Wednesday, April 1, 2009

Membangun Nalar

Membangun Nalar yang Tak Retak

Adi Armin

Di manakah kenistaan peruntungan/ Jiwa yang damba jadi pemenang/ Ketulusan hati adalah keabadian/ Kejujuran insan yang tidak lazim/ Awalnya adalah keyakinan/ Inspirasi gairah/ Dewi jualah yang menjulurkan lambaian.

KUTIPAN puisi du Bellay ini sarat dengan renungan kuat pemikiran platonisme. Muatan itu bukan saja karena du Bellay mengusung panji-panji kaum neoplatonian dalam kelompok tujuh bintang (La Pleiade), kelompok yang merangkum tujuh sastrawan besar di zaman Raja Henri II (1519-1559), dan yang lainnya adalah Ronsard, Remy Belleau, Jodelle, Baif, Pontus, Peletier du Mans, namun lebih-lebih sedimen poetik du Bellay sendiri bersumber dari pengalaman batin dan nalar asli yang berorientasi sublim dan suci. Proses kreatifnya bersentuhan dengan metafisika yang justru disangsikan sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, khususnya pada zaman surplusisme dewasa ini. La Pleiade, pengujung Abad Pertengahan, sengaja mengaktualkan kembali konstelasi sastra Yunani klasik yang berfokus pada tujuh sastrawan terkemuka masa Ptoleme Philadelphe, di antaranya Lycophrone, Homere dan Dionysiades sebagai bukti penegasan semangat renaissance yang mereka miliki, yaitu kembalinya kejayaan pemikiran Yunani dan keunggulan teknik konstruksi bangsa Romawi.

SEBAGAIMANA diketahui, Plato telah mengembangkan pemikiran umum yang membedakan pengetahuan opini yang mengandalkan penampilan realitas (doxa) dengan pengetahuan yang mengandalkan kebajikan moral, kedalaman dan keabadian (epistème). Pada perkembangannya, pemisahan kedua pengetahuan tersebut memberikan indikasi kuat bahwa penelitian rasional yang merupakan kelanjutan penelitian penampilan realitas (doxa) telah memihak pada "perangkat keras" atau kekakuan obyek formal pengetahuan yang kemudian memiliki akses bergelombang pada politik dan kekuasaan, sementara pengetahuan yang mengandalkan kebajikan moral, kedalaman dan keabadian tidak demikian.

Syair bening Las! Ou est maintenant yang mengabadikan ruang-ruang kedalaman dan keabadian sejajar dengan tawaran mistisisme puisi Corespondeences dari Charles Baudelaire, yang walaupun berada jauh di luar pengaruh Yunani klasik, berhasil mengoleksi metafora dan simbol-simbol memukau lewat kesatupaduan indera sebagai modalitas penalaran. Kita simak: Alam laksana kuil dengan tiang-tiang hidup/ Melepaskan suara galau/ Manusia lewat di sana melalui hutan simbol/ Menyapa dengan pandangan hangat/ Laksana gema di kejauhan yang bersahutan/ Luas bagai kelam dan cahaya/ Wewangian laksana harum bayi/

Pengaktifan total modalitas pengamatan secara simultan yang disajikan Baudelaire dapat dimaknai suatu kemungkinan pengaktifan seluruh fakultas penalaran manusia dalam menyapa realitas fenomenal yang memiliki harmoni satu sama lain. Manusia sebagai makhluk hidup yang secara "tragis" terlempar ke bumi dibekali perangkat sidik untuk memudahkan dirinya beradaptasi dengan beragam rupa tantangan natural. Bahkan, bukan hanya mampu beradaptasi, dengan kemampuan indera rohani dan jasmani, manusia sering kali memenangkan pertarungan itu berkat sukses kultural yang semakin sophisticated, yang dimilikinya, jauh melibas hadangan alam. Mercusuar pencakar langit tahan gempa didirikan, samudera ditembus, angkasa luar diacak, jarak dibonsai, waktu dikonstruksi.

Namun, penalaran jasmani tidak selalu menang dalam observasi realitas. Semakin maksimal penalaran jasmani bekerja, disadari semakin ada bagian realitas yang mengelak, dan menyingkir dari observasi. Selalu ada bagian realitas yang tidak habis diverifikasi. Semakin horizon didekati, semakin mundur menyingkir horizon tersebut. Alih-alih realitas, bahkan Aku-nya manusia yang menalar pun ikut-ikutan mengelak dan tergelincir keluar dari penalaran, seru JWM Verhaar. Lihat bagaimana sibuknya fenomenologi Husserl mencari syarat-syarat transendental bagi ego dalam kerangka transendental intersubyektif. Atau, usaha Merleau-Ponty untuk menyenangkan dirinya sendiri bahwa tubuh cukup utuh pada dirinya untuk mengarah pada Dunia Hidup (lebenswelt), sehingga transendensi tidak perlu dilakukan, padahal saat mendefinisikan manusia, Ponty terjebak dalam istilahnya sendiri, yaitu manusia adalah le corps dan le sujet di mana salah satunya pasti mengelak. Bahkan, Aku-nya Wittgenstein, satu-satunya struktur yang tidak masuk dalam struktur logis. Aku-nya manusia menjadi batas dunia, suatu tindakan mengelak yang gamblang. Puncak pernyataan penalaran yang mengelak dapat ditemukan dalam rumusan pertanyaan gaya Ryle, yang bertanya: bagaimana aku mengetahui bahwa aku mengetahui sesuatu, bagaimana aku menyadari bahwa aku menyadari sesuatu. Sebuah tindakan penalaran yang mengelak yang tidak habis-habisnya.

Dari dadaran realitas dan penalaran yang memiliki kelaziman mengelak ini, masih sanggupkah dinyatakan bahwa realitas dan penalaran sepenuhnya hak manusia dan tidak ada pihak lain lebih berhak. Tidakkah ingin dikatakan bahwa realitas dan Aku menalar yang selalu mengelak tersebut terjadi karena keduanya semu belaka, sehingga harus terus-menerus dipelajari dan dikupas kemasan yang melingkupinya, sementara yang sungguh-sungguh nyata dan tidak akan pernah mengelak ada di alam nomena yang gaib. Penalaran ruang luar berwujud dalam pikiran yang beroperasi secara lahir, sedangkan penalaran ruang dalam berwujud akal budi yang bersifat batin. Keduanya sebagai "sarana" hidup manusia mustahil bertentangan, apalagi saling menegasi. Ini sesuai dengan pengertian nalar, yaitu berupa pertimbangan baik-buruk secara akal budi atau aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir, suatu jangkauan pikir atau kekuatan pikir.

Dari pengertian tersebut, kita tentu menyangkal pernyataan bahwa makna nalar atau penalaran hanya terbatas pada proses berpikir yang bertitik tolak dari pengamatan indera yang mengandalkan observasi pengalaman. Tentu akan dibantah pihak-pihak yang mempropagandakan hasil penalaran hanya berkisar proses penyimpulan yang dibangun dari proposisi anteseden dan premis sesuai teks-teks logika. Sama halnya keberatan akan diajukan pada anggapan penalaran hanya terdiri dari induksi, deduksi, abduksi, sebagai hal niscaya secara kategoris.

Nalar lincah dan supel dalam Menolak Nalar Murni, Mencegah Hidup Tanpa Nalar oleh Bagus Takwin ("Bentara", Kompas, 4/7/2003) ataupun nalar yang memuisi dalam Tanah Tak Berjejak Para Penyair, Donny Gahral Adian ("Bentara", Kompas, 2/5/2003), saya kira hanya persoalan operasional teknis penalaran dan bukan hakikat penalaran, sama halnya penekanan dan pertentangan yang timbul dalam berbagai isme. Penalaran yang memuisi adalah manifestasi penyiasatan terhadap realitas yang mengelak tadi. Tidakkah Nietzsche menyatakan bahwa realitas yang tersisa pastilah "puisi".

Penalaran utuh tidak menghasilkan benturan, sebab proses penalaran adalah proses menyeluruh kesadaran manusia yang melibatkan pikir dan akal budi. Polarisasi pemikiran dalam tataran praksis terjadi karena realitas dilihat secara fragmentatif, dari sisi subyek, obyek atau dari sisi keduanya secara berbalasan. Kekhawatiran Bagus Takwin bahwa nalar asli tidak sanggup mengatasi pluralisme dan heterogenitas persoalan adalah kekhawatiran berlebihan. Dalam operasionalisi, nalar asli dapat saja menumpang pada berbagai isme yang ada, tetapi tidak menumpang untuk selamanya, dalam arti, sadar diri dan kritis pada dasar mana ia berpijak, dan saat mana ia harus berpindah demi keselarasan dan keseimbangan. Nalar lincah dan supel yang dibarengi ketundukan dan kepatuhan. Ungkapan penolakan terhadap nalar asli justru mengingkari sifat-sifat lincah, supel, patuh dan tunduk dari nalar sendiri, sebab ia terjerumus dalam lubang yang digalinya sendiri, tidak toleran, sok kuasa yang justru dibenci mazhab-mazhab pemikiran operasional sekarang, semacam neopragmatisme hermeunetik, dan dekonstruksi.

Pemujaan Husain terhadap nalar asli seperti Parmenides, Zeno, Pythagoras, Plato seperti dituduhkan bukan hal yang disesalkan, sebab Husain tentu saja memiliki pengalaman tersendiri sebelum menjatuhkan pilihan. Sesuatu yang dialami (kata dialami, harus digarisbawahi) akan memberikan kesadaran sekaligus pengetahuan untuk kemudian memilih mana yang sesuai. Toh, pemikiran-pemikiran itu sebetulnya terletak di masa depan. Secara ontologis masa depan adalah masa-masa yang telah manusia lalui, yaitu saat usia alam semesta baru terbentuk, sehingga manusia yang hidup sezaman dengan kebaruan alam semesta itulah yang baru. Manusia yang hidup di milenium ketiga berada pada alam semesta yang sudah uzur dan habis tereksploitasi, karenanya tidak dapat disebutkan dunia masa depan. Masa depan telah direngkuh habis kaum yang hidup sebelum kita, sedangkan masa belakang adalah masa anak cucu kita hidup kelak. Dalam penjelasan inilah, konsepsi ikut, pengikut dan penerus terhadap orang-orang suci, misalnya kepada Sidharta Gautama, Gandi, Confusius dapat diterima. Kebaruan yang ditemukan dan akan ditemukan tidak lain adalah kebaruan semu semata yang akan dikalahkan oleh penemuan setelahnya. Pandangan dimensi waktu demikian dianut ilmuwan dan filsuf besar, semacam JJ Roussseau.

Kita tidak perlu kecil hati dengan cap mitis yang dikenakan Bagus Takwin pada pemikiran demikian, karena pemikiran mitis di mana manusia dalam keadaan terlingkup dan tidak sanggup keluar mengambil jarak pengamatan berlangsung sepanjang masa. Bayangkan seberapa kuat manusia sanggup mengambil jarak terhadap informasi di era mediamorfosis (Kompas, 28/5/2003) Di tengah banjir deras informasi, kita kelabakan menyeleksi yang baik dan yang tidak baik, sebab keterbatasan waktu dan ketidaksabaran melolahnya, sehingga, situasi mitis secara sadar atau tidak ternyata bagian dari kita.

Keutuhan nalar, mungkinkah?

Operasi nalar yang tidak terpecah, di samping pemikiran para "Nabi" di atas, sebetulnya dapat ditemukan dalam alur pemikiran Descartes, bapak Rasionalisme, khususnya yang termuat dalam karya berjudul Meditations. Karya ini dapat disebut masterpiece dan menduduki tempat terhormat dibanding karya-karyanya yang lain.

Meditations pertama kali ditulis dalam bahasa Latin, tahun 1641, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Le duc de Luynes beberapa waktu kemudian. Menurut Descartes, tujuan pembuatan karya ini adalah ikhtiar pencarian kebenaran abadi sama seperti pustaka-pustaka lain dari Descartes, semisal Les Principes. Namun, pengembaraan penelusuran misteri kebenaran dalam Meditations diteruskan pada level lebih tinggi, yaitu tataran metafisika yang menyuguhkan kedalaman. Dalam upaya penyusunan kerangka dan isi Meditations, Descartes bertutur: "Dalam filsafat, seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang lebih berguna lagi, kecuali mencari satu kali, dengan tekun, terus-menerus, hal yang terbaik, tersolid, yang akan mengantarnya pada Aturan Jelas dan Tepat, yang akan melingkupi segenap manusia dalam hubungannnya dengan alam semesta."

Semangat Descartes terbukti dalam kaitan dengan proses kreatif Meditations. Pada sebuah diskusi seru, tepatnya November 1627, Descartes pernah berjanji kepada Cardinal Berulle, yang menantangnya melakukan reformasi filsafat. Baru empat belas tahun kemudian tantangan itu terjawab dengan munculnya Meditations. Kita telusuri sejenak sketsa penalaran Descartes dalam Meditations untuk sampai pada skema fisik dan metafisik penalaran Cartesien yang seutuhnya.

Dari ragu menuju keraguan. Seharusnya ditegaskan bahwa keraguan Descartes bukan keraguan yang dapat diasimilasi dengan keraguan skeptis dan pesimis, melainkan usaha metodis pencarian kepastian, termasuk hal tetap dan ajeg dalam ilmu pengetahuan. Jenis ragu pertama adalah keraguan terhadap gagasan-gagasan, keyakinan yang diterima dogmatis, serta prasangka-prasangka penuh kontradiksi dan paradoks. Terhadap ini, Descartes memperlawankannya dengan keraguan metodis. Oposisi yang sama berlaku juga terhadap pernyataan yang didukung argumen kabur, ilusif dan penuh khayalan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan keragu-raguan. Lebih dari itu, setumpuk argumen yang bersumber dari bakat genetik dan inteligensia cerdas yang dapat menyungkup kebenaran-kebenaran matematik dianggap dapat memancing keraguan, yang di dalam Meditation diistilahkan sebagai keraguan hiperbolik.

Keraguan adalah tindakan penalaran (cogito). Descartes berkeyakinan bahwa pikiran lebih mudah diketahui ketimbang kompleksitas kerja aspek fisiologis tubuh manusia. Pikiran lebih mudah dikenal ketimbang benda material serta jiwa psikis. Sementara pikiran dan penalaran hanya dapat berfungsi secara maksimal dengan hadirnya keraguan. Keraguan adalah suatu kepastian penalaran. Tindakan menalar secara utuh adalah keadaan yang menunjukkan kehadiran pikiran dan nonpikiran, seperti halnya tindakan yang memakai sarana-sarana fisik. Menalar adalah situasi yang berkaitan dengan momen waktu.

Keberadaan Tuhan merupakan bukti ontologis format Cartesian. Bagian ini sangat menarik dan mengandung perdebatan karena menyangkut studi logis yang dapat diterima rasio soal pandangan yang dapat dipercaya untuk menjawab pertanyaan: dalam hal dan sumber apa ide berhubungan dengan realitas? Sejak Abad Pertengahan sampai sekarang persoalan ini merupakan lahan sangat subur yang menuai kritik dalam perjalanan sejarah filsafat, karena setelahnya menandakan patahan lebar terhadap periodisasi pemikiran, misalnya Kant dengan model empat kategori imperatifnya memaklumatkan metafisika tidak secuil pun memberi ide dalam pengetahuan realitas. Untuk menyiasati masalah, Descartes menukar substansi realitas material dengan keberadaan "suatu keluasan" yang bertumpu pada sumbu gerak kesempurnaan yang bertingkat secara hierarkis. Maka, saat pertimbangan mengenai realitas dilakukan harus diartikan sebagai pertimbangan langsung terhadap nilai yang bersifat mobil secara gradual. Pernyataan "saya berpikir" tidak dapat diartikan sebagai berpikir obyek lazim, tetapi pertama-tama harus ditujukan untuk memastikan isi (content). Isi yang tidak terperangkap pada keraguan dan hanya berhubungan dengan dirinya sendiri yang berakhir pada puncak yang disebut "idée innée", (ide bawaan yang tidak didahului pengalaman), yaitu, kecuali berupa ide sempurna yang dapat ada. Dari sini Descartes memastikan kehadiran kesempurnaan yang lain, yaitu bukti ontologis kehadiran Tuhan sebagai esensi dalam eksistensinya, di mana dengan hasil perenungan, nalar asli atau ide bawaan seirama dengan denyut alam semesta.

Cogito, Ergo Sum adalah proses penalaran tanpa obyek normal (intransitif). Pola berpikir demikian berbeda dengan pola berpikir sementara kalangan dalam model-model ilmu pengetahuan. Model berpikir ilmu pengetahuan selalu memiliki obyek, bersifat transitif, dan tidak mencakup realitas yang mengelak. Nalar Descartes adalah nalar di mana subyek sekaligus menjadi obyek. Prinsip-prinsip induksi dan deduksi bekerja secara simultan, emanasi dan remanasi yang berbalasan. Para pengkritik Descartes telah menuduhnya melakukan pemisahan yang tidak dapat diatasi atas dua substansi, yaitu: jiwa dan materi yang kemudian dijembatani oleh fenomenologi Husserl, namun hakikatnya tuduhan tersebut tidak seluruhnya benar.

Pada tatanan metafisik, Descartes mengakhiri usahanya di ujung idealisme yang sangat jelas. Definisi "Cogito, ergo sum" bukan hanya berkenaan dengan dunia luar, melainkan juga berkaitan dengan kehadiran Tuhan yang menyatakan sebab pertama dari dua substansi, yaitu: benda dan jiwa, nalar. Ia setuju dengan tradisi mistik Plato dan mentransformasi kenangannya pada teori ide asal. Pernyataannya tentang kehadiran Tuhan didirikan di atas argumen ontologis yang menggunakan kategori Abad Pertengahan mengenai konsep kesempurnaan dan keutamaan yang belakangan diungkap oleh Kant. Namun, jika Kant antimetafisika, sebaliknya bagi Descartes. Metafisika baginya adalah tempat di mana ilmu pengetahuan bersandar. Secara bersamaan, ia memberikan tempat bagi akar ke-Ilahian dan pengetahuan, yang pada gilirannya, menjadikan unsur fisik sebagai perluasannya. Dengan demikian, tidak ada pelompatan nalar dalam pemikiran Descartes, sebab pemisahan substansial antara jiwa dan tubuh justru menghasilkan tiga macam pengetahuan, yaitu pengetahuan pikiran, pengetahuan benda, dan pengetahuan tentang penyatuan keduanya. Akhirnya, pada tataran metafisika, jejaknya berhenti pada tiga postulat dasar, yaitu prioritas jiwa di atas materi. ketiadaan dunia luar yang tidak dapat dipersepsi, agnostisisme dan relativisme, yaitu keserbamungkinan teori dan metode dalam pendekatan terhadap realitas yang merupakan bukti eksistensi sesuatu yang diragukan.

Bukti lain ontologi Tuhan melalui kehadiran waktu. Cogito hanya berlangsung sesaat dalam dimensi waktu, berapa detik, menit, semestinya ada penyebab yang bukan hanya mencipta, tetapi juga menjaga ciptaannya di luar tebasan waktu. Descartes menunjuk harmoni hukum-hukum universal alam semesta sebagai bukti. Berkat bukti-bukti kosmologis itu, keteraturan alam mengantar penalaran pikiran pada Pencipta keteraturan itu sendiri.

Pengetahuan keberadaan Tuhan memungkinkan pengetahuan tentang jiwa. Teori benda telah cukup memadai, sementara penghayatan dan keinginan untuk bebas menyadarkan kita tentang tingkat pengetahuan. Kebebasan yang benar yang lepas dari sewenang-wenang akan mendukung kejelasan yang sempurna dalam benda, sebagai manifestasi determinasi sempurna keinginan. Penjelasan mengenai ide sesuatu dan bukan sesuatu an sich mulai dari prinsip-prinsip sederhana dari mana ilmu pengetahuan tercipta. Sementara itu, ide sesuatu tidak dinilai berada dalam sesuatu itu, tidak ditunjukkan dalam eksistensinya, melainkan dalam jiwa yang terdiri dari ide-ide yang jelas dan sederhana, misalnya, gerakan, figura, dan prinsip-prinsip geometri.

Nalar manusia yang menyejarah

Corak pemikiran di belahan dunia berkembang disebut secara sinis sebagai "katak di bawah tempurung", (François Dortier, 2000), sebab pemikirannya tidak mandiri, malu-malu, kerdil, tidak percaya diri, condong mengadopsi pemikiran luar tanpa kritik. Pemikiran ahistoris yang lepas dari warna dan corak kehidupan sosial masyarakat, sementara pemikiran yang diadopsi meloncat loncat tergantung ketersediaan informasi.

Dalam kepustakaan epistemologi dicitrakan betapa besar peran pengalaman, memori, kesaksian, curiosity dalam menyumbang penalaran untuk pembentukan pengetahuan. Pada setiap pertemuan, Donny dan Bagus Takwin, mungkin mengisyaratkan mewakili sayap kaum Nietzschien yang menebar pesimisme terhadap keyakinan tradisional dan gelisah laksana filsuf sinis Yunani, Diogène, yang membawa obor menyala di bawah terik matahari kota, di tengah kerumunan orang, sambil menyeru: "Saya mencari Manusia", padahal, kenyataannya di sekitar kita tidak sedramatis itu. Nihilisme Nietzschien, misalnya, tanpa jauh-jauh dapat ditemukan tingkat personifikasinya pada medan laga Kurusetra dalam kisah Mahabaratha. Kisah yang melumpuhkan segala jenis nilai normatif yang diakui dan disanjung tata kehidupan manusia sehari-hari.

Dalam kisah agung tersebut dimuat paradoksi, ironi yang diramu secara destruksi masif, sehingga dibutuhkan pembangunan bumi baru, tatanan dan keteraturan baru ala Nietzsche. Tubuh Bhisma terbaring di atas kasur panah murid kesayangannya, Arjuna, demi membela Hastinapura yang justru diperintah keluarganya yang despotik dan nepotis. Sang cendekia sejati Yama Widura mengingkari sumpah sejatinya atas nama pengabdian kepada Destarasta.

Panglima Karna protes pada penetapan Dewa, menyangkal keimanannya pada Langit, karena nasibnya, terlahir akibat keisengan Dewa Surya, dihanyutkan demi kehormatan ibundanya yang dikenalinya justru saat pagelaran perang dahsyat mulai. Ia harus memerangi adik-adiknya, Pandawa, demi kesetiakawanan kepada tokoh jahat Duryudana. Karna membangkang pada Langit yang dianggapnya tidak adil. Bukankah itu pemutarbalikan norma yang dirontokkan Nietzsche, menantang Hari Pembalasan, dosa dan kiamat, sehingga ia berujar urgensi pencarian iman dan keyakinan baru. Siapa Kresna yang memanjangkan tak henti-henti selendang Drupadi agar tidak terbuka auratnya? Yang menjadi duta perdamaian ke Hastinapura? Yang menjadi kusir kereta perang Arjuna, sehingga ia menang terhadap Karna? Yang merancang pembunuhan Bhisma? Yang membantu Bima mematahkan paha Duryudana dalam duel maut? Bukankah ia tokoh "Manusia Super" dalam filsafat Nietzsche.

Saat kita tidak mampu mengambil jarak dari kungkungan arus pemikiran luar, sekali lagi saat itu mistisisme kembali mengungkung kita. Model penalaran (paradigma, metodologi) negeri kita akan semakin layu, jika tidak berpijak pada realitasnya, yaitu bangsa plural yang berkeyakinan sejak masa nenek moyangnya. Kematian pemikiran akan terjadi jika ahli pikirnya lupa memijak tanahnya, alpa menjunjung langitnya demi menuju misi universalnya, dan ilmuwan sosial tidak sanggup melahirkan kontekstualisasi gagasannya serta ulama tidak sanggup bertanggung jawab atas agamanya.

Konsepsi pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya yang pernah menjadi jargon pembangunan di masa Orba urgen dikaji lagi, diperdalam dan diperluas, sebab motif kemanusiaan universal dapat menjadi modal utama untuk mengatasi pluralisme di antara kita. Kita adalah saudara, manusia sama yang terlempar tanpa diberi hak memilih ke muka bumi, terlepas dari berbagai keberagaman kita. Jika sumber-sumber kebaikan dan kebijaksanaan formal, seperti agama dan kepercayaan, termasuk ideologi belum lagi ampuh melaksanakan terapi bagi multi krisis umat manusia, maka yang harus didiagnosa menurut hemat saya adalah mengoreksi kembali asumsi-asumsi dasar dalam beragama dan berkeyakinan serta berideologi.

Di luar itu, untuk menjadikan esok yang penuh semangat, hasrat dalam kedamaian, mari menalar hal-hal yang "enteng-enteng" saja dan merefleksi syair-syair cinta, kasih sayang, niscaya kebahagiaan yang didasari keutuhan manusia akan membangkitkan gairah hidup yang kuat seribu tahun lagi.

Kita simak sepenggal puisi cinta dari Donny: Ada bulan yang ramah/ Dan bintang yang manis/ Saat cinta melintas diri/ Semua begitu Indah/ Pintu-pintu hati menjadi terbuka/ Seperti hendak membuka tabir kasih/ Menuju kebahagiaan yang abadi/ Yang sebelumnya tak pernah terungkap.

Juga puisi jernih dan syahdu dari Bagus Takwin: Sempat kuintip maghrib/ lewat jendela yang belum sempat/ kututup/ Pepohonan diam/ dan sepi bertebaran di selanya/ Hujan lamat-lamat turun/ mengusap bumi yang sudah/ pulang?/ ?Ya, aku lihat bumi sebagai anak/ alam yang patuh/ Gelap lembut menyelimutinya/ Alam bernyanyi dalam koor/ ribuan serangga?/ ?Perlahan bumi memejam mata/ dingin merambat, merata/ semua gemuruh lenyap/ semua getar senyap/ Lalu yang tinggal hanya kelam dan aku/ dalam takjub kami termangu.

Adi Armin Magister Filsafat, Dosen Filsafat pada Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar

No comments: