Wednesday, April 1, 2009

Kebudayaan Postmodern Menurut Jean Baudrillard

Kebudayaan Postmodern Menurut Jean Baudrillard

Oleh Medhy Aginta Hidayat

[1] Pendahuluan
[2] Modernisme dan Postmodernisme
[3] Kebudayaan Postmodern Jean Baudrillard
[4] Seni Populer dalam Era Postmodernisme
[5] Beberapa Catatan Kritis

Pendahuluan


A. Latar Belakang Masalah


Tepat pukul 15.30, tanggal 15 Juli 1972, kompleks bangunan perumahan Pruitt
Igoe St. Louis, Missouri, diledakkan. Kompleks bangunan yang dirancang
dengan konsep arsitektur modern ortodoks oleh arsitek Jepang, Minoru
Yamasaki pada tahun 1950 itu diledakkan karena dianggap sudah tidak lagi
fungsional. Kerusakan konstruksi, pencurian listrik dan air, tunggakan
kontrakan yang besar, vandalisme graffiti, wall painting dan pornographic
painting yang dilakukan para penghuninya dianggap sudah kelewat batas.
Hancurnya bangunan Pruitt Igoe yang merepresentasikan konsep arsitektur
modern dengan karakter ruang isotropis, homogen, monoton, anti-ornamen,
anti-metafor, anti-humor, mono-simbolik, dan berestetika mesin sekaligus
menandai kematian era arsitektur modern dan segera lahirnya sebuah era
baru: era arsitektur postmodern. Arsitektur postmodern, yang disuarakan
oleh Charles Jenks, Heinrich Klotz dan Robert Venturi, hanyalah salah satu
interpretasi wacana estetis-filosofis yang saat itu sedang membentuk
dirinya: postmodernisme. Postmodernisme adalah wacana kesadaran yang
mencoba mempertanyakan kembali batas-batas, implikasi dan realisasi
asumsi-asumsi modernisme; kegairahan untuk memperluas cakrawala estetika,
tanda dan kode seni modern; wacana kebudayaan yang ditandai dengan kejayaan
kapitalisme, penyebaran informasi dan teknologi secara massif, meledaknya
konsumerisme, lahirnya realitas semu, dunia hiperrealitas dan simulasi,
serta tumbangnya nilai-guna dan nilai-tukar oleh nilai-tanda dan
nilai-simbol. Serangkaian kesadaran dan keyakinan baru ini mencakup
berbagai bidang kehidupan. Dalam dunia seni misalnya, terdapat nama Marcel
Duchamp dengan readymade art dan Andy Warhol dengan seni pop kaleng sup.
Dalam dunia arsitektur terdapat nama Charles Jenks dengan karya teoritisnya
The Language of Postmodern Architecture (1984) dan Robert Venturi dengan
Complexity and Contradiction in Architecture (1962) yang memproklamirkan
semboyan less is bore (mengejek semboyan less is more dalam arsitektur
modern yang dikumandangkan oleh Mies van der Rohe, salah seorang penggagas
awal arsitektur modern) (Andy Siswanto, 1994: 36). Dalam dunia drama
terdapat nama Bertold Brecht dengan konsep pengasingan dan Antonin Artaud
dengan teater absurd. Dalam dunia musik terdapat nama Nicholas Cage dengan
musik alam dan Stockhausen dengan oriental music. Dalam dunia sinema
terdapat nama David Lynch dengan Blue Velvet dan Quentin Tarantino dengan
serangkaian film generasi baru (Denzin, 1988: 461). Dalam dunia sastra
muncul nama Burroughs dengan cerita cut up dan Gabriel Marquez dengan novel
realisme magis One Hundred Year of Solitude (1976). Dalam disiplin
antropologi terdapat nama S.A Tyler, M.J Fischer dan kelompok Rice Circle
dengan experimental ethnography. Dalam disiplin sosiologi terdapat nama
Norman Denzin dengan kajian film dan Pierre Bordieu dengan theatrum
politicum. Dan dalam wilayah filsafat terdapat nama Jean Francois Lyotard
dengan konsep paralogi, disensus dan delegitimasi, Jacques Derrida dengan
dekonstruksi, Michel Foucault dengan kajian tentang arkeologi pengetahuan,
genealogi sejarah seksualitas dan teknologi kekuasaan, serta Jean
Baudrillard dengan kajian budaya tentang dunia simulasi, hiperrealitas,
simulacra dan dominasi nilai-tanda dan nilai-simbol dalam realitas
kebudayaan dewasa ini (Featherstone, 1988: 196).

Kesemarakan dan kegairahan kepada tema postmodernisme ini bukanlah tanpa
alasan. Sebagai sebuah pemikiran, postmodernisme pada awalnya lahir sebagai
reaksi kritis dan reflektif terhadap paradigma modernisme yang dipandang
gagal menuntaskan proyek Pencerahan dan menyebabkan munculnya berbagai
patologi modernitas. Pauline M. Rosenau, dalam kajiannya mengenai
postmodernisme dan ilmu-ilmu sosial, mencatat setidaknya lima alasan
penting gugatan postmodernisme terhadap modernisme (Rosenau, 1992: 10).
Pertama, modernisme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah
masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para
pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri
dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi
kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan
fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam keyakinan
bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang
dihadapi manusia. Namun ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya
berbagai patologi sosial. Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan
dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia karena terlalu menekankan
atribut fisik individu. Dengan latar belakang demikian, modernisme mulai
kehilangan landasan praksisnya untuk memenuhi janji-janji emansipatoris
yang dahulu lantang disuarakannya. Modernisme yang dulu diagung-agungkan
sebagai pembebas manusia dari belenggu mitos dan berhala kebudayaan abad
pertengahan yang menindas, kini terbukti justru membelenggu manusia dengan
mitos-mitos dan berhala-berhala baru yang bahkan lebih menindas dan
memperbudak.

Pada titik inilah pemikiran tentang kebudayaan postmodern memiliki arti
penting. Perubahan watak dan karakter modernisme dalam tampilannya yang
paling kontemporer, telah mendorong lahirnya tanggapan kritis terhadap
kebudayaan dewasa ini. Pemikiran kebudayaan postmodern Jean Baudrillard,
sebagai salah satu kajian penting paradigma postmodernisme, adalah salah
satu kunci untuk memahami pengertian dan watak postmodernisme.

B. Tujuan Penelitian


Studi ini memiliki beberapa tujuan : pertama, melakukan inventarisasi
pemikiran Baudrillard melalui sumber-sumber pustaka yang ada, baik secara
langsung ataupun tidak, yang berhubungan dengan tema kebudayaan postmodern.
Kedua, melakukan tinjauan kritis dan sistematis terhadap pemikiran
kebudayaan postmodern Baudrillard agar diperoleh pemahaman yang integral
dan komprehensif pada dataran filsafat. Juga diupayakan pemaparan komentar,
penilaian dan interpretasi, dukungan serta keberatan yang diajukan terhadap
pemikiran Baudrillard. Ketiga, melakukan evaluasi kritis terhadap pemikiran
Baudrillard dengan mengadakan refleksi dan interpretasi pemikiran dan
kritik filsuf atau komentator lain agar didapatkan sebuah pemahaman baru
berupa sintesis menuju dataran praksis yang konsisten.

C. Tinjauan Pustaka


Miletos, kota kecil di gugusan kepulauan Yunani abad ke-6 SM adalah tempat
bermulanya cerita besar tentang penaklukan alam oleh manusia. Di kota
itulah sebermula runtuhnya mitos-mitos arkhaik tentang alam yang berupa
dongeng, fabel ataupun kepercayaan. Sejak saat itu manusia serta-merta
memberontak dari kungkungan kebudayaan mitologis dan berusaha menggunakan
akalnya untuk menjelaskan dunia. . Sejarah penaklukan alam dibawah tatapan
akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates, filsuf besar Yunani, mempertegas
usaha ini dengan semboyannya yang sangat terkenal, Kenalilah dirimu
sendiri. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya menggemakan pemikiran
sang guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep manusia. Menurut
Plato, manusia terdiri dari 3 tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia),
kehendak (thymos) dan rasio (logos). Rasio adalah tingkatan tertinggi,
sekaligus mengatur dan melingkupi fungsi-fungsi yang lain. Pandangan Plato
tentang manusia ini membawanya pada konsepsi negara ideal yang analog
dengan tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog
dengan rasio). Kedua, para prajurit (analog dengan kehendak). Ketiga, para
petani dan tukang (analog dengan tubuh) (Harun Hadiwijono, 1994: 43-44).
Dengan konsepsi seperti ini Plato memperteguh keyakinan subjektivitas
manusia dengan konstruksi kebudayaan (negara) yang berpijak pada rasio.

Sejarah filsafat berikutnya bergulir sampai pada satu titik yang memiliki
makna penting bagi kelahiran era modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme
Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir sebagai jawaban terhadap kejumudan dan
kebekuan pemikiran abad pertengahan. Renaisans yang berarti kelahiran
kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama yang beku selama abad
pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan
menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari
kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat dan
martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Makna penting Renaisans
dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya sebagai tempat persemaian
benih Pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern.

Seorang filsuf besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene
Descartes, Bapak Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern.
Dengan mengadopsi dan mensintesakan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya,
Descartes berambisi membangun metode pengetahuan yang berlaku untuk setiap
bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui
strategi kesangsian metodis. Dengan meragukan segala sesuatu, Descartes
ingin menemukan adanya hal yang tetap yang tidak dapat diragukan. Itulah
kepastian bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang segala sesuatu. Rumusan
terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum, Cogito ergo sum, Aku
berpikir maka aku ada. Dengan diktum ini, rasio sekali lagi diyakini mampu
mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang
menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Sejarah
kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua
filsuf Jerman, Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir
inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant
dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat
identitas (idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi
kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio,
subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear,
objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.

Sejarah pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip
modernitas selanjutnya merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern
hadir sebagai kekuatan emansipatoris yang menghantar manusia pada realitas
baru. (Awuy, 1995: 41). Sementara itu dalam dunia ilmu dan kebudayaan,
modernitas ditandai dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat,
penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan kapitalisme lanjut,
konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer, maraknya industri
informasi televisi, koran, iklan, film, internet berkembangnya konsep
nation-state (negara-bangsa), demokratisasi dan pluralisme.

Namun dalam penampilannya yang mutakhir tersebut, modernisme mulai
menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya: penuh kontradiksi, ideologis
dan justru melahirkan berbagai patologi modernisme. Modernisme inilah yang
telah mencapai status hegemonis semenjak kemenangan Amerika dan para
sekutunya dalam Perang Dunia II (Ariel Heryanto, 1994: 80), yakni
modernisme yang tidak lagi kaya watak seperti saat awal kelahirannya, namun
modernisme yang bercorak monoton, positivistik, teknosentris dan
rasionalistik; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah
linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang
diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem produksi.
Unsur-unsur utama modernisme: rasio, ilmu dan antropomorphisme, justru
menyebabkan reduksi dan totalisasi hakekat manusia. Memang benar, di satu
sisi modernisme telah memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan
manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi,
penyebaran informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Namun di sisi
lain, modernisme juga telah menyebabkan lahirnya berbagai patologi:
dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang
perbedaan kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali Perang
Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta ekonomi. Berbagai patologi
inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran postmodernisme
terhadap modernisme.

Jejak-jejak pemikiran yang bernaung di bawah payung postmodernisme dalam
banyak bidang kehidupan: seni, sastra, politik, ekonomi, arsitektur,
sosiologi, antropologi dan filsafat sebenarnya sudah dapat dilacak jauh
ke alur sejarah modernisme sendiri. Lahirnya beragam bentuk realitas baru:
seni bumi, seni avant garde, seni video, sastra marjinal, sastra yang
terdiam, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas
Kuhn dan pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche,
Husserl, Heidegger, hingga Mahzab Frankfrut adalah benih-benih lahirnya
pemikiran postmodernisme.

Terutama dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran
ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard
seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian
kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern
Condition: A Report on Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide
dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang
dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut
Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi,
prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah
dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip
kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi
berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan
logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy,
1995: 161). Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan
langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini,
seperti dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni merupakan indikasi
lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan,
bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk
menang atau menaklukan realitas lain (Lash, 1990: 234).

Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme:
rasio, ego, ide absolut, totalitas, teleologi, oposisi biner, subjek,
kemajuan sejarah linear yang disebutnya Grand Narrative telah kehilangan
legitimasi (Awuy, 1995: 158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut
tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis,
eksploitatif, dominatif dan semu.

Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang
filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan
strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah
terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk
memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang
senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Ahmad
Sahal, 1994: 21). Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas
dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh
dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah
totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya
batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsep-metafor,
kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan. Wacana-wacana
yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras
kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan
kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak
ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.

Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf
sejarawan Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan
pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan
pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan
murni dan pengetahuan ideologis, Foucault menyatakan pengetahuan dan
kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa
kekuasaan vice versa. Selanjutnya menurut Foucault kekuasaan tidaklah
seperti yang dipahami kaum Weberian atau Marxian. Kaum Weberian memahami
kekuasaan sebagai kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain.
Sementara kaum Marxian memahami kekuasaan sebagai artefak material yang
bisa dikuasai dan digunakan untuk menindas kelas lain. Secara cerdas
Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan
teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau
kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak memiliki,
melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana
(Ahmad Sahal, 1994: 17). Pandangan tentang kuasa/pengetahuan yang tidak
berpusat, tidak mendominasi dan menyebar ini kemudian membawa Foucault
untuk menolak asumsi rasio-kritis yang universal ala Kantian. Baginya rasio
tidak universal, karena seperti disuarakan Charles Baudelaire, seorang
penyair Perancis ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni: ironi.
Karenanya Foucault sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang
universal. Ia memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tak
jamak semisal penjara, orang gila, rumah sakit, barak-barak tentara,
pabrik, seks, pasien dan kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan
dengan pilihan ini, sekali lagi Foucault meneguhkan semangat emansipasi
kaum tertindas yang telah diawali oleh Lyotard dan Derrida.

Akhirnya, sebuah suara lain yang mencoba membaca dan menyingkap perubahan
watak modernisme adalah Jean Baudrillard. Filsuf Perancis ini mengambil
jalan agak berbeda dengan para pendahulunya. Dengan mengambil alih
pemikiran Marcel Mauss, Georges Bataille, Karl Marx, Roland Barthes dan
Marshal McLuhann Baudrillard memusatkan diri menganalisa modernisme dari
ranah budaya. Bertitik tolak dari itu ia menunjukkan adanya diskontinuitas
budaya dalam realitas masyarakat dewasa ini.

Melalui bukunya Simulations (1983), Baudrillard mengintrodusir karakter
khas masyarakat Barat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Inilah
masyarakat yang hidup dengan silang-sengkarut kode, tanda, dan model yang
diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam sebuah simulacra (Lechte,
1994: 235). Simulacra adalah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung.
Merujuk Baudrillard, terdapat tiga tingkatan simulacra (Baudrillard, 1983:
54-56). Pertama, simulacra yang berlangsung semenjak era Renaisans hingga
permulaan Revolusi Industri. Simulacra pada tingkatan ini merupakan
representasi dari relasi alamiah berbagai unsur kehidupan. Kedua,
simulacra yang berlangsung seiring dengan perkembangan era industrialisasi.
Pada tingkatan ini, telah terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat
dampak negatif industrialisasi. Ketiga, simulacra yang lahir sebagai
konsekuensi berkembangnya ilmu dan teknologi informasi. Simulacra pada
tingkatan ini merupakan wujud silang-sengkarut tanda, citra dan kode budaya
yang tidak lagi merujuk pada representasi. Selanjutnya dalam mekanisme
simulasi, manusia dijebak dalam ruang realitas yang dianggapnya nyata,
padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Realitas semu ini merupakan
ruang antitesis dari representasi semacam dekonstruksi representasi dalam
wacana Derrida. Dengan contoh yang gampang Baudrillard menggambarkan dunia
simulasi dengan analogi peta. Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah
peta merupakan representasi dari suatu wilayah, dalam mekanisme simulasi
yang terjadi adalah sebaliknya. Peta mendahului wilayah. Realitas sosial,
budaya, bahkan politik, dibangun berlandaskan model-model yang telah dibuat
sebelumnya. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin
kenyataan, melainkan model-model (Baudrillard, 1987: 17). Boneka Barbie,
tokoh Rambo, telenovela, iklan televisi, Doraemon atau Mickey Mouse adalah
model-model acuan nilai dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini.
Dalam wacana simulasi, manusia mendiami ruang realitas, dimana perbedaan
antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan palsu sangat tipis.
Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China Town, Las
Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi model realitas-semu Amerika adalah
representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Lewat televisi,
film dan iklan, dunia simulasi tampil sempurna. Inilah ruang yang tak lagi
peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi,
representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi semuanya lebur
menjadi satu dalam silang-sengkarut tanda (Baudrillard, 1987: 33).
Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini dengan micro processor, memory
bank, remote control, telecard, laser disc, dan internet menurut
Baudrillard tidak saja dapat memperpanjang badan atau sistem syaraf
manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas,
masa lalu dan nostalgia; menciptakan realitas baru dengan citra-citra
buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta
melipat realitas ke dalam sebuah disket atau memory bank. Lebih jauh,
realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang
sesungguhnya dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Citra lebih
meyakinkan ketimbang fakta. Dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan
sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas: realitas yang berlebih, meledak,
semu. Dengan televisi dan media massa misalnya, realitas buatan
(citra-citra) seolah lebih real dibanding realitas aslinya. Tokoh Rambo,
boneka Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek Voyager yang merupakan
citra-citra buatan nampak lebih dekat dan nyata dibanding keberadaan
tetangga kita sendiri. Dalam kondisi seperti ini, realitas, kebenaran,
fakta dan objektivitas kehilangan eksistensinya. Hiperrealitas adalah
realitas itu sendiri (Baudrillard, 1983: 183). Yakni, era yang dituntun
oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi (Baudrillard, 1983:
2). Dimana, yang nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan
selalu direproduksi (Baudrillard, 1983: 146).

Sementara itu dalam bukunya Symbolic Exchange and Death (1993) Baudrillard
menyatakan bahwa sejalan dengan perubahan struktur masyarakat simulasi,
telah terjadi pergeseran nilai-tanda dalam masyarakat kontemporer dewasa
ini yakni dari nilai-guna dan nilai-tukar ke nilai-tanda dan nilai-simbol.
Berangkat dari analisa masyarakat produksi Marx dengan konsep-konsep:
nilai-guna (use-value), nilai-tukar (exchange-value), fetishism of
commodity, social class, teori gift (pemberian) Marcell Mauss dan teori
expenditure (belanjaan) Georges Bataille, pemikiran Baudrillard akhirnya
menyempal dari pemikiran sang pendahulunya dan mengambil jalannya sendiri.
Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat konsumeristik dewasa ini, nilai-guna
dan nilai-tukar, seperti disarankan Marx, sudah tidak lagi bisa diyakini.
Sementara dari Mauss dan Bataille, Baudrillard bersepakat bahwa aktivitas
konsumsi manusia sebenarnya didasarkan pada prinsip non-utilitarian
(Lechte, 1994: 233). Kini, menurut Baudrillard, adalah era kejayaan
nilai-tanda dan nilai-simbol yang ditopang oleh meledaknya citra dan makna
oleh media massa dan perkembangan teknologi. Sesuatu tidak lagi dinilai
berdasarkan manfaat atau harganya, melainkan berdasarkan prestise dan makna
simbolisnya (Lechte, 1994: 234). Mengacu Marx, terdapat dua nilai-tanda
dalam sejarah kebudayaan manusia yakni, nilai-guna (use-value) dan
nilai-tukar (exchange-value). Nilai-guna merupakan nilai asali yang secara
alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap objek
dipandang memiliki guna bagi kepentingan manusia. Nilai inilah yang
mendasari bangunan kebudayaan masyarakat awal. Selanjutnya dengan
perkembangan kapitalisme, lahir nilai baru yakni nilai-tukar. Nilai-tukar
dalam masyarakat kapitalis memiliki kedudukan penting karena dari sanalah
lahir konsep komoditi. Dengan konsep komoditi, segala sesuatu dinilai
berdasarkan nilai-tukarnya.

Sementara itu, menurut Baudrillard, telah terjadi perubahan dalam struktur
masyarakat Barat dewasa ini. Masyarakat Barat dewasa ini adalah masyarakat
konsumer: masyarakat yang haus mengkonsumsi segala sesuatu tidak hanya
objek-real, namun juga objek-tanda. Inilah masyarakat yang hidup dengan
kemudahan dan kesejahteraan yang diberikan oleh perkembangan
kapitalisme-lanjut, kemajuan ilmu dan teknologi, ledakan media dan iklan.
Tanda menjadi salah satu elemen penting masyarakat konsumer. Sejalan dengan
itu, Baudrillard mengubah periodisasi yang dibuat Marx mengenai tingkat
perkembangan masyarakat dari: masyarakat feodal, masyarakat kapitalis dan
masyarakat komunis, menjadi masyarakat primitif, masyarakat hierarkis dan
masyarakat massa. Menurut Baudrillard, dalam masyarakat primitif, tidak ada
elemen tanda. Objek dipahami secara alamiah dan murni berdasarkan
kegunaannya. Selanjutnya dalam masyarakat hierarkis, terdapat sedikit
sirkulasi elemen tanda dalam suatu budaya simbol yang baru tumbuh. Saat
inilah lahir prinsip nilai-tukar. Akhirnya, dalam masyarakat massa,
sirkulasi tanda mendominasi seluruh segi kehidupan. Dalam masyarakat massa,
media menciptakan ledakan makna yang luar biasa hingga mengalahkan realitas
nyata. Inilah saat ketika objek tidak lagi dilihat manfaat atau
nilai-tukarnya, melainkan makna dan nilai-simbolnya (Baudrillard, 1993:
68-70).

Berangkat dari analisa Marx diatas, serta dengan membaca kondisi masyarakat
Barat dewasa ini, Baudrillard menyatakan bahwa dalam masyarakat
kapitalisme-lanjut (late capitalism) dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar
telah dikalahkan oleh sebuah nilai baru, yakni nilai-tanda dan
nilai-simbol. Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang lahir bersamaan dengan
semakin meningkatnya taraf ekonomi masyarakat Barat, lebih memandang makna
simbolik sebuah objek ketimbang manfaat atau harganya. Fenomena kelahiran
nilai-tanda dan nilai-simbol ini mendorong Baudrillard untuk menyatakan
bahwa analisa komoditi Marx sudah tidak dapat dipakai untuk memandang
masyarakat Barat dewasa ini. Hal ini karena dalam masyarakat
kapitalisme-lanjut Barat, perhatian utama lebih ditujukan kepada simbol,
citra, sistem tanda dan bukan lagi pada manfaat dan harga komoditi.
Lebih lanjut Baudrillard menyatakan kebudayaan postmodern memiliki
beberapa ciri menonjol. Pertama, kebudayaan postmodern adalah kebudayaan
uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting
dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi
dan makna uang dalam budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai
alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif
utama berlangsungnya kebudayaan. Kedua, kebudayaan postmodern lebih
mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), media
(medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang fakta
(fact), sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem objek (system of
objects), serta estetika (aesthetic) ketimbang etika (ethic). Ketiga,
kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang
terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun
reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Keempat, sebagai
konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan
sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang
kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan
realitas yang sesungguhnya (fakta). Kelima, kebudayaan postmodern ditandai
dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media massa.
Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan
teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen
sebagai institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan
parlemen (Harvey, 1989: 102).

Dalam konstruksi kebudayaan seperti inilah artefak-artefak budaya
postmodern menemukan dirinya. Tidak ada lagi mitos Sang Seniman dalam
wacana seni modern yang berpretensi membebaskan dunia. Tidak ada lagi karya
seni, kecuali reproduksi dari berbagai unsur seni yang sudah ada. Tidak ada
lagi perbedaan antara seni rendah dan seni tinggi, seni populer (popular
art) dan seni murni (fine art). Estetika seni postmodern ditandai dengan
prinsip-prinsip pastiche (peminjaman dan penggunaan berbagai sumber seni
masa lalu), parodi (distorsi dan permainan makna), kitsch (reproduksi gaya,
bentuk dan ikon), serta camp (pengelabuhan identitas dan penopengan
(Pilliang, 1998: 109).

D. Landasan Teori


Diskursus kebudayaan postmodern mendapatkan legitimasi
sosio-kultural-filosofisnya justru dari kegamangan era modern dalam
menuntaskan proyek Pencerahan. Proyek modernisme yang dihidupi oleh
semangat Pencerahan ini dengan keyakinan akan prinsip kemajuan sejarah
yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, keampuhan rekayasa bagi suatu
masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan tata pengetahuan dan sistem
produksi yang keras saat ini tengah menghadapi ujian besar dengan
menyebarnya berbagai patologi modernitas.

Postmodernisme mencoba mempertanyakan kembali posisi, batas dan implikasi
asumsi-asumsi modernisme yang kini telah menjelma menjadi mitos baru. Dalam
kerangka kritis itulah Jean Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan
masyarakat Barat dewasa ini. Dengan mengadopsi dan mengembangkan
pemikiran-pemikiran Karl Marx tentang nilai-guna (use-value) dan
nilai-tukar (exchange-value), semiologi Roland Barthes, society of
spectacle Guy Debord, serta konsep global village dan medium is message
Marshal McLuhan, Baudrillard menyatakan bahwa realitas kebudayaan dewasa
ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya dengan realitas
kebudayaan modern masyarakat Barat. Inilah kebudayaan postmodern yang
memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta didominasi
oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan yang saat ini
menghidupi dan sekaligus kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak
dapat ditolak. Wacana kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan sekaligus
peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain realitas masyarakat
dewasa ini.

Modernisme dan Postmodernisme


A. Runtuhnya Era Modernisme


Ricardo Contreras, seorang penulis Meksiko, pada tahun 1888 mencatat mulai
munculnya referensi pertama istilah modernisme dalam sejarah kebudayaan
masyarakat Barat (Smart. 1990: 18). Menurut Contreras, istilah modernisme
atau modernismo dalam bahasa Spanyol saat itu merupakan sebutan bagi
gerakan-gerakan kebudayaan lokal di Amerika Latin yang memperjuangkan
emansipasi dan otonomi budaya baru untuk melepaskan diri dari cengkeraman
hegemoni kebudayaan Spanyol. Istilah modernisme saat itu tentu belum
merupakan epoch sejarah baru yang bermaksud memutuskan diri dari realitas
sejarah sebelumnya. Ia baru muncul sebagai istilah kebudayaan yang
menghendaki sesuatu yang baru, yang berbeda, seperti halnya arti kata
modern yang diadopsi dari bahasa Latin tersebut. Namun semenjak saat itu
istilah modern dan modernisme beserta kata-kata turunannya: modernitas dan
modernisasi telah mulai kerap digunakan sebagai kata kunci untuk
menjelaskan telah lahirnya cahaya baru kebudayaan dan realitas sosial
masyarakat Barat.

Secara historis, semangat dan jiwa modernisme sendiri sebenarnya bisa
ditelusuri semenjak era Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M.
Bahkan Arnold Toynbee, seorang filsuf sejarawan, melalui bukunya A Study of
History (1947), menyatakan bahwa awal Era Modern dalam Sejarah Kebudayaan
Masyarakat Barat terjadi pada paruh kedua abad ke-15 M di daratan Eropa,
dimana saat itu muncul fenomena pharisaisme budaya dan teknologi penguasaan
samudera secara ekstensif (Smart, 1990: 16). Kedua fenomena sejarah
tersebut, menurut Toynbee, merupakan titik awal kedewasaan dan kematangan
manusia untuk mulai berani menguasai alam dan melepaskan diri dari
dogma-dogma institusi agama. Dengan keberanian inilah manusia menyatakan
telah memasuki era baru, era pasca Abad Pertengahan, yakni era modern. Di
sisi lain, Marshall Berman, dalam kajiannya tentang modernisme, menyatakan
bahwa era modern telah dimulai sejak era Renaisans abad ke-16 M dan
berkembang dalam tiga fase sejarah modernisme. Fase pertama, adalah
modernisme yang berkembang semenjak awal abad ke-16 M hingga akhir abad
ke-18 M, dimana orang baru mulai merasakan pengalaman kehidupan modern.
Modernisme pada tahap ini ditandai oleh mulai diyakininya rasio, keberanian
menghadapi kehidupan secara nyata, memudarnya religiusitas dalam berbagai
segi kehidupan, serta lahirnya pemberontakan kreatif dalam dunia seni. Fase
kedua, adalah modernisme yang ditandai dengan Revolusi Perancis dan
kekacauan sosial, politik dan ekonomi yang seringkali dihubungkan dengan
momentum Gelombang Revolusi Besar 1790. Inilah wajah modernisme yang mulai
diwarnai oleh benih-benih konflik, perbedaan dan anomali. Lenturnya ikatan
sosial, runtuhnya keyakinan tradisional dan agama, serta pesatnya
perkembangan sosial, telah mendorong munculnya berbagai masalah yang
sebelumnya tidak diperhitungkan. Fase ketiga, adalah modernisme yang
dimulai ketika terjadi proses modernisasi global dan pembentukan kebudayaan
dunia modern secara massal dimana semakin banyak terjadi kekacauan sosial
dan politik, ketidakpastian dan ancaman terhadap realitas dunia yang baru
terbentuk Inilah puncak anomali realitas modern, yang ternyata tidak mampu
mewujudkan impian menciptakan kehidupan yang lebih baik. Dan justru
sebaliknya, menciptakan berbagai masalah besar yang menyengsarakan umat
manusia (Smart, 1990: 16).

Istilah modern sendiri, yang berarti zaman baru, berasal dari bahasa Latin
modernus, yang telah digunakan pada abad ke-5 M untuk menunjuk batas antara
era kekuasaan agama Kristen dan era Paganisme Romawi (Smart, 1990: 15).
Istilah ini kemudian berkembang menjadi beberapa istilah turunan yang
kesemuanya menunjuk pada suatu kurun sejarah setelah era Abad Pertengahan.
Beberapa istilah tersebut adalah modernitas, modernisasi dan modernisme.
Dalam penggunaannya, seringkali terjadi tumpang tindih dan simplifikasi
pengertian diantara berbagai istilah ini. Meskipun demikian, diterima suatu
kenyataan bahwa yang diacu oleh istilah-istilah ini adalah suatu era
kebudayaan baru yang ditegakkan oleh rasio, subjek dan wacana
antropomorfisme. Istilah modernitas diartikan sebagai kondisi sosial
budaya masyarakat modern. Ia juga menyiratkan adanya perubahan paradigma
yang diperoleh dengan jalan pintas, dari bentuk lama ke bentuk baru.
Istilah ini sekaligus menggambarkan hubungan antara masa kini dan masa
silam yang tampil dalam bentuknya yang baru dengan jasa Renaisans abad
ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M sebagai kurun sejarah yang berbeda dan
superior dalam alur sejarah kebudayaan masyarakat Barat. Modernitas inilah
merujuk Calinescu yang merupakan era yang lebih dewasa, lebih utuh dan
mendasar dalam aspek-aspek rasio, religi dan estetika dibanding era
sebelumnya (Smart, 1990: 16). Modernitas sekaligus juga menjadi titik awal
baru lantaran ia menawarkan hal-hal baru seperti: pengetahuan, moral, ilmu,
kebudayaan, politik serta seni.

Modernisasi berarti proses berlangsungnya proyek mencapai kondisi
modernitas yang digerakkan oleh semangat rasionalitas instrumental modern.
Modernisasi mencakup proses pengucilan karya-karya klasik, warisan masa
lampau dan sejarah purbakala, karena modernitas pada hakekatnya mengambil
posisi yang berlawanan dengan hal-hal lama demi terciptanya hal-hal baru.
Dengan demikian, modernisasi adalah pandangan dan sikap hidup yang dianut
untuk menghadapi masa kini, yakni pandangan dan sikap hidup dalam
menghadapi kenyataan hidup masa kini. Modernisasi ditandai oleh pemutusan
hubungan secara tegas terhadap nilai-nilai tradisional; berkembangnya
sistem ekonomi kapitalisme progresif; rasionalisasi administratif; serta
diferensiasi sosial dan budaya (Featherstone, 1988: 197). Kembali merujuk
Berman, realitas modern yang dicapai melalui proses modernisasi ini
memiliki beberapa komponen utama, yakni industrialisasi, urbanisasi, konsep
negara-bangsa (nation-state), struktur birokrasi, pertumbuhan penduduk yang
tinggi, sistem komunikasi dan kekuasaan baru, serta pasar kapitalisme dunia
(Turner, 1990: 137).

Sementara itu modernisme umumnya dilihat sebagai paradigma kebudayaan,
khususnya seni. Ia mengacu pada gaya dan gerakan seni yang mula-mula muncul
sebagai konsekuensi perlawanan terhadap seni Abad Pertengahan. Tokoh-tokoh
seni yang dianggap mewakili gerakan modernisme misalnya adalah Kafka, Mann,
dan Gide dalam dunia sastra; Stravinsky, Schoenberg dan Berg dalam musik;
Strindberg, Pirandelo dan Wedehind dalam drama; serta Picasso, Matisse dan
Cezanne dalam seni lukis (Featherstone, 1988: 202). Dalam konteks ini,
modernisme dianggap bermula pada akhir abad ke-19 M (Lash, 1990: 123).
Modernisme merupakan keyakinan yang cenderung mensubordinasikan yang
tradisional di bawah yang baru. Dalam wilayah seni, ia merupakan tindak
diferensiasi terhadap dunia nyata yang bersifat non-referensial dan
anti-realis (Lash, 1990: 124). Akibat praksis tindakan ini bisa terbagi
dua: konservatif dan radikal. Modernisme menjadi konservatif manakala
proses subordinasi yang lama di bawah yang baru justru menyelamatkan yang
lama dari kehancuran. Sebaliknya, modernisme menjadi radikal manakala
proses subordinasi tadi mengambil bentuk pengingkaran bahkan penghapusan
yang tradisional. Modernisme konservatif seringkali terdapat dalam lapangan
agama. Sementara modernisme radikal banyak terdapat pada wilayah
kebudayaan, terutama seni.

Rasionalitas modernisme yang berkembang semenjak era Renaisans abad ke-16
M ini memiliki dua karakter mendasar. Pertama, sebagai rasionalitas tujuan
(Zweckrationalitat). Kedua, sebagai rasionalitas nilai (Wertrationalitat).
Merujuk Max Weber, sosiolog Jerman yang mengkaji modernisme secara
mendalam, karakter pertama rasionalitas modernisme mengacu pada pengertian
perhitungan yang masuk akal untuk mencapai sasaran berdasarkan
pilihan-pilihan yang masuk akal dan dengan sarana-sarana yang efisien serta
mengacu pada perumusan nilai-nilai tertinggi yang mengarahkan tindakan dan
orientasi-orientasi yang terencana secara konsisten dari pencapaian
nilai-nilai tersebut. Rasionalitas ini berwatak formal, karena hanya
mementingkan cara-cara mencapai tujuan dan tidak mengindahkan nilai-nilai
yang dihayati sebagai intisari kesadaran. Karakter kedua rasionalitas
modernisme mengacu pada kesadaran akan nilai-nilai etis, estetis dan
religius. Rasionalitas ini berwatak substantif, karena lebih mementingkan
komitmen rasional terhadap nilai-nilai yang dihayati secara pribadi. Namun,
diantara kedua bentuk rasionalitas ini yang sangat dominan dalam realitas
dunia modern adalah rasionalitas tujuan.

Dalam kajian pentingnya tentang modernisme tersebut, selanjutnya Weber
menyatakan bahwa pada dasarnya modernitas adalah gagasan yang menyangkut
persoalan pemisahan bidang-bidang nilai dan tatanan kehidupan. Ia
berpendapat bahwa wilayah-wilayah nilai ekonomi, etika, hukum dan estetika,
yang sebelumnya terstruktur dengan satu prinsip kesatuan dalam wilayah
religius Abad Pertengahan, kemudian mulai dipisahkan oleh rasionalisme
Pencerahan. Landasan utama argumen Weber ini adalah adanya fenomena
otonomisasi wilayah-wilayah nilai terutama wilayah nilai estetis. Dengan
merosotnya agama, lapangan estetika seolah menjadi satu-satunya tempat
pelarian dalam dunia yang sarat beban mencapai rasionalitas tujuan (Lash,
1990: 157). Karakter lain modernitas adalah, ia bukan hanya memutuskan
hubungan dengan seluruh warisan historis masa lampau, namun juga
mendesakkan proses fragmentasi internal yang tak pernah berhenti dalam
dirinya sendiri (Harvey, 1990: 12).

Modernitas, menurut Weber merupakan konsekuensi proses modernisasi, dimana
realitas sosial berada di bawah bayang-bayang dan dominasi asketisme,
sekularisasi, klaim universalistik tentang rasionalitas instrumental,
diferensiasi bidang-bidang kehidupan, birokratisasi ekonomi,
praktek-praktek politik dan militer, serta tumbuhnya moneterisasi
nilai-nilai. Modernitas lahir bersamaan dengan menyebarnya imperialisme
Barat abad ke-16 M; dominasi kapitalisme Eropa Utara, khususnya di Inggris
dan Belanda; pengakuan dan penerapan metode ilmiah Francis Bacon dan Isac
Newton; institusionalisasi keyakinan dan praktek-praktek Calvinisme di
Eropa Utara; pemisahan konsep keluarga dari kelompok kekerabatan yang umum;
serta pembentukan konsep negara-bangsa (nation-state) abad ke-19 M (Turner,
1990: 6-10). Modernitas juga menunjuk pada perubahan sosial budaya secara
massif, pemutusan hubungan secara radikal terhadap tradisi dan kemapanan
sosial peradaban yang mandeg. Dengan kata lain, modernitas adalah sejarah
penaklukan nilai-nilai lama Abad Pertengahan oleh nilai-nilai baru
Modernisme (Turner, 1990: 4).

Secara epistemologis, modernitas meliputi empat unsur pokok. Pertama,
subjektivitas yang reflektif, yakni pengakuan akan kekuatan-kekuatan
rasional dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Kedua, subjektivitas
yang berkaitan dengan kritik atau refleksi, yakni kemampuan untuk
menyingkirkan kendala-kendala kebebasan dari tradisi dan sejarah. Ketiga,
kesadaran historis yang dimunculkan oleh subjek, bahwa waktu berlangsung
secara linear, unik, tak terulangi dengan titik berat pada kekinian sebagai
sumber sejarah. Oleh sebab itu, modernisme memiliki kata-kata kunci:
revolusi, evolusi, transformasi serta progresi. Dengan kata lain,
modernitas mendukung rasio (di atas wahyu), kemajuan (di atas kemapanan)
dan kebaruan (di atas kelampauan). Keempat, universalisme yang mendasari
ketiga unsur sebelumnya. Dengan universalisme dimaksudkan bahwa
elemen-elemen modernitas bersifat normatif untuk masyarakat yang akan
melangsungkan modernisasi. Secara historis, sifat normatif ini
diaktualisasikan dalam gerakan Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad
ke-18 M. Dengan modernisasi, kebenaran wahyu diuji di hadapan rasio,
legitimasi kekuasaan digugat melalui kritik dan kesahihan tradisi
dipertanyakan berdasarkan harapan akan masa depan yang lebih baik. Dengan
kata lain, semenjak suatu masyarakat menyatakan diri melaksanakan proses
modernisasi, maka masyarakat tersebut harus siap meninggalkan sikap-sikap
naif, dogmatis dan anti-perubahan, untuk kemudian meleburkan diri dalam
suatu proyek sejarah umat manusia mencapai tujuan tertentu di masa depan.

Sementara itu dalam diskursus filsafat, modernisme mulai dibicarakan dan
menemukan kematangannya melalui filsuf-filsuf Descartes, Immanuel Kant dan
Hegel. Melalui pemikiran tokoh-tokoh inilah modernisme mulai memperkokoh
diri dengan kebenaran-kebenaran ontologis, etis dan epistemologis.
Perkembangan modernisme dalam berbagai wilayah kehidupan lainnya tidak
dapat dipungkiri merupakan implementasi pemikiran filosofis ketiga tokoh
ini.

Rene Descarteslah yang menyadarkan manusia akan kedudukan rasio sebagai
determinan pengetahuan dan pembacaan realitas dengan diktumnya Cogito ergo
sum: aku berpikir maka aku ada. Melalui Kant, hasrat emansipasi ini
selanjutnya dibawa kepada kritisism yang menyarankan kategori-kategori
sebagai batas-batas realitas yang terberi. Dengan kategori-kategori ini
setiap ide, gagasan, pengalaman bahkan khayalan direkonstruksi dalam sebuah
ruang pembacaan baku. Dengannya setiap realitas tidak dapat lolos dari
mekanisme pembacaan ini. Kualitas, kuantitas, ruang, waktu, modalitas,
substansi, kausalitas dan lain-lain, seolah-olah telah ditentukan batas dan
nilainya. Selanjutnya melalui Hegel, realitas modernisme disempurnakan
dengan ide gerak sejarah dialektis yang berpuncak pada rasio. Idealisme
absolut, yang merangkul tese dan antitese ke dalam konsepsi Aufgehoben
suatu filsafat identitas menjadi sebuah narasi utama modernisme. Gerakan
Renaisans, yang mendapat ilham dari semangat Humanisme Italia pada abad
ke-16 M, selanjutnya semakin memperkokoh keyakinan akan segera lahirnya era
baru menggantikan era Abad Pertengahan yang dipandang telah jenuh, dogmatis
dan beku. Sementara Pencerahan (Aufklarung) abad ke-18 M menjadi landasan
tegaknya era baru, yakni era modern. Modernisme yang rasional, ketat,
serius, sistematis dan tertib inilah wacana dominan yang mengisi diskursus
sejarah filsafat Barat abad ke-18 M hingga sekarang. Semangat emansipasi,
optimisme dan heroisme menghadapi situasi zaman seolah merupakan
satu-satunya tanggapan terhadap proyek sejarah modernisme.

Padahal, sebagaimana diungkap Michel Foucault, pada waktu itu terdapat pula
tanggapan menyimpang terutama dari kalangan seniman yang bernada ironi
terhadap modernisme. Ironi adalah semacam keberanian, yang disertai
kegetiran, untuk terlibat secara aktif dalam dunia kini dan disini
(lokal-historis) tanpa harus menggantungkan diri pada kebenaran-kebenaran
di luar diri manusia. Ironi juga berarti menjalani hidup tanpa dibebani
oleh prinsip-prinsip baku dan tidak berpretensi untuk menjadi juru selamat.
Membaca modernisme dengan sikap ironi ini berarti menolak anggapan bahwa
modernitas membawa nilai-nilai universal (Ahmad Sahal, 1994: 16). Terdapat
pelbagai nilai, keyakinan, realitas dan praktek-praktek sosial yang
ternyata menyimpang dari rasionalitas era modern. Penyair Perancis Charles
Baudelaire misalnya, adalah salah seorang pembaca modernisme dengan cara
demikian.

Cara membaca seperti diwakili Baudelaire inilah yang kini mulai menyingkap
paradoks modernitas. Suara-suara minoritas modernisme : subkultur, hippies,
punk, skin head, masyarakat terasing, dunia ketiga, kaum gay, gerakan
lingkungan hidup, kaum feminis, budaya tanding mulai menggugat kesombongan
modernisme yang dianggap gagal merampungkan proyek heroisme Pencerahan
untuk membangun sebuah masa depan yang lebih baik. Setidaknya terdapat enam
alasan ekses negatif proyek modernisme yang kini sedang digugat dan
dipertanyakan. Pertama, lantaran pandangan dualistiknya yang membagi
seluruh kenyataan menjadi subjek-objek, spiritual-material, manusia-dunia,
dan lain-lain, telah mengakibatkan objektivasi alam secara berlebihan dan
eksploitasi alam secara semena-mena. Kedua, pandangan modern yang cenderung
objektivistik dan instrumentalis-positivistik akhirnya jatuh pada
pembendaan (reifikasi) manusia dan masyarakat. Sebagai akibatnya modernisme
yang dahulu emansipatif kini justru bersifat dehuman. Ketiga, dominasi
ilmu-ilmu empiris-positivistik terhadap nilai moral dan religi menyebabkan
meningkatnya tindak kekerasan fisik maupun kesadaran keterasingan dan
pelbagai bentuk depresi mental. Keempat, merebaknya pandangan materialisme,
yakni prinsip hidup yang memandang materi dan segala strategi pemuasannya
sebagai satu-satunya tujuan. Kelima, berkembangnya militerisme karena moral
dan agama tidak lagi memiliki kekuatan disiplin dan regulasi. Keenam,
bangkitnya kembali tribalisme, semangat rasisme dan diskriminasi, yang
merupakan konsekuensi logis hukum survival of the fittest Charles Darwin
(I. Bambang Sugiharto, 1996: 29-30). Dampak negatif modernisme ini
sekaligus menjadi senjata para seniman dan kelompok marjinal lainnya untuk
menyerang dan mendesak dipikirkannya kembali Proyek Modernisme.

Pauline M. Rosenau, dalam kajiannya mengenai postmodernisme dan ilmu-ilmu
sosial, mencatat setidaknya lima alasan penting terjadinya krisis
modernisme (Rosenau, 1992: 10). Pertama, modernisme dipandang gagal
mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih baik
sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan
modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan. Ketiga,
terdapat banyak kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan
ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam keyakinan bahwa ilmu pengetahuan
modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia. Namun
ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya berbagai patologi sosial.
Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan
metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut fisik individu.

Sementara itu dalam dunia seni, konsep seni modernisme pun perlahan-lahan
mulai menemui kondisi krisis. Merujuk Featherstone, seni modernisme
memiliki beberapa ciri utama yakni: kesadaran dan refleksi estetis yang
cukup tinggi, penolakan terhadap struktur narasi realitas dan penerimaan
terhadap konsep simultanisme dan montase, eksplorasi terhadap hakekat
realitas yang paradoks, ambigu, dan terbuka, serta penolakan terhadap
gagasan kepribadian yang utuh sembari merayakan gagasan subjek yang dehuman
dan terbelah (Featherstone, 1988: 202). Pandangan modernis demikian mulai
digugat karena tendensi universalisme dan kebenaran estetis yang
seolah-olah merupakan sebuah keniscayaan. Para seniman dan kritikus seni
mulai malas berbicara tentang seni modern yang beku, kelelahan dan kering.
Gagasan seni populer, seni massa, seni fashion yang merangkum pastiche,
parodi, kitsch dan camp, serta perpetual art, seni perpetual, sebaliknya,
mulai banyak dibicarakan. Kondisi yang sama terjadi dalam wilayah kehidupan
dan disiplin ilmu yang lain: sastra, arsitektur, sosiologi, antropologi,
sejarah, politik dan ekonomi.

Panorama modernisme yang terjebak heroisme inilah yang menurut Daniel Bell,
salah seorang pembicara awal postmodernisme, yang merupakan benih krisis
modernitas. Ditambah oleh perkembangan kapitalisme lanjut yang luar biasa
dahsyat, sebagaimana diungkap Fredric Jameson dalam bukunya Postmodernism
or The Cultural Logic of Late Capitalism (1984), maka menjadi wajarlah
gugatan, kejenuhan dan kekecewaan terhadap semangat modernisme.

B. Postmodernisme dan Beberapa Tokohnya


Semenjak awal paruh kedua abad ke-20 M, tepatnya pada kisaran tahun
1960-an, postmodernisme telah muncul sebagai diskursus kebudayaan yang
banyak menarik perhatian. Berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu
seperti: seni, arsitektur, sastra, sosiologi, sejarah, antropologi, politik
dan filsafat hampir secara bersamaan memberikan tanggapan terhadap tema
postmodernisme. Meskipun tidak mudah atau malah hampir tidak ada cara baku
untuk mendefinisikan postmodernisme, namun tema ini bukanlah lahir tanpa
sejarah. Postmodernisme hadir setelah melalui perjalanan sejarah yang
membentuknya hingga sampai pada keadaannya saat ini. Inilah postmodernisme
yang menggugat watak modernisme lanjut yang monoton, positivistik,
rasionalistik dan teknosentris; modernisme yang yakin secara fanatik pada
kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan
rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat tata
pengetahuan dan sistem produksi; modernisme yang kehilangan semangat
emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan modernisme yang
tak lagi peka pada perbedaan dan keunikan (Ariel Heryanto, 1994: 80).
Sebaliknya, postmodernisme menawarkan ciri-ciri yang bertolak belakang
dengan watak era pendahulunya, yakni: menekankan emosi ketimbang rasio,
media ketimbang isi, tanda ketimbang makna, kemajemukan ketimbang
penunggalan, kemungkinan ketimbang kepastian, permainan ketimbang
keseriusan, keterbukaan ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang yang
universal, fiksi ketimbang fakta, estetika ketimbang etika dan narasi
ketimbang teori (Ariel Heryanto, 1994: 80). Karakter yang sering disuarakan
postmodernisme antara lain adalah pluralisme, heterodoks, eklektisisme,
keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi,
pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi,
demistifikasi, delegitimasi serta demistifikasi (Bertens, 1995: 44).

Merujuk Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam (1992),
terdapat delapan ciri karakter sosiologis postmodernisme. Pertama,
timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas,
memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden dan semakin
diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran. Kedua, meledaknya
industri media massa, sehingga ia seolah merupakan perpanjangan dari sistem
indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini pada gilirannya menjadikan
dunia dan ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih dari itu,
kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama dan Tuhan baru yang
menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia. Ketiga, munculnya
radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi
manakala orang semakin meragukan kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat
modern yang dinilai gagal memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskan
manusia dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. Keempat, munculnya
kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta
keterikatan romantisme dengan masa lampau. Kelima, semakin menguatnya
wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya,
wilayah pedesaan (rural area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga
berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju (Negara Dunia Pertama) atas
negara berkembang (Negara Dunia Ketiga). Keenam, semakin terbukanya peluang
bagi pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas untuk mengemukakan
pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Dengan kata lain, era
postmodernisme telah turut mendorong proses demokratisasi. Ketujuh,
munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan
berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan realitas, sehingga
sekarang sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada
kelompok budaya tertentu secara eksklusif. Kedelapan, bahasa yang digunakan
dalam diskursus postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki
kejelasan makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992:
143-4).

Istilah postmodernisme, merujuk Ihab Hassan, dipergunakan pertama kali oleh
Federico de Onis, seorang kritikus seni, pada tahun 1930 dalam tulisannya
Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana untuk menunjuk kepada
reaksi minor terhadap modernisme yang muncul pada saat itu (Featherstone,
1988: 202). Istilah ini kemudian sangat populer di tahun 1960-an ketika
seniman-seniman muda, penulis dan krikitus seni seperti Hassan,
Rauschenberg, Cage, Barthelme, Fielder dan Sontag menggunakannya sebagai
nama gerakan penolakan terhadap seni modernisme lanjut. Seni postmodern
memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan seni modernisme lanjut, yakni:
hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, runtuhnya distingsi
antara budaya tinggi dan budaya massa/populer, maraknya gaya eklektis dan
campur aduk, munculnya kitsch, parodi, pastiche, camp dan ironi, merosotnya
kedudukan pencipta seni, serta adanya asumsi seni sebagai pengulangan,
perpetual art (Featherstone, 1988: 202). Penggunaan istilah postmodernisme
selanjutnya perlahan-lahan mulai menyentuh bidang-bidang yang lain. Dalam
bidang arsitektur, istilah postmodernisme mengacu kepada perlawanan
bentuk-bentuk arsitektur modern yang menonjolkan keteraturan, rasionalitas,
objektif, praktis, ruang isotropis dan estetika mesin, dimana prinsip
bentuk mengikuti fungsi menjadi dewa. Arsitektur postmodernisme,
sebaliknya menawarkan konsep bentuk asimetris, ambigu, naratif, simbolik,
terpiuh, penuh kejutan dan variasi, ekuivokal, penuh ornamen, metafor serta
akrab dengan alam (Andy Siswanto, 1994: 36). Doktrin bentuk mengikuti
fungsi dibalik menjadi fungsi mengikuti bentuk.

Jika modernitas dipahami sebagai kurun waktu sejarah yang berkembang
semenjak era Renaisans, maka postmodernitas adalah kurun waktu sejarah yang
seringkali dikaitkan dengan perubahan realitas dunia seusai Perang Dunia II
(Featherstone, 1988: 197). Postmodernitas ditandai dengan lahirnya
totalitas struktur sosial baru, perkembangan teknologi dan informasi yang
pesat, serta terbentuknya masyarakat komputerisasi, dunia simulasi dan
hiperrealitas.

Merujuk Mike Featherstone, seorang sosiolog dan kritikus kebudayaan,
postmodernisme memiliki tiga ruang pengertian yang berada dalam wilayah
kebudayaan. Pertama, sebagai perubahan bentuk teorisasi, presentasi dan
diseminasi karya seni dan intelektual yang tidak dapat dipisahkan dari
perubahan mikro dalam wilayah kebudayaan. Kedua, sebagai perubahan ruang
budaya yang lebih luas mencakup bentuk-bentuk produksi, konsumsi dan
sirkulasi tanda dan simbol yang dapat dikaitkan dengan perubahan yang lebih
luas pula dalam relasi keseimbangan dan kekuasaan dalam masyarakat. Ketiga,
sebagai perubahan praktek dan pengalaman keseharian berbagai kelompok yang
menggunakan rezim penandaan (regime of signification) dalam berbagai cara
dan gaya, serta mengembangkan sarana-sarana baru bagi orientasi dan
pembentukan identitas (Featherstone, 1988: 208).

Sementara itu, Daniel Bell, seorang sosiolog, bahkan melihat postmodernisme
sebagai puncak tendensi perlawanan terhadap modernisme, dengan hasrat,
insting dan kegairahan untuk membawa logika modernisme sampai ke titik
terjauh yang mungkin bisa dicapai (Featherstone, 1988: 202). Agak berbeda
dengan Bell, Jean Baudrillard, salah seorang pembicara terdepan
postmodernisme, memandang postmodernisme lebih sebagai strategi pembacaan
realitas dengan objek sentral prinsip reproduksi tanda-tanda, kapitalisme
multinasional yang membawa akibat perluasan luar biasa dalam dunia sosial
dan meledaknya budaya massa. Postmodernisme dengan demikian adalah metode
analisa kritis yang mencoba membongkar mitos dan anomali paradigma
modernisme, membuka ironi, intertekstualitas dan paradoks, mencoba
menemukan suatu teori masyarakat postmodern atau postmodernitas, dan
menggambarkannya dalam realitas sosial yang ada dalam masyarakat
kontemporer Barat dewasa ini (Featherstone, 1988: 204).

Untuk memudahkan pemetaan prinsip dan kedudukan modenisme dan
postmodernisme, Ihab Hassan mencoba menyusun sebuah tabel sistematis yang
menggambarkan perbandingan prinsip kedua paradigma pemikiran tersebut
(Harvey, 1995: 43):



Modernisme Postmodernisme
------------------------------------------------------------------------
Romantis/Simbolis Parafisik/Dadisme
Bentuk/Berhubungan/Tertutup Anti Bentuk/Tak Berhubungan/Terbuka
Tujuan Permainan
Desain Kesempatan
Hierarki Anarki
Master/Logos Kejenuhan/Kediaman
Objek Seni/Karya Proses/Penampilan/Happening
Berjarak Partisipasi
Kreasi/Totalisasi/Sintesis Dekreasi/Dekonstruksi/Anti Sintesis
Kehadiran Ketidakhadiran i
Pemusatan Tersebar
Genre/Batas Teks/Interteks
Semantik Retorik
Paradigma Sintagma
Hipotaksis Parataksis
Metafor Metonimi
Seleksi Kombinasi
Akar/Kedalaman Rhizoma/Permukaan
Interpretasi/Pembacaan Melawan-Interpretasi/Kesalahbacaan
Petanda Penanda
Terlihat/Terbaca Tercatat/Tertulis
Narasi/Narasi Besar Anti-Narasi/Narasi Kecil
Tanda Idiolek
Simtom Hasrat
Jenis Mutan
Genital/Phalik Polimorphi/Androgini
Paranoia Schizophrenia
Asli/Sebab Perbedaan/Jejak
Tuhan Setan
Metafisik Ironi
Determinasi Indeterminasi
Transenden Imanen

Sementara itu Julia I. Suryakusuma, menyusun sebuah sistematika
perbandingan paradigma modernisme dan postmodernisme dalam wilayah-wilayah
kehidupan sebagai berikut (Suryakusuma, 1994: 47):


Modernisme Postmodernisme
------------------------------------------------------------------------
Dalam Politik: Dalam Politik:
Negara (nation-state) Relagion
Totalitarian Demokratis
Konsensus Konsensus yang Dipertanyakan
Friksi Kelas Isu Agenda Baru

Dalam Ekonomi: Dalam Ekonomi:
Fordisme Pasca-Fordisme
Kapitalisme Monopoli
Kapitalisme Sosialis
Sentralisasi Desentralisasi

Dalam Masyarakat: Dalam Masyarakat:
Pertumbuhan Pesat Kestabilan yang Berkesinambungan
Industrial Pasca-Industrial
Berstruktur Kelas Berkelompok Kecil
Proletariat Kognitariat

Dalam Kebudayaan: Dalam Kebudayaan:
Kemurnian Double Coding
Elitisme Massa
Objektivisme Naturalisme
Dalam Estetika: Dalam Estetika:
Harmoni Sederhana Anti-Harmoni
Estetika Newtonian Estetika Big-Bang
Top-Down Terintegrasi Semiosis
Ahistoris Historis

Dalam Filsafat: Dalam Filsafat:
Monisme Pluralisme
Materialisme Semiotik
Utopian Heterotopian

Dalam Media: Dalam Media:
Dunia Cetak Elektronik
Berubah Cepat Mengubah
Dunia

Dalam Ilmu: Dalam Ilmu:
Mekanistis Mengorganisasi
Linier Non-Linier
Deterministik Indeterministik
Mekanika Newton Mekanika Kuantum

Dalam Agama: Dalam Agama:
Atheisme Panentheisme
Tuhan telah mati Spiritualitas Kreatif
Patriarkis Pasca-Patriarkis
Kekecewaan Terpesona

Dalam Pandangan Hidup Dalam Pandangan Hidup::
Mekanistis Ekologis
Reduktif Holistik
Terpisah Berkaitan
Hierarkis Heterarkis
Kepastian Kebetulan
Antroposentris Kosmologis
Absurditas Manusia Optimisme Tragis

Secara historis, kelahiran postmodernisme dapat dilacak jauh ke alur
sejarah kegagalan modernisme. Benih-benih kekecewaan terhadap modernisme
pertama kali muncul pada tahun 1950-an dalam dunia sastra, ketika Charles
Olson, seorang penyair Amerika, menggunakannya untuk menyebut gerakan
anti-modernisme dan anti-rasionalitas modern dalam dunia puisi kontemporer
Amerika (Bertens, 1995: 20). Gerakan anti-modernisme, yang dipelopori oleh
John Cage, Robert Rauschenberg, Merce Cunningham, ini adalah gerakan yang
mencoba membangun kesadaran untuk keluar dari kungkungan dan kuasa
rasionalitas seni modern. Para seniman dan penyair saat itu mulai merasa
jenuh berada dalam ketertutupan dan kekakuan rasionalitas instrumental
dunia modern. Dalam tulisannya Human Universe (1951), Olson menyatakan
bahwa dunia kebudayaan Barat, karena orientasi ontologisnya yang
membabi-buta terhadap rasionalitas modern, telah menyebabkan hilangnya
otentisitas kehidupan dan kesejatian pengalaman manusia. Sebagai akibatnya
manusia tidak lagi mampu mengalami dan menghayati kekayaan realitas
kehidupan dengan segenap keunikannya masing-masing (Bertens, 1995: 21). Hal
yang ada hanyalah sebuah realitas tunggal yang monolitik, dogmatis dan
ideologis. Sebaliknya, gerakan anti-modernisme menyatakan sikap penolakan
terhadap pandangan rasionalitas modern yang menjunjung tinggi
universalitas, subjek transenden, ego individual, dan merayakan otentisitas
kehidupan. Gerakan anti-modernisme hendak mencoba melawan keangkuhan nilai
dan estetika sastra modern.

Perbincangan mengenai postmodernisme selanjutnya berkembang dalam lapangan
seni. Pada kurun waktu tahun 1960-an, muncul tulisan-tulisan tentang
postmodernisme dengan artikulasi dan pemihakan yang lebih jelas. Dalam
dunia sastra, Ihab Hassan dan Susan Sontag menyatakan mulai bangkitnya
dunia sastra yang terdiam. Sontag juga menyatakan telah lahirnya
sensibilitas baru, yaitu suatu sikap yang lebih terbuka menerima
keberagaman gaya dan bentuk, serta tidak lagi menuntut penghormatan
terhadap seniman dan karya seni.

Selama rentang waktu tahun 1960 sampai 1970-an, perbincangan tentang
postmodernisme mulai masuk ke dunia arsitektur. Diruntuhkannya bangunan
perumahan Pruitt Igoe, St. Louis, Missouri, yang memiliki karakter
arsitektur modern (arus arsitektur International Style yang dipelopori Mies
van der Rohe) menandai lahirnya pemikiran arsitektur postmodernisme.
Arsitektur postmodern membawa tiga prinsip dasar yakni: kontekstualisme,
allusionisme dan ornamental. Prinsip kontekstualisme berarti adanya
pengakuan bahwa gaya arsitektur suatu bangunan selalu merupakan bagian
fragmental dari sebuah gaya arsitektur yang lebih luas. Prinsip
allusionisme berarti adanya keyakinan bahwa arsitektur selalu merupakan
tanggapan terhadap sejarah dan kebudayaan. Sementara prinsip ornamental
berarti pengakuan bahwa bangunan merupakan media pengungkapan makna-makna
arsitektural.

Adalah Robert Venturi, arsitek sekaligus teoritisi awal konsep arsitektur
postmodern, dalam bukunya Complexity and Contradiction in Architecture
(1966), yang mulai membuka pembicaraan konsep arsitektur postmodern. Ia
memaparkan bahwa arsitektur postmodern adalah konsepsi teoritis arsitektur
yang memiliki beberapa karakter. Menurutnya, arsitektur postmodern lebih
mengutamakan elemen gaya hibrida (ketimbang yang murni), komposisi paduan
(ketimbang yang bersih), bentuk distorsif (ketimbang yang utuh), ambigu
(ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang yang konsisten), serta
kode ekuivokal (ketimbang yang monovokal) (Bertens, 1995: 54).

Sementara itu Charles Jencks, yang diakui sebagai mahaguru arsitektur
postmodern, dalam bukunya The Language of Postmodern Architecture (1977),
menyebut beberapa atribut konsep arsitektur postmodern. Beberapa atribut
tersebut adalah metafora, historisitas, ekletisisme, regionalisme,
adhocism, semantik, perbedaan gaya, pluralisme, sensitivisme, ironisme,
parodi dan tradisionalisme (Bertens, 1995: 58). Lebih lanjut arsitektur
postmodern, menurut Jencks juga memiliki sifat-sifat hibrida, kompleks,
terbuka, kolase, ornamental, simbolis dan humoris. Jencks juga menyatakan
bahwa konsep arsitektur postmodern ditandai oleh suatu ciri yang disebutnya
double coding. Double coding adalah prinsip arsitektur postmodern yang
memuat tanda, kode dan gaya yang berbeda dalam suatu konstruksi bangunan.
Arsitektur postmodern yang menerapkan prinsip double coding selalu
merupakan campuran ekletis antara tradisional/modern, populer/tinggi,
Barat/Timur, atau sederhana/complicated.

Memasuki rentang tahun 1980-an, tema postmodernisme mulai mendapat
perhatian yang lebih serius. Upaya membangun kerangka teoritis terhadap
tema ini terutama berlangsung dalam lapangan filsafat. Dalam bidang
filsafat, istilah postmodernisme kerap dipergunakan dengan acuan yang
sangat beragam. Walaupun karya masterpiece Jean Francois Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), tetap menjadi acuan
kunci, namun banyak kalangan mengaitkan istilah itu dengan teori
dekonstruksi Derrida, semiologi Barthes, semiotika Eco, poststrukturalisme
Foucault, hermeneutika Gadamer sampai kepada pemikiran holistisisme Capra,
Prigogine dan Whitehead. Istilah postmodernisme juga sering dirujukkan pada
berbagai fenomena realitas masyarakat kontemporer sebagai masyarakat
post-industri (post-industrial society), masyarakat komputer (computer
society), masyarakat konsumer (consumer society), masyarakat media (media
society), masyarakat tontonan (spectacle society) atau masyarakat tanda
(semiurgy society). Sementara kalangan memandang postmodernisme sebagai
bagian dari proyek modernisme yang belum usai (misalnya Juergen Habermas
dan Mahzab Frankfurt generasi kedua), sementara kalangan yang lain
memandang postmodernisme sebagai penolakan radikal terhadap nilai-nilai dan
asumsi-asumsi modernisme (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault). Pauline M.
Rosenau, dalam bukunya Postmodernism and Social Sciences (1992), membedakan
postmodernisme menjadi dua bentuk. Pertama, postmodernisme sebagai
paradigma pemikiran. Sebagai paradigma pemikiran, postmodernisme meliputi
tiga aspek ontologi, epistemologi serta aksiologi. Ketiga aspek dasar ini
menjadi kerangka berpikir dan bertindak penganut postmodernisme bentuk
pertama (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault). Kedua, postmodernisme
sebagai metode analisis kebudayaan. Dalam konteks ini, prinsip dan
pemikiran postmodernisme digunakan sebagai lensa membaca realitas sosial
budaya masyarakat kontemporer (misalnya Rortry dan Baudrillard). Dari arah
yang agak berbeda, Frederic Jameson menyatakan bahwa postmodernisme tak
lain adalah konsekuensi logis perkembangan kapitalisme lanjut. Melalui
tulisannya Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism (1989),
Jameson meyakinkan resiko tak terelakkan dari dominasi kapitalisme lanjut
yang telah menyempurnakan dirinya, yakni kapitalisme yang telah berubah
watak karena telah banyak belajar dari berbagai rongrongan dan kritik.
Kapitalisme yang titik beratnya bergeser dari industri manufaktur ke
industri jasa dan informasi. Kapitalisme yang, demi kepentingan jangka
panjang, secara cerdas mengakomodasikan tuntutan serikat pekerja,
kelangsungan hidup lingkungan, dan daya kreatif/kritis konsumen.
Kapitalisme yang mengintegrasikan banyak unsur sosialisme ke dalam dirinya.
Kapitalisme yang bekerja dengan prinsip desentralisasi dan deregulasi
karena sistem terpusat tak sigap menghadapi perubahan cepat. Kapitalisme
yang tidak menawarkan keseragaman gaya/citra kultural karena pasar dan
tenaga kerja telah mengalami diversifikasi begitu jauh.

Dengan perkembangan kapitalisme lanjut yang tampil dengan kehadiran
perusahaan multinasional, jaringan informasi global dan teknologi
telekomunikasi, maka whole new type of society pun lahir. Inilah masyarakat
yang dihuni oleh subjek-subjek dengan ciri-ciri terbelah, kehilangan rantai
hubungan pemaknaan, larut dalam citra-citra dan imaji serta gagal memahami
latar belakang sejarah dirinya sendiri (Turner, 1990: 170). Namun untuk
memahami postmodernisme secara mendasar terutama pada dataran ontologis
dan epistemologis adalah mutlak untuk mengetahui asumsi-asumsi dasar serta
argumentasi para penyuara postmodernisme dalam wilayah filsafat.

Jean Francois Lyotard adalah filsuf kelahiran Versailles Perancis yang
mulai meletakkan dasar argumentasi filosofis dalam diskursus
postmodernisme. Melalui bukunya yang segera menjadi klasik, The Condition
of Postmodern: A Report on Knowledge (1984), Lyotard mencatat beberapa ciri
utama kebudayaan postmodern. Menurutnya, kebudayaan postmodern ditandai
oleh beberapa prinsip yakni: lahirnya masyarakat komputerisasi, runtuhnya
narasi-narasi besar modernisme, lahirnya prinsip delegitimasi, disensus,
serta paralogi.

Masyarakat komputerisasi adalah sebutan yang diberikan Lyotard untuk
menunjuk gejala post-industrial masyarakat Barat menuju the information
technology era. Realitas sosial budaya masyarakat dewasa ini seperti yang
ditelitinya secara seksama di Quebec Kanada adalah masyarakat yang hidup
dengan ditopang oleh sarana teknologi informasi, terutama komputer. Dengan
komputerisasi, prinsip-prinsip produksi, konsumsi dan transformasi
mengalami revolusi radikal. Penggunaan tenaga manusia yang semakin terbatas
dalam sektor ekonomi, pelipatan ruang dalam dunia telekomunikasi,
percepatan pengolahan data dan informasi yang mampu mengubah bahkan
memanipulasi realitas, penyebaran pengetahuan dan kekuasaan secara massif,
adalah beberapa konsekuensi perkembangan teknologi (Sarup, 1989: 118).
Dalam masyarakat komputerisasi seperti ini, nilai-nilai serta asumsi dasar
modernisme: rasio, hukum sejarah linear, subjek, ego, narasi besar,
otonomi, identitas tidak lagi mampu menggambarkan realitas. Bahkan,
realitas telah berubah sesuai dengan perubahan karakter masyarakat
postmodernisme. Realitas masyarakat seperti inilah yang menjadi wadah,
arena perjuangan, nilai-nilai baru postmodernisme.

Menggarisbawahi sifat transformatif masyarakat komputerisasi yang lebih
terbuka, majemuk, plural dan demokratis, Lyotard selanjutnya menyatakan
bahwa kebenaran yang dibawa oleh narasi-narasi besar (Grand Narratives)
modernisme sebagai metanarasi kini telah kehilangan legitimasinya. Hal
ini karena dalam masyarakat kontemporer, sumber pengetahuan dan kebenaran
pengetahuan tidak lagi tunggal. Realitas kontemporer tidak lagi homolog
(homo: satu, dan logi: tertib nalar), melainkan paralog (para: beragam, dan
logi: tertib nalar) (Awuy, 1995: 161). Pengetahuan dan kebenaran kini
menyebar dan plural. Konsekuensinya, prinsip legitimasi modernisme harus
dibongkar dengan prinsip delegitimasi. Dengan delegitimasi, berarti diakui
adanya berbagai unsur realitas yang memiliki logikanya sendiri. Dengan
delegitimasi, menurut Lyotard, prinsip lain yakni disensus menjadi lebih
bisa diterima ketimbang prinsip konsensus seperti ditawarkan Juergen
Habermas. Karena disensus adalah prinsip yang mengakui perbedaan dan
keunikan setiap unsur dalam realitas, yang memiliki logika dan hak hidupnya
sendiri.

Dengan titik perhatian yang berbeda namun sampai pada kesimpulan yang sama,
Michel Foucault, seorang filsuf poststrukturalis Perancis, mencatat
beberapa karakter khas kebudayaan postmodern. Berangkat dari Kant, Foucault
bersepakat bahwa Era Pencerahan adalah saat dimana rasio mendapatkan tempat
istimewa dalam sejarah perkembangan kebudayaan. Namun ia menolak anggapan
Kant bahwa rasio berlaku universal. Baginya rasio hanyalah salah satu cara
untuk menanggapi situasi zaman saat itu. Menurutnya terdapat tanggapan lain
terhadap Pencerahan seperti diwakili Baudelaire yaitu ironi. Ironi adalah
keberanian, yang disertai kegetiran, untuk terlibat secara aktif dengan
situasi kini dan disini, historis dan lokal (locally determined), tanpa
harus mencantolkan diri pada status-status khusus dari kebenaran-kebenaran
absolut, di luar diri manusia, baik atas nama Tuhan, logos, atau yang
lainnya. Ironi juga berarti menjalani kehidupan tanpa dibebani oleh prinsip
baku, yang sudah terpatok sebelumnya (Ahmad Sahal, 1994: 16). Dengan ironi,
Foucault menerima keyakinan bahwa sejarah modernitas bukanlah sejarah
tunggal, dengan narasi besar yang monolog: rasionalitas. Lebih jauh ia
menyingkapkan bahwa narasi-narasi besar modernisme hanyalah mistifikasi
yang bersifat ideologis dan semu. Ia misalnya, menolak pandangan para
filsuf Pencerahan yang mengatakan bahwa manusia adalah subjek otonom,
mandiri dan mampu menentukan dirinya sendiri. Sebaliknya menurut Foucault,
manusia modern sebagai subjek ataupun objek sebenarnya tidak lebih dari
individu yang lahir dan diciptakan oleh multiplisitas kekuasaan melalui
disiplin, normalisasi dan regulasi, pengakuan dan penguasaan diri (Ahmad
Sahal, 1994: 16-17). Kekuasaan dalam pandangan Foucault ini berbeda sama
sekali dengan yang dipahami oleh kaum Weberian dan Marxian. Bagi kaum
Weberian, kekuasaan adalah kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang
lain. Sementara bagi kaum Marxian, kekuasaan adalah artefak material yang
bisa dikuasai dan digunakan untuk mendominasi dan menekan kelas lain.
Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah kekuatan, institusi atau struktur yang
bersifat menundukkan. Kekuasaan adalah label nominal bagi relasi strategis
yang kompleks dalam masyarakat. Ia menyebar dan hadir di mana-mana,
dimiliki oleh siapa saja. Untuk itu, ketimbang berusaha mengimami gagasan
besar yang cenderung manipulatif, Foucault lebih memilih untuk menyibuki
persoalan-persoalan kecil dan lokal yang seringkali tak jamak dibicarakan.
Tema-tema seperti rumah sakit, penjara, barak-barak tentara, sekolah,
pabrik, pasien, seks, orang gila dan para kriminal menjadi titik perhatian
utama selama karir kefilsafatannya. Dengan upaya ini, Foucault memberikan
dua sumbangan besar terhadap postmodernisme. Pertama, keberhasilannya
menyingkap mitos-mitos modernisme yang menampilkan dirinya sebagai
kebenaran absolut, yang universal, namun sebenarnya palsu. Kedua,
pemihakannya terhadap persoalan-persoalan yang selama ini ditindas oleh
rasionalitas modern, tersisih, marjinal dan dikucilkan agar lebih didengar
dan diperhatikan.

Seorang filsuf lain yang mencoba menyingkap sifat paradoks modernisme
adalah Jacques Derrida. Melalui Derrida terbongkar karakter kekerasan dan
teror yang disebar oleh modernisme semenjak diuarkannya prinsip
logosentrisme. Dalam logosentrisme, salah satu ciri yang menonjol adalah
cara berpikir oposisi biner yang bersifat hierarkis (esensi/eksistensi,
substansi/aksidensi, jiwa/badan, makna/bentuk, transenden/imanen,
positif/negatif, lisan/tulisan, konsep/metafor) dengan anggapan bahwa yang
pertama adalah pusat, sedang yang kedua adalah derivasi, pinggiran. Cara
berpikir ini mendorong sejarah filsafat Barat cenderung bersifat totaliter
karena menganggap bahwa yang bukan pusat, yang pinggiran, yang lain, the
others, harus disubordinasikan ke dalamnya. Mencermati hal itu, Derrida
lantas melakukan strategi dekonstruksi terhadap cara berpikir oposisi
biner. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa sejauh mana
struktur-struktur yang terbentuk hendak dimapankan batas-batasnya dan
ditunggalkan pengertiannya, yakni melalui pembalikan hierarki oposisi biner
secara terus-menerus (Ahmad Sahal, 1994: 21). Dengan dekonstruksi hendak
dimunculkan kembali dimensi-dimensi metaforis dan figuratif dari bahasa
yang menjadi pembentuk realitas. Implikasinya adalah mulai melumernya
batas-batas antara konsep dan metafor, antara kebenaran dan fiksi, antara
filsafat dan puisi, dan antara keseriusan dan permainan. Melalui
dekonstruksi Derrida mencoba meletakkan kembali kedudukan struktur dalam
keadaan asalinya, yakni keadaan dimana relasi antara pusat dan pinggiran
belum lagi mengeras. Dengannya diinginkan pluralitas dan heterogenitas
kehidupan yang membeku dan tertindas selama masa modernisme kembali
terhampar.

C. Jean Baudrillard dan Beberapa Karyanya


Salah seorang pemikir postmodernisme yang menaruh perhatian besar pada
persoalan kebudayaan dalam masyarakat kontemporer adalah Jean Baudrillard.
Agak berbeda dengan filsuf-filsuf postmodernisme lainnya yang memusatkan
diri pada metafisika dan epistemologi, Baudrillard lebih memilih kebudayaan
sebagai medan pengkajian. Ia mengambil pilihan itu bukan tanpa tujuan.
Baudrillard ingin mengungkapkan transformasi dan pergeseran yang terjadi
dalam struktur masyarakat Barat dewasa ini yang disebutnya sebagai
masyarakat simulasi dan hiperrealitas.

Jean Baudrillard dilahirkan di kota Riems, Perancis Barat, pada 5 Januari
1929. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga petani yang kemudian pindah
ke kota Paris dan bekerja sebagai pegawai di Dinas Pelayanan Masyarakat. Ia
sempat mengalami masa kejayaan dan kebangkrutan Fasisme. Keluarganya
bukanlah keluarga berpendidikan. Bersama saudara-saudaranya yang lain
Baudrillard hidup dalam tradisi keluarga petani urban yang sederhana. Ia
adalah orang pertama dalam keluarganya yang bekerja sebagai ilmuwan secara
serius. Meskipun untuk itu, ia harus berusaha keras untuk mencapai
cita-citanya dengan berkali-kali gagal memperoleh agregation de
philosophie.

Pada tahun 1966 Baudrillard menyelesaikan tesis sosiologinya di Universitas
Nanterre di bawah bimbingan Henry Lefebvre, seorang anti-strukturalis
Perancis kondang saat itu. Ia lulus dengan membawa kebanggaan besar bagi
keluarganya. Selama menjadi mahasiswa, Baudrillard aktif dalam organisasi
mahasiswa Sosialis dan mengakui sebagai pengikut Marxisme. Setahun setelah
lulus, ia kemudian masuk ke Universitas Nanterre, untuk mengajar disana.
Setelah setahun mengajar di Universitas Nanterre, selanjutnya Baudrillard
bergabung dengan Roland Barthes mengajar di Ecole des Hautes Etudes. Ia
mulai terpengaruh pemikiran Barthes, selain tentu saja pemikiran Karl Marx.
Semenjak berada di sanalah Baudrillard mulai aktif menulis disamping sibuk
berpartisipasi dalam praksis gerakan sosialisme Perancis. Pada tahun 1968
ia mulai menulis buku The Object System yang sangat dipengaruhi oleh karya
Barthes The Fashion System (1967) Dalam buku itu yang belum terlihat
minatnya secara serius terhadap persoalan kebudayaan postmodern saat itu
Baudrillard mencoba mengadopsi metode semiologi Barthes untuk membongkar
hubungan dan mistifikasi objek-subjek dalam realitas masyarakat modern.
Setahun berikutnya ia menulis buku Communications (1969), sebuah buku yang
membahas struktur komunikasi tanda dalam masyarakat Barat dewasa ini.

Tulisan-tulisan awal Baudrillard di majalah Calvino dan Les Temps Modernes
milik Jean Paul Sartre, menunjukkan bahwa ia adalah seorang penganut
sekaligus kritikus brillian terhadap pemikiran Karl Marx. Karya-karya
terjemahannya tentang Bertolt Brecht dan Arnold Weiss yang banyak
dipengaruhi Marx, secara jelas juga menunjukkan kekritisannya terhadap
gagasan Marx mengenai nilai-guna dan nilai-tukar. Ia mencoba menggabungkan
pemikiran Marx dengan strukturalisme Perancis. Sedikit berbeda dengan
Lefebvre, Baudrillard tidak menolak sama sekali strukturalisme. Ia masih
meminjam dan mempergunakan beberapa istilah strukturalis dalam
pemikirannya. Ia juga banyak dipengaruhi oleh para pemikir strukturalis.
Selain dari Marx, Baudrillard mengambil alih pemikiran Barthes mengenai
semiologi, Marcel Mauss seorang antropolog strukturalis mengenai gift
atau pemberian, dan Georges Bataille mengenai expenditure atau belanjaan
(Lechte, 1994: 233). Bersepakat dengan dua pemikir terakhir, Baudrillard
menolak prinsip nilai-guna dan nilai-tukar Marx dan menyatakan bahwa
aktivitas konsumsi manusia pada dasarnya merupakan aktivitas
non-utilitarian (Baudrillard, 1993: 68). Ia mengadopsi pendapat Mauss dan
Bataille bahwa dalam institusi semacam Kula dan Potlach dalam masyarakat
primitif, kebiasaan memberi sesuatu dan membelanjakan sesuatu ternyata
didasarkan pada prestise dan kebanggaan simbolik, bukan pada kegunaan.
Inilah prinsip yang kini semakin transparan berlangsung dalam aktivitas
konsumsi masyarakat dewasa ini. Nilai tanda (sign-value) dan nilai-simbol
(symbolic-value) telah menggantikan nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar
(exchange-value).

Nama Jean Baudrillard mulai dikenal luas dalam diskursus filsafat
kontemporer ketika tulisannya The Mirror of Production (1975)
dipublikasikan di Amerika. Enam tahun berikutnya, karyanya For a Critique
of The Political Economy of The Sign (1981) diterbitkan oleh Telos Press.
Dalam karyanya ini Baudrillard mengkritik prinsip nilai-guna dan
nilai-tukar Marx yang dianggapnya sudah tidak relevan lagi digunakan
sebagai kerangka memandang realitas masyarakat dewasa ini. Lebih jauh,
Baudrillard kemudian mengajukan prinsip nilai-tanda dan nilai-simbol
sebagai kerangka membaca realitas dewasa ini yang ditegakkan oleh konsumsi
dan reproduksi. Bersamaan dengan itu, perhatian terhadap tema
postmodernisme semakin besar, dan mendorong minat terhadap
pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh postmodernisme, termasuk Baudrillard.
Tahun-tahun berikutnya nama dan gagasan Baudrillard semakin bersinar.
Dengan gaya menulisnya yang khas dan orisinal deklaratif, hiperbolik,
aforistik, skeptis, fatalis, nihilis, namun tajam dan cerdas
karya-karyanya segera memiliki arti tersendiri. Ia banyak diundang
berceramah di dalam maupun di luar negeri, serta menulis di berbagai media,
misalnya di surat kabar Liberation yang secara berkala memuat tulisannya.
Karya-karyanya pun semakin banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Tahun 1983, karya magnum opus-nya, Simulations (1983), diterbitkan dalam
edisi bahasa Inggris. Dalam buku yang segera menjadi klasik ini,
Baudrillard mengintrodusir sebuah karakter khas kebudayaan masyarakat Barat
dewasa ini. Menurutnya, kebudayaan Barat dewasa ini adalah sebuah
representasi dari dunia simulasi, yakni dunia yang terbentuk dari hubungan
berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang jelas.
Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses
produksi, serta tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses reproduksi.
Dalam kebudayaan simulasi, kedua tanda tersebut saling menumpuk dan
berjalin kelindan membentuk satu kesatuan. Tidak dapat lagi dikenali mana
yang asli, yang real, dan mana yang palsu, yang semu. Semuanya menjadi
bagian realitas yang dijalani dan dihidupi masyarakat Barat dewasa ini.
Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulacra atau simulacrum,
sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan
kode. Realitas tak lagi punya refernsi, kecuali simulacra itu sendiri.

Pada tahun ini juga diterbitkan In The Shadow of Silent Majorities (1983),
oleh penerbit Semiotext. Sementara melalui karyanya The Ecstasy of
Communication (1987), Baudrillard menyatakan bahwa dengan transparansi
makna dan informasi, masyarakat Barat dewasa ini telah melampaui ambang
batas menuju keadaan permanent ecstasy: ekstasi sosial (massa), ekstasi
tubuh (kegemukan), ekstasi seks (kecabulan), ekstasi kekerasan (teror), dan
ekstasi informasi (simulasi) (Baudrillard, 1987: 82). Saat ini, hampir
seluruh dimensi kehidupan masyarakat Barat dituntun oleh logika ekonomi
kapitalis yang menawarkan keterbukaan, kebaruan, perubahan dan percepatan
konstan. Dalam keadaan demikian, persoalan gaya hidup, mode dan penampilan
menjadi nilai baru yang menggantikan nilai kebijaksanaan, kearifan dan
kesederhanaan. Karya-karya utamanya yang lain kemudian berturut-turut
diterbitkan seperti: Forget Foucault (1987), The Evil Demon of Images
(1987), America (1989), Cool Memories (1990), Seduction (1990), Fatal
Strategies (1990), Revenge of Crystal (1990), Cool Memories II (1991), The
Transparency of Evil (1992), Symbolic Exchange and Death (1993), serta The
Illusion of The End (1994). Tahun 1989, terbit karyanya, Simulacra and
Simulacrum (1989), yang merupakan kelanjutan karya monumentalnya
Simulations (1983), dalam edisi bahasa Inggris. Dalam karyanya tersebut,
Baudrillard mengembangkan gagasannya tentang masyarakat hiperrealitas.
Dengan menganalisa masyarakat dan kebudayaan Amerika, Baudrillard
menyatakan bahwa dalam wacana simulasi realitas yang sesungguhnya (fakta)
tidak hanya bercampur dengan realitas semu (citra), namun bahkan telah
dikalahkan oleh citra. Lebih jauh, citra lebih dipercaya ketimbang fakta.
Inilah era hiperrealitas, dimana realitas asli dikalahkan oleh realitas
buatan.

Sementara itu tanggapan serius terhadap pemikiran-pemikiran Baudrillard pun
semakin besar dengan ditandai oleh terbitnya buku-buku kajian kritis
seperti: Baudrillard Live, Selected Interviews (1993) oleh Routledge,
Selected Writing (1989) oleh Cambridge Press, Baudrillard: Critical and
Fatal Theory (1991) oleh Routledge, Baudrillards Bestiary, Baudrillard and
Culture (1991) oleh Routledge, Jean Baudrillard: From Marxisme to
Postmodernism and Beyond (1989) oleh Cambridge Press, serta Baudrillard
Reader (1993) oleh Routledge.

Selain menulis buku, Baudrillard juga kerap menulis artikel di berbagai
jurnal ilmiah baik yang berbahasa Perancis maupun Inggris dan media massa
umum. Ia sering mengisi kolom di surat kabar harian Liberation dan
Guardian, serta menulis di jurnal-jurnal semisal Spring, October, Art and
Text, New Literary History, On The Beach, Calvino serta Les Temps Modernes,
jurnal milik filsuf eksistensialis Perancis Jean Paul Sartre.


Kebudayaan Postmodern Jean Baudrillard


A. Nilai Tanda dan Nilai Simbol


Signs, signs ? Is that all you have to say
(Tanda, tanda ? Apakah cuma itu yang ingin kau katakan ?)

Perkembangan kapitalisme lanjut semenjak tahun 1920-an menunjukkan
perubahan dramatis karakter produksi dan konsumsi dalam masyarakat
konsumer. Bila dalam era kapitalisme awal, produksi menjadi faktor dominan
yang membentuk pasar kapitalisme kompetitif, maka dalam era kapitalisme
lanjut, konsumsi adalah determinan pasar kapitalisme yang juga berubah
semakin bersifat monopoli. Sejak tahun 1960-an, kedudukan dominan faktor
konsumsi bahkan tidak hanya dalam kawasan ekonomi. Lebih dari era-era
sebelumnya, kini konsumsi menjadi motif utama dan penggerak realitas
sosial, budaya bahkan politik (Kellner, 1994: 3). Dalam era ini, segala
upaya ditujukan pada penciptaan dan peningkatan kapasitas konsumsi melalui
pemassalan produk, diferensiasi produk dan manajemen pemasaran. Iklan,
teknologi kemasan, pameran, media massa dan shopping mall merupakan ujung
tombak strategi baru era konsumsi. Inilah awal lahirnya masyarakat
konsumer, masyarakat yang dibentuk dan dihidupi oleh konsumsi, yang
menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan, dengan hasrat selalu
dan selalu mengkonsumsi. Dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi
yang berupa komoditi tidak lagi sekedar memiliki manfaat (nilai-guna) dan
harga (nilai-tukar) seperti dijelaskan Marx. Namun lebih dari itu ia kini
menandakan status, prestise dan kehormatan (nilai-tanda dan nilai-simbol).
Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya
dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas
konsumsi masyarakat konsumer. Pergeseran nilai yang terjadi seiring dengan
perubahan karakter masyarakat postmodern inilah yang kemudian menarik
perhatian Baudrillard untuk mengkajinya secara lebih mendalam.

Dalam bukunya For a Critique of The Political Economy of The Sign (1981),
Baudrillard menggabungkan semiologi Barthes, pemikiran ekonomi politik
Marx, pemikiran Mauss dan Bataille tentang sifat non-utilitarian aktivitas
konsumsi manusia, serta konsep the society of spectacle Guy Debord, untuk
menyatakan bahwa konsep nilai-guna dan nilai-tukar yang disarankan Marx,
kini telah digantikan oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Namun sebelum
sampai kesana, Baudrillard terlebih dahulu mengkaji kondisi masyarakat
Barat yang tengah memasuki era masyarakat konsumer.

Baudrillard memulai proyek genealogi masyarakat konsumer ini dengan dua
bukunya yang pertama, The System of Objects (1968) dan Consumer Society
(1970). Dalam bukunya yang pertama yang terinspirasi oleh buku Roland
Barthes, The System of Fashion (1967) Baudrillard menyatakan bahwa di
bawah kejayaan era kapitalisme lanjut, mode of production kini telah
digantikan oleh mode of consumption (Bertens, 1995: 146). Konsumsi inilah
yang kemudian menjadikan seluruh aspek kehidupan tak lebih sebagai objek,
yakni objek konsumsi yang berupa komoditi. Sistem-sistem objek, yang
merupakan judul buku Baudrillard, adalah sebuah sistem klasifikasi yang
membentuk makna dalam kehidupan masyarakat kapitalisme lanjut. Melalui
objek-objek atau komoditi-komoditi itulah seseorang dalam masyarakat
konsumer menemukan makna dan eksistensi dirinya. Menurut Baudrillard,
fungsi utama objek-objek konsumer bukanlah pada kegunaan atau manfaatnya,
melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai-tanda atau nilai-simbol yang
disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media (Baudrillard,
1969: 19). Apa yang kita beli, tidak lebih dari tanda-tanda yang ditanamkan
ke dalam objek-objek konsumsi, yang membedakan pilihan pribadi orang yang
satu dengan yang lainnya. Tema-tema gaya hidup tertentu, kelas dan prestise
tertentu adalah makna-makna yang jamak ditanamkan ke dalam objek-objek
konsumsi. Dengan kata lain, objek-objek konsumsi kini telah menjelma
menjadi seperangkat sistem klasifikasi status, prestise bahkan tingkah laku
masyarakat.

Selanjutnya dalam Consumer Society (1970), Baudrillard mengembangkan lebih
jauh gagasannya tentang kedudukan konsumsi dalam masyarakat konsumer.
Menurutnya, konsumsi kini telah menjadi faktor fundamental dalam ekologi
spesies manusia (Baudrillard, 1970: 29). Sambil menyanggah pendapat
Galbraith yang menyatakan bahwa manusia adalah homo psychoeconomicus,
Baudrillard menyatakan bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya
berangkat dari sistem nilai-tanda dan nilai-simbol, dan bukan karena
kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan (Baudrillard, 1970: 47). Dengan
pernyataan ini Baudrillard samasekali tidak bermaksud menafikan pentingnya
kebutuhan. Ia hanya ingin mengatakan bahwa dalam masyarakat konsumer,
konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan
atau hasrat mendapat kenikmatan, namun oleh seperangkat hasrat untuk
mendapat kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah
mekanisme penandaan. Dalam bukunya Baudrillard menjelaskan:

What is sociologically significant for us, and what marks our era under the
sign of consumption, is precisely the generalized reorganization of this
primary level in a system of signs which appears to be a particular mode of
transition from nature to culture, perhaps the specific mode of our era
(Baudrillard, 1970: 47).

(Apa yang secara sosiologis penting bagi kita, dan apa yang menjadi tanda
zaman bahwa kita tengah berada dalam era konsumsi, sebenarnya adalah sebuah
fenomena umum tentang pengaturan kembali faktor konsumsi sebagai aspek
primer dalam suatu sistem penandaan, yang kemudian tampil sebagai fenomena
perubahan dari yang Alamiah (nature) menjadi produk Budaya (culture), yang
mungkin merupakan wajah khas zaman kita sekarang).

Lebih lanjut Baudrillard menyatakan,

We dont realize, how much of the current indoctrination into systematic and
organized consumption is the equivalent and the extension, in the twentieth
century, of the great indoctrination of rural populations into industrial
labor, which occurred throughout the nineteenth century (Baudrillard, 1970:
50).

(Kita tidak menyadari bagaimana proses indoktrinasi konsumsi yang
sistematik dan terorganisir di abad keduapuluh ini sebenarnya adalah sama
dan sekaligus merupakan perluasan, dari proses indoktrinasi masyarakat
pedesaan sebagai buruh-buruh industri, yang berlangsung pada abad
kesembilan belas).

Masyarakat konsumer yang berkembang saat ini adalah masyarakat yang
menjalankan logika sosial konsumsi, dimana kegunaan dan pelayanan bukanlah
motif terakhir tindakan konsumsi. Melainkan lebih kepada produksi dan
manipulasi penanda-penanda sosial. Individu menerima identitas mereka dalam
hubungannya dengan orang lain bukan dari siapa dan apa yang dilakukannya,
namun dari tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki dan tampilkan dalam
interaksi sosial. Dalam masyarakat konsumer, tanda adalah cerminan
aktualisasi diri individu paling meyakinkan.

Pemikiran tentang fenomena masyarakat konsumer dan kemenangan nilai-tanda
serta nilai-simbol ini selanjutnya mencapai titik kematangannya pada For a
Critique of the Political Economy of the Sign (1981). Dalam bukunya ini
Baudrillard memisahkan diri dari Marx dengan menyatakan bahwa dalam
masyarakat konsumer dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar, sebagaimana
disarankan Marx, sudah tidak bisa lagi digunakan sebagai sarana analisa
kondisi sosial masyarakat. Kini, menurut Baudrillard, adalah era kejayaan
nilai-tanda dan nilai-simbol yang ditopang oleh meledaknya makna serta
citra oleh perkembangan teknologi dan media massa (Lechte, 1994: 234).

Mengacu Marx, bersamaan dengan perubahan prinsip masyarakat feodal menuju
masyarakat kapitalis, muncul konsep komoditi yang merupakan konsekuensi
logis dominannya logika produksi dalam era kapitalisme. Komoditi adalah
objek produksi yang didalamnya memuat dua nilai dasar yakni, nilai-guna
(use-value) dan nilai-tukar (exchange-value). Nilai-guna, menurut Marx,
adalah nilai yang secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan
manfaatnya, setiap objek dianggap memiliki manfaat atau kegunaan bagi
kepentingan manusia. Nilai-guna menjadi prinsip interaksi sosial, ekonomi,
budaya dan politik masyarakat feodal. Sementara itu seiring dengan
perkembangan struktur masyarakat feodal menuju masyarakat kapitalis, lahir
nilai baru yang menyertai konsep komoditi, yakni nilai-tukar. Nilai tukar
adalah nilai yang diberikan kepada objek-objek produksi berdasarkan ukuran
nilai-gunanya. Dalam masyarakat kapitalis, menurut Marx, setiap objek
adalah komoditi, yang memiliki kedua nilai dasar tersebut. Dengan konsep
komoditi, barang yang memiliki manfaat berbeda, tidak mustahil memiliki
nilai-tukar yang sama. Seekor sapi misalnya, bukan tidak mungkin memiliki
nilai-tukar yang sama dengan sebuah mobil, meskipun keduanya barangkali
memiliki nilai-guna yang berbeda (Lechte, 1994:235). Dengan hadirnya konsep
komoditi, maka uang sebagai alat tukar pun semakin mendapat tempat penting
dalam aktivitas ekonomi masyarakat kapitalis. Lebih jauh, Marx menyatakan
bahwa bila dalam era kapitalisme awal, uang hanyalah sarana tukar pemenuhan
kebutuhan, maka dalam era kapitalisme lanjut, uang adalah tujuan akhir
dengan komoditi sebagai sarananya (Kellner, 1994: 43). Dengan kata lain,
nilai-tukar menjadi lebih penting dibanding nilai-guna. Dan komoditi
diciptakan bukan untuk nilai-gunanya, melainkan demi nilai tukar yang
berupa uang. Perkembangan kapitalisme lanjut kemudian menempatkan
kedudukan uang (sebagai alat tukar) sebagai satu-satunya sarana penilaian
komoditi yang bersifat independen. Uang menjadi bahasa baru yang membentuk
dan memberi makna realitas. Dengan uang misalnya, seseorang dapat membeli
dan memiliki berbagai kualitas hidup manusia yang diinginkannya. Dalam
bahasa Marx, seperti yang dikutip Kellner,

With money, one can possess various human qualities. That which exists for
me through the medium of money, that which I can pay for, which money can
buy, that am I, the possessor of money. The extent of the power of money is
the extent of my power. Moneys properties are my properties and essential
powers the properties and powers of its possessor (Kellner, 1994: 44)

Thus, what I am and am capable of is by no means determined by my
individuality. I am ugly, but I can buy for myself the most beautiful of
women. Therefore, I am not ugly, for the effect of ugliness its
determinant power is nullified by money. In a society where human beings
are things, things (money) take on human powers. All the things which you
cannot do, your money can do. And conversely, what money cannot do,
seemingly cannot be done (Kellner, 1994: 45).

(Dengan uang, seseorang dapat memiliki berbagai kualitas hidup manusia.
Bahwa apa yang bisa saya miliki dengan sarana uang, saya bisa bayar, dan
uang bisa membelinya, itulah saya, si pemilik uang tersebut. Bertambah
besarnya kekuasaan uang adalah bertambah besarnya kekuasaan saya. Apa yang
bisa dimiliki uang adalah milik dan kekuasaan utama saya si pemilik uang).

(Maka siapa saya dan apa keahlian saya tidaklah ditentukan oleh
individualitas saya. Saya bertampang jelek, namun saya bisa membeli wanita
tercantik yang saya inginkan. Saya kini tidak lagi jelek, karena efek
kejelekan tersebut sebagai faktor determinan telah dihapuskan oleh uang.
Dalam masyarakat dimana manusia telah berubah menjadi benda, maka benda
pulalah (uang) yang akan menggantikan kekuasaan manusia. Segala sesuatu
yang anda tidak dapat lakukan, uang anda bisa melakukannya. Dan sebaliknya,
apa yang uang tidak dapat melakukannya, maka ia juga tidak dapat
dilakukan).

Dengan penjelasan demikian, Marx hendak menyatakan bahwa nilai-tukar
(exchange-value) kini telah mengalahkan nilai-guna (use-value). Uang
sebagai ukuran nilai-tukar adalah segala-galanya.

Berangkat dari kerangka analisa komoditi Marx ini, selanjutnya Guy Debord
mencoba membaca realitas masyarakat dewasa ini. Bersama kelompoknya
Situasionist International Debord menyatakan bahwa telah terjadi
pergeseran dalam struktur sosial masyarakat, dari masyarakat komoditi
(commodity society) ke masyarakat tontonan (society of spectacle).
Masyarakat tontonan adalah masyarakat yang hampir di segala aspek
kehidupannya dipenuhi oleh berbagai bentuk tontonan, dan menjadikannya
sebagai rujukan nilai dan tujuan hidup. Tontonan adalah juga komoditi,
namun dalam bentuknya yang lebih sublim dan abstrak. Tontonan memanipulasi
dan mengeksploitasi nilai-guna dan kebutuhan manusia sebagai sarana
memperbesar keuntungan dan kontrol ideologis atas manusia. Televisi, iklan
dan fashion misalnya, adalah aparat-aparat ideologis masyarakat tontonan
yang paling representatif. Lebih jauh, dalam masyarakat tontonan, segala
sesuatu kebudayaan, pendidikan, olahraga, politik bahkan agama dikemas
sebagai tontonan pula. Dengan tontonan komoditi ditampilkan secara lebih
halus dan menyenangkan.

Guy Debord menjelaskan bahwa jika Marx menyatakan adanya degradasi prinsip
ada (being) menjadi memiliki (having), dimana tindakan-tindakan kreatif
direduksi sekedar menjadi hasrat kepemilikan atas objek-objek, sementara
perasaan direduksi sekedar menjadi sifat tamak, maka kini telah terjadi
degradasi dari prinsip memiliki (having) menjadi penampakan (appearing).
Dengan prinsip ini segala sesuatu direduksi sekedar menjadi tanda dan
citra-citra penampakan. Penampakan yang berupa tontonan adalah ciri dominan
era ini (Kellner, 1994: 48). Dalam masyarakat yang mengedepankan penampakan
ketimbang kedalaman maka segala sesuatu ditampilkan sebagai citra-citra
yang bahkan nampak lebih real dibanding realitas sebenarnya. Inilah awal
lahirnya masyarakat hiperrealitas, dimana tanda dan citra mengambil peran
penting untuk membentuk struktur dunia.

Baudrillard menarik garis lebih jauh pemikiran kedua tokoh pendahulunya
tersebut. Dengan menambahkan semiologi sebagai pisau analisa baru,
Baudrillard mencoba menunjukkan bahwa telah lahir nilai baru , yakni
nilai-tanda (sign-value) dan nilai-simbol (symbolic-value) dalam struktur
masyarakat dewasa ini.

Dengan membandingkan konsep komoditi Marx dan konsep penandaan Saussure,
Baudrillard menyatakan terdapat kesamaan diantara keduanya. Komoditi,
merujuk Marx, memiliki nilai-guna dan nilai-tukar. Sementara semiologi
memandang tanda terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified).
Bagi Baudrillard, nilai-guna memiliki kesamaan dengan petanda (signified).
Keduanya merupakan nilai yang terdapat di dalam objek. Dan nilai-tukar
memiliki kesamaan dengan penanda (signifier), sebagai nilai yang ditanamkan
di dalam objek-objek (Kellner, 1994: 78).

Dalam perkembangan kapitalisme lanjut, seperti dijelaskan Marx, nilai-tukar
kemudian mendominasi nilai-guna. Melalui komoditi dan uang, segala sesuatu
dalam realitas masyarakat dewasa ini berfungsi sebagai nilai-tukar untuk
memperoleh keuntungan. Kejayaan nilai-tukar ini, sejalan dengan pemikiran
semiologi, adalah juga berarti kejayaan penanda (signifier) atas petanda
(signified). Lebih jauh bahkan menurut Debord, penanda telah tampil sebagai
elemen independen dalam bentuk tontonan. Tontonan yang mengedepankan
penampakan, mutlak membutuhkan sistem penanda sebagai prinsip pendukungnya.
Dalam kata-kata Debord sendiri,

Considered in its own terms, the spectacle is affirmation of appearance and
affirmation of all human life, namely social life, as mere appearance
(Kellner, 1994 50)

(Berdasarkan pengertiannya, tontonan berarti pengakuan akan penampakan dan
pengakuan terhadap seluruh aspek kehidupan manusia, yakni kehidupan sosial,
sebagai sekedar penampakan belaka).

Dalam dunia penampakan tanda menjadi prinsip utama realitas. Dengan latar
belakang demikian, Baudrillard menyatakan bahwa nilai-guna dan nilai-tukar,
seperti dijelaskan Marx, kini telah digantikan oleh nilai tanda. Komoditi,
di era masyarakat konsumer, kini tak lebih dari permainan tanda-tanda.
Komoditi diperjualbelikan karena makna yang ditanamkan di dalamnya, bukan
karena manfaat atau kegunaannya. Dalam ungkapan Baudrillard,

The referential world of the commodity needs, use-value and labor was
only a historical passageway of a radical semiurgy which aims at the
liquidation of society and the real, their displacement through structural
codes and signs. All the repressive and reductive strategies of power
systems are already present in the internal logic of the sign (Baudrillard,
1981: 70).

(Dunia referensial komoditi kebutuhan, nilai-guna dan pekerja hanyalah
jalan sejarah menuju kondisi semiurgi radikal yang bertujuan menghilangkan
konsep masyarakat dan realitas, dan menuju susunan kode-kode dan
tanda-tanda. Semua strategi sistem kekuasaan yang represif dan reduktif
kini tampil dalam lingkaran logika tanda).

Kelahiran nilai-tanda selanjutnya diikuti oleh nilai simbol. Dengan merujuk
Marcel Mauss, Baudrillard menerima pendapat bahwa aktivitas konsumsi pada
dasarnya bukan dilakukan karena alasan kebutuhan, namun lebih kepada alasan
simbolis: kehormatan, status dan prestise. Lebih jauh, dalam masyarakat
konsumer yang mengkonsumsi tanda, nilai-simbol menjadi motif utama
aktivitas konsumsi. Objek komoditi dibeli karena makna simbolik yang ada di
dalamnya, dan bukan karena harga atau manfaatnya (Lechte, 1994: 236).
Sebuah mobil Porsche atau BMW misalnya, dinilai bukan karena manfaatnya
sebagai alat transportasi atau harganya yang mahal, melainkan karena ia
menjadi simbol gaya hidup, prestise, kemewahan dan status sosial
pemiliknya.

Sejalan dengan pemikirannya tentang perubahan prinsip dari nilai-guna dan
nilai-tukar ke nilai-tanda dan nilai-simbol, Baudrillard kemudian mengubah
pula periodisasi sejarah masyarakat yang dibuat Marx. Menurut Marx,
terdapat tiga tahap struktur masyarakat, yakni masyarakat feodal,
masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis. Masyarakat feodal, merujuk
Marx, adalah konstruksi masyarakat yang berlangsung semenjak zaman Yunani
hingga Renaisans. Dalam masyarakat feodal beroperasi prinsip Kesatuan
berbagai unsur kehidupan. Dalam era ini belum terbentuk pembagian kerja
dan kelas berdasarkan struktur produksi masyarakat. Selanjutnya dalam era
masyarakat kapitalis, mulai terjadi pembagian kerja dan kelas bersamaan
dengan munculnya konsep hak milik. Masyarakat kapitalis melahirkan dua
kelas besar yakni kelas kapitalis (pemilik) dan kelas proletar (buruh) yang
senantiasa berada dalam situasi konflik. Menurut Marx, konflik
berkepanjangan antara kelas kapitalis dan proletar ini pada akhirnya akan
menimbulkan krisis yang memungkinkan terjadinya revolusi menuju era
masyarakat baru, yakni masyarakat komunis. Masyarakat komunis, menurut
Marx, adalah masyarakat yang tidak lagi mengenal kelas, kecuali
komune-komune dengan kedudukan yang sama, dengan seluruh alat produksi
dikuasai oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Dalam masyarakat yang
diidealkan oleh Marx inilah diharapkan tercapai kesejahteraan dan
kebahagiaan yang sejati (Harun Hadiwijono, 1993: 122).

Berangkat dari kerangka ini, Baudrillard mengajukan periodisasi perubahan
struktur masyarakat, yakni dari masyarakat primitif, masyarakat hierarkis
dan masyarakat massa (Lechte, 1994: 238). Berbeda dengan Marx yang
mempergunakan pisau analisa ekonomi politik, Baudrillard memanfaatkan
semiologi sebagai alat analisa. Menurut Baudrillard, masyarakat primitif
ditandai dengan tidak adanya elemen tanda dalam interaksi seluruh aspek
kehidupan masyarakatnya. Objek dipahami secara murni dan alamiah
berdasarkan kegunaannya. Selanjutnya dalam masyarakat hierarkis, lahir
elemen tanda yang beroperasi masih dalam lingkup yang terbatas. Tanda
dipahami sebagai makna yang ditanamkan oleh segolongan kelas kepada kelas
yang lain. Tanda juga mulai menggantikan kedudukan objek murni, yang kini
memiliki nilai-tukar. Akhirnya, pada tahapnya yang tertinggi, terbentuklah
masyarakat massa. Dalam masyarakat massa, tanda mendominasi seluruh aspek
kehidupan. Tidak ada lagi objek murni, kecuali objek tanda. Individu dalam
masyarakat massa berperan sebagai konsumen tanda tanpa memiliki status
kelas tertentu.

B. Simulacra/Simulacrum dan Simulasi


All that is solid melts into air (Karl Marx) All that is solid melts into
glass (Charles Jencks) All that is real becomes simulation (Jean
Baudrillard)

Semua yang nyata kini menjadi simulasi. Ungkapan bernada hiperbolik
tersebut barangkali merupakan satu-satunya cara untuk menggambarkan
realitas masyarakat Barat dewasa ini seperti yang dikemukakan oleh
Baudrillard. Dua ratus tahun sebelumnya, Marx pernah berbicara tentang
betapa semua yang padat segera menguap ke udara. Ia berucap tentang sebuah
kekecewaan zaman, ketika segala sesuatu adalah komoditi, dan yang utama
adalah uang. Ketika demi nilai-tukar segala sesuatu harus dikorbankan. Maka
tak ada lagi nilai-nilai sublim nilai religi, nilai moral, transendensi
dan aura otentik yang tersisa. Semua yang beranjak memadat segera diubah
kembali menjadi kepingan-kepingan objek barang dagangan demi uang. Lalu
seiring dengan perkembangan zaman, ilmu dan teknologi, maka berubah pulalah
arah angin peradaban. Ketika media elektronik televisi ditemukan dalam
sekejab terjadi sebuah revolusi kesadaran tentang dunia yang mengecil.
Dimensi ruang dilipat dalam sebuah kotak layar kaca. Dalam aras dunia
seperti inilah kemudian Marshal Berman mengulang diktum Marx, dan
mengubahnya, Semua yang padat melebur dalam layar kaca. Televisi, sebagai
pusat gravitasi baru menawarkan kegembiraan, kegairahan dan mimpi indah
yang tak dialami Marx. Dunia inilah yang menggantikan peran komoditi
tradisional Marx. Di dalam layar kaca televisi, segala sesuatu berita
politik, film telenovela, opera sabun, bencana alam, acara keagamaan
dikemas dalam kerangka tontonan yang menghibur. Tak ada lagi kekhusukan.
Tak ada lagi kekudusan, kerinduan terhadap makna luhur dan kedalaman.

Kini, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat,
menurut Baudrillard, tidak hanya nilai-nilai sublim dan luhur yang menguap,
tapi bahkan realitas itu sendiri. Realitas kini tidak sekedar dapat
diceritakan, direpresentasikan dan disebarluaskan. Lebih jauh, realitas
kini dapat dibuat, direkayasa dan disimulasi. Dalam realitas buatan,
realitas simulasi ini, segala sesuatu bercampur-baur, bersilang-sengkarut.
Realitas-realitas buatan adalah ciri zaman ini, sebuah tanda zaman tengah
menjelangnya sebuah era kebudayaan baru: kebudayaan postmodern.

Dengan mengambil alih dan mengembangkan gagasan para pendahulunya:
semiologi Saussure, fetishism commodity Marx, teori differance Derrida,
mythologies Barthes, serta genealogy Foucault, Baudrillard mencoba membaca
karakter khas masyarakat Barat (Rojek, 1993: 125). Melalui bukunya yang
banyak menarik perhatian, Simulations (1983), Baudrillard memaparkan
kondisi sosial-budaya masyarakat Barat yang disebutnya tengah berada dalam
dunia simulacra, simulacrum dan simulasi. Inilah dunia yang terbangun dari
konsekuensi relasi perkembangan ilmu dan teknologi, kejayaan kapitalisme
lanjut, konsumerisme, serta runtuhnya narasi-narasi besar modernisme.

Baudrillard menyatakan bahwa paradigma modernisme yang berdiri di atas
logika produksi seperti disuarakan Marx kini sudah tidak relevan lagi.
Jika era pra-modern ditandai dengan logika pertukaran simbolik (symbolic
exchange), era modern ditandai dengan logika produksi, maka kini tengah
menjelang sebuah era baru, yakni era postmodern, yang ditandai dengan
logika simulasi. Bersamaan dengan lahirnya era postmodern, menurut
Baudrillard, maka prinsip-prinsip modernisme pun tengah menghadapi
saat-saat kematiannya. Dalam bahasanya yang khas, Baudrillard
mengumandangkan kematian modernisme dengan logika produksinya sebagai:

The end of labor. The end of production. The end of political economy. The
end of the dialectic signifier/signified which permitted an accumulation of
knowledge and meaning, and of a linear syntagma of cumulative discourse.
The end of simultaneously of the dialectic of exchange value/use value
which alone previously made possible capital accumulation and social
production. The end of linear discourse. The end of linear merchandising.
The end of the classic era of the sign. The end of the era of production
(Baudrillard, 1983: 20).

(Era kematian pekerja. Era kematian produksi. Era kematian ekonomi politik.
Era kematian dialektika penanda/petanda yang memproduksi akumulasi
pengetahuan dan makna, dan sintakma linear serangkaian diskursus. Era
kematian dialektika simultan antara nilai tukar/nilai guna yang
memungkinkan proses akumulasi kapital dan produksi. Era kematian diskursus
linear. Era kematian mekanisme perdagangan linear. Era kematian era klasik
imperium tanda. Era kematian era produksi).

Ungkapan Baudrillard ini sekaligus menandakan keyakinannya akan datangnya
era baru, era postmodern. Dalam era postmodern, prinsip simulasi menjadi
panglima, dimana reproduksi (dengan teknologi informasi, komunikasi dan
industri pengetahuan) menggantikan prinsip produksi, sementara permainan
tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi manusia. Dalam
masyarakat simulasi seperti ini, segala sesuatu ditentukan oleh relasi
tanda, citra dan kode. Tanda adalah segala sesuatu yang mengandung makna,
yang mengikuti teori semiologi Saussurean memiliki dua unsur, yakni
penanda (bentuk) dan petanda (makna). Citra adalah segala sesuatu yang
nampak oleh indera, namun sebenarnya tidak memiliki eksistensi substansial.
Sementara kode adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara
sosial, untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan dari seseorang
kepada orang yang lain (Piliang, 1998: 13). Dalam dunia simulasi, identitas
seseorang misalnya, tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya
sendiri. Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi tanda, citra dan
kode yang membentuk cermin bagaimana seorang individu memahami diri mereka
dan hubungannya dengan orang lain. Lebih lanjut, realitas-realitas ekonomi,
politik, sosial dan budaya, kesemuanya diatur oleh logika simulasi ini,
dimana kode dan model-model menentukan bagaimana seseorang harus bertindak
dan memahami lingkungannya.

Ruang realitas kebudayaan dewasa ini, menurut Baudrillard merupakan
cerminan apa yang disebutnya sebagai simulacra atau simulacrum. Simulacra
adalah ruang realitas yang disarati oleh proses reduplikasi dan daur-ulang
berbagai fragmen kehidupan yang berbeda (dalam wujud komoditas citra,
fakta, tanda, serta kode yang silang-sengkarut), dalam satu dimensi ruang
dan waktu yang sama (Piliang, 1998: 196). Simulacra tidak memiliki acuan,
ia adalah duplikasi dari duplikasi, sehingga perbedaan antara duplikasi dan
yang asli menjadi kabur. Dalam ruang ini tidak dapat lagi dikenali mana
yang asli dan mana yang palsu, mana hasil produksi dan mana hasil
reproduksi, mana objek dan mana subjek, atau mana penanda dan mana petanda.
Ruang simulacra ini memungkinkan seseorang menjelajahi berbagai fragmen
realitas, baik nyata maupun semu; mereproduksi, merekayasa dan mensimulasi
segala sesuatu sampai batasannya yang terjauh.

Dunia simulacra, yang menjadi wacana dominan kesadaran masyarakat Barat
dewasa ini, papar Baudrillard, sebenarnya telah ada semenjak era Renaisans.
Realitas simulacra memiliki tiga tingkatan periode historis, semenjak era
Renaisans hingga sekarang, yakni simulacra Orde Pertama, simulacra Orde
Kedua dan simulacra Orde Ketiga (Baudrillard, 1983: 54-56).

Simulacra Orde Pertama, berlangsung semenjak era Renaisans-Feodal hingga
permulaan Revolusi Industri. Dalam orde ini, realitas dunia dipahami
berdasarkan prinsip hukum alam, dengan ciri ketertiban, keselarasan,
hierarki alamiah serta bersifat transenden. Alam menjadi pendukung utama
sekaligus determinan kebudayaan. Tanda-tanda yang diproduksi dalam orde ini
adalah tanda-tanda yang mengutamakan integrasi antara fakta dan citra
secara serasi dan seimbang. Hal ini berkaitan erat dengan kehendak manusia
zaman itu untuk mempertahankan struktur dunia yang alamiah. Dengan
demikian, prinsip dominan yang menjadi ciri simulacra Orde Pertama adalah
prinsip representasi. Bahasa, objek dan tanda adalah tiruan dari realitas
alamiah yang dibentuk secara linear dan tunggal. Sebagai tiruan, bahasa,
objek dan tanda masih memiliki jarak dengan objek aslinya (Kellner, 1994:
103).

Simulacra Orde Kedua, berlangsung bersamaan dengan semakin gemuruhnya era
industrialisasi yang merupakan konsekuensi logis Revolusi Industri.
Revolusi Industri, di satu sisi telah memberikan sumbangan besar bagi
perkembangan kebudayaan. Namun disisi lain, Revolusi Industri juga telah
menimbulkan ekses-ekses negatif bagi kebudayaan. Logika produksi, yang
menjadi prinsip simulacra Orde Kedua, telah mendorong perkembangan
teknologi mekanik sampai pada batasannya yang terjauh. Mengikuti Walter
Benjamin, dalam esainya, The Work of Art in The Era of Mechanical
Reproduction (1969), Baudrillard menyatakan bahwa dengan teknologi
reproduksi mekanik sebagai media dan prinsip produksi objek-objek alamiah
telah kehilangan aura dan sifat transendensinya. Objek kini bukan lagi
tiruan yang berjarak dari objek asli, melainkan sepenuhnya sama persis
seperti yang asli. Dengan kemajuan teknologi reproduksi mekanik inilah,
prinsip komoditi dan produksi massa menjadi ciri dominan era simulacra Orde
Kedua. Simulacra Orde Ketiga, lahir sebagai konsekuensi logis perkembangan
ilmu dan teknologi informasi, komunikasi global, media massa, konsumerisme
dan kapitalisme pada era Pasca Perang Dunia II. Lebih dari masa-masa
sebelumnya, pada orde ini relasi berbagai unsur dan struktur budaya
mengalami perubahan mendasar. Tanda, citra, kode dan subjek budaya tidak
lagi merujuk pada referensi dan realitas yang ada. Simulacra Orde Ketiga
ini ditandai dengan hukum struktural. Tanda membentuk struktur dan memberi
makna realitas. Inilah era yang disebut Baudrillard sebagai era simulasi.
Dalam era simulasi ini, realitas tak lagi memiliki eksistensi. Realitas
telah melebur menjadi satu dengan tanda, citra dan model-model reproduksi.
Tidak mungkin lagi kita menemukan referensi yang real, membuat pembedaan
antara representasi dan realitas, citra dan kenyataan, tanda dan ide, serta
yang semu dan yang nyata. Yang ada hanyalah campur aduk diantara semuanya.
Sebuah realitas yang tak lagi memiliki referensi. Dalam bahasanya yang khas
Baudrillard menyatakan,

One is not the simulacrum and the other the reality. What we now have is
the disappearance of the referent. There are only simulacra (Baudrillard,
1983: 86)

(Bukan yang satu simulacrum dan yang lain realitas. Apa yang kita alami
sekarang adalah hilangnya acuan segala sesuatu. Yang ada hanyalah
simulacra).

Berbeda dengan Simulacra Orde Kedua yang ditopang oleh teknologi mekanik,
dalam Simulacra Orde Ketiga ini, mekanisme simulasi terbangun melalui
proses reproduksi objek dengan bantuan teknologi digital model-biner.
Model-biner digital yang paling sering ditemui adalah kode-kode yang hanya
dapat dibaca menggunakan komputer, dengan acuan oposisi biner antara 0 dan
1. Dengan model oposisi biner seperti ini, semua realitas ditransformasikan
ke dalam realitas kode digital dalam komputer.

Baudrillard memandang berkembangnya teknologi digital yang bertumpu pada
model-biner ini sebagai suatu dasar proses transformasi sosial masyarakat
kapitalisme lanjut. Gagasan McLuhan tentang medium is message ditariknya
sampai ke batasannya yang paling ekstrem, yakni media yang berupa kode-kode
digital. Dengan kode-kode digital maka proses reproduksi beranjak ke
batasannya yang paling ekstrem pula. Ketika objek-objek direproduksi dengan
teknologi model-biner, maka objek-objek menjadi tidak dapat dibedakan satu
sama lain, bahkan dari model-model yang menjadi sumbernya. Lebih lanjut,
realitas menjadi kehilangan referensi. Realitas, menurut Baudrillard, kini
harus didefinisikan kembali sebagai segala sesuatu yang mungkin dan dapat
direproduksi secara sempurna, dapat disimulasi (Baudrillard, 1983: 146).

Teori Orde Simulacra Baudrillard ini, dalam beberapa tingkatan, bisa
dipandang sebagai suatu konsepsi baru proses perkembangan sosial yang
berakar pada prinsip perubahan karakter objek-objek reproduksi.

Dalam perkembangannya kemudian, melalui bukunya Transparency of Evil
(1993), Baudrillard mengemukakan satu orde baru yang disebutnya sebagai
Orde Keempat atau Orde Fraktal. Istilah fraktal, dipinjam Baudrillard dari
bidang matematika, yakni sebuah proses perkembangbiakan nilai-regular dalam
keacakan matematis. Orde Fraktal menunjuk pada suatu kondisi keacakan
dimana batas-batas antara berbagai hal melebur dan berubah menjadi sekedar
permainan bebas diantara berbagai hal tersebut. Sebagai contoh paling umum,
Baudrillard menyatakan bahwa dewasa ini masalah seksualitas tidak lagi
sebatas berada dalam wilayah seksualitas, namun dapat ditemukan hampir di
semua aspek kehidupan. Atau masalah politik, yang kini sudah memasuki
wilayah-wilayah lain seperti ekonomi, sosial, teknologi dan seni. Demikian
pula dengan masalah-masalah yang lain. Lebih detail, Baudrillard
menyatakan,

Once, out of some obscure need to classify, I propose a tripartite account
of value: a natural stage (use-value), a commodity stage (exchange-value),
and a structural stage (sign-value). These distinctions are formal ones, of
course reminiscent of the distinctions between the particles physicists
are always coming up with. A new particles does not replace those
discovered earlier, it simply joints their ranks, take it place in a
hypothetical series. So let me introduce a new particle into the
microphysics of simulacra. For after the natural, commodity, and structural
stages of value comes the fractal stage.The first of these stages had a
natural referent and value developed on the basis of the natural use of the
world. The second was founded on a general equivalence, and value developed
by reference to a logic of the commodity. The third is governed by a code,
and value develops here by reference to a set of models. At the fourth, the
fractal (or viral or radiant) stage of value, there is no point of
reference at all, and value radiates in all directions, occupying all
interstices, without reference to anything whatsover, by virtue of pure
contiguity. This is the pattern of the fractal and hence the current
pattern of our culture (Baudrillard, 1993: 72)..

(Dahulu, tanpa bermaksud membuat klasifikasi yang justru bisa mengaburkan,
saya mengemukakan tiga tahapan perkembangan sejarah, yakni: tahap alamiah
(yang bertumpu pada prinsip nilai-guna), tahap produksi-komoditi (yang
bertumpu pada prinsip nilai-tukar), dan tahap struktural (yang bertumpu
pada prinsip nilai-tanda). Periodisasi formal ini mengingatkan kita pada
pembagian tahap-tahap sejarah secara berurutan. Satu tahap tidak dapat
menggantikan tahap lain yang ada sebelumnya, melainkan menyatu dalam suatu
rangkaian tahap yang bersifat hipotetis. Nah, sekarang ijinkan saya untuk
memperkenalkan satu tahap baru dalam realitas simulacra. Setelah tahap
alamiah, komoditi dan struktural, kini lahir tahap baru yakni tahap
fraktal. Kita tahu, tahap pertama mengacu pada prinsip referensi alamiah,
dan nilai yang berkembang dalam dunia ini pun bersifat alamiah. Tahap
kedua, mengacu pada prinsip kesetaraan, dan nilai yang berkembang berada
dalam kerangka komoditi. Tahap ketiga mengacu pada kode-kode, dan nilai
yang berkembang berada dalam kerangka model-model. Maka pada tahap keempat,
tahap fraktal (atau viral atau radiant), tidak ada lagi prinsip referensi,
tidak ada lagi acuan, dan nilai menyebar ke segala arah, mengisi semua
celah, sekali lagi tanpa acuan apapun, kecuali sekedar hubungan murni
belaka. Inilah era fraktal, sekaligus dunia dimana kita sekarang berada).

Dengan penjelasan demikian, nampak bahwa sebenarnya pemikiran Baudrillard
juga terpengaruh oleh pemikiran Simmel mengenai perkembangan sejarah
masyarakat dalam sosiologi formal. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam
perbandingan diantara keduanya melalui pernyataan Simmel yang dikutip oleh
Kellner, dibawah ini,

All historical developments passed through three phases. The first is the
undifferentiated unity of manifold elements. The second is the
differentiated articulation of these elements, that have become alienated
from one another. The third is a new unity, the harmonious interpenetration
of the elements that have been preserved, however, in their specific
characters (Simmel, 1968: 11).

(Setiap proses perkembangan sejarah masyarakat senantiasa melalui tiga
tahap. Pertama adalah tahap kesatuan yang utuh diantara berbagai macam
unsur. Kedua adalah tahap hubungan yang berbeda diantara unsur-unsur
tersebut, yang kemudian saling berjarak satu sama lain. Ketiga adalah tahap
kesatuan baru, yakni saling hubungan yang harmonis diantara berbagai macam
unsur yang hadir dalam bentuknya yang khusus).

Dari sini nampak bahwa teori Orde Simulacra Baudrillard cenderung
merefleksikan kembali tiga tahap perkembangan sejarah Simmel. Tahap alamiah
Baudrillard, sama dengan tahap kesatuan yang utuh diantara berbagai macam
unsur. Tahap komoditi Baudrillard, sama dengan tahap hubungan yang berbeda
diantara unsur-unsur tersebut. Dan tahap struktural Baudrillard, sama
dengan tahap kesatuan baru yang harmonis diantara berbagai macam unsur yang
hadir dalam bentuknya yang khusus (Kellner, 1994: 171).

Dalam kaitannya dengan teori Orde Simulacra sebagai suatu proses penandaan
(semiologi), maka dapat dinyatakan secara ringkas bahwa terdapat hubungan
erat diantara keduanya. Orde alamiah (proses imitasi) dalam orde simulacra,
menggambarkan relasi hubungan langsung antara penanda-petanda dalam teori
semiologi. Orde komoditi (proses produksi) dalam orde simulacra,
menggambarkan hubungan tak langsung antara penanda-petanda. Dan orde
struktural (proses simulasi) dalam orde simulacra, menggambarkan hubungan
diantara penanda-penanda, tanpa petanda. Inilah era simulasi.

Lebih lanjut Baudrillard menjelaskan apa yang dimaksudnya sebagai simulasi.
Simulasi, dalam bahasa Baudrillard,

Is characterized by a precession of the model, of all models around the
merest fact the model come first. Facts no longer have any trajectory of
their own, they arise at the intersection of the models; a single fact may
even be engendered by all the models at once. Simulation is no longer that
of a territory, a referential being or a substance. It is the generation by
models of a real without origin or reality; a hyperreal. The territory no
longer precedes the map, nor survives it. Henceforth, it is the map that
precedes the territory precession of simulacra it is the map that
engenders the territory and if we were to revive the fable today, it would
be the territory whose shreds are slowly rotting across the map. It is the
real, and not the map, whose vestiges subsist here and there, in the
deserts which are no longer those of the Empire, but our own. The desert of
the real itself (Baudrillard, 1983: 32).

(Dibangun berdasarkan model-model yang begitu cermat, semua model yang
nyaris mendekati fakta, dan dimana model tampil mendahului fakta. Fakta
kini tidak lagi memiliki alur sejarahnya sendiri, ia hadir dalam silang
sengkarut bersama model-model; bahkan bisa jadi sebuah fakta diproduksi
oleh model-model. Simulasi tidak berkaitan dengan sebuah teritori, sebuah
acuan atau pun substansi. Simulasi adalah era yang dibangun oleh
model-model realitas tanpa asal-usul; sebuah dunia hiperreal. Teritori
tidak lagi hadir sebelum peta, atau membentuknya. Sebaliknya, petalah yang
hadir sebelum teritori sebuah acuan simulacra petalah yang membentuk
teritori. Dan jika saat ini kita masih ingin menghidup-hidupkan bahasa
fabel, maka artinya saat ini adalah saat dimana teritori yang sedang
membusuk secara perlahan-lahan membentang di atas sebuah peta. Adalah
realitas nyata, dan bukan peta, yang bekas-bekasnya masih nampak
dimana-mana, di sebuah gurun, bukan bekas sebuah kerajaan, melainkan bekas
kita sendiri. Sebuah gurun realitas itu sendiri).

Simulasi menyandarkan diri pada prinsip ketiadaan dan negasi, dengan cara
mengaburkan bahkan menghilangkan referensi, realitas dan kebenaran, serta
mengedepankan penampakan sebagai prinsip kebenaran ontologis. Dalam
ungkapan Baudrillard,

The age of simulation thus begins with a liquidation of all referentials
worse: by their artificial resurrection in systems of signs, a more ductile
material than meaning in that it lends itself to all systems of
equivalence, all binary oppositions, and all combinatory algebra. It is no
longer a question of imitation, nor of reduplication, nor even of parody.
It is rather a question of substituting signs of the real for the real
itself, that is, an operation to alter every real process by its
operational double, a metastable, programmatic, perfect descriptive machine
which provides all the signs of the real and short-circuits all its
vicissitudes. A hyperreal therefore is sheltered from the real and
imaginary, leaving room only for the orbital recurrent of models and the
simulated generation of difference (Baudrillard, 1983: 4).

(Dengan demikian, era simulasi berawal dari proses penghancuran segala
acuan referensi dan bahkan lebih buruk lagi: dengan merajalelanya
acuan-acuan semu dalam sistem penandaan, maka sifat material ketimbang
makna merasuk ke dalam semua sistem kesetaraan, oposisi biner dan semua
bentuk kombinasi aljabar. Era simulasi tidak lagi berkaitan dengan
persoalan imitasi, reduplikasi atau bahkan parodi. Era simulasi lebih
tertarik mempersoalkan proses penggantian tanda-tanda real, bagi realitas
itu sendiri, yakni suatu proses untuk menghalangi setiap proses real dengan
mekanisme operasi ganda, sebuah konsep metastabil, terprogram, sebagai
sebuah mesin penggambaran yang sempurna yang menyediakan semua tanda real
dan serangkaian kemungkinan perubahannya. Hiperrealitas dengan demikian
berbeda sama sekali dari yang real maupun yang imajiner, yakni suatu tempat
bagi pengulangan secara kontinyu model-model dan perbedaan).

Dalam dunia simulasi seperti ini, prinsip-prinsip representasi modernisme
menjadi tidak lagi relevan. Pembedaan antara objek dan subjek, real dan
semu, penanda dan petanda, dalam paradigma modernisme tidak bisa lagi
dilakukan. Dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam satu ruang yang
dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya semu belaka. Ruang realitas semu
ini merupakan ruang antitesis dari representasi semacam dekonstruksi
representasi itu sendiri, dalam wacana Derrida. Dengan contoh yang gampang
Baudrillard menggambarkan dunia simulasi dengan sebuah analogi peta.
Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari
sebuah teritori, maka dalam mekanisme simulasi yang terjadi adalah
sebaliknya. Peta mendahului teritori. Realitas-realitas teritorial sosial,
budaya atau politik, kini dibangun berlandaskan model-model dari peta yang
sudah ada. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin
kenyataan, melainkan model-model yang ditawarkan televisi, iklan atau
tokoh-tokoh kartun. Adalah tempat-tempat seperti Disneyland, atau Universal
Studio; bintang film seperti Madonna atau Leonardo de Caprio; iklan celana
Levis atau jam tangan Guess; film telenovela Maria Mercedes atau Esmeralda;
tokoh boneka Barbie, kartun Doraemon atau Mickey Mouse yang kini menjadi
model-model acuan dalam membangun citra, nilai dan makna dalam kehidupan
sosial, budaya serta politik masyarakat dewasa ini (Piliang, 1998: 194).

Dalam wacana simulasi, manusia mendiami suatu ruang realitas, dimana
perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan yang palsu sangat
tipis. Manusia kini hidup dalam ruang khayali yang nyata sebuah fiksi yang
faktual. Realitas-realitas simulasi menjadi ruang kehidupan baru dimana
manusia menemukan dan mengaktualisasikan eksistensi dirinya. Lewat
televisi, misalnya, dunia simulasi tampil secara sempurna. Inilah ruang
yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah,
referensi, representasi, fakta, citra, produksi, reproduksi semuanya lebur
menjadi satu dalam silang sengkarut tanda. Dengan televisi realitas tidak
hanya diproduksi, disebarluaskan atau direproduksi, bahkan juga
dimanipulasi. Realitas simulasi seperti ini membentuk sebuah kesadaran baru
bagi masyarakat dewasa ini. Televisi yang disebut Baudrillard sebagai
artefak postmodernisme yang paling meyakinkan atau juga Disneyland, pada
kenyataannya sama nyatanya dengan pelajaran Sejarah atau Etika di sekolah
sebab keduanya sama-sama menawarkan informasi dan membentuk pandangan serta
gaya hidup manusia. Bahkan, Doraemon atau iklan shampoo Sunsilk di televisi
seolah lebih ampuh dari ajaran budi pekerti, moral dan agama dalam membantu
manusia menemukan citra diri dan makna hidupnya (Piliang, 1997: 194).

Dalam realitas simulasi seperti ini, manusia tak lebih sebagai sekumpulan
massa mayoritas yang diam, yang menerima segala apa yang diberikan padanya.
Dalam bukunya In The Shadow of Silent Majorities (1988), Baudrillard
menganalogikan kumpulan massa yang diam ini sebagai lubang hitam, black
hole, dimana berbagai hal informasi, sejarah, kebenaran, nilai moral,
nilai agama terserap ke dalamnya tanpa meninggalkan bekas apapun juga.
Berbagai informasi yang disampaikan kepada massa yang diam seperti ini,
pada akhirnya justru tidak lagi berfungsi sebagai informasi. Ia kini
kehilangan nilai informasinya dan justru sebaliknya menimbulkan
keterasingan sosial. Dalam ungkapannya Baudrillard mengatakan,

It is thought that the masses may be structured by injecting them with
information, their captive social energy is believe to be released by means
of information and messages. Quite the contrary. Instead of transforming
the mass into energy, information produces even more mass. Instead of
informing as it claims, instead of giving form and structure, information
neutralises even further the social field; more and more it creates an
inert mass impermeable to the classical institutions of the social, and to
the very contents of information (Baudrillard, 183: 25).

(Seringkali dinyatakan bahwa massa dapat diatur dengan cara menanamkan
informasi kepada mereka, dan energi sosial dapat dibentuk melalui sarana
penanaman informasi dan pesan-pesan. Namun yang terjadi sebenarnya sungguh
berlainan sama sekali. Ketimbang membentuk massa menjadi sekumpulan energi
sosial, informasi dan pesan-pesan ternyata cuma menghasilkan massa pasif
yang lebih banyak lagi. Ketimbang memberi informasi, seperti yang
dinyatakan didepan, ketimbang memberi bentuk dan struktur sosial, informasi
sebaliknya bahkan telah menimbulkan proses pengosongan wilayah sosial
menjadi semakin parah. Informasi telah membentuk sekumpulan massa yang tak
berdaya dan tertutup terhadap berbagai institusi sosial klasik dan terhadap
kandungan informasi yang terdalam).

Mengikuti alur pemikiran ini, maka ide sosial saat ini sebenarnya bisa
dikatakan telah hilang, karena tidak ada lagi referensi sosial klasik
rakyat, kelas, individu, proletar, borjuis atau bahkan kondisi objektif
kecuali massa yang bersifat pasif. Satu-satunya referensi yang masih
berfungsi kini adalah the silent majorities itu sendiri, yang tidak bisa
direpresentasikan karena ia memang tak berkaitan dengan prinsip
representasi.

Mengenai Disneyland, Baudrillard secara khusus mempergunakannya sebagai
contoh yang sempurna bagi eksistensi dunia simulasi. Inilah dunia buatan
yang dipenuhi permainan tanda, citra, kode dan model-model realitas tanpa
referensi; ia hadir sebelum realitas yang sebenarnya ada. Lebih jauh,
Disneyland yang hadir melalui penggabungan imajinasi simbolik, desain
arsitektur seni yang sempurna, serta kecanggihan teknologi rekayasa
elektronik menurut Baudrillard mengemban misi untuk menyebarkan
kepercayaan tentang dunia simulasi dan hiperrealitas. Dalam bahasa
Baudrillard diungkapkan,

Disneyland is there to conceal the fact that it is the real country, of all
real America, which is Disneyland (just as prison are there to conceal the
fact it is the social in its entirety, in its banal omnipresence, which is
carceal). Disneyland is presented as imaginary in order to make us believe
that the rest is real, when in fact all of Los Angeles and the America
surrounding it are no longer real, but of the order of the hyperreal and of
simulations. It is no longer a question of a false representation of
reality (ideology), but of concealing the fact that the real is no longer
real, and thus of saving the reality principle (Baudrillard, 1983: 25)

(Disneyland hadir untuk menyembunyikan kenyataan bahwa ia adalah real,
Amerika yang paling real (seperti halnya penjara hadir untuk menyembunyikan
kenyataan bahwa ia bersifat sosial dalam hubungan dengan lingkungan
sekitarnya). Disneyland hadir sebagai suatu imajinasi untuk menanamkan
kepercayaan kepada kita bahwa keberadaannya benar-benar nyata, sementara
dalam kenyataan, Los Angeles dan seluruh Amerika justru tidak lagi nyata,
melainkan hiperreal dan merupakan produk mekanisme simulasi. Disneyland
tidak berkaitan dengan persoalan representasi realitas yang keliru
(ideologi), melainkan persoalan bagaimana menyembunyikan kenyataan bahwa
yang real kini tidak lagi real, dan dengan demikian berkaitan dengan
persoalan penyelamatan prinsip-prinsip realitas).

Dengan kata lain, Disneyland merupakan realitas buatan yang tampil sebagai
realitas baru, yang lebih real dari realitas yang sebenarnya. Sebagai
konsekuensinya, realitas nyata menjadi kehilangan daya tarik dan bahkan
sebaliknya dianggap bukan lagi realitas.

Realitas simulasi lain yang menonjol adalah dunia shopping mall. Bersamaan
dengan merebaknya konsumerisme, budaya belanja menjadi salah satu ciri
masyarakat dewasa ini. Dalam konteks inilah, shopping mall hadir sebagai
pusat gravitasi baru aktivitas masyarakat konsumer. Namun lebih dari
sekedar tempat belanja, shopping mall adalah sebuah dunia simulasi yang
menampilkan realitas-realitas buatan yang bersifat semu, dimana justru
dalam kesemuannya itulah ia lebih menyenangkan dibanding realitas
sebenarnya (Piliang, 1998: 238). Dalam dunia shopping mall, segala sesuatu
direduksi, dimanipulasi dan disimulasi demi kenyamanan dan kesenangan
belanja. Toko, restoran, bank, salon, bioskop, biro perjalanan dan
objek-objek lain dalam shopping mall semuanya disuntik dengan tema-tema,
seperti eksklusif, eksekutif, jiwa muda, kosmopolitan, natural atau citra
country. Dalam dunia shopping mall kita diajak bertamasya di dalam suatu
sirkuit, dari satu lingkungan tema ke lingkungan tema yang lain, di dalam
suatu ekologi fantasi yang nyata namun dangkal, yang semakin menjauhkan
kita dari makna-makna luhur (Piliang, 1998: 239).

Dengan mempergunakan kerangka pandang simulasi, dalam sebuah esainya, The
Gulf War Has Not Taken Place (1991), selanjutnya Baudrillard mencoba
memberikan contoh tengah berlangsungnya mekanisme simulasi. Secara
kontroversial, Baudrillard menyatakan bahwa Perang Teluk sebenarnya tidak
pernah terjadi. Perang Teluk tak lebih hanyalah perang simulasi televisi,
sekedar khayalan mekanisme simulasi media massa, yakni semacam permainan
retorika perang atau skenario imajiner yang melampaui batas-batas perang
dunia-nyata dan semua kemungkinan yang nyata.

Dengan kemampuan reproduksi elektroniknya yang sempurna, televisi dan media
massa lainnya, menjadikan realitas perang sebagai hiperrealitas. Perang
Teluk dalam simulasi televisi nampak seolah lebih nyata, lebih dahsyat dan
lebih heroik bila dibandingkan dengan realitas Perang Teluk yang
sebenarnya. Mulai dari pendaratan pasukan Amerika ke medan perang, baku
tembak antara kedua belah pihak, pengambilan keputusan tingkat tinggi,
hingga pada tingkat taktik di lapangan, sampai pada proses saling bunuh
yang terkesan menjadi lebih manusiawi, lebih efektif, lebih halus dan lebih
dapat diterima. Teknologi kamera ultra-violet yang mampu menangkap objek
dalam kondisi gelap, sistem penyadap informasi, jaringan komunikasi global
dan satelit transmisi yang mampu menyebarluaskan informasi pada saat yang
bersamaan dengan kejadian, menjadikan realitas Perang Teluk segera dapat
diketahui di seluruh penjuru dunia. Perang Teluk kemudian menjadi semacam
arena pertarungan antara tontonan perang (berita-informasi perang dari
lokasi kejadian) melawan perang tontonan (berlombanya setiap jaringan
televisi dalam memberikan tontonan perang yang paling aktual). Sementara
dengan teknologi simulasi, televisi menjadikan Perang Teluk tidak sekedar
sebagai sebuah peristiwa perang biasa. Perang Teluk adalah cyber war,
perang simulasi semu antara Amerika melawan Irak, sekaligus perang simulasi
kekalahan Amerika (sindrom Vietnam) melawan kemenangan Amerika (sindrom
Perang Teluk). Selanjutnya Baudrillard menyatakan,

The true belligerents are those who thrive on the ideology of the truth of
this war, despite the fact that the war itself exerts its ravages on
another level, through faking, through hyperreality, the simulacrum,
through all those strategies of psychological deterrence that make play
with facts and images, with the precession of the virtual over the real, of
virtual time over real time, and inexorable confusion between the two
(Baudrillard, 1991: 193).

(Negara sebagai aktor perang yang sejati adalah mereka yang berjuang di
atas kebenaran perang ini, meskipun faktanya bahwa perang itu sendiri
mengakibatkan kehancuran, melalui penipudayaan, hiperrealitas, simulacra,
semua strategi psikologis yang mempermainkan fakta dan citra, dengan
prioritas realitas virtual di atas yang nyata, waktu virtual di atas waktu
yang nyata, suatu pencampuradukkan diantara keduanya).

Dengan kesimpulan demikian Baudrillard menegaskan bahwa dengan
pernyataannya that Gulf War has not taken place, bukan berarti Perang Teluk
tidak pernah terjadi dalam realitas yang sebenarnya. Ia hanya ingin
menyatakan dan menyadarkan bahwa di balik perang tersebut, batas antara
realitas media dan realitas yang sebenarnya telah lebur dalam suatu
mekanisme simulasi. Perang Teluk menjadi kolase dari berbagai fragmen
kamera televisi dan sekaligus peristiwa perang yang nyata.

C. Postmodernisme: Sebuah Dunia Hiperrealitas


Ketika boneka Barbie pertama kali masuk ke Indonesia pada dekade tahun
delapan puluhan, beberapa pihak menyebut hal ini sebagai simbol awal
terseretnya Indonesia ke dalam arena masyarakat konsumerisme dunia. Sebuah
boneka, yang tak lebih dari sekedar mainan anak-anak, sebuah kebutuhan
kesekian (tersier), tiba-tiba menjadi rebutan dan bahan perbincangan yang
ramai, tidak hanya bagi anak-anak namun bahkan orang dewasa. Hasrat
membeli dan mengkonsumsi boneka Barbie kemudian dapat dibaca sebagai suatu
gejala kebiasaan baru, membeli sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu
dibutuhkan. Nilai-guna digantikan nilai-tanda. Lebih dari itu, boneka
Barbie sebenarnya juga menggemakan sebuah fenomena baru dalam masyarakat
konsumerisme dan simulasi, yakni fenomena hiperrealitas. Hiperrealitas
adalah sebuah gejala di mana banyak bertebaran realitas-realitas buatan
yang bahkan nampak lebih real dibanding realitas sebenarnya.

Boneka Barbie, yang telah diproduksi dan terus diproduksi oleh Mattel Toys
sejak tahun 1959, adalah contoh nyata hiperrealitas, ketika suatu realitas
buatan telah melampaui realitas yang sebenarnya. Dibuat tanpa referensi
proporsi tubuh dan kecantikan yang wajar, Barbie tampil sebagai boneka
dengan kecantikan dan kesempurnaan tubuh yang melebihi gambaran kecantikan
manusia. Barbie juga melampaui ukuran kehidupan manusia dengan peran-peran
yang ditanamkan padanya sebagai wanita karier, fotomodel, guru taman
kanak-kanak, bintang film, duta kehormatan PBB, aktivis lingkungan hidup
dan lain sebagainya pada saat yang sama. Singkat kata, ia adalah figur
manusia sempurna. Makna-makna yang ditanamkan ke dalam sosok Barbie ini
merupakan silang-sengkarut tanda, citra dan kode-kode yang sengaja
diciptakan untuk menjaga eksistensinya sebagai simbol wanita modern. Dengan
representasi seperti ini Barbie seolah lahir sebagai Barbie yang real,
Barbie yang hidup, Barbie yang benar-benar ada dengan segala
keleluarbiasaannya. Ia bahkan lebih jauh menjadi model bagi manusia untuk
menentukan dan membentuk ukuran kecantikan dan kesempurnaan penampilan
tubuhnya.

Fenomena hiperrealitas yang ditunjukkan Barbie adalah salah satu karakter
kebudayaan postmodern dewasa ini, seperti yang dikemukakan oleh
Baudrillard. Dengan berangkat dari analisa ekonomi politik tanda dan
berlangsungnya mekanisme simulasi, Baudrillard menyatakan bahwa dalam
realitas kebudayaan dewasa ini tengah merajalela sebuah gejala lahirnya
realitas-realitas buatan yang bahkan lebih nyata dibanding realitas yang
sebenarnya. Ia menyebut gejala itu sebagai hiperrealitas.

Adalah Marshall McLuhan sebenarnya yang pertama-tama membuka pembicaraan
mengenai gagasan hiperrealitas dalam kebudayaan masyarakat Barat dewasa
ini. Melalui dua bukunya, The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic
Man (1962) dan Understanding Media: The Extensions of Man (1964), McLuhan
meramalkan bahwa peralihan teknologi dari era teknologi mekanik ke era
teknologi elektronik akan membawa peralihan pula pada fungsi teknologi
sebagai perpanjangan badan manusia dalam ruang, menuju perpanjangan sistem
syaraf (Kellner, 1994: 139).

Berangkat dari diskursus teoritis kebudayaan media yang menjadi wajah
dominan budaya Barat dewasa ini, McLuhan mencoba memahami proses dan akibat
Revolusi Gutenberg, dengan pernyataannya yang sangat terkenal bahwa medium
is the message (media adalah pesan itu sendiri). Dalam bukunya yang
membahas secara mendalam dampak teknologi percetakan terhadap kehidupan
manusia dalam era kapitalisme awal, The Gutenberg Galaxy: The Making of
Typographic Man (1962), McLuhan menyatakan bahwa inilah titik awal
perubahan paradigma sejarah dari masa Abad Pertengahan ke Era Modern. Lebih
lanjut, dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Understanding Media: The
Extensions of Man (1964), McLuhan menyatakan bahwa pada hakekatnya semua
media adalah perpanjangan badan manusia dalam dimensi ruang dan waktu di
dunia (Kellner, 1994: 143). Menurut McLuhan perpanjangan ini bersesuaian
dengan tahap-tahap sejarah. Teknologi percetakan merujuk pada era
modernitas, dan teknologi media elektronik merujuk pada era postmodernitas.
Namun perkembangan teknologi media elektronik saat ini, dalam bentuknya
yang paling canggih dan massif, telah mereduksi kandungan pesan media itu
sendiri dan menggantikannya dengan permainan bahasa tanda yang bersifat
simbolik. Media menjadi sekedar perpanjangan badan manusia, namun tanpa
pesan, makna dan kedalaman. Pesan itu sendiri, menurut McLuhan, kini tak
lebih dari media-media yang lain. Dalam logika perpanjangan badan manusia,
mesin ketik adalah perpanjangan tangan manusia, mobil adalah perpanjangan
kaki manusia, radio adalah perpanjangan telinga manusia, media cetak adalah
perpanjangan mata manusia, dan teknologi televisi, komputer serta internet
adalah perpanjangan pusat sistem syaraf manusia (Piliang, 1998: 192).

Dengan perkembangan teknologi komunikasi dan media yang demikian khususnya
televisi, komputer dan internet menurut McLuhan, telah memungkinkan umat
manusia hidup dalam dunia yang disebutnya global village, sebuah desa
besar, dimana segala sesuatu dapat disebarluaskan, diinformasikan dan
dikonsumsi dalam dimensi ruang dan waktu yang seolah mengkerut. Kini setiap
orang dapat melihat, mendengar dan mengkonsumsi informasi dari segala
penjuru dunia. Batas-batas ruang dan waktu pun seolah lenyap, dilipat dalam
sebuah kotak layar kaca televisi, disket ataupun internet. Dengan pandangan
humanismenya, secara optimis, McLuhan membaca fenomena ini sebagai
kemenangan manusia modern untuk menguasai ruang dan waktu yang dalam
perspektif Newtonian bersifat linear dan simultan. Karena, menurutnya,
pemikiran mekanistik dan deterministik Newtonian yang bersifat
sentralistik yang diejawantahkan dalam praksis komunikasi sosial, kini
telah digantikan oleh sistem komunikasi media elektronik yang bersifat
desentralistik dan plural (Piliang, 1998: 196).
Namun, dibalik pandangan optimisnya tersebut, McLuhan melupakan satu
akibat penting dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Ia
gagal melihat konsekuensi lanjut terbangunnya global village yang
ditandai dengan meluruhnya dimensi ruang dan waktu yang di kemudian hari
ternyata menyimpan dampak-dampak patologis modernitas. Inilah wajah
kebudayaan Barat dewasa ini yang merupakan interpretasi pemikiran McLuhan
pada titiknya yang terjauh.

Gagasan inilah yang selanjutnya diambil alih dan dikembangkan oleh
Baudrillard. Pemikiran Baudrillard mendasarkan diri pada beberapa asumsi
hubungan manusia dan media, yang disebut Baudrillard sebagai realitas
mediascape (Baudrillard, 1983: 14). Dalam realitas mediascape media massa
menjadi produk budaya paling dominan. Dengan media massa, media kini tak
lagi sebatas sebagai perpanjangan badan manusia ala McLuhan, namun media
kini sekaligus merupakan ruang bagi manusia untuk membentuk identitas
dirinya.

Dengan pandangannya yang cenderung fatalis dan nihilis, Baudrillard menarik
garis tajam pemikiran McLuhan sampai batasannya yang terjauh. Ia mengangkat
pandangan- pandangan McLuhan tentang perpanjangan badan manusia dan global
village ke dalam konteks perkembangan mutakhir dunia Barat, yang dewasa ini
telah menjelma menjadi desa besar yang disebut Baudrillard sebagai
hiperreal village (Baudrillard, 1983: 16).

Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini dengan micro processor, memory
bank, remote control, telecard, laser disc dan internet menurut pandangan
Baudrillard, tidak saja dapat memperpanjang badan atau pusat sistem syaraf
manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas,
masa lalu dan nostalgia; menciptakan realitas baru dengan citra-citra
buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta
melipat realitas sehingga tak lebih dari sebuah layar kaca televisi, disket
ataupun internet (Piliang, 1998: 197). Robot misalnya, yang pada awalnya
diciptakan sebagai perpanjangan badan dan sistem syaraf manusia, kini telah
menjelma menjadi pesaing manusia (misalnya dalam bidang lapangan kerja,
olahraga catur dan lomba kecerdasan).

Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan
realitas yang sesungguhnya dan bahkan menjadi model acuan yang baru bagi
masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta dan mimpi lebih
dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas:
realitas yang lebih nyata dari yang nyata, semu dan meledak-ledak. Dalam
dunia hiperrealitas, objek-objek asli yang merupakan hasil produksi
bergumul menjadi satu dengan objek-objek hiperreal yang merupakan hasil
reproduksi. Realitas-realitas hiper, seperti media massa, Disneyland,
shopping mall dan televisi nampak lebih real daripada kenyataan yang
sebenarnya, dimana model, citra-citra dan kode hiperrealitas bermetamoforsa
sebagai pengontrol pikiran dan tindak-tanduk manusia (Kellner, 1994: 8).
Dengan televisi dan media massa misalnya, realitas buatan (citra-citra)
seolah lebih real dibanding realitas aslinya. Lebih jauh, realitas buatan
(citra-citra) kini tidak lagi memiliki asal-usul, referensi ataupun
kedalaman makna. Tokoh Rambo, boneka Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek
Voyager yang merupakan citra-citra buatan adalah realitas tanpa
referensi, namun nampak lebih dekat dan nyata dibanding keberadaan tetangga
kita sendiri. Dalam kondisi seperti ini, realitas, kebenaran, fakta dan
objektivitas kehilangan eksistensinya. Hiperrealitas adalah realitas itu
sendiri (Baudrillard, 1983: 183). Yakni, era yang dituntun oleh model-model
realitas tanpa asal-usul dan referensi (Baudrillard, 1983: 2). Dimana, yang
nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan selalu
direproduksi (Baudrillard, 1983: 146). Dalam bukunya yang sudah menjadi
klasik, Simulations (1983), Baudrillard menjelaskan lebih detail kondisi
hiperrealitas ini sebagai:

No more mirror of being and appearances, of the real and its concept. No
more imaginary coextensity: rather, genetic miniaturization is the
dimension of simulation. The real is produced from miniaturized units, from
matrices, memory banks and command models and with these it can be
reproduced an infinite numbers of times. It no longer has to be rational,
since it is no longer measured against some ideal or negative instance. It
is nothing more than operational. In fact, since it is no longer enveloped
by an imaginary, it is no longer real at all. It is a hyperreal, the
product of an irradiating synthesis of combinatory models in a hyperspace
without atmosphere (Baudrillard, 1983: 3).

(Tak ada lagi cermin diri, penampakan, kenyataan dan konsep-konsep yang
dikandungnya. Tak ada lagi pengembaraan imajiner: lebih dari itu, yang ada
adalah miniaturisasi genetik sebagai ciri dimensi simulasi. Kenyataan kini
dibentuk dari unit-unit miniatur, dari matriks, memory bank dan model-model
acuan dan dengannya kenyataan dapat direproduksi sampai jumlah yang tak
terhingga. Kenyataan pun kini tak lagi harus rasional, karena ia tak lagi
dapat diukur dengan ukuran-ukuran ideal. Kenyataan kini tak lebih dari apa
yang beroperasi. Dan karena ia tak lagi dibungkus oleh imajinasi-imajinasi,
maka kenyataan pun kini tak lagi real sama sekali. Kenyataan adalah
hiperrealitas itu sendiri, produk sintesa model-model gabungan dalam ruang
hiperspace tanpa atmosfer).

Fenomena hiperrealitas ini selanjutnya diikuti oleh serangkaian fenomena
hiper-hiper yang lain. Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya Sebuah Dunia Yang
Dilipat (1998), memaparkan beberapa bentuk fenomena hiper ini (Piliang,
1998: 16), yaitu:

1. Hypercare: yakni gejala upaya perawatan dan penyempurnaan daya kerja
serta penampilan tubuh secara berlebihan lewat bantuan kemajuan teknologi
kosmetik dan medis.

2. Hypercommodity: yakni gejala merebaknya komoditi di hampir seluruh aspek
kehidupan dan menjadi agen bagi penyebaran makna-makna dan reproduksi
relasi-relasi sosial.

3. Hyperconsumption: yakni kondisi aktivitas konsumsi secara berlebihan,
yang melampaui nilai-guna benda, dan cenderung memusatkan perhatian pada
makna-makna personal dan sosial.

4. Hypermarket: yakni bentuk pasar yang mengkonsentrasikan dan
merasionalisasikan waktu, lalu lintas dan praktek sosial, dan akhirnya
menjadi pusat aktivitas sosial dan referensi nilai baru.

5. Hypersensibility: yakni gejala peningkatan atau penyempurnaan secara
berlebihan kepuasan inderawi, misalnya melalui penggunaan teknologi
elektronik dalam dunia musik.

6. Hypersexuality: yakni gejala pengumbaran kepuasan seks yang melampaui
wilayah seksualitas itu sendiri, misalnya kegiatan seks melalui jaringan
komputer jarak jauh.

7. Hyperspace: yakni keadaan runtuhnya makna ruang sebagaimana dipahami
berdasarkan prinsip geometri Euclidian (ruang 2 dan 3 dimensi) dan hukum
mekanika Newton (kecepatan adalah daya dibagi massa), dengan berkembangnya
ruang semu dan simulasi elektronik.

D. Mitos Impian Amerika

From America have come to us now empty, indifferent things, artificial
things that deceive us by simulating life. In the American sense, a house
or an apple tree or a grapevine has nothing in common with the house, the
fruit, or the grape in which our ancestors have invested their hopes and
cares (Rilke, 1950: 898)

(Amerika tiba-tiba muncul di hadapan kita sebagai sesuatu yang kosong,
berbeda, artifisial, dan memperdaya kita dengan kehidupan yang penuh
kepura-puraan. Bagi citarasa Amerika, rumah, buah apel atau anggur tidak
memiliki makna apa-apa sebagaimana rumah, buah apel atau anggur yang
ditanam oleh nenek moyang kita dengan penuh perhatian dan harapan).

Pasasi diatas, yang dikutip dari esai Bryan S. Turner, Cruising America
(1993), ditulis oleh seorang wanita sastrawan Inggris, Rainer Maria Rilke,
yang kecewa melihat wajah kebudayaan modern Eropa yang semakin kering dan
teknosentris. Dengan menyebut Amerika sebagai the simulated life, Rilke
menganggap Eropa saat ini mulai tertular kebudayaan dominan Amerika yang
kosong, artifisial dan memperdaya tersebut. Televisi kabel, jaringan media
global, perusahaan multinasional, bursa efek, internet, entertainment,
konsumerisme, masakan fast food dan film Hollywood, menyerbu dengan cepat
di seluruh sudut kehidupan Eropa. Americans Dream, impian Amerika,
begitulah fantasi yang kerap didengung-dengungkan lewat berbagai cara untuk
menjadikan Amerika sebagai kiblat baru tempat mata diarahkan, tempat kaki
diayunkan, tempat cita-cita, harapan dan impian digantungkan.

Namun dimata Rainer Maria Rilke dan sejumlah kritikus Eropa yang lain
Amerika menjadi semacam kesalahan besar. Amerika adalah kiblat yang keliru
untuk diikuti karena utopia yang ditawarkannya hanyalah kepura-puraan,
kekosongan dan kehampaan. Mitos impian Amerika adalah harapan semu belaka.

Dengan nada yang hampir sama, Umberto Eco, melalui bukunya Travels in
Hyperreality (1983), bercerita tentang Amerika. Melalui bukunya tersebut
Eco menyatakan bahwa Amerika kini tengah berada di ambang erosi, ambang
kebangkrutan budaya yang otentik. Bagi Eco, dengan kecanggihan ilmu dan
teknologi yang dimilikinya, Amerika ternyata tidak mampu membangun suatu
kebudayaan baru yang unggul dan otentik. Sebaliknya, dengan berbagai
kelebihannya, secara ironis Amerika justru terjebak ke dalam kedangkalan,
kepura-puraan dan penampakan semata (Rojek, 1993: 53). Kebudayaan Amerika,
menurut Eco, tak lebih sebagai dunia yang kehilangan referensi, sebuah
replika budaya yang sempurna, peniruan yang nyata, dan representasi yang
otentik dari kebudayaan Eropa. Lebih jauh, Amerika bahkan seolah nampak
lebih nyata dan otentik dibanding Eropa yang ditirunya. Inilah wajah
hiperrealitas Amerika. Dalam kebudayaan Amerika, batas-batas antara benar
dan salah, fakta dan citra, realitas dan fantasi, otentik dan tiruan,
produksi dan reproduksi secara perlahan-lahan meluruh.

Dengan titik berangkat yang hampir sama, Baudrillard melanjutkan upaya
membaca realitas simulasi dan hiperrealitas Amerika dengan gayanya yang
khas. Melalui bukunya, America (1988), yang merupakan laporan perjalanan
sebuah travellogue ke Amerika, Baudrillard menyatakan bahwa Amerika adalah
contoh yang paling meyakinkan dari realitas simulasi dan hiperrealitas.

Mengenai tujuan perjalanannya ke Amerika, secara metaforis Baudrillard
mengatakan,

My hunting grounds are the deserts, the mountains, Los Angeles, the
freeway, the safeways, the ghost towns or the downtowns, not lectures at
the university (Baudrillard, 1988: 63).

(Daerah tujuan perburuan saya adalah gurun-gurun, gunung-gunung, Los
Angeles, jalan layang, jalan bebas hambatan, kota hantu dan downtown, bukan
mengajar di universitas).

Lebih lanjut Baudrillard menyatakan,

I get to know more about the concrete social life of American from the
desert than I ever would from official or intellectual gatherings. American
culture is heir to the desert, but the deserts here are not part of a
Nature defined by contrast with the town. Rather they denote the emptiness,
the radical nudity that is the background to every human institutions as a
metaphor of that emptiness and the work of man as the continuity of the
deserts, culture as a mirage and as the perpetuity of simulacrum
(Baudrillard, 1988: 63).

(Saya ingin tahu lebih banyak tentang kehidupan sosial Amerika yang
sebenarnya dari gurun, bukan dari mimbar pengkajian intelektual. Kebudayaan
Amerika kini nampaknya sedang diwariskan ke sebuah gurun, bukan gurun yang
merupakan bagian alam yang bisa dibedakan dengan kota. Lebih dari itu,
gurun disini menyiratkan suatu kekosongan, sebuah kondisi transparan
radikal yang menjadi latar belakang setiap institusi manusia sebagai
kelanjutan dari gurun, yakni kebudayaan sebagai sebuah khayalan dan
pengulangan simulacra).

Bagi Baudrillard, Amerika adalah sebuah gurun: asing, hampa, sunyi sepi,
tanpa sejarah, tanpa referensi, hanya hamparan ruang kosong tak berbatas,
sebuah ruang semu, ruang simulasi. Gurun adalah simbol metafisik tentang
Yang Lain sebagai ekses proses penandaan, intensi dan pretensi dalam
kebudayaan. Dengan bahasa aforismenya yang khas selanjutnya Baudrillard
menggambarkan Amerika sebagai,

Astral America. The lyrical nature of pure circulation. Sideration.
Starblasted, horizontally by the car, altitudinally by the plane,
geologically by deserts (Baudrillard, 1989: 27).

Anorexic culture: a culture of disgust, of expulsion, of anthropoemia, of
rejection. Characteristic of a period of obesity, saturation, overabundance
(Baudrillard, 1989: 39).

(Bintang-bintang Amerika. Dunia liris penuh kata-kata pujian dari sebuah
sirkulasi murni. Pandangan menyamping. Peledakan-Bintang, yang berbatas
cakrawala sebuah mobil, berbatas ketinggian pesawat terbang dan berbatas
geologi sebuah gurun).

(Kebudayaan anoreksi; sebuah budaya kejijikan, pengenyahan dengan paksa,
anthropoemia, budaya penolakan. Dicirikan oleh karakter kegemukan yang
periodis, penjenuhan dan kelimpahan yang berlebihan).

Dengan prinsip-prinsip hiperrealitas, simulacra, simulasi, serta Imperium
Tanda yang maha dahsyat menggempur setiap ruang kehidupan yang ada, Amerika
menjelma menjadi utopia sekaligus paranoia. Kebudayaan Amerika, menurut
Baudrillard, adalah kebudayaan yang mencampuradukkan dan sekaligus
merayakan kegairahan serta permainan nilai-nilai. Di sanalah kebanalan,
kevulgaran dan kecabulan bersanding dengan kesopanan, intelektualitas,
etika serta estetika.

Baudrillard membaca Amerika dengan berangkat dari perbandingan kebudayaan
dua benua, Eropa dan Amerika. Menurut Baudrillard, Eropa yang dahulu pernah
menjadi pusat kebudayaan modern, kini tidak lagi memiliki peran dan fungsi
yang sama. Eropa saat ini adalah Eropa yang tidak lagi memiliki peran
sebagai kekuataan pendorong, sumber dan model kemajuan peradaban.
Sebaliknya, Eropa kini sekedar menjadi kekuatan peripheral, benua pinggiran
yang telah kehilangan semangat modernitas dan secara perlahan namun pasti
tengah tertinggal oleh saudara mudanya, Amerika. Bagi Baudrillard, Eropa
terlalu dibebani dengan tradisi, sisa-sisa feodalisme, aristokrasi, ide
tentang kaum borjuis dan gagasan-gagasan revolusi yang justru menghambatnya
menuju kondisi modernitas seperti yang diharapkan (Baudrillard, 1988: 80).
Eropa juga tengah menghadapi persoalan melankolik, yakni kegagalannya dalam
mencapai cita-cita idealnya yang berupa demokrasi, kebebasan dan rasio
(Baudrillard, 1988:81). Lebih jauh Baudrillard mengatakan,

In Europe we are stuck in the old rut of worshipping difference; this
leaves us with a great handicap when it comes to radical modernity, which
is founded on the absence of difference. Only very reluctantly do we become
modern and indifferent. This is why our understandings lack the modern
spirit. We do not even have evil genius of modernity, that genius which
pushes innovation to tha point of extravagance and in so doing rediscovers
a kind of fantastical liberty (Baudrillard, 1988: 97).

(Di Eropa kita dikungkung oleh kebiasaan lama pemujaan terhadap perbedaan;
hal ini menjadi rintangan besar bagi kita ketika Eropa hendak melangkah
menuju era modernitas radikal, era yang kehilangan watak perbedaan. Dengan
sangat segan kita akhirnya menjadi modern dan sekaligus acuh tak acuh.
Inilah mengapa pemahaman kita menjadi kehilangan semangat modernitas. Kita
bahkan tidak pernah memiliki evil genius modernitas, karakter yang dapat
mendorong lahirnya inovasi-inovasi ke arah sifat kebebasan dan
keluarbiasaan).

Watak dasar Eropa inilah yang menurut Baudrillard menyebabkan Eropa kini
tengah berada dalam krisis besar. Eropa tertinggal jauh mengikuti gerak
zaman yang melaju cepat tanpa mengenal kompromi.

Sementara itu, Amerika kini, menurut Baudrillard adalah model sempurna
modernitas (Baudrillard, 1988: 77). Di sanalah kini orang menitipkan
harapan dan impiannya. Amerika seolah menyihir dunia untuk menengok dan
berkiblat kepadanya.

Namun bukan berarti Amerika tidak memiliki persoalan. Persoalan Amerika,
menurut Baudrillard, adalah krisis pencapaian utopia, yang dilawankan
dengan prinsip durasi dan permanensi. Di satu sisi, impian Amerika adalah
untuk menemukan kembali nostalgia masa lalunya. Sementara di sisi lain,
tuntutan Amerika adalah keharusan menghadapi dunia kini dan disini dengan
perubahannya yang cepat. Keadaan ini menimbulkan sebuah paradoks, yang
diungkapkan Baudrillard dengan gaya bahasanya yang deklaratif bahwa,

America is neither dream nor reality, this is a world that has shown genius
in its irrepressible developmnet of equality, banality, and indifference,
the desert is a sublime form that banishes all socially, all
sentimentality, all sexuality, all the myths of modernity are American
(Baudrillard, 1989: 87),

(Amerika bukanlah mimpi ataupun kenyataan, inilah dunia yang telah
memperlihatkan kecerdasannya dalam mengembangkan tema-tema kesetaraan,
kebanalan dan ketak-acuhan, gurun adalah sebentuk keagungan yang kehilangan
nilai-nilai sosial, sentimental dan seksual, seluruh mitos modernitas
adalah Amerika).

Realitas Amerika sebagai simulasi dan hiperrealitas, menurut Baudrillard,
adalah contoh sekaligus model masyarakat Barat dewasa ini yang tengah
menjelang pada era postmodernisme. Amerika menjadi pusat gravitasi baru era
postmodernisme, menggantikan Eropa yang pernah tampil sebagai pusat era
modernisme. Modernisme bagi Amerika kini tak lebih sebagai nostalgia yang
pucat, penuh kepedihan, sementara postmodernisme adalah zaman baru yang
menawarkan harapan dan impian yang lebih baik.

Seni Poppuler dalam Era Postmodernisme


A. Budaya Massa dan Budaya Populer


Salah satu fenomena penting yang menandai lahirnya era postmodern adalah
tumbuhnya budaya massa dan budaya populer. Dalam realitas kebudayaan dimana
konsumsi mengalahkan produksi, nilai-tanda dan nilai-simbol mengalahkan
nilai-guna dan nilai-tukar, penampilan menjadi tujuan, tuntutan mengejar
keuntungan adalah satu-satunya pegangan, maka tak pelak, budaya massa dan
budaya populer adalah jawaban bagi masyarakat yang demikian. Sebagai
semangat zaman baru, budaya massa dan budaya populer pun membawakan
nilai-nilai baru, kegairahan baru dan etos kerja baru. Lebih dari era-era
sebelumnya, era postmodern adalah kurun sejarah yang memuja bentuk dan
penampakan ketimbang kedalaman, merayakan kebebasan, permainan dan
kenikmatan ketimbang kekhusukan, serta mengejar keuntungan ketimbang
kemanfaatan. Tak heran bila dalam masyarakat yang dihidupi budaya massa dan
budaya populer masyarakat konsumer tumbuh simbol-simbol dan aktivitas
kebudayaan baru. Televisi, iklan, shopping mall, video game, kartun, komik,
pusat kebugaran, kursus kecantikan, cat rambut, operasi plastik, alis
palsu, facial cream, body building, salon mobil sampai senam seks dan
sederet ikon gaya hidup adalah kosakata baru budaya massa dan budaya
populer.

Lahirnya budaya massa dan budaya populer sendiri sebenarnya telah melalui
sebuah proses sejarah yang panjang. Merujuk Leo Lowenthal seorang tokoh
mahzab Frankfurt generasi kedua yang dikutip Dominic Strinati dalam
bukunya An Introduction to Theories of Popular Culture (1995), sejarah
budaya massa dan budaya populer setidaknya dapat dilacak semenjak era "Roti
dan Sirkus" dalam masa kekaisaran Romawi. Budaya massa dan budaya populer
pada saat itu muncul dalam bentuk pelbagai permainan, olahraga dan pesta
rakyat yang diselenggarakan setiap tahun untuk seluruh penduduk Roma. Ia
bersifat massal dan populer karena tidak hanya terbatas bagi kalangan
keluarga kekaisaran Romawi. Budaya massa dan budaya populer kemudian
semakin berkembang dengan awal kebangkitan era ekonomi pasar pada abad
ke-17 M. Dalam kurun ini, budaya massa dan budaya populer telah menjadi
bagian ekonomi politik kapitalisme yang dituntun oleh prinsip kemajuan,
keuntungan dan perluasan produksi. Prinsip-prinsip seperti mass production
(produksi massal), minimization of cost (pembiayaan yang rendah),
standarization (standarisasi), homogenization of taste (penyeragaman selera
dan citarasa), differenziation (diferensiasi) dan constan acceleration
(percepatan konstan) menjadi hukum baru proses produksi (Ibrahim, 1997:
19). Dengan prinsip-prinsip ini budaya massa dan budaya populer seolah
memperoleh pembenaran untuk hidup dan berkembang. Kini segala sesuatu
disulap menjadi budaya massa dan budaya populer demi tujuan memperbesar
keuntungan. Dalam pengertian ini, budaya massa dipahami sebagai budaya
populer yang diproduksi melalui teknik produksi massal dan diproduksi demi
keuntungan. Budaya massa adalah budaya komersial, produk massal untuk pasar
massal. Budaya massa, dengan demikian tidak lain dari metamoforsa komoditi
dalam bentuknya yang lebih canggih, lebih halus dan lebih memikat
(Strinati, 1995: 10). Sementara itu budaya populer adalah sebuah kategori
bagi budaya rendah (lowbrow culture) yang biasa dibedakan dengan budaya
tinggi (highbrow culture). Budaya populer, atau dalam pengertian awalnya
biasa disebut budaya rakyat (folk culture), lahir dari bawah, dari rakyat
kebanyakan, sementara budaya tinggi, dibentuk dari atas, dari kalangan
aristokrat. Budaya populer ditandai oleh sifatnya yang massal, terbuka
untuk siapapun dan lebih mengakar kepada khalayak pemiliknya. Sementara
budaya tinggi dicirikan oleh sifatnya yang khusus dan tertutup, terbatas
bagi kalangan tertentu dan tidak mengakar ke bawah (Strinati, 1995: 10).
Dalam kaitan antara ketiga bentuk kebudayaan ini, MacDonald salah seorang
teoritisi awal budaya massa dan budaya populer memberi batasan sebagai
berikut,

Folk culture grew from below. It was a spontaneous, autochthonous
expression of the people, shaped by themselves, pretty much without the
benefit of High Culture, to suit their own needs. Mass Culture is imposed
from above. It is fabricated by technicians hired by businessmen; its
audiences are passive consumers, their participation limited to the choice
between buying and not buying. Folk culture was the peoples own
institution, their private little garden walled off from the great formal
park of their masters High Culture. But Mass Culture breaks down the wall,
integrating the masses into a debased from of High Culture and thus
becoming an instrument of political domination (MacDonald, 1957: 60).

(Budaya rakyat tumbuh dari bawah. Ia adalah ekspresi otonom dan spontan
rakyat yang dibuat oleh mereka sendiri, tanpa pengaruh budaya tinggi, untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Budaya massa sebenarnya ditumbuhkan dari
atas. Ia diproduksi oleh tenaga-tenaga teknis yang dipekerjakan oleh
produsen; khalayaknya adalah konsumer-konsumer pasif, dimana partisipasi
mereka terbatas pada pilihan membeli atau tidak membeli. Budaya rakyat
adalah milik rakyat sendiri, kebun mungil pribadi mereka yang dipisahkan
dari kebun besar Budaya Tinggi. Namun budaya massa merobohkan dinding
pemisah ini, menyatukan massa ke dalam budaya tinggi yang telah diturunkan
statusnya dan kemudian menjelma menjadi instrumen dominasi politik).

Pernyataan MacDonald ini merujuk budaya massa dan budaya populer sebagai
bagian ekonomi politik kapitalisme, yang sekaligus menandai lahirnya era
postmodernisme, yang mengaburkan batas-batas pengertian antara
budaya-tinggi dan budaya-populer ke dalam satu karakter budaya massa. Dalam
realitas kebudayaan dewasa ini, tak ada lagi budaya-tinggi yang murni,
agung dan luhur, sebagaimana tak ada lagi budaya-rendah pinggiran dan
inferior. Budaya-tinggi kini telah berubah menjadi komoditi, produk budaya
yang dikomersialkan. Sementara budaya populer kini ternyata semakin wajar
diterima dan dihargai (Shuker, 1994: 5). Perbedaan hirarkis yang ketat
demikian kini tak lebih sebagai nostalgia masa lampau yang borjuis-feodal.
Realitas kebudayaan dewasa ini adalah realitas kebudayaan yang tunduk pada
hukum ekonomi kapitalisme, dalam bentuk budaya massa dan budaya populer.

Dalam diskursus sejarah kebudayaan, perkembangan budaya massa dan budaya
populer yang mengiringi kelahiran era postmodern setidaknya dapat
ditelusuri semenjak era masyarakat primitif. Masyarakat primitif dipandang
sebagai masyarakat komunal organik yang utuh, dengan seperangkat nilai dan
norma yang mengatur anggota-anggotanya secara efektif. Dalam struktur
masyarakat ini, ikatan sosial diantara anggotanya masih terjalin kuat.
Bentuk-bentuk kebudayaan terutama seni yang lahir dalam masyarakat ini,
sepenuhnya adalah kebudayaan rakyat (folk culture). Kebudayaan inilah yang
secara langsung merefleksikan pengalaman dan kehidupan masyarakat awal.
Bentuk-bentuk kesenian rakyat, kesenian tradisional dan primitif, pada
awalnya lahir untuk menjawab kebutuhan menjaga keutuhan nilai masyarakat
awal.

Kondisi ini berubah ketika bersamaan dengan mulai berkembangnya kapitalisme
awal, terbentuk struktur masyarakat borjuis-feodal. Dalam masyarakat ini,
sekelompok golongan menduduki kelas borjuis, dan sekelompok yang lain
menempati kelas proletar. Klasifikasi sosial ini pada gilirannya melahirkan
klasifikasi budaya. Kelas borjuis dengan kebudayaannya yang khas terbatas,
tertutup, bernilai sakral, eksklusif dan mewah yang disebut sebagai
budaya tinggi. Dan kelas proletar dengan kebudayaan yang bersifat terbuka,
imanen, massal dan mengakar ke bawah yang disebut budaya rendah.

Seiring dengan perkembangan kapitalisme ke arah kapitalisme lanjut,
struktur masyarakat pun kembali mengalami perubahan. Dari masyarakat
primitif, masyarakat borjuis-feodal ke masyarakat massa. Dengan
industrialisasi dan urbanisasi serta perkembangan teknologi percetakan,
secara perlahan-lahan terjadi proses transformasi sosial. Perubahan ini
didorong oleh, di satu sisi, perkembangan teknologi mekanik berskala massal
dan peningkatan populasi penduduk di kota-kota besar yang menyebabkan
perubahan pola hidup masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat
industri. Dan di sisi lain, sebagai akibat perubahan diatas, terjadi erosi
dan kegoncangan struktur nilai sosial masyarakat, luruhnya ikatan sosial
dalam komunitas pedesaan, turunnya status agama dan merebaknya proses
sekularisasi serta diabaikannya nilai-nilai moral. Dalam kerangka sosial
seperti inilah kemudian muncul apa yang disebut sebagai proses atomisasi
(Strinati, 1995: 6). Proses atomisasi terjadi ketika suatu masyarakat
terdiri dari individu-individu yang berhubungan dengan individu lain
menurut hubungan atom dalam wacana dunia ilmu kimia atau fisika. Masyarakat
massa terdiri dari individu-individu atom seperti ini, individu yang
berhubungan dengan individu lain tanpa didasari oleh nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakatnya. Individu atom adalah manusia-manusia yang
berhubungan atas dasar kontrak, berjarak dan bersifat sementara ketimbang
sebagai ikatan komunal yang erat. Proses atomisasi, seperti telah disebut
di depan, juga disebabkan oleh runtuhnya peran lembaga-lembaga sosial dalam
masyarakat sebagai akibat meledaknya industrialisasi dan urbanisasi.
Keluarga, desa dan gereja yang dahulu pernah memberikan perasaan identitas
psikologis, kepastian moral dan sosial, kini digantikan perannya oleh media
massa dan pelbagai bentuk budaya populer. Dalam kondisi ketika tidak ada
lagi kepastian psikologis, moral dan sosial demikian, individu membutuhkan
acuan moralitas baru. Peran inilah yang diisi oleh budaya massa dan budaya
populer, sebagai pemberi pegangan nilai moral dan sosial dalam masyarakat.
Budaya massa dan budaya populer tidak lagi dipandang sebagai budaya rendah,
melainkan sebaliknya, budaya dominan.yang diterima, didengar dan diikuti
secara luas dalam realitas masyarakat dewasa ini.

Merebaknya budaya massa dan budaya populer ini selanjutnya didukung oleh
perkembangan kapitalisme lanjut yang mengintegrasikan ilmu dan teknologi
sebagai tulang punggungnya serta peran pendidikan dan demokrasi.
(Strinati,1995: 7). Menarik dicatat bahwa demokrasi dianggap sebagai
pendorong merebaknya budaya massa dan budaya populer. Demokrasi dipandang
berjasa dalam merobohkan hierarki tradisional mengenai kelas, citarasa dan
budaya dengan memberi tempat kepada massa untuk menentukan
keputusan-keputusan politik. Sementara lewat pendidikan, semakin banyak
anggota masyarakat yang memiliki kemampuan baca tulis untuk mendapat lebih
banyak informasi tanpa harus tergantung kepada lembaga-lembaga tradisional.
Maka kini budaya massa dan budaya populer pun menjadi institusi baru yang
menggantikan peran lembaga-lembaga tradisional. Dalam kerangka kapitalisme
lanjut, tujuan utama budaya massa, tentu saja adalah untuk kepentingan
memperoleh keuntungan. Budaya massa merupakan salah satu strategi budaya
yang disodorkan kapitalisme untuk menciptakan produk-produk massal, melalui
industri produksi massal untuk konsumer yang massal pula. Lewat
produk-produk budaya massa, kapitalisme berusaha memperbesar margin
keuntungannya sampai batas yang tak terhingga. Semakin luas jangkauan
penyebaran budaya massa dan budaya populer, maka semakin besar kapital yang
dapat dikeruknya.

Karakter budaya massa dicirikan oleh sifatnya yang baku, standar, merupakan
hasil duplikasi dan reproduksi. Budaya massa merayakan kesenangan yang
dangkal, sepele dan sentimental, sembari menolak nilai-nilai yang otentik,
luhur dan sakral. Mengutip kembali MacDonald, budaya massa adalah,

It is a debased, trivial culture that voids both the deep realities (sex,
death, failure, tragedy) and also the simple, spontaneous pleasures, since
the realities would be too real and the pleasures too lively to induce. A
narcotized acceptance of Mass Culture and of the commodities it sells as a
substitute for the unsettling and unpredictable (hence unstable) joy,
tragedy, wit, change, originality and beauty of real life. The masses,
debauched by several generations of this sort of thing, in turn come to
demand trivial and comfortable cultural products (MacDonald, 1957: 71).

(Sebentuk kebudayaan yang rendah, budaya remeh-temeh yang kehilangan, baik
realitas sublim (seks, kematian, kegagalan, tragedi) maupun realitas
sederhana, kenikmatan-kenikmatan spontan, karena realitas-realitas itu kini
telah menjadi terlalu nyata, dan kenikmatan-kenikmatan menjadi terlampau
hidup untuk disentuh. Penerimaan terhadap budaya massa yang membius dan
komoditi-komoditi yang dijual sebagai pengganti kegembiraan, tragedi
kecerdasan, perubahan, orisinalitas dan keindahan hidup sebenarnya yang
sudah tidak dapat ditetapkan dan diramalkan. Massa yang telah dikotori oleh
hal-hal demikian, pada gilirannya menjadi massa yang mabuk oleh
produk-produk budaya yang remeh-temeh namun memberi rasa nyaman).

Maka budaya massa adalah budaya yang miskin rangsangan dan tantangan
intelektual, namun kaya fantasi dan ilusi kesenangan. Ia adalah kebudayaan
yang kehilangan semangat pemikiran dan penciptaan yang otentik, namun
sebaliknya membawakan semangat pluralitas dan demokrasi. Maka budaya massa
adalah,

A dynamic, revolutionary force, breaking down the old barriers of class,
tradition, taste, and dissolving all cultural distinctions. It mixes and
scrambles everything together, producing what might be called homogenized
culture. It thus destroys all values, since value judgements imply
discrimination. Mass culture is very, very democratic: it absolutely
refuses to discriminate against, or between, anything or anybody
(MacDonald, 1957: 62).

(Sebuah kekuatan dinamis, revolusioner, yang meruntuhkan sekat-sekat lama
tentang kelas, tradisi dan citarasa, serta meluruhkan semua perbedaan
budaya. Ia mengaduk dan mencampur-baurkan segala sesuatu secara
bersama-sama, memproduksi apa yang mungkin disebut sebagai kebudayaan yang
homogen. Ia dengan demikian meluluh-lantakkan semua nilai, karena penilaian
mengasumsikan adanya diskriminasi. Budaya massa, adalah budaya yang sangat,
sangat demokratis: ia benar-benar menolak untuk melakukan diskriminasi
terhadap atau antara sesuatu hal atau orang).

Sejalan dengan karakter khas budaya massa, terbentuklah konsepsi khas
khalayak konsumer budaya massa. Khalayak budaya massa adalah para konsumen
pasif, individu-individu yang rentan terhadap manipulasi dan bujukan media
massa, tunduk pada daya tarik hasrat untuk selalu dan selalu membeli,
menikmati kesenangan semu konsumsi massa dan merupakan objek eksploitasi
komersial. Inilah massa yang nyaris tanpa pikiran, tanpa kemampuan
berefleksi, tanpa kemampuan bernalar secara kritis, selain hasrat yang
besar untuk mengkonsumsi dan mengkonsumsi. Dalam salah satu tulisannya yang
sangat penting, A Theory of Mass Culture (1957), MacDonald memaparkan
pandangannya tentang khalayak budaya massa ini,

As masses, they lose their human identity and quality. For the masses in
historical time are what a crowd is in space: a large quantity of people
unable to express themselves as human beings because they are related to
one another neither as individuals nor as members of communities indeed,
they are not related to each other at all, but only to something distant,
abstract, nonhuman: a football game or bargain sale in the case of crowd,
a system of industrial production, a party or a state in the case of
masses. The mass man is a solitary atom, uniform with and undifferentiated
from thousands and millions of other atoms who go to make up the lonely
crowd as David Reisman well calls American society (MacDonald, 1957: 69).

(Sebagai massa, mereka kehilangan kualitas dan identitas kemanusiaannya.
Karena massa adalah keramaian: sejumlah besar individu yang tak mampu
mengekspresikan dirinya sebagai manusia, karena berhubungan dengan orang
lain tidak dalam kerangka individu ataupun anggota suatu komunitas bahkan,
mereka samasekali tidak berhubungan satu sama lain melainkan sekedar
berhubungan dengan sesuatu yang abstrak, berjarak, sesuatu yang bersifat
non-human: seperti keramaian permainan sepakbola atau penjualan obral,
sistem produksi industrial atau pun massa partai atau negara. Manusia massa
adalah semacam atom yang teralienasi, seragam dan nyaris tak bisa dibedakan
dengan ribuan bahkan jutaan atom lain yang membentuk "keramaian yang
sunyi", seperti ungkapan David Reisman ketika menyebut masyarakat Amerika).

Ungkapan David Reisman, yang dikutip MacDonald dalam tulisannya, tentang
"keramaian yang sunyi" masyarakat Amerika, selanjutnya dapat dibaca
mengimplikasikan dua hal. Pertama, bahwa Amerika merupakan representasi
paling tepat untuk menggambarkan fenomena atomisasi dalam realitas budaya
massa. Kedua, ungkapan bernada satire tersebut sekaligus mengungkapkan
ketakutan terhadap pengaruh Amerika dalam pelipatgandaan budaya massa ke
seluruh penjuru dunia, yang lebih dikenal sebagai proses Amerikanisasi.

Ancaman penyebaran budaya massa melalui proses Amerikanisasi ini
dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa Amerika adalah kiblat budaya massa.
Dengan kemampuan teknologi industri massal yang canggih dan dukungan sistem
kapitalisme serta demokrasi, wajar bila ditarik kesimpulan bahwa Amerika
adalah ancaman bagi setiap nilai estetika dan budaya, bahkan identitas
nasional suatu bangsa. Dick Hebdige mencoba menguraikan karakter budaya
Amerika sebagai berikut,

American popular culture Hollywood films, advertising images, packaging,
clothes and music offers a rich iconography, a set of symbols, objects and
artefacts which can be assembled and reassembled by different groups in a
literally limitless number of combinations. And the meaning of each
selections is transformed as individual objects jeans, rock records, Tony
Curtis hair styles, bobby socks are taken out of their original historical
and cultural contexts and juxtaposed against signs from other sources
(Hebdige, 1987: 74).

(Budaya populer Amerika film Hollywood, citra-citra iklan, teknologi
kemasan, pakaian dan musik adalah sebuah ikonografi yang kaya, seperangkat
simbol, objek dan artefak yang dapat dirangkai dan dirangkai-ulang oleh
kelompok-kelompok yang berbeda dalam kombinasi yang tak terbatas. Dan makna
pada setiap pilihan ini kemudian diterjemahkan sebagai objek-objek
individual celana jeans, musik rock, gaya rambut Tony Curtis, model kaos
kaki pendek dicabut dari konteks sejarah dan budayanya yang asli dan
disejajarkan dengan tanda-tanda dari sumber-sumber lain).

Penyebaran budaya massa melalui proses Amerikanisasi, di mata Hebdige,
kemudian menjadi proses yang tidak sekedar secara pasif menerima, melainkan
aktif mengolah kembali menjadi konstruksi kebudayaan baru. Namun demikian,
Amerikanisasi tetaplah dipandang sebagai ancaman luruhnya nilai-nilai
budaya khas-otentik setiap bangsa, runtuhnya otoritas dan legitimasi
lembaga moral tradisional, serta meningkatnya kenakalan dan kejahatan
remaja.

Pada titik ini, proses Amerikanisasi menemukan gemanya dalam pemikiran
Baudrillard. Dengan menyebut proses Amerikanisasi sebagai gejala "Impian
Amerika", Baudrillard menyatakan bahwa sebagai penggerak utama budaya massa
dan budaya populer, Amerika adalah impian namun sekaligus mitos. Dengan
kekuatan daya tariknya yang luar biasa, Amerika seolah menjadi kiblat era
baru yang disebut sebagai era postmodern, sebagaimana Eropa pernah menjadi
kiblat era modern. Namun dibalik semua itu, papar Baudrillard, Amerika
sebenarnya menyimpan pelbagai bibit penyakit yang parah. Amerika adalah
wajah sebuah budaya yang szhizophrenis, tak memiliki otentisitas, dan tak
lebih dari kumpulan puing-puing budaya yang diperoleh dari proses duplikasi
dan reproduksi. Budaya massa dan budaya populer yang dangkal, eklektis,
mengedepankan penampakan, miskin makna dan orisinalitas yang justru
berkembang-biak di Amerika seolah menegaskan sifat paradoks Amerika.

Dalam realitas budaya massa dan budaya populer Amerika inilah
pemikiran-pemikiran Baudrillard mendapatkan kebenarannya. Pelbagai simbol
dan artefak budaya massa menjadi ruang pergulatan yang paling konkret dari
apa yang disebut Baudrillard sebagai kebudayaan postmodern. Melalui film,
televisi dan video game misalnya, pemikiran Baudrillard tentang dunia
simulasi dapat dijelaskan secara gamblang. Melalui artefak-artefak budaya
massa ini pulalah gagasan Baudrillard tentang fenomena hiperrealitas
menjadi mudah dipahami.

Dalam wacana televisi, film dan video game mengikuti Baudrillard bergumul
pelbagai unsur: fiksi dan fakta, realitas dan ilusi, kebenaran dan
kepalsuan, yang direkayasa, disimulasi sehingga seolah-olah nyata. Ketiga
artefak budaya massa tersebut juga sekaligus mencampur-baurkan masa lampau,
masa kini dan masa depan dalam konteks kekinian yang juga semu. Realitas
dalam televisi, film dan video game pada gilirannya menjadi realitas
simulasi: realitas buatan yang dihasilkan melalui proses produksi dan
reproduksi pelbagai unsur sehingga tidak mungkin lagi diketahui mana yang
real dan mana yang palsu, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang
asli dan mana yang tiruan. Lebih jauh, dengan realitas-realitas buatan
semacam Disneyland, Universal Studio ataupun shopping mall yang sekaligus
menjadi simbol paling tepat bagi budaya massa dan budaya populer realitas
yang sebenarnya kini telah dikalahkan oleh realitas-realitas buatan.
Disneyland dengan tokoh-tokoh fiktifnya Mickey Mouse, Donald Duck ataupun
Guffi, Universal Studio dengan miniatur kota-kota buatan, dan shopping mall
dengan dunia belanja yang menawarkan pelbagai macam tema bahkan seolah
lebih nyata dan hidup ketimbang tokoh-tokoh pahlawan dalam buku-buku
sejarah.

Selanjutnya budaya massa dan budaya populer juga membawakan gagasan
meledaknya nilai-tanda dan nilai-simbol di atas nilai-guna dan nilai-tukar.
Karakter khas budaya massa dan budaya populer yang bersifat massal,
dangkal, mengedepankan penampakan ketimbang makna dan kedalaman sekaligus
mengisyaratkan lebih diterimanya simbol status, prestise, penampilan dan
gaya ketimbang manfaat atau maknanya. Merebaknya persaingan gaya hidup
dengan pelbagai simbol budaya pendukungnya: mobil, handphone, credit card,
pakaian; diserbunya pusat-pusat kebugaran, kursus kecantikan atau bahkan
iklan operasi plastik sebagai simbol dominannya penampilan; sampai
merebaknya paket wisata-budaya yang mengemas upacara adat, kesenian
tradisional dan keunikan budaya etnis lokal, adalah beberapa bukti lebih
dominannya nilai-tanda dan nilai-simbol dalam realiatas budaya massa dan
budaya populer

Lebih jauh, mengutip Baudrillard, melalui budaya massa dan budaya populer
inilah lahir suatu prinsip komunikasi baru yang disebutnya sebagai prinsip
bujuk-rayu (seduction). Bila sebelumnya proses komunikasi dipahami sebagai
proses penyampaian pesan dari pemberi pesan (addressee) kepada penerima
pesan (address) untuk diperoleh suatu makna tertentu, maka kini komunikasi
dipahami sebagai proses bujuk-rayu objek (konsumen) oleh subjek (produsen)
untuk mengkonsumsi produk-produk yang ditawarkan. Melalui iklan, kampanye,
tayangan talk show, dan gempuran pelbagai informasi melalui media massa,
konsumen dirayu untuk mengkonsumsi lebih dan lebih banyak lagi. Dalam
mekanisme komunikasi seperti ini, tak ada lagi pesan, tak ada lagi makna,
kecuali semata dorongan memikat untuk mengkonsumsi apa yang ditawarkan.
Konsumen adalah, mengutip Baudrillard, "mayoritas yang diam" (the silent
majorities), yang pasif menerima segala apapun yang masuk ke dalam tubuh
dan pikirannya, menelannya mentah-mentah tanpa pernah mampu
merefleksikannya kembali dalam kehidupan yang sebenarnya, dan bahkan hanyut
dalam gelombang deras budaya massa dan budaya populer yang menghadang tepat
di depannya.

B. Estetika Seni Postmodern


Sejarah estetika seni modern pada dasarnya adalah sejarah tentang kemajuan
(progress) dan keotentikan (authenticity). Dalam wacana estetika seni
modern, sebuah karya disebut otentik bila menyiratkan adanya kemunculan
sesuatu yang baru dan keterputusannya dengan yang lama. Tanda yang mencolok
dari prinsip estetika seni modern, mengutip Habermas dalam karyanya
Modernity: An Incomplete Project (1988), adalah prinsip "sesuatu yang
baru". Inilah prinsip yang mencerminkan kerinduan manusia modern terhadap
keindahan dan keotentikan (Piliang, 1998: 279).

Namun, sejarah kemajuan dan keotentikan seni modern, yang memang tidak
pernah membawa manusia ke batas keindahan absolut, tengah mengalami semacam
kebekuan dalam tiga dekade terakhir ini. Ketika bidang di dalam bingkai
gambar telah dijelajahi sampai ke sudut terakhirnya, bahkan ketika seni
telah menyeberang jauh di luar bingkai seni di luar medium yang biasa, di
luar norma dan prinsip seni yang ada maka seni telah sampai pada satu
titik dimana kebaruan dalam seni tidak lagi merupakan shock of the new.
Penjelajahan artistik modernitas ke masa depan yang bersifat progresif,
utopis dan tanpa batas telah berakhir dengan sebuah jalan buntu: tidak ada
lagi daerah baru untuk dijelajahi, tak ada lagi ruang baru untuk dikuasai,
tak ada lagi kebaruan yang lebih baru.

Sementara itu realitas kebudayaan modern yang didominasi oleh budaya massa
dan budaya populer mendesakkan kesadaran yang sama akan kemajuan dan
kebaruan. Keharusan selalu beralih dari satu komoditi ke komoditi yang lain
dalam proses konsumsi merupakan manifestasi paling sederhana dari sistem
kapitalisme. Kehendak untuk selalu tampil baru, tampil menawan dan berbeda
dalam wacana budaya massa mendapatkan jawabannya dengan mekanisme
daur-ulang fashion. Dalam fashion, setiap orang merasa perlu memperbarui
dirinya setiap tahun, setiap bulan atau setiap musim, melalui barang-barang
baru. Bila ini tidak dilakukan, maka seseorang dianggap belum dapat menjadi
anggota masyarakat konsumer yang sejati. Namun, wacana semacam ini
sebenarnya bukanlah satu bentuk kemajuan, sebab fashion senantiasa berubah,
berganti-ganti, berputar dan tidak menambah apa-apa pada nilai seorang
individu. Dengan kata lain, wacana fashion adalah wacana kemajuan semu.

Dalam pandangan Adorno, seni modern kini juga tengah terseret dalam
mekanisme fashion. Dengan model daur-ulang fashion, maka seni dapat
diproduksi secara massal dan kontinyu sesuai kehendak produsen. Segala
bentuk seni, bahkan budaya, menjadi komoditi industri. Pada titik inilah
terjadi apa yang disebut Adorno sebagai proses industrialisasi budaya (the
culture industry), ketika segala sesuatu dipandang dalam kacamata komoditi,
dengan daur-ulang fashion sebagai model penciptaan produk-produk budaya
(Strinati, 1995: 61). Ketika seluruh sudut bingkai seni telah dijelajahi,
ketika tak ada lagi yang dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baru, dan
ketika dalam penjelajahan itu yang ditemukan tak lain adalah jalan buntu,
maka yang dapat dilakukan kini hanyalah mengkombinasikan kembali dan
bermain-main dengan bentuk-bentuk seni yang sudah ada, yang sudah dibuat,
yang sudah diwariskan. Semacam dialog dengan masa lalu (Piliang, 1998:
281).

Pengembaraan estetika ke masa lalu ini pulalah yang menjadi tawaran seni
postmodern untuk menjawab kebutuhan masyarakat konsumer akan kebaruan,
penampilan dan fashion. Dalam dialog dengan masa lalu ini, setidaknya
terdapat tiga model wacana seni postmodern yang dominan yakni: model
dialogisme dan intertekstualitas, model perversitas dan abnormalitas, serta
model simulasi dan hiperrealitas (Piliang, 1998: 303-305)

Model Dialogisme dan Intertekstualitas


Istilah dialogisme adalah istilah wacana tekstual yang dikembangkan oleh
Mikhail Bakhtin, seorang pemikir Rusia, untuk menjelaskan kebergantungan
satu ungkapan dengan ungkapan-ungkapan yang telah ada sebelumnya. Menurut
Bakhtin, Dua karya, dua ungkapan verbal, secara bersama-sama, memasuki
semacam hubungan semantik tertentu yang disebut dialogis. Hubungan dialogis
adalah hubungan-hubungan di antara semua ungkapan dalam komunikasi verbal.
Menurut pandangan Bakhtin, tidak ada satu pun ungkapan seni yang dapat
dikatakan sebagai ekspresi murni dan asli sang seniman, yang diklaim oleh
modernisme, sebab bagaimana pun sang seniman telah menerima warisan-warisan
yang berupa bahasa, pendidikan, fakta-fakta yang pernah diamati sebelumnya
(Piliang, 1998: 303).

Konsep yang setara dengan dialogisme Bakhtin telah digunakan untuk
menjelaskan wacana tekstual postmodernisme, seperti pengkodean berganda
Charles Jenck (double code), bricolage Dick Hebdige dan intertekstualitas
Julia Kristeva, untuk menjelaskan jaringan dialogis satu karya seni dengan
karya sebelumnya. Menurut Kristeva, teks-teks estetika seni postmodern
adalah semacam permainan dan mosaik kutipan-kutipan dari pelbagai teks masa
lalu. Kristeva menjelaskan di dalam karyanya, Desire in Language: A
Semioric Approach to Literature and Art (1979), seperti dikutip Yasraf Amir
Piliang, bahwa sebuah teks dapat disebut interteks, (atau postmodern), bila
di dalam ruang teks tersebut, terdapat beberapa ungkapan yang berasal dari
teks-teks lain, silang-sengkarut dan saling menetralisasi satu sama lain.
Karya intertekstual postmodern dengan demikian adalah tempat perlintasan
dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya (Piliang, 1998: 304).

Sementara itu bersamaan dengan berkembangnya media massa dan komoditi
massa, maka sesungguhnya secara ideologis telah terjadi semacam pertarungan
antara nilai dan makna-makna ideologis yang dibawa oleh media massa
tersebut dengan nilai dan makna-makna tradisional. Sifat-sifat tontonan,
kesenangan dan penampakan pada media massa dan komoditi, dalam beberapa
sisi telah mengendurkan nilai dan makna moralitas, tabu, spiritual,
adat-istiadat dan mitologis. Dalam kerangka seperti inilah muncul model
wacana seni perversitas dan abnormalitas.

Model Perversitas dan Abnormalitas


Istilah perversi, sebenarnya berasal dari wacana seksualitas. Louise J.
Kaplan, dalam bukunya Female Perversion (1991), menggunakan istilah
perversi untuk menjelaskan fenomena penyimpangan dari norma dan praktek
seksual yang normal, misalnya homoseksual, masokisme, sadisme, dan
sebagainya. Namun dewasa ini di Barat istilah ini juga digunakan untuk
menjelaskan fenomena estetik, khususnya seni postmodern. Kaplan menjelaskan
bahwa tindak-tanduk yang tipikal disebut perversi adalah berupa
pengembangan skenario di dalam gaya, tata cara dan penggunaan benda-benda
yang mengelabuhi orang yang melihat yang nyata atau yang imajinatif
tentang makna yang sebenarnya dari tidak-tanduk tersebut (Piliang, 1998:
305).

Prinsip perversi dalam wacana seksual ini ternyata berkembang dalam model
yang serupa di dalam dunia seni, yakni dalam bentuk prinsip abnormalitas.
Di dalam ruang perversi-abnormalitas seni, pemutarbalikan bahasa,
pembajakan tanda, pembalikan norma, pelanggaran tabu, penopengan makna,
menjadi seakan-akan normal disebabkan absennya hukum atau kode-kode yang
ada. Di dalam estetika perversi-abnormalitas, perusakan kode-kode yang ada
sedikit berbeda dengan surealisme adalah melalui pembajakan,
penyalahgunaan, atau penopengan tanda. Di dalam ruang perversi, dunia seni
ditandai oleh objek-objek semu, seolah-olah, atau palsu: feminin palsu,
seolah-olah klasik, maskulin semu objek-objek yang disebut sebagai
objek-objek postmodern.

Model Simulasi dan Hiperrealitas


Model wacana seni simulasi dan hiperrealitas merupakan penjabaran pemikiran
Baudrillard tentang karakteristik kebudayaan postmodern. Menurut
Baudrillard, bersamaan dengan perkembangan kapitalisme lanjut yang pesat,
penemuan pelbagai sarana teknologi informasi dan komunikasi yang canggih,
berkembangnya budaya massa dan budaya populer, serta meluruhnya nilai dan
paradigma modernisme, realitas kebudayaan kini tengah menuju ke ambang era
postmodern, yang ditandai dengan fenomena-fenomena simulasi, simulacra,
hiperrealitas, dominasi nilai-tanda dan nilai-simbol serta prinsip
komunikasi bujuk-rayu (seduction). Dalam realitas seperti inilah lahir
model wacana seni simulasi dan hiperrealitas. Baudrillard menggambarkan
realitas estetika postmodern ini sebagai: ekstasi, kecabulan, transparansi,
fatal, fraktal, teror, keterpesonaan, dan hiperrealitas-simulasi.

Baudrillard sendiri mulai memberikan pengaruhnya dalam dunia seni, estetika
dan kebudayaan setidaknya semenjak tahun 1980-an. Pada tahun-tahun itulah
ia kerap banyak dibicarakan oleh kelompok-kelompok seniman, praktisi media
massa dan studio seni yang mencoba mengadopsi gagasan-gagasannya ke dalam
karya-karya mereka. Pelukis, pematung, para seniman performance arts,
mulai dari Peter Halley, Sherrie Levine, Jenny Holzer, Ashley Bickerton,
sampai Jeff Koons, Haim Steinbach, Simon Linke, Robert Longo dan Barbara
Kruger adalah sederet nama-nama yang mencoba mengekspresikan pemikiran
kritis Baudrillard ke dalam wilayah seni (Kellner, 1994: 210). Peter Halley
misalnya, dengan dua karyanya yang memanfaatkan aliran listrik, sel dan
sirkuit simulasi, Blue Cell with Triple Conduit (1986) dan Two Cells with
Organizing Conduit (1986), merupakan manifestasi prinsip simulasi
Baudrillard. Sementara Jeff Koons dengan karya-karya duplikasi objek-objek
kitsch, seperti Jim Beam J.B. Turner Train (1986) atau Bear and Policeman
(1988), menyepakati gagasan strategi fatalistik dan realitas transparan
Baudrillard. Dalam salah satu resensi lukisan Simon Linke, Suzi Gablik
seorang kritikus seni misalnya, mencatat keterkaitan pemikiran Baudrillard
dengan perkembangan seni postmodern di tahun 1980-an tersebut,

With Simon Linkes paintings of commercial gallery advertisements copied
straight from the pages of Artforum, we cannot really know if this is
radical criticism or inspired clowning. Declaring its pointlessness openly,
his art baits us with its indifference; the artist openly adopts the
posture of a chariation, a short of trickster who is not going to get us
out of the mess were in, but who will engage in the only legitimate
cultural practice possible for our time, which is, in the words of
Baudrillard, the chance, the labyrinthine, manipulatory play of signs
without meaning (Gablik, 1988: 27).

(Dengan lukisan iklan galeri komersial karya Simon Linke yang dikopi
langsung dari halaman majalah Artforum, kita kini tidak lagi tahu apakah
ini sebentuk kritisisme radikal ataukah sekedar kloning yang mencerahkan.
Dinyatakan dengan sifat keterbukaannya yang tanpa batas, karyanya memikat
kita dengan aura keacuhannya; sang seniman secara terbuka mengadopsi
gaya-sikap keculasan, semacam proses yang tidak hendak membawa kita keluar
dari tempat dimana kita berada, namun menikmati praktek-praktek budaya yang
mungkin bagi zaman kita, yang dalam kata-kata Baudrillard, "adalah semacam
kesempatan, semacam labirin, permainan manipulasi tanda tanpa makna").

Dalam karya Simon Linke, pemikiran Baudrillard tentang lenyapnya semua
acuan dan referensi diadopsi secara langsung sebagai kosakata kunci dunia
seni kontemporer (Kellner, 1994: 210).

Terdapat dua esai yang secara eksplisit membahas seni dan praktek-praktek
dalam dunia seni yang ditulis Baudrillard dalam karyanya For a Critique of
The Political Economy of The Sign (1981). Esai yang pertama, Gesture and
Signature: The Semiurgy of Contemporary Art, memaparkan bagaimana seni
bekerja sebagaimana bentuk-bentuk gaya yang unik menggunakan nilai-tanda
yang diterjemahkan dalam seni baik secara komersial maupun semiotik.
Sementara seni modern berhasrat menjadi sesuatu yang baru menentang
bentuk-bentuk seni yang sudah ada, papar Baudrillard, saat ini seni tidak
lagi dituntut untuk mengambil peran demikian. Seni bukan lagi ungkapan
radikal penciptaan bebas dalam bentuk karya-karya kreatif. Saat ini, seni
tak lebih dari sekedar variasi, dari gaya, isyarat dan tema-tema yang
berbeda yang mendapatkan maknanya, nilai-nilainya dan identitasnya dari
pengulangan produk-produk seni itu sendiri (Baudrillard, 1981: 110). Dalam
esai yang kedua, The Art Auction: Sign Exchange and Sumptuary Value,
Baurillard memaparkan bagaimana kompetisi percepatan dan kemewahan dalam
dunia seni telah mengubah ekonomi politik nilai dengan menciptakan ekonomi
nilai-nilai kemewahan. Penguasaan proses pertandaan dalam aktivitas lelang
seni, menurut Baudrillard mengakibatkan dominasi pemaknaan nilai seni oleh
sekelompok kelas yang dominan terhadap kelas yang lain. Bagi Baudrillard,
hal ini merupakan awal merebaknya nilai-tanda dan nilai-simbol dalam
bentuk nilai kemewahan dalam dunia seni dewasa ini (Baudrillard, 1981:
117).

Model wacana seni simulasi dibangun oleh model-model produksi dan
reproduksi dari pelbagai macam tanda, citra dan kode seni. Sementara
hiperrealitas adalah kondisi atau pengalaman kebendaan, yang merupakan
konsekuensi logis prinsip simulasi. Awal dari era hiperrealitas ditandai
dengan bangkrutnya makna, pertanda dan realitas, yang diambil alih oleh
permainan bebas penanda. Dunia hiperrealitas adalah dunia yang disarati
oleh silih bergantinya reproduksi apa yang disebut Baudrillard sebagai
simulacra objek-objek yang tak memiliki referensi sosial, objek-objek yang
dibuat di atas kerangka meleburnya realitas dengan fantasi, fiksi,
halusinasi dan nostalgia, sehingga perbedaan satu sama lainnya sulit
diketahui. Reproduksi nostalgia mencerminkan kepanikan era postmodern
disebabkan tanda dan realitas yang hilang, sebagai akibat dari kondisi
modernitas yang menjadikan manusia teralienasi dari akar kebudayaannya
sendiri. Umberto Eco, dalam karyanya Travels in Hyperreality (1973),
menyatakan bahwa untuk memahami masa lalu kita harus memiliki di depan mata
kita sesuatu yang sedekat mungkin menyerupai model-model asli. Inilah yang
menurut istilah semiotik disebut sebagai model yang menjadi modus operandi
dalam wacana estetik postmodernisme.

Wacana estetika postmodern, lebih jauh menurut Baudrillard, kini tak lebih
sebagai sebuah wacana, di mana realitas telah kehilangan dimensi
rahasianya; sebatang tubuh telah kehilangan dimensi seksualnya: sebuah
informasi telah kehilangan dimensi maknanya; dan sebuah karya seni telah
kehilangan dimensi auranya. Segala wacana termasuk wacana seni kini
tengah berupaya mencari jalannya sendiri-sendiri untuk menghindarkan diri
dari dialektika makna, dari dialektika komunikasi dan proses sosialisasi.
Wacana estetik seni kini menceburkan dirinya ke dalam hutan rimba
citra-citra dan tanda-tanda yang tanpa batas, dengan cara menghancurkan
makna-makna, mengikuti batas ekstrimnya, atau dengan menyajikan
dimensi-dimensi yang selama ini tabu, kecabulan dan imoralitasnya. Estetika
dalam wacana postmodern tidak lagi membedakan mana yang indah, mana yang
jelek; mana yang bermoral, mana yang amoral. Secara ekstrim, dapat
dikatakan bahwa wacana estetika postmodern kini justru mencari yang
terjelek diantara yang jelek. Estetika postmodern juga tidak lagi
membedakan mana yang kelihatan, mana yang tersembunyi. Estetika postmodern
mencari yang lebih tersembunyi diantara yang paling tersembunyi
(Baudrillard, 1988: 185).

Dalam kaitannya dengan model wacana seni postmodern inilah pada gilirannya
berkembang bahasa estetik postmodernisme yang khas dan unik. Bahasa
estetika seni postmodern yang tampil dalam tanda-tanda dan makna-makna
seni bersifat tidak stabil, mendua dan plural, disebabkan oleh
diutamakannya permainan tanda, keterpesonaan pada penampakan dan
diferensiasi, ketimbang makna-makna ideologis yang bersifat stabil dan
abadi. Berikut ini akan dipaparkan beberapa bentuk bahasa estetika seni
postmodernisme yang dominan dalam praktek-praktek penciptaan karya seni
dewasa ini (Piliang, 1998: 307).

Pastiche. Pastiche adalah karya sastra, seni atau arsitektur yang disusun
dari elemen-elemen yang dipinjam dari pelbagai sumber, pengarang, seniman,
atau arsitek dari masa lalu. Sebagai karya yang mengandung unsur-unsur
pinjaman, pastiche mempunyai konotasi negatif sebagai praktek penciptaan
yang miskin orisinalitas. Pastiche adalah salah satu bentuk imitasi yang
tanpa beban kritik. Pastiche mengimitasi karya masa lalu dalam kerangka
menghargai dan mengapresiasinya. Menurut Linda Hutcheon, pastiche adalah
satu bentuk imitasi murni, tanpa pretensi politis seperti parodi. Pastiche
mengambil pelbagai gaya dan bentuk dari pelbagai keping sejarah, mencabut
dari semangat zamannya dan menempatkannya dalam konteks masa kini.
Pastiche, mengutip Baudrillard, adalah titik balik sejarah. Sementara
Fredrich Jameson secara metaforis menyebut pastiche sebagai penggunaan
topeng sejarah, pengungkapan dalam bahasa yang telah mati. Pastiche adalah
perang menentang kemajuan dan sejarah, sebab sejarah tak dapat diulangi
namun sejarah harus dibuat.

Parodi. Parodi adalah sebuah komposisi dalam karya sastra, seni atau
arsitektur yang di dalamnya kecenderungan pemikiran dan ungkapan khas dalam
diri seorang pengarang, seniman atau arsitektur, atau gaya tertentu
diimitasi sedemikian rupa untuk membuatnya bersifat humoristik atau bahkan
absurd. Efek-efek kelucuan atau absurditas biasanya dihasilkan dari
distorsi atau plesetan ungkapan yang ada. Peniruan ini bersifat ironis dan
kritis, bahkan bermuatan politis dan ideologis. Parodi merupakan sebuah
relasi bentuk atau struktur antara dua teks. Sebuah teks baru dihasilkan
dalam kaitan politisnya dengan teks rujukan yang bersifat serius. Parodi,
menurut Mikhel Bakhtin, merupakan satu bentuk dialogisme tekstual, yaitu
dua teks atau lebih bertemu dan berinteraksi satu sama lain dalam bentuk
dialog: debat, kritik, humor. Dengan demikian, parodi selalu mengambil
keuntungan dari bentuk, gaya atau karya yang menjadi sasarannya
(kelemahannya, kekurangannya, keseriusannya atau kemasyhurannya). Sebagai
satu bentuk wacana, parodi juga selalu memperalat wacana pihak lain. Parodi
dalam postmodernisme, mengutip Linda Hutcheon, merupakan suatu wacana untuk
mempertanyakan kembali subjek pencipta sebagai satu-satunya sumber makna.
Ia menyiratkan suatu upaya dialog dengan sejarah dan membangun masa kini
dengan merujuk pada seperangkat tanda dengan pretensi ideologis. Hutcheon
menyebut bentuk wacana intertekstual seni semacam ini sebagai neologism
atau transkontekstualism.

Kitsch. Kitsch berakar dari bahasa Jerman verkitschen (membuat jadi
murahan) dan kitschen, yang secara literal berarti memungut sampah dari
jalan. Oleh sebab itu, istilah kitsch sering ditafsirkan sebagai sampah
artistik, atau sering juga didefinisikan sebagai selera rendah (bad taste).
Di dalam The Concise Oxford Dictionary of Literary Terms (1990), kitsch
didefinisikan sebagai segala jenis seni palsu (pseudo art) yang murahan dan
tanpa selera. Kitsch dikatakan sebagai selera rendah disebabkan lemahnya
ukuran atau kriteria estetik, meskipun kriteria ini berbeda dari satu zaman
dan tempat ke zaman dan tempat lainnya. Strategi kitsch adalah mensimulasi
dan mengkopi elemen-elemen gaya dari seni tinggi atau sebaliknya dari objek
sehari-hari untuk kepentingannya sendiri, yang produksinya didasarkan pada
semangat memassakan atau mendemitologisasi seni tinggi. Menurut Greenberg,
keberadaan kitsch pada awalnya memang sangat didorong oleh semangat
reproduksi, sebagai akibat berkembangnya teknologi produksi, konsumsi, dan
komunikasi massa. Kitsch menggunakan kebanalan dan produk konsumer sebagai
bahan baku reproduksi ikonik seni. Kitsch mengimitasi bentuk, gaya, atau
objek untuk tujuan dan fungsi palsu (misal, jam meja berbentuk gitar), atau
reproduksi ikonis (misal, arsitektur toko berbentuk sepatu). Dalam seni
postmodern, kitsch menjadi salah satu kategori bahasa estetik yang sangat
dominan, sehingga postmodernisme, dalam pengertiannya yang lebih luas,
sering diidentifikasikan dengan kitsch. Hal ini karena postmodernisme
sering dikatakan miskin akan kriteria estetik, makna dan orisinalitas. Oleh
Hal Foster, estetika postmodernisme bahkan disebut sebagai anti-estetika.

Camp. Meskipun sering dikelirukan dengan kitsch, camp berbeda sekali dengan
kitsch. Camp bukanlah selera rendah atau sampah artistik, melainkan satu
model estetisisme bukan dalam pengertian keindahan, akan tetapi dalam
pengertian keartifisialan dan penggayaan (stylization) yang mencirikannya.
Camp sering menekankan dekorasi, tekstur, permukaan sensual dan gaya,
dengan mengorbankan isi. Camp anti alam. Objek-objek manusia, binatang atau
tumbuhan kerap kali digunakan, namun secara ekstrim dibuat lebih kurus,
ramping, jangkung atau gendut. Camp juga menolak pembedaan seksual dan
merayakan bentuk androgini dan perversi, yakni peleburan gaya dan citra
seksual yang tak jelas rujukannya. Camp dicirikan oleh upaya-upaya
melakukan sesuatu yang luar biasa, dengan pengertian ingin menjadi
berlebihan, spesial, atau glamour. Camp menjadikan prinsip artifisialitas
sebagai ideal proses penciptaan seni. Camp dengan kata lain, adalah suatu
bentuk dandyism dan karenanya menjunjung tinggi kevulgaran.

Schizophrenia. Jacques Lacan, seorang ahli psikoanalisis, mendefinisikan
skizofrenia sebagai fenomena terputusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian
sintagmatik penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna.
Bagi seorang skizofrenik, semua kata atau penanda dapat digunakan untuk
menyatakan satu konsep atau petanda. Dengan perkataan lain, konsep atau
petanda tidak dikaitkan dengan penanda dengan cara yang stabil. Dengan
demikian, persimpangsiuran kata atau penanda untuk menyatakan satu konsep
dimungkinkan. Lebih lanjut, berdasarkan teori psikoanalisis Lacan, bila
kita tidak mampu membedakan antara tensis masa lalu, masa kini dan masa
depan dalam bahasa disebabkan adanya gangguan pertandaan maka kita juga
tidak dapat membedakan antara masa lalu, masa kini dan masa depan dalam
pengalaman kehidupan psikis kita. Kekacauan pertandaan selain dalam
kalimat juga terjadi dalam gambar, teks atau objek-objek seni. Bahasa
estetika skizofrenik, dengan demikian ditandai oleh kekacauan dan silang
sengkarut pelbagai tanda, tumpang-tindihnya masa lalu, masa kini dan masa
depan dalam satu ruang seni yang sama.

C. Membaca Film, Televisi dan Iklan


1. Membaca Film


There is no more fiction that life could possibly confront (Baudrillard,
1983: 148),

(Tidak ada lagi fiksi yang dapat dibedakan dengan kenyataan)

Film merupakan salah satu pilar bangunan estetika postmodern selain
televisi dan media seni lainnya. Melalui film, prinsip dan nilai estetika,
teori dan keyakinan kebudayaan postmodern tampil secara utuh sekaligus
memikat. Lewat film, prinsip-prinsip kebudayaan postmodern dapat dibaca
dengan mudah. Lewat film pula paradigma kebudayaan postmodern ditebar ke
seluruh penjuru dunia. Sebagai produk budaya massa, film merangkum dalam
dirinya kemampuan menjelajah setiap sudut dan ruang yang ada, menciptakan
ruang estetika seni tersendiri dan menanamkan pelbagai nilai dan pandangan
hidup. Film adalah komoditi, seni dan sekaligus ideologi.

Dalam kerangka seperti inilah film postmodern mendapatkan dirinya. Film
postmodern adalah komoditi, seni dan sekaligus juga ideologi, yakni
ideologi postmodernisme. Sebagai komoditi, film postmodern merupakan bagian
dari budaya massa dan budaya populer yang disodorkan oleh kapitalisme. Film
adalah tidak semata karya seni, namun juga komoditi barang dagangan yang
sama dengan komoditi lainnya, ditujukan untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya. Sebagai produk seni, film adalah hasil cipta dan
kreatifitas seniman yang ditampilkan dalam bentuk gambar dan citra-citra
bergerak. Film postmodern bergumul dengan pelbagai prinsip, teori dan
model-model estetika seni postmodern yang ada untuk digunakan sebagai media
kreatifitas. Sebagai karya seni, film postmodern mencoba menjelajah
ruang-ruang kreatifitas estetik baru yang masih tersisa. Sementara sebagai
ideologi, film postmodern tampil untuk menyuarakan prinsip-prinsip,
nilai-nilai dan keyakinan wacana postmodernisme. Dengan peran demikian,
film postmodern membawakan ciri-ciri dan karakteristik yang berbeda dengan
film-film di era modernisme.

Dalam salah satu bagian dalam bukunya, An Introduction to Theories of
Popular Culture (1995), Dominic Strinati menyatakan bahwa salah satu
karakter menonjol film-film postmodern adalah sifatnya yang mengedepankan
penampakan, tampilan gambar-suara, citra-citra, gaya dan teknik-teknik
khusus (special effects), ketimbang materi cerita, karakterisasi, alur
narasi atau pun realitas sosial (Strinati, 1995: 229). Dibaca dari
perspektif ini, film-film postmodern seolah menyuarakan pergeseran prinsip
ekonomi politik seperti dikemukakan Baudrillard. Merujuk Baudrillard, dalam
realitas kebudayaan dewasa ini prinsip nilai-guna dan nilai-tukar telah
digantikan kedudukannya oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Penampakan,
penampilan, simbol status, citra-citra dan tanda lebih utama ketimbang
makna, isi dan kedalaman. Film postmodern, berbeda dengan film-film modern,
tidak lagi berpretensi menemukan makna-makna, ataupun merefleksikan kondisi
sosial, melalui cerita, penokohan ataupun narasinya. Daripada bersikap
heroik demikian, film postmodern memilih untuk sekedar bermain-main dengan
gaya-gaya, citra-citra, media dan tanda-tanda yang ada. Film postmodern
secara sadar mengeksploitasi kemungkinan-kemungkinan penjelajahan estetik
sebagai kekuatan dan daya tariknya. Di satu sisi, film-film postmodern
sadar akan kedudukannya sebagai komoditi, yang tak lebih dari barang
dagangan, yang menuntutnya untuk memenuhi kebutuhan hukum kapitalisme akan
keuntungan. Namun di sisi lain, film-film postmodern sekaligus ingin
membuka cakrawala estetika baru dengan memanfaatkan kesempatan yang
diberikan untuk bereksperimen. Gema pemikiran postmodern Baudrillard
tentang dominannya nilai-tanda dan nilai-simbol ini misalnya dapat
ditemukan pada film-film seperti Dick Tracey (1990) ataupun Batman (1993).
Diangkat dari cerita komik, kedua film ini secara jelas mengedepankan
prinsip penampakan ketimbang materi cerita, gaya dan citra-citra ketimbang
makna dan realitas sosial. Film Dick Tracey dan Batman menampilkan realitas
komik dalam film hero-detektif tahun 1940-an melalui karakterisasi
non-human, futuristic-setting, pencahayaan yang berlebih dan vulgar,
special effects yang dahsyat, musik populer dan pengaturan alur cerita yang
sederhana. Film dalam pengertian ini, menjadi tak lebih sebatas hiburan.
Makna, kedalaman dan realitas sosial sama sekali tak lagi diperhitungkan.

Film-film postmodern juga dicirikan oleh sifatnya yang mengaburkan, bahkan
mencampur-baurkan, batas-batas antara realitas dan imajinasi, fakta dan
fiksi, produksi dan reproduksi, serta masa lalu, masa kini dan masa depan.
Film postmodern adalah juga silang-sengkarut berbagai hal: moralitas, seni,
teknologi, special effect, fantasi, kekerasan, pornografi, nilai-nilai
agama, impian, misteri pembunuhan, komedi, tragedi serta bahkan surealisme
dalam satu ruang yang sama. Ia dengan demikian bersifat multi-narasi,
multi-tema dan diskontinyu. Film postmodern, dalam pengertian ini menjadi
semacam representasi dunia simulacra dan simulasi dalam terminologi
Baudrillard, yakni sebuah dunia buatan dimana realitas dibentuk,
direkayasa, dan kehilangan segala referensi realitas yang sebenarnya.
Melalui film postmodern, kini There is no more fiction that life could
possibly confront (Baudrillard, 1983: 148). Tidak ada lagi fiksi yang dapat
dibedakan dengan kenyataan. Film-film seperti Back to The Future (1990),
yang mengaburkan dan mencampur-baurkan batas-batas masa lalu, masa kini dan
masa depan; Blade Runner (1982), yang menggunakan ikon dan tanda dari
beberapa masa yang berbeda, serta mencampuradukkan arsitektur dua abad yang
berbeda: abad ke-21 M dan abad ke-18 M; Pulp Fiction (1992), yang
mengeksplorasi tema, narasi dan setting diskontinuitas tiga cerita berbeda
yang disatukan; Blue Velvet (1987), yang menjumbuhkan moralitas
(nilai-nilai agama dan tradisi) dan kecabulan (adegan sado-masochism,
homoseksual), kekerasan (adegan pemotongan telinga) dan kedamaian (setting
kota kecil Lumberton) dalam satu cerita (Denzin, 1988: 461), adalah
beberapa contoh film yang menyuarakan prinsip simulacra dan simulasi
postmodernisme.

Sementara itu, film-film postmodern juga ditandai oleh keinginannya untuk
mengeksploitasi tanda-tanda dan ikon-ikon budaya populer. Kartun, komik,
cerita fiksi-ilmiah, cerita petualangan, musik pop, gaya fashion dan iklan
menjadi sumber inspirasi kreatif yang dominan (Strinati, 1995: 230). Lebih
jauh, film-film yang memanfaatkan tanda-tanda budaya populer ini
berkehendak untuk nampak seolah lebih nyata ketimbang realitas yang
sebenarnya. Inilah sebuah dunia hiperrealitas, dalam pandangan Baudrillard.
Film-film seperti Who Framed Roger Rabbit ? (1986), yang menyatukan dua
genre yang berbeda film kartun dan film detektif manusia dalam satu film;
Indiana Jones (1989), yang mengeksploitasi cerita aksi-petualangan; atau
film komik-kartun Beauty and The Beast (1994), yang mengisahkan romantisme
percintaan, secara jelas merujuk tanda-tanda budaya populer sebagai acuan
realitas baru, yang bahkan nampak lebih nyata dibanding realitas
sebenarnya. Dengan tokoh-tokoh dalam film-film tersebut, kita dibuat lupa
bahwa tokoh-tokoh itu hanyalah fiktif belaka.

Merujuk Baudrillard, film-film postmodern juga mencoba menampilkan hal-hal
yang sebelumnya tabu ditampilkan. Kecabulan dalam realitas seksual,
kekerasan dalam realitas sosial dan kesenangan dalam realitas budaya, kini
dipertontonkan secara terbuka (Baudrillard, 1988: 51). Selanjutnya melalui
model-model estetika seni postmodern, film-film postmodern semakin
mendapatkan ruang penjelajahan yang lebih luas. Prinsip-prinsip pastiche,
kitsch, parodi, camp dan skizofrenia secara sadar dieksploitasi sampai pada
titik yang terjauh. Pada titik ini, film-film postmodern tak ubahnya
seperti sebuah tamasya di antara puing-puing masa lalu dan permainan
pelbagai mosaik sumber seni dan imajinasi yang bisa dijangkau manusia.

Membaca film postmodernisme, dengan demikian berarti bersiap memasuki dunia
yang tak lagi punya referensi, carut-marut, silang-simulang dan campur-baur
antara pelbagai citra, tanda dan tema sebuah dunia permainan dan imajinasi
dalam batasannya yang terjauh. Film postmodern adalah ruang dimana segala
prinsip realitas dan kebenaran modernisme kini dirongrong, digugat dan
bahkan ditolak. Yang diimpikan kini semata-mata hanyalah terpenuhinya
hasrat bereksperimentasi, mengeksploitasi, memanipulasi dan memenuhi
ruang-ruang imajinasi manusia dengan segala yang dapat dibayangkan,
betapapun absurdnya. Tepat seperti ungkapan Norman Denzin, dalam salah satu
kritik filmnya, Blue Velvet (1986), dalam jurnal Theory, Culture and
Society (1988),

It seems that postmodern individuals want films like Blue Velvet for in
them they can have their sex, their myths, their violence and their
politics, all at the same time (Denzin, 1988: 472).

(Nampaklah bahwa individu-individu postmodern menginginkan film seperti
Blue Velvet karena dengan film itu mereka bisa mendapatkan hasrat seks
mereka, impian-impian mereka, kekerasan dan keyakinan politik mereka,
semuanya pada saat yang sama).

2. Membaca Televisi


Television is the world (Baudrillard, 1987: 32).

(Televisi adalah dunia)

Dalam derap gemuruh budaya massa dan budaya populer dewasa ini tak ayal
televisi adalah artefak simbolis postmodernisme paling representatif dan
berpengaruh. Televisi memuat segala karakter dunia postmodernisme:
reproduksi, manipulasi, simulasi, simulacra, bujuk-rayu (seduction) dan
hiperrealitas, dalam penampilannya yang paling menawan dan menggiurkan.
Televisi sekaligus menjadi ruang praksis meleburnya berbagai macam tanda,
citra, impian dan kenyataan. Dalam televisi, realitas dikemas dan dijadikan
komoditi (tontotan), ruang dan waktu dilipat dalam satu dimensi (kekinian),
serta etika dan moralitas dibaurkan dengan kecabulan dan brutalitas: sebuah
dunia postmodern. Mengutip Bryan S. Turner,

Television is the real world of postmodern culture which has entertainment
as its ideology, the spectacle as the emblematic sign of the commodity
form, lifestyle advertising as popular psychology pure, empty seriality as
the bond which unites the simulacrum of the audience, electronic images as
its most dynamic, and only, form of social cohesion, elite media politics
as its ideological formula, the buying and selling of abstracted attention
as the locus of its marketplace rationale, cynicism as its dominant
cultural sign, and the difussion of network of relational power as its real
product (Turner, 1990: 169).

(Televisi adalah dunia yang sebenarnya dari kebudayaan postmodern, dengan
hiburan sebagai ideologinya, tontonan sebagai tanda emblematik
komoditasnya, iklan gaya hidup sebagai psikologi populernya, tayangan
serial yang kosong sebagai pengikat yang menyatukan simulacrum para
penontonnya, citra-citra elektronik sebagai sifatnya yang paling dinamis,
dan wujud ikatan sosial, media politik tingkat tinggi sebagai formula
ideologisnya, aktivitas jual-beli abstrak sebagai dasar rasionalitas
pasarnya, sinisme sebagai tanda budayanya yang dominan, dan penyebaran
jaringan kekuasaan yang saling berhubungan sebagai produknya yang utama).

Dunia televisi, seperti diungkapkan Baudrillard, menjadi sebuah dunia
dimana realitas dan pelbagai hal melebur, dan segalanya dilipat dalam
sebidang kotak layar kaca. Lebih dari era-era sebelumnya, televisi kini
mampu menghadirkan informasi, hiburan dan mimpi pada saat yang sama secara
seketika. Perang di wilayah Teluk Persia, kampanye presiden Amerika,
demonstrasi mahasiswa di Jakarta, kelaparan dan bencana alam di Sudan,
bertubrukan dengan tayangan opera sabun Dallas, konser musik Madonna, film
kartun Mickey Mouse dan talk show Oprah Winfrey, dan semuanya kini dapat
dinikmati pada saat yang sama hanya dengan menekan tombol remote control.

Dalam bukunya Simulations (1983) dan The Ecstasy of Communication (1987),
Baudrillard mengelaborasi karakter postmodern televisi dalam kerangka
masyarakat konsumer yang digerakkan oleh kapitalisme lanjut. Menurutnya,
kisah penemuan televisi bukanlah sekedar cerita tentang revolusi
demokratisasi informasi dan hiburan, namun lebih dari itu televisi telah
menciptakan revolusi pemahaman tentang dunia secara radikal (Baudrillard,
1987: 33). Dalam arus kapitalisme lanjut yang dikejar prinsip kemajuan,
kebaruan, percepatan dan perbedaan (diferensiasi), segala sesuatu didaulat
sebagai komoditi. Namun komoditi disini tidaklah semata barang dagangan.
Komoditi dalam masyarakat konsumer adalah juga representasi citra diri
konsumen. Identitas, gaya hidup, prestise, impian, semuanya menjadi bagian
tak terpisahkan dari sebuah komoditi. Untuk itu, ideologi kapitalisme
merasa perlu menyusun strategi pembentukan konsep citra diri semu ini
secara sempurna, sekaligus menawan. Dan televisi, dengan kemampuan
teknologisnya, merupakan ruang yang dipilih untuk menancapkan nilai-nilai
semu tersebut.

Dalam ruang semu televisi dengan tayangan berkedok informasi dan hiburan
penonton tidak lagi sadar bahwa dirinya tengah menjadi objek indoktrinasi.
Bahkan, proses indoktrinasi nilai, tema dan identitas diri itu sendiri
dirasakan dan dialami sebagai sebuah kenikmatan. Sifat simulasi dalam media
televisi telah mampu menyuntikkan makna-makna yang seolah-olah ada pada
pada kehidupan nyata, meskipun sebenarnya hanyalah sebuah fantasi, sebuah
realisme semu. Film, berita, telenovela, videoclip, iklan, tayangan
olahraga, talk show ataupun tayangan kesenian tradisional, dialami sebagai
tontonan yang semata untuk dinikmati tanpa harus bersusah payah berpikir
kritis. Dalam ruang semu televisi, penonton seolah didaulat sebagai subjek
otonom yang dapat memilih, memindah atau menyeleksi suguhan apa yang akan
ditontonnya. Ia dapat memindah-memindah dan menciptakan realitas dari
tayangan yang satu ke tayangan yang lain tanpa adanya referensi tunggal
yang saling berkaitan. Dari berita politik tentang Pemilu di Rusia, ke
telenovela Meksiko, berpindah lagi ke film drama Inggris yang bersetting
abad ke-18 M, kemudian ke tayangan videoclip Michael Jackson, lalu
kelaparan di Irian Jaya dan seterusnya. Ruang dan waktu seolah terlipat
dalam sebuah kotak kaca yang bernama televisi. Sifat fragmentasi dalam
dunia semu televisi inilah dunia yang terpotong-potong, pendek-pendek,
berubah dan berpindah yang menjadikan para penontonnya terbuai oleh mitos
tentang subjek yang otonom. Padahal, menurut Baudrillard, semua ini
hanyalah mistifikasi yang dijejalkan ideologi kapitalisme demi produksi dan
konsumsi. Kebenaran yang sesungguhnya, bahwa pilihan dan otonomi penonton
televisi sebenarnya tak lebih dari pilihan semu. Otonomi yang dibatasi dan
diatur oleh pilihan yang sudah ada (Baudrillard, 1987: 16). Penonton, dalam
wacana televisi, tak lebih dari objek mengalirnya berbagai fakta, citra,
impian dan fantasi, tanpa memiliki jati diri yang hakiki, sebuah terminal
pelbagai jaringan tanda-tanda.

Dalam wacana televisi, penonton dengan demikian tak lebih dari sekumpulan
mayoritas yang diam (Baudrillard, 1983: 19). Itulah mengapa tayangan siaran
langsung sepakbola misalnya, tetap ditunggu dan ditonton meskipun harus
menunggu hingga tengah malam. Menurut Baudrillard, hal ini karena televisi
samasekali tidak berpretensi menawarkan makna luhur atau transenden,
kecuali ecstasy dan kedangkalan ritual. Dalam tayangan sepakbola, yang
dicari bukanlah makna, melainkan fetishisme bintang, fetishisme gol atau
fetishisme kostum. Lebih jauh, tontonan televisi yang berkarakter simulasi
dan hiperrealitas dengan kemampuan menyuguhkan simulacrum kekerasan,
kriminalitas dan seksualitas yang bahkan lebih keras, lebih kriminal dan
lebih seksual dari yang dapat dibayangkan akal sehat telah membentuk
penonton-penonton yang lebih banyak hidup dalam kepanikan massal, yang
semakin menjauhkannya dari makna-makna luhur (Piliang, 1998: 237). Itulah
kepanikan seks (misal, film Gigolo and The Murder), kepanikan uang (misal,
kasus mega-korupsi Bapindo), kepanikan ekstase (misal, merebaknya pil
ecstasy) (Pilliang, 1998: 202). Massa yang panik ini menyerap segala energi
sosial, akan tetapi tak mampu merefleksikannya kembali. Khalayak penonton
televisi menyerap setiap tanda dan makna, akan tetapi tak mampu lagi
memantulkannya. Mereka menyerap semuanya dan hanya mampu memamahnya
mentah-mentah. Dengan bahasanya yang khas Baudrillard menyatakan,

By dint of meaning, information, and transparence our societies have passed
beyond the limit point, that of permanent ecstasy: the ecstasy of the
social (the masses), the body (obesity), sex (obscenity), violence
(terror), and information (simulation) (Baudrillard, 1987: 82).

(Dengan desakan makna, informasi dan transparasi, masyarakat kita telah
melampaui ambang batas, menjuju keadaan ekstasi permanen: ekstasi sosial
(massa), ekstasi tubuh (kegemukan), ekstasi seks (kecabulan), ekstasi
kekerasan (teror), serta ekstasi informasi (simulasi).

Kehadiran televisi pada gilirannya menjadi sebuah mekanisme kontrol sosial
yang ampuh. Televisi memiliki satu kekuasaan untuk mengontrol dan
memastikan bahwa massa penontonnya dapat diatur jadwal aktivitasnya
(misal, bila ingin menonton acara sepakbola dini hari, maka tidurlah di
siang harinya), bahwa mereka tidak lagi dapat bercengkerama satu sama lain
seakrab dahulu, karena massa penonton terisolasi dalam wacana yang tanpa
respon (Piliang, 1998: 237). Dalam pengertian ini, sifat totalitas televisi
telah menjadikannya sebagai suatu bentuk kekuasaan baru dalam suatu
komunitas. Kini, bukan lagi televisi yang menjadi cermin masyarakat,
melainkan sebaliknya masyarakatlah yang menjadi cermin televisi.
Citra-citra yang ditawarkan televisi telah membentuk ketidaksadaran massal,
bahwa telah terjadi pembentukan identitas diri melalui televisi. Inilah
dunia hiperrealitas dalam terminologi Baudrillard, sebuah dunia buatan yang
justru lebih nyata dan real dibanding realitas yang sebenarnya
(Baudrillard, 1988: 22).

Akhirnya Baudrillard menyatakan bahwa dalam wacana televisi telah terjadi
peleburan bahkan penghancuran ruang publik dan ruang pribadi. Ruang
publik dan ruang pribadi telah menyatu dalam suatu ruang baru: ruang
hiperrealitas televisi (Baudrillard, 1987: 77). Kini tidak ada lagi batas
yang jelas antara kamar tidur dan arena drive in atau taman kota. Semuanya
ditembus dan dijangkau televisi. Berita tentang perang, kekeringan,
tayangan iklan, lagu baru, kekacauan Pemilu, ataupun film kartun dari
segala penjuru dunia kini langsung menyelusup ke kamar paling pribadi,
menyentuh tubuh, hati dan kesadaran kita, bahkan tanpa perantara. Televisi
lalu seolah menjelma menjadi Ratu Adil yang memberikan semacam
demokratisasi informasi bagi siapapun, kapanpun dan dimanapun. Karakter
khas televisi ini tak ubahnya seperti Dewa Janus, yang berwajah ganda. Pada
sisi wajahnya yang satu, ia disebut secara negatif sebagai Tabung kebodohan
yang menawarkan mimpi. Sementara pada sisi wajahnya yang lain, ia disebut
secara positif sebagai Panduan baru, jendela untuk melihat dunia.

3. Membaca Iklan


Iklan memainkan peran dominan dalam kehidupan kita dewasa ini. Sebagai anak
cucu kapitalisme, iklan hadir kapanpun dan dimanapun dan menjadi
kebutuhan kita sehari-hari. Melalui televisi, radio, film, billboard, media
cetak, spanduk sampai internet, iklan mengepung dan menguasai kesadaran
kita. Ia merayu, membius dan memaksa kita untuk mengkonsumsi. Tanpa sadar
kita pun hanyut dalam sebuah dunia dengan budaya baru: budaya konsumer.
Dalam masyarakat konsumer seperti ini, konsumsi menjadi sebuah kosakata
baru yang dominan dan mengambil alih kedudukan produksi. Kita pun terpukau
dengan godaan ideologi iklan yang selalu menyerbu Beli lebih banyak, miliki
lebih banyak dan nikmati lebih banyak (Ewen, 1989: 57). Iklan, mengutip Sut
Jhally dalam tulisannya, Advertising as Religion: The Dialectic of
Technology and Magic (1989), bahkan telah menggeser peran agama dalam
memberi pengertian tentang kebahagiaan dan kehormatan diri. Dengan iklan
kita dihibur, diberi semangat, harapan dan identitas diri. Dengan iklan
pula kita didorong atau dilarang untuk berbuat sesuatu. Singkat kata, iklan
benar-benar telah menjadi legislator yang menghalalkan dan mengharamkan
sesuatu, fungsi yang pada awalnya dibawakan agama (Jhally, 1989: 225).

Dalam masyarakat konsumer, individu dinilai dari apa yang ia miliki.
Seseorang dipandang berhasil, bernilai dan berkualitas dari kemampuannya
mengkonsumsi. Semakin banyak ia mengkonsumsi, semakin tinggi kedudukannya
dalam masyarakat konsumer. Pada titik inilah iklan mengambil peran sebagai
media informasi pelbagai kebutuhan konsumsi. Dengan kemampuan membangun
citra melalui tanda, idiom, simbol dan kode produk komoditi yang
bersilang-sengkarut, iklan menggoda kita untuk mengkonsumsi.

Lebih dari masa-masa sebelumnya, iklan kini tidak lagi berfungsi sekedar
sebagai media aktivitas konsumsi, penyampai pesan tentang produk-produk,
namun bahkan lebih jauh berperan sebagai pencipta dan pembentuk realitas.
Inilah saat ketika iklan hidup dalam realitas kebudayaan baru, era
postmodern. Iklan bersama televisi, sebagai representasi ruang simulacra
dan hiperrealitas kini telah menjadi acuan dan model citra diri, gaya
hidup dan struktur masyarakat (Baudrillard, 1983: 61). Dengan kata lain,
iklan dan televisilah yang membentuk realitas dan bukan sebaliknya.

Dalam perspektif postmodernisme, iklan adalah representasi pelbagai
karakter masyarakat simulasi. Iklan bersifat nyata sekaligus semu,
menawarkan sekaligus memanipulasi, real sekaligus hiperreal, simbolis
sekaligus superfisial. Iklan adalah juga campur aduk antara citra, tanda,
simbol, idiom dan kode-kode pelbagai budaya. Dalam iklan, seperti halnya
dalam kebanyakan bentuk budaya populer musik, film, televisi, video game,
video clip, pakaian, kartun, komik, model rambut, aksesoris, gaya hidup,
cara bicara, cara berdandan, cara makan, bahan gurauan dan idiom-idiom
populer yang dipersoalkan bukanlah makna dan kedalaman melainkan
penampilan dan kenyamanan. Iklan postmodern tidak lagi peduli dengan peran
pemberi informasi tentang nilai dan kualitas produk yang ditawarkannya.
Iklan kini lebih tertarik dengan teknik-teknik manipulasi pelbagai hasrat
dan citarasa konsumer melalui permainan citra. Citra inilah sebenarnya yang
dijual, bukan lagi produknya. Prinsip yang dipercaya adalah, seperti
diuarkan Marshall McLuhann, medium is message. Iklan adalan pesan itu
sendiri.

Iklan postmodern juga memanfaatkan pelbagai citra dan tanda sebagai acuan
dunia yang dibangunnya. Iklan adalah dunia retorika citra (rhetoric of the
image), dalam istilah Barthes. Merujuk Roland Barthes, hubungan
penanda-penanda iklan dengan tema-tema yang dibangunnya kesuksesan,
kemewahan, kehormatan, kecantikan, kemudaan telah melalui sebuah proses
yang disebutnya glamorisasi. Glamorisasi adalah proses pelepasan suatu
objek dari konteksnya. Seorang wanita yang memerankan sosok wanita karir
dalam iklan terkena proses glamorisasi keanggunan dan keaktifan dunia
bisnis modern. Melalui upaya eksplorasi wacana estetika seni postmodern
kitsch, pastiche, parodi, camp dan skizofrenia proses glamorisasi menjadi
semakin berkembang. Dengan glamorisasi, objek-objek tersebut seolah-olah
disihir menjadi ide-ide otonom bagi dirinya sendiri. Di sini, seperti
dikatakan Baudrillard, objek-objek asli menjadi tidak lebih penting dari
citra yang dibentuk atas dirinya. Bahkan, citra hasil proses glamorisasi
ini menjadi lebih nyata dan real ketimbang objek aslinya. Iklan menjadi
sebuah dunia hiperrealitas. Tayangan iklan di televisi misalnya, seringkali
kita anggap sebagai bagian dari kenyataan. Kita lupa bahwa citra-citra yang
ditawarkan iklan hanyalah hasil rekayasa teknologi media. Kita juga
seringkali kehilangan kontrol untuk menyadari bahwa dunia iklan adalah
dunia citra yang sengaja diciptakan untuk merayu dan menggoda. Inilah dunia
yang dibangun di atas prinsip komunikasi bujuk-rayu (seduction), seperti
dipaparkan Baudrillard (Baudrillard, 1990: 78). Prinsip komunikasi dalam
iklan, bukanlah untuk mencapai makna atau pesan yang disampaikan pengirim
pesan (addressee) kepada penerima pesan (address), melainkan untuk membujuk
dan merayu penerima pesan (address) agar mengkonsumsi citra-citra yang
berupa produk komoditi dari pengirim pesan (addresee).

Dalam bukunya An Introduction to Theories of Popular Culture (1995),
Dominic Strinati menyatakan bahwa penampakan dan gaya visual dalam
iklan-iklan postmodern merepresentasikan konsepsi gaya hidup konsumennya
(Strinati, 1995: 232). Lebih radikal lagi, iklan postmodern tidak
semata-mata merepresentasikan gaya hidup, namun juga bahkan
menaturalisasikannya (Hebdige, 1987: 100). Nilai, tema dan klasifikasi gaya
hidup konsumer yang diciptakan tanpa acuan dalam realitas, menjadi seolah
nyata, benar dan alamiah dalam iklan. Terdapat perbedaan antara cara iklan
masa kini merepresentasikan gaya hidup dibandingkan yang sebelumnya. Di
masa kini, gaya hidup menjadi lebih beragam, plural dan yang terpenting
lebih mengambang bebas. Artinya, gaya hidup kini tidak lagi dapat diklaim
menjadi milik eksklusif kelas tertentu dalam masyarakat seperti di
waktu-waktu yang lalu. Seseorang kini dapat dengan mudah masuk dalam
pelbagai kategori gaya hidup tanpa harus menjadi anggota kelas sosial
tertentu. Dalam kondisi seperti ini, iklan kini tidak lagi menekankan citra
kelas atau status yang kaku, melainkan citra-citra netral yang mudah untuk
diimitasi setiap orang (Piliang, 1998: 254).

Sementara itu di sisi lain, menurut Baudrillard, hasrat untuk selalu
mengkonsumsi tanda yang ditawarkan iklan ini, dikendalikan oleh apa yang
disebutnya logika hawa nafsu (Baudrillard, 1987: 51). Istilah ini
menggambarkan sebuah mekanisme ketidakcukupan yang diproduksi seseorang
dalam dirinya sendiri, yang selalu ingin mendapatkan lebih dan merasakan
lebih. Tindakan mengkonsumsi sebuah produk, menurut Baudrillard, lebih
sering karena dorongan perasaan ketidakcukupan yang kita produksi sendiri,
daripada karena alasan ketidakcukupan alamiah (Baudrillard, 1987: 51).

Kehadiran iklan tak pelak merupakan perpanjangan praksis prinsip
komodifikasi, ketika segala sesuatu dinilai semata sebagai objek
eksploitasi. Melalui iklan, misalnya, dikonstruksi keinginan yang tak bisa
dipenuhi: sebuah dunia mimpi yang dalam dirinya sebenarnya hanyalah
khayalan. Inilah saat yang disebut Milan Kundera, sebagai era kemenangan
imagology, citra-citra. Dalam era ini, produsen budaya citra, termasuk
iklan, adalah produsen realitas dan sekaligus mimpi. Dengan kemenangan
imagology, iklan telah ikut mendiktekan tema-tema citra-semu: ideal-ideal
kecantikan, cita-cita kesuksesan, norma-norma keindahan tubuh, keluarga
bahagia, masa depan yang cerah, melalui televisi, radio maupun surat kabar.
Iklan postmodern, dengan demikian adalah perpaduan yang cerdas pelbagai
kepentingan: komoditi, seni, ideologi, dalam bentuknya yang paling memikat
dan menggoda kita untuk selalu dan selalu mengkonsumsi.

Beberapa Catatan Kritis


Tidak bisa dipungkiri, Baudrillard adalah salah seorang pemikir postmodern
paling penting dalam wilayah sosiologi, filsafat dan kajian kebudayaan
dewasa ini. Pemikiran-pemikiran Baudrillard tentang sisi-sisi utama
karakter kebudayaan postmodern telah membuka cakrawala baru bagi pemahaman
realitas kebudayaan kontemporer dewasa ini. Beranjak dari
pemikiran-pemikiran para pendahulunya mulai dari Marx, Simmel, Mauss,
Debord, Saussure, Barthes, McLuhan sampai Derrida Baudrillard akhirnya
menyempal dan membangun keyakinan teoritis baru yang radikal dan orisinal.
Ia menarik pemikiran-pemikiran para pendahulunya sampai pada titik yang
terjauh, titik ekstrem, dan kemudian menggunakannya sebagai kacamata untuk
membaca realitas kebudayaan kontemporer dewasa ini. Modernisme, feminisme,
konsumsi, seni, politik, kebudayaan, sejarah dan tentu saja postmodernisme,
adalah deretan tema-tema yang menjadi objek kajian kritis Baudrillard.
Dengan pemikiran-pemikirannya yang segar dan orisinal tersebut, sebagaimana
halnya pemikiran yang dilontarkan kepada publik Baudrillard pun mendapat
banyak pujian sekaligus kritikan.

Di satu sisi, Baudrillard banyak mendapat pujian karena ketajaman dan
kecemerlangan analisisnya terhadap realitas kebudayaan dewasa ini. Dengan
gayanya yang khas, Baudrillard dianggap berhasil menggambarkan perubahan
karakter kebudayaan dari modernisme ke postmodernisme. Pendapatnya bahwa
nilai-tanda dan nilai-simbol kini telah mengalahkan nilai-guna dan
nilai-tukar, simulasi adalah mekanisme kebudayaan dominan dewasa ini,
realitas kini tak lebih adalah hiperrealitas dan Amerika adalah agen
postmodernisme, seakan mendapatkan kebenarannya pada pelbagai fenomena
sosial budaya dewasa ini. Merebaknya budaya massa dan budaya populer,
dengan simbol-simbol shopping mall, iklan, dan opera sabun, menjamurnya
pusat-pusat kebugaran dan kursus kecantikan yang mengedepankan penampilan,
lahirnya dunia simulasi video game, simulasi perang dan televisi serta
dunia hiperrealitas Disneyland dan Universal Studio adalah beberapa contoh
kebenaran analisa Baudrillard. Secara tajam, dalam karyanya Symbolic
Exchange and Death (1993), Baudrillard menyatakan telah terjadinya
pemutusan mendasar era postmodern dari era modern, sebagaimana pemutusan
era modern dari era pramodern. Secara semiotik menurut Baudrillard, era
modern ditandai dengan diterimanya makna, yang mengimplikasikan kedalaman,
sebuah dimensi yang tersembunyi, yang tak nampak namun stabil dan utuh.
Sementara dalam era postmodern, makna tidak lagi ada. Dunia postmodern,
papar Baudrillard, adalah dunia tanpa makna, dimana teori-teori
berlalu-lalang dalam ruang hampa, tanpa ada titik sauh apa pun, dimana
segala sesuatu nampak jelas, eksplisit dan transparan, namun sangat tidak
stabil (Baudrillard, 1993: 38). Dengan pemikirannya yang orisinal dan
radikal ini, tak pelak Baudrillard adalah pemikir tentang kebudayaan
postmodern yang terpenting saat ini. Arthur Kroker misalnya, menyebut
Baudrillard sebagai "Pemikir postmodern paling awal". Sementara Marshal
Berman menggambarkannya sebagai "Pembela postmodern paling gigih dan
sekaligus sosok yang banyak dipuja dalam dunia seni dan akademik di
universitas-universitas Amerika saat ini". Dan menurut Steven Best, "Ia
kini telah mencapai status guru dalam perbincangan postmodernisme dewasa
ini" (Kellner, 1994: 227).

Baudrillard sendiri dalam salah satu wawancaranya, dengan bahasanya yang
lugas cuma mengatakan, "I have nothing to do with postmodernism !" (Saya
tidak ada urusan dengan postmodernisme!) (Gane, 1990: 331). Ia sekedar
menyatakan dirinya sebagai "teroris intelektual", yang secara sadar
bermaksud menyerang watak ortodoks era modern. Mengenai posisinya ini
Baudrillard sendiri menyatakan,

Its not postmodern. I dont know what one means by that. But Im no longer
part of modernity, not in the sense where modernity implies a kind of
critical distance of judgement and argumentation. There is a sense of
positive and negative, a kind of dialectic in modernity. My way of
reflecting on things is not dialectic. Rather its provocative, reversible,
its a way of raising things to their N power, rather than a way of
dialectizing them. Its a way of following through the extremes to see what
happens. Its a bit like a theory-fiction. Theres a little theoretical
science fiction in it (Gane, 1993: 82).

(Ini bukan postmodern. Saya tidak tahu apa yang dimaksud orang dengan
istilah itu. Tapi yang pasti saya juga bukan lagi bagian era modern, tidak
dalam pengertian dimana modernitas dipandang sebagai suatu bentuk
argumentasi dan penilaian kritis, namun modernitas dalam pengertian
dialektis: positif dan negatif. Karena cara saya merefleksikan segala
sesuatu tidaklah bersifat dialektis. Melainkan lebih bersifat provokasi,
pemutarbalikan, suatu cara membawa segala sesuatu sampai pada tingkat
kekuatan "N" mereka, ketimbang menghadapkannya sebagai dialektika positif
dan negatif. Ini adalah suatu cara dengan mengikuti sampai ke titik ekstrem
untuk melihat apa yang terjadi. Ini sedikit mirip dengan teori-fiksi.
Dimana terdapat sedikit unsur teori sains-fiksi di dalamnya).

Baudrillard menyatakan bahwa teori-fiksi yang dibangunnya bukanlah sebuah
teori estetika, filsafat, atau pun sosiologi,

Its not really an aesthetic, its not a philosophy, its not a sociology, its
a little volatile. Perhaps this corresponds to a certain kind of floating
instability with more in common with the contemporary imagination than with
any real philosophy. The form of my language is almost more important than
what I have to say it. Its not a question of ideas there are already too
many ideas (Gane, 1993: 166).

(Tidak terlalu tepat bila disebut estetika, atau filsafat, atau mungkin
sosiologi. Ini adalah teori yang sedikit-sedikit berubah. Mungkin ini ada
hubungannya dengan semacam ketidakstabilan mengambang dalam pengertian
imajinasi kontemporer, bukan dalam pengertian filsafat yang sesungguhnya.
Bentuk pengucapan saya lebih penting ketimbang apa yang saya ungkapkan. Dan
ini bukan berupa gagasan-gagasan. Sudah terlampau banyak gagasan-gagasan
yang ada).

Penjelasan ini secara konsekuen dibawa Baudrillard dalam setiap
karya-karyanya. Karakter fatalis dan nihilis, pada gilirannya, adalah
sebuah pilihan sadar yang diambil Baudrillard. Dalam esainya, On Nihilism
(1981), yang pertama kali ditulis sebagai bahan kuliah, Baudrillard
menegaskan sikap fatalis dan nihilisnya,

If being nihilist is to privilege this point of inertia and the analysis of
this irreversibility of systems to the point of no return, then I am a
nihilist. If being nihilist is to be obsessed with the mode of
disappearance, and no longer with the mode of production, then I am a
nihilist (Baudrillard, 1984: 39).

(Jika menjadi nihilis berarti menjadi orang yang bertanggungjawab terhadap
sikap ketakberdayaan dan analisa sistem yang tak ada jalan kembalinya, maka
saya adalah seorang nihilis. Jika menjadi nihilis berarti menjadi orang
yang terobsesi dengan cara-cara pelenyapan dan tidak lagi dengan cara-cara
produksi, maka saya adalah seorang nihilis).

Nihilisme Baudrillard adalah nihilisme tanpa gairah, tanpa keriangan, tanpa
optimisme, tanpa harapan akan masa depan yang lebih baik. Nihilisme
Baudrillard adalah fatalisme, dengan sifat melankolis sebagai karakter
dasarnya,

Melancholy is the fundamental tonality of functional systems, of the
present systems of simulation, programming and information. Melancholy is
the quality inherent in the mode of disappearance of meaning, in the mode
of volatilization of meaning in operational systems (Baudrillard, 1984:
39).

(Melankoli adalah nada dasar sistem fungsi ini, sistem simulasi,
pemrograman dan informasi. Melankoli adalah kualitas inheren yang ada dalam
mekanisme cara-cara pelenyapan makna-makna, dan cara-cara penguapan makna
dalam suatu sistem operasional).

Sementara itu, di sisi lain, Baudrillard tak kurang juga mendapat
kritikan-kritikan tajam dari para komentatornya. Mike Gane misalnya, salah
seorang komentatornya yang paling tajam, menyatakan bahwa banyak pemikiran
Baudrillard yang menggelikan dan konyol (Rojek, 1993: ix). Sambil mengakui
Baudrillard sebagai pemikir yang tajam dan cerdas, Gane menyatakan bahwa
banyak argumentasi Baudrillard yang tak berdasar, membingungkan, retoris
dan ganjil (whimsical), sehingga nampak tak lebih sebagai sensasi murahan.
Pernyataannya bahwa segala sesuatu tak lebih sebagai simulasi dan
simulacra, Amerika adalah utopia, nilai-tanda dan nilai-simbol adalah
satu-satunya realitas, massa kini telah lenyap dan manusia adalah sekedar
terminal hilir-mudiknya tanda-tanda menurut Gane sama sekali tidak
berdasar. Lebih parah, pernyataannya bahwa Perang Teluk sebenarnya tidak
pernah terjadi, demikian pula halnya dengan Perang Vietnam, Skandal
Watergate dan kerusuhan Los Angeles kecuali semata-mata sebagai bukti
berlangsungnya mekanisme simulasi melalui rekayasa media massa menurut
Gane adalah klaim Baudrillard yang paling konyol sekaligus menggelikan.

Dengan suara senada, Robert Hughes seorang kritikus seni majalah Time
dengan berapi-api menggugat sosok Baudrillard sebagai sekedar
pencari-sensasi murahan, yang memikat namun dibutakan oleh gelombang deras
budaya massa (Rojek, 1993: xi). Gaya tulisannya aneh sekaligus memusingkan
mereka yang terbiasa dengan teks-teks modern deklaratif, aforistik,
metaforistik, hiperbolik, puitik, repetitif, bombastik, anti-sistem,
anti-struktur dan penuh dengan kta-kata tak jamak. Dalam Cool Memories
(1990), misalnya, terdapat penyataan puitis sebagai berikut,

Dying is nothing. All you have to know is how to disappear. The ultimate
achievement is to live beyond the end, by any means whatever. Living is
everything. All you have to know is how to appear. The ultimate end is to
live beyond achievement, by any means whatever (Baudrillard, 1990: 34).

(Kematian bukanlah apa-apa. Yang perlu kau tahu adalah bagaimana cara untuk
menghilang. Pencapaian tertinggi adalah untuk hidup setelah akhir
segalanya, dengan cara apa saja. Hidup adalah segalanya. Yang perlu kau
tahu adalah bagaimana cara untuk terlihat. Akhir yang tertinggi adalah
untuk hidup dibalik segala pencapaian, dengan cara apa saja).

Argumentasi kalaupun ada yang mendasari pemikirannya pun dipenuhi
kelemahan. Baudrillard sama sekali menolak struktur dan sistem, membiarkan
pernyataan-pernyataannya serba mengambang dan terpenggal-penggal, serta
lebih mengutamakan spekulasi. Itulah mengapa tidak sedikit komentatornya,
misalnya Chris Rojek, yang menyatakan karya-karya Baudrillard sebagai
fiksi-sains dan bukan teks sosiologi atau filsafat (Rojek, 1993: xi).

Suara kritis lain yang lebih sistematis dikemukakan oleh Mark Poster. Dalam
salah satu tulisannya yang mencoba membandingkan pemikiran Baudrillard dan
Habermas, Poster mencatat setidaknya terdapat lima kelemahan pemikiran
Baudrillard (Kellner, 1994: 83). Pertama, Baudrillard dianggap tidak mampu
menjelaskan pengertian istilah-istilah kunci yang ada dalam karya-karyanya,
terutama istilah kode. Kadangkala ia menggunakan istilah kode-model dan
binari-digital dalam pengertian yang sama secara bergantian tanpa pernah
merumuskan pengertian yang sesungguhnya. Kali yang lain, ia menyamakan
istilah kode dengan tanda dan citra sebagai istilah-istilah khusus
semiotika. Hal ini mengakibatkan kekaburan pemahaman akan gagasan-gagasan
orisinal yang dikemukakannya. Kedua, hampir sama dengan Gane dan Hughes
Poster memandang gaya menulis Baudrillard yang aneh dan ganjil seringkali
tidak dibarengi dengan argumentasi yang sistematik dan logis. Kelemahan
ini, dengan sendirinya, menjadikan pemikiran-pemikiran Baudrillard
kehilangan dasar argumentasi yang rasional. Karya-karyanya menjadi tak
lebih sebagai cerita fiksi kehidupan yang bersemangat dan penuh warna,
namun tak masuk akal. Ketiga, Baudrillard terkesan hendak mentotalisasikan
ide-ide pemikirannya, dan menolak untuk mengubah atau membatasi
pemikirannya. Ia menulis tentang pengalaman- pengalaman khusus, seperti
dunia televisi, dunia simulasi, hiperrealitas dan konsumsi, seperti
seolah-olah tidak ada hal yang lain dalam realitas sosial dewasa ini. Juga
pendapatnya bahwa Perang Teluk sebenarnya tidak pernah terjadi meskipun
kenyataan membuktikan perang itu sungguh-sungguh terjadi tetap
dipertahankannya, bahkan sampai perang itu sendiri usai. Keempat,
Baudrillard menafikan kenyataan bahwa terdapat keuntungan-keuntungan dari
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Televisi, media massa dan
internet dalam tampilannya yang positif juga memberikan manfaat seperti
misalnya mempercepat penyebaran informasi tentang pendidikan, HAM dan
lingkungan, menyampaikan berita peristiwa-peristiwa aktual yang tengah
terjadi dan lebih membuka pemahaman akan sifat pluralisme dan humanisme
kebudayaan dewasa ini. Kelima, sikap fatalis dan nihilis yang secara sadar
dipilihnya, menjadikan pemikiran-pemikiran Baudrillard jauh dari
nilai-nilai moral dan agama. Pendapatnya bahwa tak ada lagi jalan kembali,
bahwa hidup haruslah dijalani begitu saja dengan sikap acuh tak acuh, tak
ada lagi kebenaran, kesucian, serta nilai-nilai transendental, pada
gilirannya membawa Baudrillard jatuh ke dalam jurang pesimisme-ekstrim. Ia
tidak mampu melihat moralitas dan agama sebagai sumber acuan nilai dan
prinsip kehidupan. Singkat kata, mengutip Rojek, dari banyak kelemahan
tersebut, Baudrillard lebih banyak salah ketimbang benar.

Namun bukan berarti Baudrillard tidak memberikan arti apapun dalam
pengembangan tubuh-pengetahuan (body of knowledge) ilmu sosiologi, filsafat
dan kajian kebudayaan. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang dibuatnya,
pemikiran-pemikiran Baudrillard tetap sangat berguna bagi pemahaman
realitas kebudayaan dewasa ini. Demikian pula halnya dengan pendekatannya
yang orisinal dan kritis, yang dapat menjadi pilihan alternatif bagi proses
pembacaan realitas kebudayaan dewasa ini yang tengah berubah cepat.


Daftar Pustaka


Ahmad Sahal, 1994, Kemudian Dimanakah Emansipasi ? Tentang Teori Kritis,
Genealogi dan Dekonstruksi, dalam Jurnal Kebudayaan Kalam Edisi 1, Jakarta.

Ahmed, Akbar, S., 1992, Postmodernism and Islam, Routledge, New York.

Andy Siswanto, 1994, Menyangkal Totalitas dan Fungsionalisme,
Postmodernisme Dalam Arsitektur dan Desain Kota, dalam Jurnal Kebudayaan
Kalam Edisi 1, Jakarta.

Ariel Heryanto, 1994, Postmodernisme: Yang Mana ? Tentang Kritik dan
Kebingungan dalam Debat Postmodernisme di Indonesia, dalam Jurnal
Kebudayaan Kalam Edisi 1, Jakarta.

Awuy, Tommy, F., 1995, Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan, Jentera
Wacana Publika, Yogyakarta.

Bakker, Anton dan Zubair, A. Charris, 1990, Metodologi Penelitian Filsafat,
Kanisius, Yogyakarta.

Baudrillard, Jean, 1983, Simulations, Semiotext(e), New York.

--------------------, 1984, On Nihilism, dalam Jurnal On The Beach 6, New
York.

--------------------, 1987, The Ecstasy of Communication, Semiotext(e), New
York.

--------------------, 1989, America, Routledge, New York.

--------------------, 1990, Cool Memories, Verso, London.

--------------------, 1990, Seduction, Macmillan, New York.

--------------------, 1993. Symbolic Exchange and Death, Sage, London.

Bertens, Hans, 1995, The Idea of The Postmodern: A History, Routledge,
London.

Denzin, K. Norman, 1988, Blue Velvet: Postmodern Contradictions, dalam

Theory, Culture and Society Vol. 5, Sage, London.

Ewen, Stuart, 1989, Advertising and The Development of Consumer Society,
dalam Angus, Ian and Jhally Sut, (ed), Cultural Politics in Contemporary
America, Routledge, New York.

Featherstone, Mike, 1988, In Pursuit of The Postmodern: An Introduction,
dalam Theory, Culture and Society Vol. 5, Sage, London.

Foster, Hal, 1983, Postmodernism: A Preface, dalam Foster, Hal, (ed), The
Anti-Aesthetic, Essay on Postmodern Culture, Bay Press, Washington.

Gablik, Suzi, 1988, Dancing with Baudrillard, dalam Jurnal Art in America,
New York.

Gane, Mike, 1990, Baudrillard Live: Selected Interviews, Routledge, London.

Harun Hadiwijono, 1994, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Kanisius,
Yogyakarta.

----------------------, 1993, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Kanisius,
Yogyakarta.

Harvey, David, 1989, The Condition of Postmodernity, Blackwell, Oxford.

Hebdige, Dick, 1979, Sub-culture: The Meaning of Style, Methuen, London.

I. Bambang Sugiharto, 1996, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat,
Kanisius, Yogyakarta.

Ibrahim, Idi, Subandi, 1997, Ecstasy Gaya Hidup, dalam Idi Subandi Ibrahim,
(ed), Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas
Indonesia, Mizan, Bandung.

Jhally, Sut, 1989, Advertising as Religion: The Dialectic of Technology and
Magic, dalam Angus, Ian and Jhally, Sut, (ed), Cultural Politics in
Contemporary America, Routledge, New York.

Kellner, Douglas, 1994, Baudrillard Reader, Blackwell, Cambridge.

Lash, Scott, 1990, Sociology of Postmodernism, Routledge, London.

Lechte, John, 1994, Fifty Key Contemporary Thinkers, From Structuralism to
Postmodernism, Routledge, London.

MacCannell, Dean and MacCannell, Juliet Flower, 1993, Social Class in
Postmodernity: Simulacrum or Return of The Real ?, dalam Rojek, Chris and
Turner, Bryan, S., (ed), Forget Foucault, Routledge, London.

MacDonald, Dwight, 1957, A Theory of Mass Culture, dalam Rosenberg, Ben and
White, Dennis, (ed), Mass Culture, Free Press, Glencoe.

Piliang, Yasraf, Amir, 1998, Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan
Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme, Mizan, Bandung.

Poster, Mark, 1994, Critical Theory and Technoculture: Habermas and
Baudrillard, dalam Kellner, Douglas, (ed), Baudrillard Reader, Blackwell,
Cambridge.

Rojek, Chris and Turner, Bryan, S., (ed), 1993, Forget Baudrillard,
Routledge, London.

Rosenau, Pauline M., 1992, Postmodernism and Social Sciences: Insight,
Inroads, and Intrusion, Princeton University Press, Princeton.

Sarup, Madan, 1989, An Introduction Guide to Post-Structuralism and
Postmodernism, The University of Georgia Press, Athens.

Shuker, Roy, 1994, Understanding Popular Music, Routledge, London.

Smart, Barry, 1993, Europe/America: Baudrillards Fatal Comparison, dalam
Rojek, Chris and Turner, Bryan, S., (ed), Forget Foucault, Routledge,
London.

---------------, 1990, Modernity, Postmodernity and The Present, dalam
Turner, Bryan, S,. (ed), Theories of Modernity and Postmodernity, Sage,
London.

Stauth, Georg and Turner, Bryan, S., 1988, Nostalgia, Postmodernism and
TheCritique of Mass Culture, dalam Theory, Culture and Society Vol. 5,
Sage, London.

Strinati, Dominic, 1995, An Introduction to Theories of Popular Culture,
Routledge, London.

Suryakusuma, Julia, I., 1994, Pascamodernisme dan Feminisme: Les Liaisons
Dangereuses, dalam Majalah Horison, Nomor 2, Jakarta.

Turner, Bryan, S., 1990, Periodization and Politic in The Postmodern, dalam
Turner, Bryan, S,. (ed), Theories of Modernity and Postmodernity, Sage,
London.

--------------------, 1993, Cruising America, dalam Rojek, Chris and
Turner, Bryan, S,. (ed), Forget Foucault, Routledge, London.

Zurbrugg, Nicholas, 1994, Baudrillard, Modernism and Postmodernism, dalam
Kellner, Douglas, (ed), Baudrillard Reader, Blackwell, Cambridge.

No comments: