Wednesday, April 1, 2009

Seni

Ah, Kritik..
Oleh Adi Wicaksono


SANGAT menarik tanggapan I Made Sukadana (IMS) terhadap tulisan saya yang disebutnya sebagai premanisme. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam tanggapannya tersebut. Pertama, perihal penafsiran karya seni. Dia mengatakan, "Publik seni, dan khususnya para kolektor boleh saja mengartikan karya saya menurut imajinasi mereka... Bukankah makna dan nilai sebuah karya seni terus berjalan dan terkadang berbeda dari maksud si kreatornya?" Artinya, ketika benda seni dilempar ke publik, siapa pun punya hak untuk menafsirkan, dan juga melakukan penilaian atasnya. Ini tak ubahnya supermarket di mana orang punya hak untuk memilih, menimbang-nimbang dan menilai benda-benda yang ada si situ. Tapi, pada saat yang sama, ketika saya melakukan "penilaian", disebutnya sebagai kejahatan atau premanisme. Dia melarang saya untuk melakukan penilaian. Saya kira ini sebuah tautologi murahan.

Kedua, dia meyakini bahwa sebuah tulisan dapat menghancurkan sebuah karya seni. Hidup mati seorang seniman seolah-olah ditentukan oleh sebuah esai atau sebuah "kritik". Jika demikian, alangkah rapuh karya seni semacam itu. Dia juga percaya bahwa sebuah kritik akan menghancurkan penilaian para kolektornya. Artinya, dia menganggap bahwa kolektor adalah "orang bodoh" yang gampang terpengaruh atau terombang-ambing oleh penilaian sebuah kritik. Artinya lagi, nilai karya seni sangat tergantung dari minat kolektor. Dia yakin bahwa karya seni akan hancur jika tidak dibeli kolektor. Secara implisit, dia menilai karya seni berdasarkan ukuran ekonomi semata-mata. Tapi, ketika saya membahas masalah ini, dia menyebut saya sebagai seorang preman yang harus dibasmi.

Ketiga, perihal balas budi. Dia mengatakan bahwa saya pernah minta sumbangan untuk menerbitkan sebuah tulisan sekitar setahun yang lalu. Saat itu saya datang ke tempatnya bersama pelukis Widodo yang hendak mengadakan pameran di Yogya. Dia menyumbang sejumlah uang untuk pameran tersebut karena di masa-masa sulit, konon Widodo sering membantunya. Padahal tulisan saya (untuk keperluan diskusi dalam pemeran itu) hanya difotokopi 50 biji (dengan biaya Rp 50.000), dan itu pun menggunakan uang dari kocek saya sendiri. Dari pernyataannya itu secara implisit, seolah-olah dia menandaskan bahwa kritikus harus menuruti kehendak pelukis, apalagi jika sudah diberi uang. Kritikus tak ubahnya orang bayaran yang bertugas memuji-muji, membuat tulisan untuk mengelu-elukan karyanya, boleh jadi dengan "imbalan" yang tidak sedikit agar nilai atau reputasi kesenimanannya tidak runtuh, dan kalau perlu membuatkan tulisan kampanye serta pembelaan di media massa jika ada kritik yang mengarah padanya. Demikian kira-kira pandangannya terhadap kritikus. Ini dia sebut sebagai logika "balas budi". Dan ketika orang tak melakukan "balas budi" maka disebutlah sebagai preman.

Keempat, perihal sikap terhadap seniman lain. Dia mengatakan, "Dan jangan salahkan saya ketika lebih banyak orang yang datang ke pameran lukisan saya ketimbang pameran retrospektif AD Pirous di Galeri Nasional...." Saya kira kalimat ini sudah sangat gamblang menggambarkan arogansi seorang pelukis muda terhadap pelukis senior sekaliber AD Pirous.

Kelima, dia mengatakan bahwa kritik saya bukan kritik seni melainkan kritik terhadap pelaku seni. Dia yakin bahwa kritik terhadap pelaku seni bukan bagian dari kritik seni. Seolah-olah karya seni jatuh dari langit dan bukan diciptakan oleh para pelaku seni. Dan lagi-lagi, ketika saya membahas masalah ini, dia mengatakan saya sebagai preman.

Terlepas dari logika yang terbalik-balik itu, baiklah, kita lihat saja fenomena ini sebagai studi kasus atas perkembangan faktual dunia seni rupa kita yang berkaitan dengan pasar dan proses "penilaian" terhadapnya. Setidaknya ada beberapa fenomena yang perlu dicatat di sini. Pertama, gejala represi atau bahkan eliminasi terhadap wacana. Benar yang dikatakan Made, saya pernah "melarikan diri" dari Yogya, lantaran setelah menulis sebuah esai, banyak orang datang (dengan parang dan golok segala). Keberatan terhadap sebuah wacana tidak disanggah dengan wacana lain melainkan dengan teror dan intimidasi. Ditambah lagi, dia menyebut sayalah yang preman. Aduh!

Kedua, gejala ini mengingatkan saya terhadap cara-cara Orde Baru dalam "menumpas" orang-orang punya pendapat lain yang disebut "kaum pembangkang". Agaknya, mentalitas Orba sudah menjalar ke wilayah kesenian. Bagi saya, ini sungguh layak untuk dijadikan bahan kajian. Seberapa jauh nilai-nilai otoritarianisme ini diserap dan dipraktikkan oleh kaum seniman. Di sini, seni tidak lagi soal wacana, melainkan juga "kuasa". Dalam konteks Orba, "power" itu adalah "kuasa" politik. Apakah dalam seni dan pasar, "kuasa" represif sudah benar-benar bermetamorfose dalam bentuk uang? Sampai sejauh mana, kuasa ini diolah dan dipakai untuk menjalankan "politik" makna? Seberapa jauh independensi pelaku-pelaku seni dalam "art world" semacam itu? Bagaimana mengukurnya? Ke mana arah bandul jam? Bagaimana konfigurasi atau operasi "kuasa" dalam proses penciptaan karya seni? Bagaimana pula mencari pendekatan dalam rangka pengkajian relasi-relasi "kuasa" di situ? Apakah harus mengeliminasi faktor-faktor pelaku seni? Bisakah kita mengkaji perihal relasi-relasi kuasa hanya melakukan kritik terhadap karya-karya seni belaka dan membuang para pelaku seninya?

Tulisan IMS adalah sebuah pernyataan gamblang, sebuah kejujuran telanjang dari salah seorang pelaku sebagai bagian dari "art world" tertentu di mana kuasa dalam bentuk pasar beroperasi secara konkret. Kita wajib berterima kasih kepada IMS atas keterusterangan dan keberaniannya untuk menelanjangi diri sehingga kita lebih mengerti bagaimana relasi-relasi antara kuasa-pasar di sini, sekurang-kurangnya pada konteks sikap-sikap keseniannya.

***

DARI contoh kasus tersebut, ada beberapa asumsi awal yang dapat diajukan. Pertama, proses peralihan benda seni sebagai "modal simbolik" menjadi "modal ekonomi", ternyata melibatkan banyak dimensi, terutama "kontestasi" wacana dan pertarungan otoritas yang meletakkan dasar-dasar penilaian makna terhadap karya seni sebagai sebuah medan permainan "wacana" yang dalam derajat tertentu tampak kontradiktif. Di satu sisi "medan wacana" tersebut sangat bebas dan terbuka, di sisi lain, berlangsung sebuah persenyawaan kuasa sebagai kekuatan riil dengan "wacana" sebagai bagian inheren dari proses produksi "modal simbolik". Kuasa/wacana menampakkan dirinya secara wantah. Dan wacana yang tidak menguntungkan proses pertukaran "modal simbolik" menjadi "modal ekonomi" atau sebaliknya, akan menghadapi konsekuensi kuasa, bahkan dalam bentuk yang riil. Ini mirip operasi kuasa dalam politik.

Kedua, pertukaran atau perdagangan "modal simbolik" sesungguhnya sangat rumit dan tidak dapat dianalogikan secara langsung dan berbanding lurus dengan perdagangan benda-benda produksi yang lain, karena di situ terkandung tumpang tindih antara nilai-nilai yang mengacu pada dimensi-dimensi "kualitatif" yang abstrak dan cair dengan nilai-nilai yang mengacu pada proses "kuantifikasi" dalam dimensi-dimensi yang rigid dan riil. Dalam kasus ekstrem seperti yang berlangsung pada IMS, politik makna adalah sebuah "kuantifikasi" dalam politik kapital menjadi linier. Setelah ter-reifikasi atau "terkuantifikasi", sebuah "modal simbolik" memerlukan kestabilan. Kalau perlu diciptakan "aparatus-aparatus", untuk menjaganya. Tentara-tentara bersepatu lars harus melindungi keselamatan "negara" seni yang telah dikuantifikasi itu. Di situ ada kritikus, art manager, media, event-event, penerbitan buku, gebyar, dan sebagainya dan sebagainya. Semua bertugas menjaga "stabilitas nasional" dari "modal simbolik"-nya. Dalam konteks pemaknaan, kurator dan kritikus yang bertugas menulis di buku IMS adalah aparat utamanya.

Tentu, asumsi-asumsi di atas masih memerlukan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif. Tapi, kejujuran IMS telah sedikit memberi informasi bagaimana sebuah proses pertukaran "modal simbolik" ke dalam "modal ekonomi" kadang-kadang mengejawantah dalam bentuk-bentuk spesifik, yakni sebuah operasi "kuasa" yang telanjang dan riil. Tentu saja, "art world" kita tidak hanya dihuni jenis seniman seperti IMS. Masih banyak seniman yang lebih layak untuk dikuantifikasi atau diapresiasi oleh pemegang "modal ekonomi". Dengan kata lain, setelah menyaksikan kejujuran IMS, semakin menegaskan kepada kita, juga bagi para kolektor yang "matang" dan "mengerti seni", sudah saatnya meninggalkan karya-karya sejenis itu untuk beralih kepada karya-karya yang lebih "stabil" dan punya "kualitas". Kita punya puluhan seniman yang lebih "matang" pula, bukan yang "karbitan". Saya kira, di sini, Anda semua tak perlu hirau dengan julukan kaum preman yang sudah saya pikul. Rayakanlah karya-karya yang lebih layak untuk dirayakan. Viva seni rupa. Viva kolektor!

* Adi Wicaksono, Pengamat seni rupa

No comments: