Saturday, March 28, 2009

INTELEKTUALISME BAZAR (2 HABIS)

DISKUSI INTELEKTUALISME BAZAR (2 HABIS)<br /> Oleh Ignas Kleden<br /><br /> BERDASARKAN pandangan seperti itu, apakah artinya suatu teori <br />baru? Apakah teori involusi pertanian adalah suatu teori baru?<br />Tidak seluruhnya. Karena Geertz meminjam seluruh bangunan logis<br />teori involusi Goldenweiser tentang kesenian dan estetika dan <br />menerapkannya untuk pertanian. Jadi hanya luasan empiris yang <br />diperbesar.<br /> Di tempat lain, Geertz mencari jalan baru dengan mengubah <br />bangunan logis. Misalnya, teori kelas yang menekankan integrasi <br />horisontal (buruh dengan buruh, petani dengan petani dan <br />seterusnya), diubah menjadi teori aliran dengan integrasi vertikal <br />(jadi petani, buruh, pegawai abangan di satu pihak, dan petani, <br />buruh, pedagang santri di pihak lainnya). Atau teori Geertz tentang <br />lingkup dan intensitas agama, (menurut saya) hanyalah variasi lain <br />dari teori Weber tentang agama etis dan agama magis.<br /> Demikian juga teori tentang perkotaan, yang dalam sosiologi <br />Barat amat menekankan municipal unit secara vertikal dalam kota yang <br />sama, diganti dengan kesatuan interlokal antarkota secara horisontal <br />berdasarkan keanggotaan seseorang dalam aliran. Jadi pegawai di <br />Jakarta lebih dekat hubungan dengan pegawai di Surabaya, dan <br />bukannya pegawai di Jakarta dengan pedagang di Jakarta. Dengan <br />demikian apa sebetulnya yang baru di sana?<br /> Kembali ke teori ekonomi bazar, Geertz menunjukkan bahwa <br />pedagang-pedagang kita di tahun 50-an tidak bisa menciptakan <br />institusi ekonomi yang lebih besar karena kekurangan atau malah <br />ketiadaan kemampuan berorganisasi. Salah satu sebabnya ialah karena <br />tiadanya kepemimpinan tradisional yang bisa mengambil alih pimpinan <br />dalam bidang ekonomi, dan ini disebabkan karena pedagang tidak <br />termasuk dalam struktur sosial masyarakat Jawa tradisional yang <br />hanya mengenal petani/priayi.<br /> Sebab lainnya adalah karena sifat dasar pedagang bazar adalah <br />individualistis, dan mereka harus indivisualistis karena secara <br />sosial budaya pada mulanya mereka tidak didukung oleh masyarakatnya <br />(dalam bahasa Melayu kata ''dagang'' artinya orang asing atau <br />pengembara). Menurut Geertz perdagangan seperti ini akan maju kalau <br />kita bisa berpindah ke pola perdagangan kapitalis dengan model <br />firma, karena dalam firma hubungan patron-klien akan diganti oleh <br />hubungan fungsionaris antara manajer dan pegawai, jadi halangan <br />budaya bisa diterobos.<br /> Kritik saya kepada Geertz ada dua (semua ini tidak ada dalam <br />paper saya di Yogya tetapi perlu saya kemukakan di sini sebagai <br />latar belakang pemikiran saya). Pertama, pandangan Geertz bersifat <br />esensialis, artinya ketidakmampuan berorganisasi seolah-olah <br />merupakan watak pedagang kita. Saya berusaha menunjukkan alasan yang <br />lebih historis dari kecenderungan ini. Yaitu bahwa selama yang <br />diperdagangkan di dalam bazar itu barang-barang yang tidak baku <br />(unstandardized commodity) maka tidak perlu dan barangkali tidak <br />mungkin tercipta wholesale trade, dan karena itu para pedagang hanya <br />bergerak dalam retail trade. Karena menjual barang dalam omset besar <br />hanya bisa diperhitungkan harganya kalau barang-barangnya baku dan <br />dibakukan. Jadi menurut saya, kecenderungan untuk kegiatan mengecer <br />adalah akibat saja dari jenis komoditi yang dijual, dan bukanlah <br />sesuatu yang harus dicari dalam watak kebudayaan.<br /> Kedua, saya menolak anggapan (implisit) dari Geertz bahwa bazar <br />adalah suatu ekonomi prakapitalis. Di negara paling maju pun selalu <br />ada pasar loakan (flea market), pasar mobil bekas dan toko buku <br />antiquariat, yang polanya adalah pola perdagangan bazar. Berarti <br />barang-barang yang dijual tidak baku, harga sangat elastis dalam <br />sliding-price system, dan barang-barang dijual dalam jumlah kecil, <br />tetapi dalam banyak transaksi. Semua ini adalah ciri-ciri pokok <br />perdagangan bazar. Dengan demikian, mudah-mudahan Prof Mubyarto bisa <br />meninjau sekali lagi apakah saya begitu kagum kepada teori bazar<br />ala Geertz dan tidak menghargai ekonomi rakyat.<br /> Berbicara tentang ekonomi rakyat, saya mendapat kesan bahwa <br />Prof Mubyarto mengira bahwa ekonomi bazar adalah sesuatu yang khas <br />ekonomi rakyat Indonesia. Maka dengan penuh semangat dia menulis: <br />"ekonomi bazar adalah ekonomi rakyat Indonesia yang efisien menurut <br />ukuran rakyat sendiri". Perlu saya kemukakan, bahwa ekonomi bazar <br />bukanlah sesuatu yang khas Indonesia, karena dia terdapat di mana <br />saja di seluruh dunia, dan bukan hanya suatu ekonomi prakapitalis, <br />tetapi juga hidup subur dalam ekonomi yang paling kapitalis sekali <br />pun.<br /> Geertz sendiri selain meneliti ekonomi bazar di Jawa, membuat <br />penelitian tentang ekonomi bazar di Maroko (lih. Geertz (ed.), <br />Meaning and Order in Moroccan Society, 1979). Ada banyak sekali <br />kepustakaan tentang ekonomi bazar, yang semenjak tahun 1980-an <br />menjadi pokok penelitian sosiologi ekonomi dan antropologi ekonomi. <br />Karena kekurangan tempat dalam surat kabar ini, tidak mungkin saya <br />mencatat kepustakaan terpenting, tetapi beberapa nama berikut ini <br />bisa diperiksa dengan mudah di perpustakaan: Granovetter 1986, <br />Alexander 1986, Alexander &amp;amp; Alexander 1987, 1990, 1991, Mai &amp;amp; <br />Bucholt 1987, Evers 1991, Fanselow 1990.<br /> Saya mengandaikan bahwa Prof Mubyarto kenal dengan kepustakaan <br />tersebut, hanya saya kemudian bingung melihat kesimpulannya bahwa <br />bazar adalah ekonomi rakyat Indonesia, suatu hal yang ditolak oleh <br />sebagian terbesar kepustakaan, karena bazar bukanlah suatu ekonomi <br />yang bersifat country-specific. Kalau kebetulan Prof Mubyarto belum <br />membaca kepustakaan tersebut, hal itu kiranya bukan tanggung jawab <br />saya.<br /> Mengenai apakah trick-trick dagang menyangkut tingkah laku <br />pedagang bazar, saya hanya mengemukakan sebagai suatu kenyataan <br />tingkah laku ekonomi, dan tidak begitu peduli dengan pernilaian <br />moral apakah itu suatu penipuan atau tidak (apakah kalau seorang <br />pedagang modern menentukan profit margin yang terlalu besar, hal ini <br />bisa dinamakan penipuan? Hal ini sebaiknya kita serahkan saja kepada <br />para filosof/teolog moral. Apa yang dinamakan manipulasi kuantitas <br />dan manipulasi kualitas adalah bagian dari strategi tawar-menawar <br />secara dagang.<br /> Ada demikian banyak strategi yang ditempuh di dalam suatu <br />bazar. Misalnya kalau harga yang ditawarkan penjual tidak bisa <br />diterima oleh calon pembeli, maka dia bisa menukarkan ikan yang <br />lebih kecil dengan yang lebih besar, dan kemudian memberi tambahan <br />extra sayur. Jadi persoalan adalah mendapatkan suatu jumlah uang <br />dengan berbagai macam strategi.<br /> Studi yang bagus tentang strategi tawar-menawar ini dapat <br />dibaca dalam karangan pasangan Jennifer Alexander &amp;amp; Paul Alexander <br />dalam majalah Man, 1987, no. 22, Striking a Bargain in Javanese <br />Market. Tidak mungkin menguraikan semua strategi tawar-menawar di <br />sini. Usul saya, sekali-sekali berbelanjalah ke pasar dan bisa <br />dilihat apakah strategi ini masih berlaku atau tidak.<br /> <br />Ekonomi bazar dan ilmu sosial Indonesia<br /> Saya harus mengakui dengan terus-terang bahwa bagian ini <br />merupakan bagian yang paling sulit saya ikuti dalam tanggapan Prof <br />Mubyarto. Tidak jelas bagi saya apakah dia setuju atau tidak setuju <br />dengan sinyalemen saya tentang intelektualisme bazar dalam komunitas <br />ilmuwan sosial kita dewasa ini. Di satu pihak dia menolak analogi <br />yang saya buat antara tingkah laku ilmuwan sosial kita dengan <br />tingkah laku pedagang eceran, tetapi di lain pihak dia juga <br />mengkonstatir kelemahan kerja-tim kelompok ilmuwan sosial.<br /> Dengan kata lain, Prof Mubyarto mengatakan bahwa tidak ada <br />intelektualisme bazar, tetapi ada ciri-ciri pokok intelektualisme <br />bazar dalam komunitas ilmuwan sosial kita seperti halnya <br />ketidakmampuan membina kerja-tim, atau tidak saling-menyapa di <br />antara mereka, semua hal yang saya kemukakan dalam orasi saya <br />sebagai ciri intelektualisme bazar. Mungkin Prof Mubyarto <br />menginginkan bahwa ciri-ciri bazar tersebut harus disebut dengan <br />nama lain, dan saya sama sekali tidak berkeberatan, tetapi kita lalu <br />jatuh hanya kepada permainan nomenklatur atau eufemisme bahasa, yang <br />menghindari soal dan tidak menyelesaikannya.<br /> Mengenai sebab musabab kurangnya interaksi antar-ilmuwan dan <br />lemahnya kerja-tim, Prof Mubyarto mengemukakan lemahnya pendekatan <br />transdisiplin sebagai sebab utamanya. Ini barangkali suatu hal yang <br />penting, tetapi pada hemat saya, sebelum menuju ke transdisiplin, <br />setiap kita harus menegakkan disiplin keilmuannya secara profesional <br />terlebih dahulu. Dan disiplin ini dapat dibangun, kalau ada suatu <br />komunitas akademik yang mendukungnya. Ini berarti perlu diusahakan <br />agar kegiatan yang satu ada hubungan dengan kegiatan lain, sehingga, <br />untuk memakai analogi ekonomi, terjadi akumulasi modal dalam <br />pengetahuan ilmu sosial.<br /> Saya tahu usaha yang terorganisir seperti ini memang pernah ada <br />dan pernah berjalan dengan baik. Pada tahun 1970-an Yayasan Ilmu <br />Sosial yang dipimpin oleh Prof Selo Soemardjan, dan didukung oleh <br />sebagian besar ilmuwan sosial senior di Jakarta dan Bogor, mempunyai <br />tiga program, yaitu pengiriman calon-calon untuk studi program MA <br />atau PhD di luar negeri, pengelolaan tiga pusat latihan penelitian <br />(Aceh, Jakarta, Ujungpandang), dan penerbitan buku-buku ilmu sosial.<br /> Ketiga program itu berhubungan satu sama lain secara <br />organisatoris dan organis. Dengan pelatihan pada tiga pusat latihan <br />tersebut dapat dipilih calon terbaik untuk program studi ke luar <br />negeri. Sebaliknya pusat latihan juga menghasilkan hasil penelitian <br />yang bisa dikembangkan lebih lanjut sebagai bahan untuk tesis, <br />sementara tesis-tesis tersebut kemudian bisa diterbitkan dalam <br />program penerbitan. Dengan kata lain, program yang satu bukan hanya <br />berhubungan, tetapi juga mendukung program lainnya. Menurut saya hal <br />ini terlalu sedikit dilakukan.<br /> Di samping itu saya menyadari bahwa hal ini tidak seluruhnya <br />tidak bisa dipersalahkan begitu saja kepada ilmuwan sosial kita, <br />karena pengaruh situasi obyektif jelas besar pengaruhnya. Misalnya <br />apresiasi terhadap penelitian sebagai penelitian dari kalangan <br />pemilik modal masih terlalu sedikit. Penelitian yang dibiayai <br />terbanyak penelitian untuk kepentingan intern sebagai service unit <br />dan hasilnya pun tidak dipublikasikan. Pengaruh kebudayaan ada juga, <br />misalnya bahwa berdebat satu sama lain mungkin kurang patut dan <br />lebih baik mendiamkan saja hal yang harus kita diskusikan.<br /> Namun demikian, pengertian dan penghayatan kita tentang <br />disiplin ilmu sosial rupanya mengalami kerancuan. Secara <br />metodologis, perbedaan sebuah disiplin dari disiplin lainnya, <br />didasarkan kepada obyek formalnya (yaitu perspektifnya) dan bukan <br />pada obyek materilnya (yaitu bidang penelitian). Agama misalnya<br />bisa diselidiki oleh seorang teolog, seorang sosiolog, seorang <br />antropolog, bahkan oleh seorang ahli ilmu politik, hanya perspektif <br />dan apa yang menjadi masalah teoretisnya berbeda.<br /> Salah satu hal yang merugikan perkembangan ilmu sosial ialah <br />bahwa pembagian disiplin seakan-akan dilihat berdasarkan obyeknya <br />secara materil dan bukan secara formal. Jadi ekonom meneliti pasar, <br />sosiolog meneliti kota, antropolog meneliti desa dan ahli politik <br />meneliti partai politik. Ini adalah kompartimentalisasi yang <br />merugikan, karena ilmu dilihat sebagai bidang dan bukan sebagai <br />teori dan metode. Jadi tentu saja transdisiplin yang diusulkan oleh <br />Prof Mubyarto akan selalu mendapat halangan. Karena, transdisiplin <br />tidak pertama-tama berarti kerja sama antar-orang, tetapi kerja sama <br />antarmetode.<br /> Saya juga menyadari bahwa beberapa ilmuwan sosial kita sebagai <br />perorangan menghasilkan karya-karya bermutu tinggi. Tetapi ini lebih <br />merupakan hasil ketabahan dan ketekunan perorangan dan bukannya <br />prestasi yang didukung oleh suatu komunitas ilmuwan yang produktif. <br />Kita pada dasarnya bukanlah para jenius, karena itu dukungan dari <br />komunitas seperti ini merupakan syarat mutlak.<br /> Sebagai kata akhir, saya ingin memberikan apresiasi yang tinggi <br />kepada Prof Mubyarto yang menyempatkan dirinya membuat tanggapan <br />untuk orasi ilmiah saya, dan untuk imbauannya agar para ilmuwan <br />sosial bersedia berdebat secara serius. Dalam pengertian saya, <br />perdebatan yang serius adalah perdebatan yang mengemukakan argumen <br />yang jelas disertai bukti yang bisa dipegang untuk memperjelas duduk <br />perkara suatu soal, dan bukanlah hanya kesibukan memuji atau <br />meremehkan rekan-rekan secara pribadi, karena yang terakhir ini <br />dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa lebih dahulu harus bersusah-<br />payah menjadi ilmuwan sosial.<br />* Ignes Kleden, bekerja pada Yayasan SPES di Jakarta.<br /> <br /> <br /> &#26;

No comments: