BEBERAPA KESIMPULAN DISKUSI "REFLEKSI KEBUDAYAAN"
Oleh Ignas Kleden
SEBUAH persoalan lain yang banyak dibahas adalah mengenai penciptaan atau daya cipta di satu pihak, serta kebebasan dan kemungkinan kreatif di pihak lainnya। Pengandaian umum yang sering kita dengar ialah bahwa daya cipta tidak akan berkembang sampai optimal jika tak ada kemungkinan dan kebebasan kreatif yang mendukungnya। Karena itu perjuangan untuk tetap menegakkan kebebasan kreatif harus terus dijalankan। Sebaliknya, terhadap setiap usaha yang hendak membatasi atau mematikan kebebasan kreatif, harus diberikan perlawanan dan kritik। Hal ini tentu ada unsur kebenarannya dan siapa saja yang merasa berkepentingan dengan kehidupan budaya akan mengambil sikap dalam persoalan pembatasan atau penindasan terhadap kebebasan kreatif। Tetapi rupanya ada dua soal yang cukup berbeda, yang kemudian menjadi jelas dalam diskusi 9 September itu। Di satu pihak ada kebebasan kreatif sebagai faktor obyektif yang secara budaya harus dipertahankan. Di lain pihak ada kreativitas atau dayacipta yang sedikit banyaknya tergantung kepada daya hidup dan daya tahan seorang individu dengan faktor-faktor subyektif yang mendukung atau tidak mendukungnya. Dengan demikian kalau kita berbicara tentang kebebasan kreatif, kita memperjuangkan faktor obyektif di mana kreativitas diwujudkan. Tetapi berbicara tentang kebebasan kreatif tidak sama dengan berbicara mengenai kreativitas itu sendiri. Sebabnya, kreativitas tidak hanya ditentukan oleh adanya faktor obyektif yang memungkinkan, tetapi juga oleh daya serap individual yang mengolah kembali semua faktor obyektif dalam diri seorang individu. Kreativitas adalah reproduksi individual dan personal dari semua faktor sosial yang diterima oleh seorang individu. Pada titik ini terlihat dua asas yang amat berbeda. Kalau kita berbicara tentang kebebasan kreatif, maka asasnya adalah: semakin besar kebebasan kreatif, semakin besar kemungkinan bagi kreativitas untuk diwujudkan dalam kreasi budaya. Kebebasan kreatif adalah masalah diberikan atau disediakannya kebebasan. Sebaliknya kalau kita berbicara tentang kreativitas maka masalahnya berpindah kepada penerima kebebasan kreatif tersebut. Di sini berlaku asas: apa pun yang diterima, selalu diterima menurut modus si penerima dan bukannya menurut modus si pemberi (guidguid recipitur, secundum modum recipientis recipitur). Ini adalah sebuah asas antropologi filsafat yang sangat tua yang kiranya masih berlaku sampai saat ini. Dalam implikasinya, hal ini berarti, kalau kebebasan kreatif yang besar diterima oleh seorang individu dengan kapasitas kecil, maka kecil pula hasilnya. Sebaliknya, kalau kebebasan kreatif yang kecil diterima oleh seorang penerima yang besar kapasitasnya, maka besar pula kreasi yang dihasilkannya. Ternyata antara kebebasan (freedom) dan daya cipta (creativity) tidak ada hubungan yang lurus. Seorang bisa kreatif karena bebas (because of freedom) dan seorang dapat tetap kreatif kendati dan meskipun tidak bebas (in spite of unfreedom). Kebebasan kreatif selalu berhubungan dengan kebebasan luar yang obyektif, sedangkan kreativitas berhubungan kebebasan dalam, yaitu kebebasan jiwa. Kiblat kebudayaan Dalam hubungan dengan daya cipta masih ada semacam keprihatinan dalam diskusi mengapa gerangan perkembangan kebudayaan Indonesia modern selalu merupakan bayangan perkembangan kebudayaan di bagian dunia lain, sebutlah, di Eropa Barat atau di Amerika Serikat. Keberatan ini segera mengingatkan orang akan debat dalam Polemik Kebudayaan yang terkenal itu, tentang ke mana Indonesia harus mengambil model untuk kebudayaan baru Indonesia. Apakah kita harus mengambil model Barat seperti yang diusulkan oleh S. Takdir Alisyahbana atau model Timur seperti dianjurkan oleh Sanusi Pane dan beberapa tokoh lainnya? Perdebatan tentang kiblat kebudayaan pada hakikatnya adalah perdebatan