Wednesday, April 1, 2009

Ancaman Kemacetan Ilmu-ilmu Sosial

Ancaman Kemacetan Ilmu-ilmu Sosial
Oleh AGUS SUBAGYO

MICHAEL Foucault (1980), seorang ilmuwan sosial pelopor postmodernisme, pernah mengatakan bahwa pengetahuan bukan sesuatu yang ada tanpa hubungan kekuasaan. Hubungan pengetahuan adalah hubungan kekuasaan. Pengetahuan adalah peredaran perwakilan negara, perusahaan multinasional, universitas, dan organisasi formal lainnya dalam memajukan masyarakat kapitalis. Foucault sebenarnya hendak mengatakan bahwa proses muncul dan berkembangnya ilmu pengetahuan sangat terkait dengan relasi kekuasaan. Ilmu pengetahuan akan semakin dominan dan dianut kebenarannya oleh masyarakat akademik apabila ditopang secara kuat oleh struktur kekuasaan.

Dalam dataran empiris, struktur kekuasaan ini dapat berupa kapital. Artinya, penguasaan struktur kapital dapat dipergunakan secara mudah untuk memengaruhi tumbuh kembang dan benar salahnya suatu pengetahuan. Para elite politik (penguasa) dan elite ekonomi (pengusaha) dengan struktur kapital yang mereka miliki dapat dengan mudah memengaruhi dan mengendalikan proses-proses penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan sosial supaya hasil penelitian tersebut sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Fenomena semacam inilah yang dinamakan dengan "kapitalisasi ilmu-ilmu sosial" ke dalam struktur hegemoni kapitalisme.

Hegemoni kapitalisme

Banyak kalangan mengatakan bahwa hampir tidak ada satu pun teori sosial yang lahir di Indonesia dan dikonstruksi secara genuine oleh ilmuwan sosial Indonesia. Kenyataan memprihatinkan ini menunjukkan bahwa kecenderungan stagnasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia bukan isapan jempol belaka. Penyebab utama dari kemacetan perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia ini sebenarnya adalah hegemoni struktur kapitalisme yang merajalela di seluruh aspek kehidupan, baik domestik maupun internasional.

Ada beberapa bukti yang memperkuat argumentasi bahwa hegemoni struktur kapitalisme telah memasung perkembangan ilmu-ilmu sosial. Pertama, marilah kita lihat pola perilaku para ilmuwan sosial Indonesia yang cenderung hanya menjadi pelayan kapitalisme dan "corong" teori dominan modernisasi. Ilmuwan sosial seringkali berebut projek-projek penelitian bernilai miliaran rupiah yang pada hakikatnya lembaga dananya berasal dari penganut kapitalisme. Kebergantungan pada dana penelitian inilah yang membuat ilmuwan sosial bersifat akomodatif pragmatis dan oportunis. Oleh karena itu, mudah ditebak hasil-hasil penelitian para ilmuwan sosial cenderung mengarah pada pemberian legitimasi terhadap struktur kapitalisme dunia.

Kedua, lembaga-lembaga pendidikan tinggi seperti universitas di Indonesia telah terkooptasi oleh hegemoni kapitalisme. Universitas sebagai lembaga yang memproduksi karya-karya ilmiah dan terobosan-terobosan pengetahuan kritis telah menjadi praktik-praktik kapitalisme. Sinyalemen kapitalisme pendidikan, komersialisasi kampus, dan universitas sebagai ajang bisnis telah semakin menguat menjadi kenyataan. Para ilmuwan sosial cenderung menjadi birokrat dan pengusaha kampus. Kapitalisme pendidikan telah menyingkirkan hasrat kaum miskin berpotensi untuk mengenyam sekolah. Universitas-universitas negeri yang seharusnya menampung kaum miskin berpotensi telah diisi oleh golongan kaya yang memiliki kapital besar.

Ketiga, para pekerja sosial, khususnya aktivis LSM telah terjebak pada gelimang kapital sebagai hasil akomodasinya terhadap struktur kapitalisme. Bahkan secara ekstrem, Petras dan Veltmeyer (2001) mengatakan bahwa LSM saat ini telah menjadi pelayan kapitalisme-imperialisme, bukan pelayan rakyat yang memberdayakan masyarakat sebagaimana yang mereka klaim selama ini. Para pekerja LSM cenderung memanfaatkan kondisi rakyat untuk dijual kepada agen kapitalisme agar memperoleh kucuran dana. Padahal, dana yang mereka kucurkan tidak semuanya dipakai untuk pemberdayaan rakyat. Rakyat telah dikorbankan sebagai produk yang dipasarkan ke pihak asing.

Ketiga fenomena empiris di atas telah menyebabkan perkembangan ilmu-ilmu sosial mengalami stagnasi. Hegemoni struktur kapitalisme telah mengondisikan ilmuwan sosial menjadi mandul daya inovasi dan kreasinya. Mereka cenderung bersikap pragmatis agar memperoleh keuntungan dari struktur kapitalisme demi kepentingan pribadi. Menurut mereka dengan mengabdi kepada struktur kapitalisme, kesejahteraan material akan terjamin. Penolakan terhadap struktur kapitalisme akan menyebabkan mereka menjadi "miskin".

Dekonstruksi positivisme

Jika dalam dataran praksis empiris, ilmu-ilmu sosial terhegemoni oleh struktur kapitalisme, maka dalam dataran teoritis-metodologis, ilmu-ilmu sosial juga terkooptasi oleh dominasi positivisme sebagai produk teoritik dari sistem kapitalisme. Positivisme yang menekankan aspek kuantitatif, empiris, dan causal laws telah mendominasi metodologi ilmu-ilmu sosial sehingga memarginalkan metodologi antipositivisme yang lebih kualitatif, normatif, dan interpretatif. Implikasi negatifnya adalah ilmu-ilmu sosial telah jauh keluar dari induknya dan mengagung-agungkan logika kalkulatif berdasar angka-angka sebagaimana metodologi dalam ilmu-ilmu eksakta.

Ilmu-ilmu sosial positivis telah mencampakkan filsafat moral dan nilai-nilai etika. Menurut ilmuwan sosial positivis, ilmu-ilmu sosial harus bebas nilai sehingga karya-karya yang dihasilkan bersifat objektif empirik. Dua disiplin ilmu sosial yang telah benar-benar all out menerapkan positivisme adalah ilmu ekonomi dan psikologi. Di dalam ilmu politik pun telah ada pendekatan dominan positivisme, yakni behavioralisme yang ingin membawa ilmu politik mengikuti jejak ilmu ekonomi dan psikologi. Positivisme telah mengooptasi ilmuwan-ilmuwan sosial untuk membawa ilmu-ilmu sosial menggunakan metodologi ilmu-ilmu eksakta.

Akibat negatif dari positivisme ini adalah bahwa ilmuwan sosial tidak peka terhadap objek studinya karena hilangnya nilai-nilai moral etika yang ada dalam dirinya. Ilmuwan sosial juga cenderung gagal dalam memahami fenomena sosial karena empirisitas yang mereka anut tanpa mengindahkan makna di balik fenomena sosial tersebut. Selain itu, tujuan ilmu-ilmu sosial sebagai problem solving, mereka tolak karena akan terjadi pemihakan. Sikap demikian telah mendorong ilmu-ilmu sosial positivis jauh dari kenyataan objek studinya sehingga daya analisisnya selalu mengalami ketumpulan dan kebiasan.

Melihat kenyataan dominasi positivisme yang memacetkan metodologi ilmu-ilmu sosial di atas, perlu kiranya para ilmuwan sosial yang antipositivisme dan masih memegang teguh filsafat moral dan etika untuk mendekonstruksi positivisme. Dekonstruksi positivisme tidak bisa dilakukan secara parsial dan sendiri-sendiri oleh masing-masing disiplin ilmu sosial. Namun, harus dilakukan secara bersama-sama baik dalam ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, dan ilmu politik. Dalam ilmu ekonomi pun telah ada kegelisahan terhadap dominasi positivisme. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karya Gunnar Myrdal (1969) dan Amartya Zen (1988). Oleh karena itu, perlu dibentuk forum lintas disiplin ilmu sosial untuk mengonsolidasi diri.

Saat ini tengah muncul teori-teori sosial alternatif yang berani menantang hegemoni kapitalisme dan metodologi positivisme. Dua teori sosial yang saat ini banyak dikaji dan digemari oleh ilmuwan sosial di Indonesia itu adalah critical theory dan postmodernisme. Teori kritis yang dikembangkan oleh mazhab Frankfurt, Jerman, tahun 1930-an ini dipelopori oleh Hokheimer, Marcuse, dan Jurgen Habermas, sedangkan Post Modernisme muncul dilatarbelakangi oleh pemikiran-pemikiran Michael Foucault, Jean-Francois Lyotard, Jacques Derrida, dan Roland Barthes.

Agenda kerja dari kedua teori sosial alternatif ini adalah menggugat dominasi epistemologi positivistik dan ingin membuka ruang akademik bagi pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya untuk saling tukar konsepsi dan teori. Harapannya, dengan pembukaan ruang berpikir (think space) yang sama bagi ilmuwan-ilmuwan sosial dengan berbagai pendekatan yang berbeda dapat memajukan ilmu-ilmu sosial ke taraf kritisisme. Mungkinkah teori kritis dan post modernisme mampu membebaskan ilmu-ilmu sosial dari ancaman kemacetan? Wallahualam bishawab.***

Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Cimahi dan Alumi Pascasarjana Ilmu Politik, Konsentrasi Politik Internasional UGM Yogyakarta.

No comments: