terlibat narkotik lalu melepaskan tanggung jawab dengan mengatakan bahwa si anak sendirilah yang harus bertanggung jawab, karena dia telah mengabaikan bimbingan dan nasihat orangtua, maka anak itu (dan kita semua juga) akhirnya tahu orangtua macam mana yang sedang kita hadapi.

Sebetulnya pola ini bukanlah suatu hal yang luar biasa, tetapi merupakan konsekuensi logis belaka dari kepemimpinan. Seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap orang-orang bawahannya, for better or for worse. Akan menjadi sangat lucu kalau pemimpin merasa bertanggung jawab kalau bawahannya berkelakuan baik, berdisiplin tinggi, dan memperlihatkan prestasi yang meyakinkan, tetapi kemudian tidak bertanggung jawab lagi kalau bawahannya bertindak slebor, kacau disiplinnya, dan gagal dalam semua tugas yang dipercayakan kepada mereka. Untuk meminjam bahasa Jenderal Wiranto, selama bawahan bertindak disiplin dan berprestasi, mereka adalah bagian institusi, dan pada saat mereka menyeleweng dan melakukan pelanggaran HAM, mereka adalah orang-perorangan.

***

MUDAH-mudahan jelas bagi pembaca bahwa tulisan ini sama sekali tidak mempersoalkan materi data yang diperdebatkan dalam pelanggaran HAM di Timor Timur (yang berada di luar kompetensi penulis ini). Yang menjadi fokus uraian adalah caranya seorang pemimpin memandang tanggung jawabnya terhadap mereka yang dipimpinnya. Adalah hal yang perlu disyukuri bahwa Jenderal Wiranto telah berani tampil di depan publik untuk memberikan beberapa pertanggungjawaban mengenai perannya sendiri dan peran TNI dalam masa menjelang dan sesudah referendum.

Penampilan Wiranto kemudian mengungkapkan suatu pola pikir yang menurut pendapat saya amat dominan dalam subkultur kepemimpinan kita selama Orde Baru, yang tidak mustahil masih berakar dalam alam pikiran banyak pemimpin kita pada masa sekarang, yaitu bahwa institusi dan pemimpin institusi can do no wrong dan yang bersalah hanyalah oknum-oknum. Kalau pola ini tidak diubah, maka yang kita dapati dalam negara kita bukan lagi para pemimpin, tetapi hanyalah pialang kekuasaan yang menghubungkan pihak penguasa yang lebih tinggi dengan orang-orang yang berada di bawah. Pola kepemimpinan ABS (asal bapak senang) sebetulnya hanya nama lain dari kecenderungan dari ABB (asal bapak benar). Cara untuk memantapkannya adalah dengan menggiring semua kredit dan prestasi ke atas (seperti upeti) dan mendorong semua kesalahan dan tanggung jawab (sebagai beban) ke lapisan yang lebih bawah.

Pola ini bukan saja bersifat ademokratis, tetapi antidemokratis. Dalam demokrasi, kekuasaan berasal dari bawah dan berjalan ke atas. Dan karena itu, secara logis, tanggung jawab harus berjalan dari atas ke bawah, karena pemimpin adalah sekaligus bawahan dari rakyatnya.

(* Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta).

No comments: