Oleh Ignas Kleden
BERDASARKAN pandangan seperti itu, apakah artinya suatu teori
baru? Apakah teori involusi pertanian adalah suatu teori baru?
Tidak seluruhnya. Karena Geertz meminjam seluruh bangunan logis
teori involusi Goldenweiser tentang kesenian dan estetika dan
menerapkannya untuk pertanian. Jadi hanya luasan empiris yang
diperbesar.
Di tempat lain, Geertz mencari jalan baru dengan mengubah
bangunan logis. Misalnya, teori kelas yang menekankan integrasi
horisontal (buruh dengan buruh, petani dengan petani dan
seterusnya), diubah menjadi teori aliran dengan integrasi vertikal
(jadi petani, buruh, pegawai abangan di satu pihak, dan petani,
buruh, pedagang santri di pihak lainnya). Atau teori Geertz tentang
lingkup dan intensitas agama, (menurut saya) hanyalah variasi lain
dari teori Weber tentang agama etis dan agama magis.
Demikian juga teori tentang perkotaan, yang dalam sosiologi
Barat amat menekankan municipal unit secara vertikal dalam kota yang
sama, diganti dengan kesatuan interlokal antarkota secara horisontal
berdasarkan keanggotaan seseorang dalam aliran. Jadi pegawai di
Jakarta lebih dekat hubungan dengan pegawai di Surabaya, dan
bukannya pegawai di Jakarta dengan pedagang di Jakarta. Dengan
demikian apa sebetulnya yang baru di sana?
Kembali ke teori ekonomi bazar, Geertz menunjukkan bahwa
pedagang-pedagang kita di tahun 50-an tidak bisa menciptakan
institusi ekonomi yang lebih besar karena kekurangan atau malah
ketiadaan kemampuan berorganisasi. Salah satu sebabnya ialah karena
tiadanya kepemimpinan tradisional yang bisa mengambil alih pimpinan
dalam bidang ekonomi, dan ini disebabkan karena pedagang tidak
termasuk dalam struktur sosial masyarakat Jawa tradisional yang
hanya mengenal petani/priayi.
Sebab lainnya adalah karena sifat dasar pedagang bazar adalah
individualistis, dan mereka harus indivisualistis karena secara
sosial budaya pada mulanya mereka tidak didukung oleh masyarakatnya
(dalam bahasa Melayu kata ''dagang'' artinya orang asing atau
pengembara). Menurut Geertz perdagangan seperti ini akan maju kalau
kita bisa berpindah ke pola perdagangan kapitalis dengan model
firma, karena dalam firma hubungan patron-klien akan diganti oleh
hubungan fungsionaris antara manajer dan pegawai, jadi halangan
budaya bisa diterobos.
Kritik saya kepada Geertz ada dua (semua ini tidak ada dalam
paper saya di Yogya tetapi perlu saya kemukakan di sini sebagai
latar belakang pemikiran saya). Pertama, pandangan Geertz bersifat
esensialis, artinya ketidakmampuan berorganisasi seolah-olah
merupakan watak pedagang kita. Saya berusaha menunjukkan alasan yang
lebih historis dari kecenderungan ini. Yaitu bahwa selama yang
diperdagangkan di dalam bazar itu barang-barang yang tidak baku
(unstandardized commodity) maka tidak perlu dan barangkali tidak
mungkin tercipta wholesale trade, dan karena itu para pedagang hanya
bergerak dalam retail trade. Karena menjual barang dalam omset besar
hanya bisa diperhitungkan harganya kalau barang-barangnya baku dan
dibakukan. Jadi menurut saya, kecenderungan untuk kegiatan mengecer
adalah akibat saja dari jenis komoditi yang dijual, dan bukanlah
sesuatu yang harus dicari dalam watak kebudayaan.
Kedua, saya menolak anggapan (implisit) dari Geertz bahwa bazar
adalah suatu ekonomi prakapitalis. Di negara paling maju pun selalu
ada pasar loakan (flea market), pasar mobil bekas dan toko buku
antiquariat, yang polanya adalah pola perdagangan bazar. Berarti
barang-barang yang dijual tidak baku, harga sangat elastis dalam
sliding-price system, dan barang-barang dijual dalam jumlah kecil,
tetapi dalam banyak transaksi. Semua ini adalah ciri-ciri pokok
perdagangan bazar. Dengan demikian, mudah-mudahan Prof Mubyarto bisa
meninjau sekali lagi apakah saya begitu kagum kepada teori bazar
ala Geertz dan tidak menghargai ekonomi rakyat.
Berbicara tentang ekonomi rakyat, saya mendapat kesan bahwa
Prof Mubyarto mengira bahwa ekonomi bazar adalah sesuatu yang khas
ekonomi rakyat Indonesia. Maka dengan penuh semangat dia menulis:
"ekonomi bazar adalah ekonomi rakyat Indonesia yang efisien menurut
ukuran rakyat sendiri". Perlu saya kemukakan, bahwa ekonomi bazar
bukanlah sesuatu yang khas Indonesia, karena dia terdapat di mana
saja di seluruh dunia, dan bukan hanya suatu ekonomi prakapitalis,
tetapi juga hidup subur dalam ekonomi yang paling kapitalis sekali
pun.
Geertz sendiri selain meneliti ekonomi bazar di Jawa, membuat
penelitian tentang ekonomi bazar di Maroko (lih. Geertz (ed.),
Meaning and Order in Moroccan Society, 1979). Ada banyak sekali
kepustakaan tentang ekonomi bazar, yang semenjak tahun 1980-an
menjadi pokok penelitian sosiologi ekonomi dan antropologi ekonomi.
Karena kekurangan tempat dalam surat kabar ini, tidak mungkin saya
mencatat kepustakaan terpenting, tetapi beberapa nama berikut ini
bisa diperiksa dengan mudah di perpustakaan: Granovetter 1986,
Alexander 1986, Alexander & Alexander 1987, 1990, 1991, Mai &
Bucholt 1987, Evers 1991, Fanselow 1990.
Saya mengandaikan bahwa Prof Mubyarto kenal dengan kepustakaan
tersebut, hanya saya kemudian bingung melihat kesimpulannya bahwa
bazar adalah ekonomi rakyat Indonesia, suatu hal yang ditolak oleh
sebagian terbesar kepustakaan, karena bazar bukanlah suatu ekonomi
yang bersifat country-specific. Kalau kebetulan Prof Mubyarto belum
membaca kepustakaan tersebut, hal itu kiranya bukan tanggung jawab
saya.
Mengenai apakah trick-trick dagang menyangkut tingkah laku
pedagang bazar, saya hanya mengemukakan sebagai suatu kenyataan
tingkah laku ekonomi, dan tidak begitu peduli dengan pernilaian
moral apakah itu suatu penipuan atau tidak (apakah kalau seorang
pedagang modern menentukan profit margin yang terlalu besar, hal ini
bisa dinamakan penipuan? Hal ini sebaiknya kita serahkan saja kepada
para filosof/teolog moral. Apa yang dinamakan manipulasi kuantitas
dan manipulasi kualitas adalah bagian dari strategi tawar-menawar
secara dagang.
Ada demikian banyak strategi yang ditempuh di dalam suatu
bazar. Misalnya kalau harga yang ditawarkan penjual tidak bisa
diterima oleh calon pembeli, maka dia bisa menukarkan ikan yang
lebih kecil dengan yang lebih besar, dan kemudian memberi tambahan
extra sayur. Jadi persoalan adalah mendapatkan suatu jumlah uang
dengan berbagai macam strategi.
Studi yang bagus tentang strategi tawar-menawar ini dapat
dibaca dalam karangan pasangan Jennifer Alexander & Paul Alexander
dalam majalah Man, 1987, no. 22, Striking a Bargain in Javanese
Market. Tidak mungkin menguraikan semua strategi tawar-menawar di
sini. Usul saya, sekali-sekali berbelanjalah ke pasar dan bisa
dilihat apakah strategi ini masih berlaku atau tidak.
Ekonomi bazar dan ilmu sosial Indonesia
Saya harus mengakui dengan terus-terang bahwa bagian ini
merupakan bagian yang paling sulit saya ikuti dalam tanggapan Prof
Mubyarto. Tidak jelas bagi saya apakah dia setuju atau tidak setuju
dengan sinyalemen saya tentang intelektualisme bazar dalam komunitas
ilmuwan sosial kita dewasa ini. Di satu pihak dia menolak analogi
yang saya buat antara tingkah laku ilmuwan sosial kita dengan
tingkah laku pedagang eceran, tetapi di lain pihak dia juga
mengkonstatir kelemahan kerja-tim kelompok ilmuwan sosial.
Dengan kata lain, Prof Mubyarto mengatakan bahwa tidak ada
intelektualisme bazar, tetapi ada ciri-ciri pokok intelektualisme
bazar dalam komunitas ilmuwan sosial kita seperti halnya
ketidakmampuan membina kerja-tim, atau tidak saling-menyapa di
antara mereka, semua hal yang saya kemukakan dalam orasi saya
sebagai ciri intelektualisme bazar. Mungkin Prof Mubyarto
menginginkan bahwa ciri-ciri bazar tersebut harus disebut dengan
nama lain, dan saya sama sekali tidak berkeberatan, tetapi kita lalu
jatuh hanya kepada permainan nomenklatur atau eufemisme bahasa, yang
menghindari soal dan tidak menyelesaikannya.
Mengenai sebab musabab kurangnya interaksi antar-ilmuwan dan
lemahnya kerja-tim, Prof Mubyarto mengemukakan lemahnya pendekatan
transdisiplin sebagai sebab utamanya. Ini barangkali suatu hal yang
penting, tetapi pada hemat saya, sebelum menuju ke transdisiplin,
setiap kita harus menegakkan disiplin keilmuannya secara profesional
terlebih dahulu. Dan disiplin ini dapat dibangun, kalau ada suatu
komunitas akademik yang mendukungnya. Ini berarti perlu diusahakan
agar kegiatan yang satu ada hubungan dengan kegiatan lain, sehingga,
untuk memakai analogi ekonomi, terjadi akumulasi modal dalam
pengetahuan ilmu sosial.
Saya tahu usaha yang terorganisir seperti ini memang pernah ada
dan pernah berjalan dengan baik. Pada tahun 1970-an Yayasan Ilmu
Sosial yang dipimpin oleh Prof Selo Soemardjan, dan didukung oleh
sebagian besar ilmuwan sosial senior di Jakarta dan Bogor, mempunyai
tiga program, yaitu pengiriman calon-calon untuk studi program MA
atau PhD di luar negeri, pengelolaan tiga pusat latihan penelitian
(Aceh, Jakarta, Ujungpandang), dan penerbitan buku-buku ilmu sosial.
Ketiga program itu berhubungan satu sama lain secara
organisatoris dan organis. Dengan pelatihan pada tiga pusat latihan
tersebut dapat dipilih calon terbaik untuk program studi ke luar
negeri. Sebaliknya pusat latihan juga menghasilkan hasil penelitian
yang bisa dikembangkan lebih lanjut sebagai bahan untuk tesis,
sementara tesis-tesis tersebut kemudian bisa diterbitkan dalam
program penerbitan. Dengan kata lain, program yang satu bukan hanya
berhubungan, tetapi juga mendukung program lainnya. Menurut saya hal
ini terlalu sedikit dilakukan.
Di samping itu saya menyadari bahwa hal ini tidak seluruhnya
tidak bisa dipersalahkan begitu saja kepada ilmuwan sosial kita,
karena pengaruh situasi obyektif jelas besar pengaruhnya. Misalnya
apresiasi terhadap penelitian sebagai penelitian dari kalangan
pemilik modal masih terlalu sedikit. Penelitian yang dibiayai
terbanyak penelitian untuk kepentingan intern sebagai service unit
dan hasilnya pun tidak dipublikasikan. Pengaruh kebudayaan ada juga,
misalnya bahwa berdebat satu sama lain mungkin kurang patut dan
lebih baik mendiamkan saja hal yang harus kita diskusikan.
Namun demikian, pengertian dan penghayatan kita tentang
disiplin ilmu sosial rupanya mengalami kerancuan. Secara
metodologis, perbedaan sebuah disiplin dari disiplin lainnya,
didasarkan kepada obyek formalnya (yaitu perspektifnya) dan bukan
pada obyek materilnya (yaitu bidang penelitian). Agama misalnya
bisa diselidiki oleh seorang teolog, seorang sosiolog, seorang
antropolog, bahkan oleh seorang ahli ilmu politik, hanya perspektif
dan apa yang menjadi masalah teoretisnya berbeda.
Salah satu hal yang merugikan perkembangan ilmu sosial ialah
bahwa pembagian disiplin seakan-akan dilihat berdasarkan obyeknya
secara materil dan bukan secara formal. Jadi ekonom meneliti pasar,
sosiolog meneliti kota, antropolog meneliti desa dan ahli politik
meneliti partai politik. Ini adalah kompartimentalisasi yang
merugikan, karena ilmu dilihat sebagai bidang dan bukan sebagai
teori dan metode. Jadi tentu saja transdisiplin yang diusulkan oleh
Prof Mubyarto akan selalu mendapat halangan. Karena, transdisiplin
tidak pertama-tama berarti kerja sama antar-orang, tetapi kerja sama
antarmetode.
Saya juga menyadari bahwa beberapa ilmuwan sosial kita sebagai
perorangan menghasilkan karya-karya bermutu tinggi. Tetapi ini lebih
merupakan hasil ketabahan dan ketekunan perorangan dan bukannya
prestasi yang didukung oleh suatu komunitas ilmuwan yang produktif.
Kita pada dasarnya bukanlah para jenius, karena itu dukungan dari
komunitas seperti ini merupakan syarat mutlak.
Sebagai kata akhir, saya ingin memberikan apresiasi yang tinggi
kepada Prof Mubyarto yang menyempatkan dirinya membuat tanggapan
untuk orasi ilmiah saya, dan untuk imbauannya agar para ilmuwan
sosial bersedia berdebat secara serius. Dalam pengertian saya,
perdebatan yang serius adalah perdebatan yang mengemukakan argumen
yang jelas disertai bukti yang bisa dipegang untuk memperjelas duduk
perkara suatu soal, dan bukanlah hanya kesibukan memuji atau
meremehkan rekan-rekan secara pribadi, karena yang terakhir ini
dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa lebih dahulu harus bersusah-
payah menjadi ilmuwan sosial.
* Ignes Kleden, bekerja pada Yayasan SPES di Jakarta.
No comments:
Post a Comment