Masyarakat Transparan :
Harapan Dari Postmodernisme
Usaha ini berlangsung dengan ‘amat berhasil’ sehingga bagi orang seperti Karl Otto Apel 19, masyarakat transparan adalah perwujudan dari ilmu sosial untuk menghasilkan masyarakat komunikasi tak terbatas. Bagi Vattimo, masyarakat transparan bukanlah seperti itu. Karena jika demikian, masyarakat tak ubahnya hasil percobaan ilmuwan ilmu pengetahuan alam ataupun sosial di laboratorium. Sementara ilmu itu sendiri tentu saja juga tidak bebas nilai. Masyarakat transparan, menurut Vattimo memang terkait pembentukannya dengan ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang mampu menunjukkan adanya berbagai macam sistem simbolis yang sedang menjadi. Di sinilah letak kebenaran dan juga keilmiahan ilmu pengetahuan, yaitu ketika ia tidak hanya berhasil memperlihatkan kepositifannya, melainkan juga berhasil memperlihatkan adanya kontinuitas, korespondensi, dan dialog antar teks dari berbagai macam kultur. 20
Vattimo memaknai kata ‘transparan’ sebagai suatu keadaan di mana berbagai macam dialektika yang dijumpai dalam keberasalan masing-masing subkultur masyarakat semakin terbebas, terdisorientasi dari ideologi tunggal penguasa makna.21 Saat itu terjadilah apa yang oleh Heidegger disebut sebagai eksplosi dunia makna (Weltanshauungen). Realitas sekarang justru terbentuk sebagai interseksi berbagai macam imaji yang butuh diinterpretasikan dan direkonsiliasikan satu sama lain.
Emansipasi transparansi diri tercapai ketika pluralitas dunia imaji sampai pada menghasilkan ‘disorientasi’ dari manusia di akhir modernitas. Artinya membuat mereka tidak lagi terarahkan pada penguasa tunggal makna dan kebenaran melainkan pada berbagai sumber kebenaran dan makna. Disorientasi dalam masyarakat media komunikasi membuat individu berosilasi antara keberasalan (belonging) dirinya dan berbagai sumber tadi. Semakin tampak pula bahwa pencapaian masyarakat transparan itu terjadi bukan dalam konteks keterputusan dengan modernitas. Postmodernitas tidak dapat didefinisikan sebagai sebuah babakan baru dalam sejarah. Mengartikannya seperti itu hanya akan membawa kembali paham sejarah unilinier yang sudah terbukti bermasalah. Postmodernitas, sebagai konteks terjadinya masyarakat transparansi, sebaiknya dipahami sebagai sebuah pelarutan (dissolution)22 modernitas. Postmodernitas memang mengandung jejak-jejak modernitas yang sekaligus menempatkannya dalam arahan baru yang meninggalkan segala reduksi metafisis atas kemanusiaan seperti yang sudah dijelaskan di atas. Jejak modern masih akan diteruskan sambil mengganti corak reduktif akarnya dengan corak estetis kebenaran postmodernisme. Mengapa corak estetis? Karena lewat pengalaman estetislah manusia mampu menyadari kontingensi dan relativitas dunia yang nyata dihidupinya.23
V. Kebenaran Estetis Postmodernisme
1. Demitologisasi demitologisasi
Pengalaman kebenaran dalam postmodernisme dilihat oleh Vattimo paling tampak hadir dalam fenomena estetika. Seni dan budaya memang sering menjadi petunjuk sejarah yang memunculkan fenomena postmodernitas. Awal dari semua itu oleh Vattimo diletakkan pada usaha modernisme untuk mendemitologisasikan mitos-mitos peradaban yang dianggapnya ‘primitif’ dan berlawanan dengan sains modern. Perubahan pandangan tentang mitos ini terjadi ketika paham sejarah unilinier yang menyertainya mulai kehilangan legitimasinya. Seiring dengan perubahan pandangan tentang sejarah ini timbul pula usaha untuk mendemitologisasikan demitologisasi mitos-mitos ‘primitif’.
Wednesday, April 1, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment