Wednesday, April 1, 2009

Ketahanan Pangan

Catatan untuk Siswono Yudo Husodo
Petani, Kemiskinan, dan Ketahanan Pangan


Oleh: Khudori

ADA empat hal menarik dari tulisan Siswono Yudo Husodo ("Kebijakan Pangan yang Menyejahterakan Petani", Kompas, 26/5). Ia mengemukakan delapan solusi, dan empat di antaranya menarik didiskusikan.

Keempat solusi yang akan kita diskusikan itu adalah bahwa untuk mencegah Indonesia jatuh menjadi negara importir neto pangan, pertama harus dilakukan perluasan areal pertanian, khususnya di lahan kering 120.000 hektar/tahun.

Kedua, peningkatan skala usaha tani, dari rata-rata di Jawa 0,3 ha/KK dan 0,8 ha di Indonesia (2001) menjadi rata-rata 3 ha di Jawa pada 2030 dan 6 ha di Indonesia. Ketiga, pengurangan jumlah petani, dari 48% pada 2001 menjadi 15% pada 2030. Keempat, mengakhiri kebijakan pangan murah.

Sejauh ini pemahaman publik atas kebijakan harga pertanian adalah kebijakan pangan murah. Berbagai kebijakan pemerintah guna menyejahterakan petani hasilnya sama: petani tetap miskin. Nilai tukar komoditas yang mereka hasilkan tetap rendah. Itu tercermin dari indeks nilai tukar petani yang berkisar 100. Dalam jangka panjang, ini membuat petani tak bergairah berusaha tani dan mengancam ketahanan pangan kita.

Namun, sejumlah penelitian membuktikan sebaliknya. Hasil penelitian USAID periode 1998-2000 dalam Studi Kebijakan Pangan di Kabupaten Agam, Majalengka, Klaten, Kediri, dan Sidrap menunjukkan bahwa sampai harga pasar terendah pun (musim hujan), yakni Rp 800.00/kg gabah kering panen (GKP), petani masih untung bersih antara 22-23% (atau Rp 1-1,7 juta/ha/musim) dari total biaya (USAID, 2000). Pendapatan tersebut sudah memperhitungkan biaya sewa lahan dan biaya modal kerja sehingga bisa dimaknai sebagai return to management.

Disertasi Nizwar Syafaat (2000) menemukan, harga beras domestik selama tiga dekade selalu di atas harga paritas impor. Jadi, mekanisme pasar di tempat tersebut mampu menjamin alokasi sumber daya secara optimal sehingga produsen tidak dirugikan. Artinya, kebijakan pangan kita adalah kebijakan pangan mahal.

Pertanyaannya, untung gede kok petani tetap miskin? Ternyata, keuntungan petani sama sekali tidak menjamin mereka bisa memenuhi kebutuhan hidupnya yang semakin mahal. Faktor pembatasnya adalah penguasaan lahan. Bagaimana mungkin petani dapat menghidupi keluarganya kalau lahan yang diusahakan terlalu kecil, rata-rata di bawah 0,25 ha, bahkan banyak yang hanya sebagai buruh tani.

Pada tahun 1999, produksi padi (gabah kering giling/GKG) kita mencapai 50 juta ton. Jumlah ini merupakan produksi bersama sekitar 40 juta orang petani. Berarti masing-masing petani hanya memiliki 1,25 ton padi/tahun.

Jika ini dikalikan dengan harga Rp 1.000/kg GKG berarti Rp 1,25 juta (pertahun/per petani). Berarti per bulannya petani hanya berpenghasilan Rp 100.000. Ini belum dikurangi modal dan pengeluaran yang porsinya sekitar 75 persen. Artinya, petani hanya untung bersih sekitar Rp 312.500/tahun atau Rp 25.000/bulan (atau Rp 866,7/hari). Bagaimana para petani hidup dengan pendapatan sekecil itu?

Secara ekonomi, pendapatan sebesar itu sama sekali tidak mungkin bisa menghidupi keluarga. Tetapi pada kenyataannya, petani tetap hidup. Ini benar. Tidak semua petani mempunyai tanah. Sebagian petani bekerja menjadi buruh tani atau sebagai tenaga kerja musiman sehingga bisa hidup dari pendapatan lain di luar pertanian.

Pada 1995 jumlah petani di Jawa yang tidak memiliki tanah sebanyak 48,6 persen, meningkat menjadi 49,5 persen pada 1999. Meskipun tidak separah di Jawa, di luar Jawa kecenderungannya sama. Pada 1995 jumlah petani tak bertanah 12,7 persen, meningkat menjadi 18,7 persen pada 1999. Sebaliknya, 10 persen penduduk di Jawa memiliki 51,1 persen tanah pada 1995, dan menjadi 55,3 persen pada 1999 (CASER, 2000). Ini menunjukkan ketimpangan distribusi pemilikan tanah makin parah, terutama di Jawa.

Sejumlah penelitian (USAID, 2000; Syafaat, 2000; dan Khudori, 2002) menunjukkan bahwa biaya sewa lahan merupakan komponen terbesar: antara 24-37 persen dari total biaya produksi. Padahal, menurut hasil penelitian yang sama, pendapatan petani yang bertanah dua kali lipat lebih besar dibandingkan petani tak bertanah.

Pertanyaannya, apakah kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP)-pengganti harga dasar gabah (HDG)-tidak malah memperburuk distribusi pendapatan? Kebijakan HPP hanya menguntungkan petani bertanah, bukan petani tak bertanah.

SOLUSI Siswono agar jumlah petani dikurangi amatlah tepat. Jumlah petani yang terlalu besar (40 juta orang), tidak akan pernah mencapai skala ekonomi. Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 11,3 juta hektar luas panen/tahun. Angka ini merupakan hasil hitungan bahwa satu hektar sawah bisa dipanen dua-tiga kali setahun.

Riil kita memiliki lahan sawah tujuh juta ha. Katakanlah kita punya lahan sawah 12 juta ha. Menurut sejumlah ahli, skala ekonomi untuk padi minimal dua ha. Jadi, jumlah petani yang memenuhi persyaratan ekonomi hanya enam juta orang. Sisanya (34 juta orang) harus menjadi buruh tani atau bekerja di sektor lain.

Sejauh ini, pemilik lahan sempit dan petani-bukan-pemilik bekerja sebagai pekerja musiman; saat musim tanam dan musim panen menjadi buruh tani di desa, dan di luar itu menjadi buruh industri atau bekerja di sektor informal perkotaan. Jika tetap menjadi petani, menjadi tugas pemerintah untuk menyejahterakannya.

Jika kebijakan pertanian menetapkan rasionalisasi usaha tani, kelebihan tenaga kerja harus ditransformasikan ke sektor industri. Itu karena masalah pertanian kita sebenarnya masalah ketenagakerjaan.

Jika kebijakan pertanian hendak memberdayakan petani, satu-satunya jalan yang realistis adalah melaksanakan perluasan lahan seperti yang diusulkan Siswono, sebab program intensifikasi sudah pada tahap jenuh. Sayangnya, ekstensifikasi memakan biaya yang besar dan memerlukan tenggang waktu sehingga tidak operasional (Sihombing, 2002).

Selain itu tanah yang dibutuhkan terlalu luas, yakni sekitar 68 juta ha atau hampir 6 kali luas sawah yang ada. Dengan kecepatan cetak sawah, katakanlah 120.000 ha/tahun, dibutuhkan waktu 566,67 tahun untuk mencetaknya. Program ini pun menjadi mustahil karena luas hutan konversi yang tersedia untuk ekstensifikasi hanya 30 juta ha.

Faktor penting lain adalah pertimbangan ekonomi. Menurut teori, tidak mungkin meningkatkan pendapatan petani dengan menggeser suplai ke kanan karena sifat komoditas pertanian, terutama pangan, demand-nya inelastis. Tindakan menggeser suplai ke kanan akan menurunkan total revenue petani sehingga kebijakan ekstensifikasi ini malah menjerumuskan petani ke jurang yang lebih dalam. Solusinya adalah mendorong peningkatan industri agar mampu menyerap kelebihan tenaga kerja dari sektor pertanian.

Ini bukan solusi baru, tetapi selama ini belum pernah serius dilakukan. Pertanyaannya, industri apa? Tak lain adalah industri berbasiskan pertanian atau agroindustri.

Pengalaman di banyak negara industri maju, seperti di Eropa, AS, dan Jepang menunjukkan bahwa mereka memulai industrialisasi setelah atau bersamaan dengan pembangunan di sektor pertanian (Simatupang, 2000). Kajian teoretis, bahkan studi kasus mengenai keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri sudah banyak dilakukan di sejumlah negara sedang berkembang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Kajian-kajian itu membuktikan betapa pentingnya sektor pertanian bagi perkembangan dan pertumbuhan output di sektor industri. Keterkaitan antara dua sektor tersebut terutama didominasi oleh efek keterkaitan pendapatan, disusul kemudian oleh efek keterkaitan produksi, dan sedikit eviden mengenai keterkaitan investasi (Tambunan, 2000).

Data Bank Dunia (1997) mengenai pertumbuhan output di dua sektor tersebut di sejumlah negara di Asia periode 1980-1995 juga menunjukkan adanya korelasi positif antara pertumbuhan output di sektor pertanian dan pertumbuhan output di sektor industri. Ini semua membuktikan jika sektor pertanian memainkan peranan yang sangat penting dalam pembangunan sektor industri manufaktur. Pendek kata, sangatlah tidak mungkin mempertahankan ketahanan pangan nasional sekaligus mengangkat petani dari lembah kemiskinan tanpa mengembangkan agroindustri.

Khudori, Pemerhati masalah sosial-ekonomi dan agribisnis, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Jember, Jawa Timur.

No comments: