Wednesday, April 1, 2009

Postmodernisme

Masyarakat Transparan :
Harapan Dari Postmodernisme
Apakah ini berarti yang ingin diusahakan adalah kesetaraan? Karena jika demikian, bukankah dalam usaha tersebut akan timbul perang kehendak akan kuasa makna sebagaimana yang secara implisit juga ditunjukkan oleh Nietzsche? Vattimo, berlawanan dengan Nietszche yang mengatakan bahwa nihilisme tidak bertujuan untuk menciptakan kesetaraan melainkan menciptakan manusia-manusia moderat 35, mengatakan bahwa modernitas yang nihilistik itu memuat nilai kesetaraan individu apabila disertai dengan komitmen pada pemikiran yang lemah tentang adaan dan disertai dengan kesadaran akan adanya jejak ‘Yang Lain’ pada tiap individu yang membuatnya setara36. Komitmen itulah yang menjadi karakter etis dari posmodernitas dan filsafatnya, hermeneutika.

Vattimo menjelaskan unsur etis hermeneutika itu dengan berpijak dari pandangan Gadamer37 yang mengatakan bahwa alasan kebenaran tindakan seseorang adalah horison sosialitasnya, logos-nya atau bahasa alamiah komunitas historis. Filsafat hermeneutika dengan tugasnya menginterpretasi (menerjemahkan beragam logoi pada logosnya) mengandung muatan etika nilai (term dari Schleiermacher: ethics of goods) karena membawa ke permukaan berbagai nilai dasar suatu komunitas. Ini tidak berarti mempertahankan dan kembali pada struktur statis metafisis. Karena nilai dasar itu memang tetap tetapi logos yang memuatnya selalu dalam keadaan ‘sedang menjadi’ bersama komunitasnya. Karakter etis hermeneutika, dengan demikian terletak pada logos.

Permasalahannya menurut Vattimo justru terletak pada logos, yang karena kandungan nilai dasarnya, harus bersifat historis. Hermeneutika sendiri, karena berpatokan pada logos yang selalu sedang menjadi bersama komunitas, tampil ahistoris. Vattimo mengakui bahwa dilema yang dihadapi hermeneutika ini masih terbuka. Namun demikian, kesulitan ini masih lebih bisa diterima dibandingkan dengan kesulitan yang dihadapi oleh etika komunikasi Habermas dan Karl Otto Apel yang menjadi alternatif bagi postmodernitas. Keberatan utama Vattimo atas pandangan etika komunikasi (terutama dalam pandangan Habermas38) adalah karena dalam teorinya tentang komunikabilitas dan intersubyektivitas manusia sebagai penunjuk ke arah nilai etis, ditekankan sains sebagai satu-satunya manifestasi utama perwujudan eksistensi manusia. Maka pandangan ini mempertahankan benar sains metafisis modern yang ingin ditolak oleh postmodernitas.

Hermeneutika, sebaliknya, memaknai intersubyektivitas yang dikumandangkan etika komunikasi sebagai keberasalan (belonging) historis subyek. Justru karena nasib hermeneutika sebagai keberasalan itulah terjadi intersubyektivitas etis dalam bentuk saling tukar reinterpretasi antar interlokutor. Nasib hermeneutika adalah bahwa ia berasal pada pemikiran di akhir metafisika, di mana kebenaran bukan lagi struktur definitif metafisis eksistensi melainkan tanggapan yang tepat atas kesadaran diri sebagai bagian dari nasib. Pandangan Vattimo ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Heidegger bahwa akibat dari Ge-stell adalah terbebaskannya subyek dalam teknologi komunikasi informasi sebagai pencetus kebenaran. Nihilisme akibat teknologi mekanis ini memungkinkan hermeneutika mencapai inklinasi etisnya. Sama halnya pula seperti nihilisme Nietzsche yang mengemukakan bahwa ‘dunia pada akhirnya akan menjadi dongeng’39, modernitas akhir akan memunculkan bukan realitas fakta (dalam pengertian modernitas) tetapi realitas yang sudah diperlemah menjadi interpretasi-interpretasi.
VII. Penutup

Menutup pemikiran Gianni Vattimo, dapat disimpulkan bahwa masyarakat transparan adalah masyarakat yang mampu mengemansipasikan sendiri kebenarannya sesuai dengan lokus hidupnya. Itu dicapai dengan pemakaian filsafat ontologi hermeneutika. Adalah tugas filsafat ini untuk terus menginterpretasikan berbagai macam identitas kebenaran individu demi mendapat kebenaran yang sesuai dengan jaman dan pengalaman hidup manusia. Berikutnya...

No comments: