Etnosentrisme dan Birokratisasi Pendidikan Nasional
HARI Pendidikan Nasional 2 Mei dirayakan setiap tahun, tetapi perayaan itu lebih merupakan ritual nasional daripada kesempatan untuk memikirkan kembali dengan sungguh-sungguh keadaan pendidikan nasional kita. Tidak kelihatan ada kecemasan tentang akibat yang harus ditanggungnya dan dampak yang dibawanya, bila keadaannya tidak mengalami perubahan dan pembaruan yang bersifat mendasar.
Pertama-tama perlu dipersoalkan apakah pendidikan nasional Indonesia merupakan suatu yang demikian khas dan unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan pendidikan di Malaysia, Singapura, Jepang, atau Jerman? Penulis ingin mengajukan dan membela pendapat bahwa pendidikan di seluruh muka Bumi ini selalu mempunyai suatu tujuan dasar yang universal, karena itu sama di mana pun juga, yaitu membawa seorang anak manusia menjadi individu yang dewasa.
Istilah "dewasa" di sini berarti seseorang mencapai tahapan otonomi relatif dalam perkembangan dan pertumbuhannya sebagai seorang anak manusia. Otonomi relatif ini menyebabkan seseorang sanggup berpikir sendiri, menggunakan pikirannya dan pikiran orang lain untuk menyusun pertimbangannya sendiri, menarik kesimpulan sendiri, dan akhirnya membuat keputusan sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Dalam arti itu dia menghayati suatu tindakan sebagai hasil pertimbangan dan keputusan pribadinya, bukan sesuatu yang sekadar dipaksakan dari luar, dan karena itu lebih siap menanggung akibat perbuatannya, baik atau buruk.
Hal yang menyebabkan pendidikan berbeda dari negara-negara, dari suatu kebudayaan ke kebudayaan lain, bukanlah tujuan pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, tetapi cara-cara yang ditempuh untuk mengantar seseorang menuju kedewasaan dan otonomi relatif. Dalam arti itu kedewasaan dalam satu kebudayaan bisa berarti mengambil keputusan dan tindakan yang tidak terlalu menimbulkan friksi dan konflik dengan orang lain, sedangkan kedewasaan yang sama, dalam kebudayaan lain, bisa berarti mengambil keputusan dan tindakan dan bersedia menanggung friksi dan konflik dengan orang lain sebagai hal yang tak terelakkan.
***
DENGAN demikian jelas, alasan kebudayaan tidak dapat menafikan tujuan pendidikan tersebut di atas. Tidaklah dapat dibenarkan bila dikatakan bahwa dalam masyarakat yang mengutamakan harmoni dan sopan-santun, otonomi relatif ini dapat diabaikan dan harus lebih diutamakan ketaatan kepada otoritas. Kalau pendidikan nasional hendak ditinjau kembali dengan sungguh-sungguh, maka sebuah pertanyaan yang dapat mengetes tepat-tidaknya arah pendidikan kini ialah dengan melihat dan menguji apakah praktik pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah kita membantu peserta didik semakin otonom dan dewasa, atau membuat mereka terus tergantung otoritas (guru, orangtua, atau bahkan negara).
Otonomi tidak persis sama dengan kebebasan. Kebebasan lebih menekankan disposisi "bebas dari" sesuatu, sedangkan otonomi lebih menekankan disposisi "bebas untuk" sesuatu. Kebebasan harus diperjuangkan bila orang masih dalam keadaan terkungkung, tetapi otonomi menjadi tantangan besar justru bila orang sudah berada dalam kebebasan dan tidak terkungkung lagi.
Kesulitan kita, juga dalam politik sehari-hari, muncul karena tuntutan akan kebebasan tidak diimbangi dengan kesadaran cukup tentang pentingnya otonomi. Pembaruan politik tidak dengan sendirinya tercapai karena adanya kebebasan (bebas dari penjajahan, bebas dari Orde Lama, bebas dari Orde Baru), tetapi karena adanya otonomi relatif dalam politik. Yaitu situasi di mana para warga dan para politisinya sadar dan tahu hendak diapakan kebebasannya, dan untuk tujuan apa kebebasan itu hendak dimanfaatkan. Pembaruan tidak dicapai hanya karena ada freedom from, tetapi terutama tercapai karena efektifnya freedom for. Kreativitas tidak berarti lain dari kemampuan menggunakan kebebasan secara produktif, karena adanya otonomi.
***
HAL kedua, kacaunya pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah kita adalah akibat birokratisasi yang amat ekstrem terhadap dunia pendidikan. Ada berbagai akibat yang muncul dari proses birokratisasi pendidikan ini, tetapi di sini hanya dikemukakan satu akibat yang amat besar akibatnya. Yaitu bahwa peran guru, pengajar dan dosen, yang di mana pun di dunia ini, merupakan tiang utama pendidikan dan pengajaran, tergeser menjadi posisi sekunder dibanding kedudukan dan peran-peran birokratis pendidikan.
Akibatnya, orang-orang yang terlibat dalam pengajaran dan pendidikan lebih mengejar posisinya secara struktural (kepala biro dan semacamnya), bukan tugas akademis atau tugas pedagogis sebagai guru dan pengajar andal. Ini amat dapat dimaklumi karena jabatan-jabatan struktural di universitas, misalnya, mendapat pembayaran lebih baik dari gaji dosen. Visualisasi dari ketimpangan dapat terlihat bila Anda datang ke suatu universitas mana pun, negeri maupun swasta di Jakarta ini.
Di fakultas dan jurusan-jurusan, yang mempunyai ruang kerja, meja tulis dan tempat menerima tamu, adalah para birokrat pendidikan (kepala personalia dan kepegawaian, kepala keuangan, urusan rumah tangga, dan lain-lain), tetapi bukan dosen dan pengajar. Padahal tugas-tugas administrasi itu hanya pembantu tugas mengajar dan keperluan belajar para mahasiswa. Para dosen yang mengajar, harus menunggu giliran mengajar entah di gang atau koridor jurusan, atau bahkan di tempat minum atau parkir. Sedangkan dia justru amat memerlukan sebuah ruangan dengan meja dan kursi untuk menyiapkan kuliahnya, memeriksa pekerjaan para mahasiswa, atau menerima mahasiswa untuk konsultasi tugas-tugas akademis mereka.
Jelas, keadaan ini membuat pekerjaan mengajar di universitas sebagai pekerjaan yang sama sekali tidak menarik, karena para dosen itu diperlakukan sebagai orang-orang yang "numpang lewat", sedangkan mereka yang "stabil" kedudukannya adalah birokrat pendidikan dan pengajaran, yang tidak memberi sumbangan langsung terhadap kemajuan pendidikan siswa atau mahasiswa. Buanglah semua administrasi di sekolah atau universitas, maka pendidikan dan pengajaran masih dapat berjalan. Buanglah semua guru dan dosen maka pendidikan dan pengajaran segera berakhir.
Pembaruan pendidikan dan pengajaran, tidak dapat dicapai hanya dengan Undang-Undang (UU) Pendidikan yang baru, tidak juga dengan debat di DPR, tetapi terutama dengan membalikkan sama sekali distorsi peran ini yang merupakan akibat yang amat pahit dari birokratisasi pendidikan dan pengajaran oleh pemerintah Orde Baru. Bila guru-guru tidak dibayar dengan benar, bila para dosen diperlakukan sebagai tenaga kontrakan belaka yang tidak mempunyai tempat duduk apa pun di jurusannya, maka semua omongan tentang pembaruan hanya isapan jempol dari orang-orang yang entah tidak mempunyai pengetahuan atau tidak mempunyai apresiasi tentang pendidikan sebagai investasi terpenting untuk sebuah bangsa dan negara.
***
KONSEKUENSINYA secara nyata ada dua.
Pertama, tujuan pendidikan nasional harus diperkuat suatu UU, yang dilegalisasikan oleh DPR, tetapi setelah melewati suatu debat publik cukup luas. Hal ini dibutuhkan agar UU pendidikan, yang demikian menentukan nasib bangsa dan negara ini di masa depan, secara substansial mendapat semacam pertimbangan dan konsensus publik, sebelum DPR menetapkannya sebagai sesuatu yang mengikat secara hukum. Peranan DPR dalam hal ini jelas amat menentukan, karena pada lembaga inilah terletak keputusan akhir apakah pendidikan nasional benar-benar menjadi sarana mendewasakan manusia Indonesia dalam mencapai otonomi relatif, atau hanya menjadi orang-orang yang dapat dikendalikan begitu saja entah oleh mereka yang mempunyai kekuasaan atau mereka yang mempunyai uang.
Kedua, amat perlu diperjelas kembali siapa yang menjadi tokoh terpenting dalam pendidikan dan pengajaran nasional. Artikel ini mengusulkan, tokoh terpenting adalah mereka yang menjalankan pendidikan dan pengajaran secara langsung, yaitu para guru dan dosen, bukan mereka yang mengurus administrasi pendidikan. Dalam praktik, hal ini akan menimbulkan pergeseran-pergeseran yang menimbulkan persaingan kekuatan dan kepentingan. Di kalangan pendidikan swasta misalnya, akan menjadi soal, apakah yang menentukan sekolah dan universitas swasta itu (termasuk budget-nya) adalah yayasan dan ketua yayasan (yang mengurus aspek legal dan administratif), atau Kepala Sekolah dan Rektor (yang mengurus pengajaran dan pendidikan secara langsung)?
Dalam praktik, kalau pun ada peningkatan anggaran untuk pendidikan nasional kini, maka uang yang lebih sebaiknya tidak buru-buru dipakai untuk membangun sekolah baru, tetapi seyogianya dimanfaatkan untuk memperbaiki gaji guru dan dosen yang sudah cukup lama menderita. Bila sekolah-sekolah baru didirikan, tanpa perbaikan nyata kondisi hidup dan gaji guru, maka dapat dipastikan bahwa yang terjadi adalah meluasnya kesempatan untuk distorsi pendidikan sebagaimana terjadi sampai sekarang, dan bukan suatu perbaikan kualitatif yang amat diperlukan saat ini.
Tanpa perubahan mendasar ini, pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah kita akan berjalan seperti sekarang, karena mereka yang bertanggung jawab (yaitu para guru dan dosen) tidak diberi wewenang, hak dan fasilitas, sedangkan mereka yang mempunyai wewenang, hak dan fasilitas adalah orang-orang yang tidak bertanggung jawab secara langsung (yaitu para birokrat pendidikan).
Bila dua hal ini diperhatikan, kita berharap telah memulai suatu awal yang baik dan serius. Tanpa memperhatikan hal ini, sudah dapat diramalkan dari sekarang, bahwa negeri kita yang besar ini, bukan saja menjadi negara paling korup di dunia, tetapi juga negara dengan pendidikan dan pengajaran paling telantar di seantero jagat.
Dr Ignas Kleden Sosiolog, Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (The Center for East Indonesian Affairs
No comments:
Post a Comment