mengenai sumber kebudayaan kalau dilihat dari segi strategi kebudayaan atau perdebatan tentang asal-usul kebudayaan dilihat dari segi sejarah kebudayaan. Semua ini terang penting artinya untuk pengetahuan kita, namun membicarakan sumber kebudayaan ini dalam hubungan dengan dayacipta kebudayaan, pada akhirnya tidak banyak membawa manfaat. Sebab, yang menentukan kreativitas bukanlah dari sumber mana pola-pola kebudayaan diambil, tetapi dengan tingkat daya cerna seberapa besar pola-pola itu diterima dalam diri seorang individu atau suatu masyarakat. Dari mana pun asal-usul kebudayaan itu, hal itu tidak begitu penting artinya untuk kreativitas, selama penerima pengaruh-pengaruh itu dapat mencerna semua pengaruh itu dalam suatu proses internalisasi dan integrasi kebudayaan, dan kemudian menjadikan semua pengaruh itu sebagai bahan untuk penciptaan kebudayaan yang bersifat kreatif. Ini berarti, rasa prihatin tentang besarnya pengaruh Barat, sebetulnya mencerminkan rasa prihatin tentang daya cerna kebudayaan kita sendiri. Eropa tidak pernah menyesal belajar dari renaissance, seperti halnya renaissance tidak menyesal belajar dari Roma dan Roma tidak pernah menyesal belajar dari Yunani antik. Pertanyaan baru dan jawaban baru Suatu keprihatinan lain adalah bahwa dalam melakukan diskusi kebudayaan kita cenderung mengulang persoalan lama dan barangkali pula mengulang jawaban yang sama terhadap persoalan tersebut. Apakan kreativitas kebudayaan selalu berarti kesanggupan merumuskan masalah baru? Jawaban terhadap persoalan itu adalah bahwa yang menentukan harga dan bobot sebuah persoalan bukanlah kadar baru dan lamanya, melainkan apakah persoalan tersebut diberi relevansi yang sesuai dengan perkembangan keadaan. Ada banyak persoalan di masa lampau yang tetap belum terselesaikan, dan persoalan tersebut tidak layak ditinggalkan hanya karena merupakan persoalan lama. Yang diperlukan adalah memberikan relevansi baru terhadap persoalan lama tersebut. Demikian pun ada beberapa soal baru yang muncul dan menarik minat. Tetapi tidaklah cukup kalau soal-soal baru tersebut menjadi sekadar mode atau fashion karena yang dibutuhkan adalah membuat soal-soal tersebut relevan dengan keperluan kebudayaan di Indonesia. Eksistensialisme di tahun lima puluhan dan post-modernisme di tahun sembilan puluhan tidak bagitu meninggalkan jejak karena para penganutnya tidak sempat memberikan bobot relevansi yang kuat untuk kebudayaan di Indonesia. Kritik politik dan kritik kebudayaan Dipertanyakan adakah perbedaan antara kritik politik dan kritik kebudayaan? Di antara banyak perbedaan, ada satu hal yang menarik perhatian diskusi tersebut, yaitu bahwa kritik politik adalah cerminan persaingan politik antara sebuah golongan dengan golongan lainnya; sebaliknya, kritik kebudayaan memperjuangkan nilai-nilai (misalnya hormat kepada martabat manusia), dan kritik seperti ini mencerminkan komitmen kepada nilai dan bukanlah komitmen kepada kelompok. Seseorang yang melakukan kritik kebudayaan berjuang untuk menegakkan nilai-nilai kebudayaan yang dijunjungnya, dan menentang pemerkosaan terhadap nilai-nilai tersebut, juga seandainya nilai bersangkutan diabaikan dalam kelompok di mana dia diperanggotakan. Dia juga akan memperjuangkan tegaknya nilai kebudayaan tersebut, seandainya pun nilai tersebut terwujud dalam kelompok yang menjadi lawannya. Dalam kaitan itu perlu disadari ambivalensi pengetahuan dan ketidaktahuan mengenai suatu soal. Politik mengandaikan bahwa pengetahuan tentang suatu soal akan membawa orang untuk terpengaruh oleh pengetahuan tersebut. Kebudayaan mengandaikan bahwa pengetahuan terhadap suatu soal memungkinkan orang mengambil sikap secara dewasa terhadap soal tersebut. Politik mengandaikan ketidaktahuan tentang sebuah soal yang tak disetujui mungkin lebih menguntungkan. Kebudayaan mengandaikan bahwa ketidaktahuan tentang suatu soal selalu merugikan, karena dengan itu proses belajar telah dibatalkan. Strukturalisme, historisisme, kebudayaan, dan konteks Diskusi kebudayaan dan diskursus sosial-budaya di Indonesia semenjak tahun 1980-an rupanya tidak dapat lagi menghindar dari beberapa konsep yang dirumuskan dengan beberapa kata-kunci di atas. Pertanyaan yang penting secara budaya adalah: apakah dan bagaimanakah hal-hal tersebut di atas (struktur, sejarah, kebudayaan dan konteks) mempengaruhi realisasi kemerdekaan menusia dan karena itu mempengaruhi kreativitas manusia secara budaya? Dalam arti luas, struktur adalah konteks dalam ruang. Dilihat secara pesimis, suatu struktur akan membatasi ruang-gerak di mana kemerdekaan dan dayacipta diwujudkan. Ada batas-batas secara politik, ekonomi atau sosial untuk mewujudkan dayacipta tersebut. Sebaliknya, dilihat secara optimis, suatu struktur menjadi kerangka (secara sosial, ekonomis atau politis) di mana kemerdekaan manusia diwujudkan dan diwujudkan secara khas berdasarakan kondisi dalam struktur tersebut. Tanpa kerangka struktural, kemerdekaan dan dayacipta tidak mempunyai landasan untuk direalisasikan. Kalau struktur adalah konteks dalam ruang, maka sejarah adalah konteks dalam waktu. Meninjau kebudayaan secara historis adalah meninjau kebudayaan sebagai sesuatu yang terbentuk dan tercipta dalam waktu, dan melihat syarat-syarat obyektif yang membuatnya mendapat bentuknya seperti ini dan bukan bentuknya yang lain. Karena itulah kebudayaan selalu terikat kepada kekuatan sejarah. Namun demikian, sejarah juga dibentuk oleh kebudayaan. Tidak ada sejarah tanpa kebudayaan di dalamnya. Karena itu sikap historis adalah suatu sikap penting tetapi historisisme bukanlah sesuatu yang mutlak. Kemajuan di dalam sejarah, tidak jarang, disebabkan oleh keberanian untuk berpikir ahistoris dan antihistoris, dengan menciptakan perspektif yang lebih jauh dari kondisi-kondisi yang konkret sekarang ini. Sejarah membentuk kebudayaan kita, tetapi kebudayaan kembali menciptakan sejarah. Manusia tidak bisa membebaskan diri dari sejarahnya, tetapi sejarah pun tidak bisa membebaskan diri manusia yang menggerakkannya. Sikap historis menekankan manusia dalam sejarah, sikap kritis menekankan sejarah sebagai sejarah manusia. Kebudayaan adalah respons manusia dengan kemerdekaannya terhadap pembatasan waktu dan ruang. Hanya melalui kebudayaan kita tidak terjatuh baik ke dalam determinisme strukturalis maupun determinisme historis. Namun demikian bahkan terhadap kebudayaan, kemerdekaan manusia harus sanggup mempertahankan diri supaya tidak terjatuh ke dalam determinisme kebudayaan. Agar supaya suatu kebudayaan tetap dihayati secara kreatif, diperlukan refleksi dari partisipannya bahwa kebudayaan tersebut adalah ciptaan manusia sendiri, yang diciptakan dengan tujuan dan karena keperluan tertentu. Konteks adalah ruang dan waktu yang spesifik yang dihadapi seseorang atau sekelompok orang. Setiap kreasi budaya selalu lahir dalam konteks tertentu dan karena itu pemahaman terhadapnya memerlukan suatu tinjauan yang bersifat kontekstual. Namun demikian konteks bukanlah suatu pengertian yang statis. Setiap konteks selalu dapat di-dekontektualisasi-kan dan dapat pula di-rekontekstualisasi- kan kembali oleh setiap kelompok pada masanya. Riwayat hidup sebuah kreasi budaya penting untuk menerangkan proses produksinya, tetapi tidak selalu dapat menerangkan kekuatan pengaruhnya dalam kehidupan budaya yang lebih luas. Konteks menjadi penting kalau dia dihayati secara tekstual, di mana setiap kebudayaan dapat menjadi teks yang terbuka untuk pembacaan dan penafsiran oleh siapa saja. Kemerdekaan dan kreativitas selalu merupakan sesuatu yang terbatas. Sedangkan kebudayaan adalah usaha untuk mengatasi batas- batas tersebut. * Ignas Kleden, moderator pada Diskusi "Refleksi kebudayaan" 9 September 1995 di IK7, Jakarta.
No comments:
Post a Comment