Menjaring Komitmen demi Keadilan Agraria
Oleh Usep Setiawan
KOMITMEN pemerintah untuk menjalankan pembaruan agraria merupakan syarat mutlak keberhasilan pembaruan agraria. Keberpihakan pemerintah kepada rakyat menjadi keharusan yang tak bisa ditawar karena makna hakiki pembaruan agraria yang asli adalah menyediakan keadilan bagi segenap rakyat.
Beberapa waktu lalu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta (18/10) menggelar Diskusi Panel Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Sumber Daya Agraria dalam Rangka Pelaksanaan Tap MPR No IX/2001 yang berhasil membuka cakrawala baru. Diskusi ini merupakan langkah penting untuk mempercepat perubahan kebijakan sebagai dasar legal pelaksanaan pembaruan agraria.
Diskusi diikuti seratus lebih peserta utusan dari berbagai departemen sektoral, juga sejumlah pakar dari berbagai perguruan tinggi dan aktivis organisasi nonpemerintah (LSM), bahkan dari kalangan asosiasi bisnis pengelolaan kekayaan alam. Secara substansi, diskusi ini penting dalam konteks menjaring komitmen bersama bagi pembentukan kebijakan agraria yang komprehensif dan harmonis.
Kekeliruan kebijakan
Kekeliruan kebijakan agraria selama ini bukan pada implementasi, tetapi pada ideologi, paradigma, konsep, dan orientasi politiknya. Berbarengan dengan itu, sejumlah peraturan perundangan-undangan agraria disusun sendiri-sendiri yang memicu disharmoni kebijakan sebagai implikasinya. Bahkan, berbagai kebijakan agraria telah menuai ketegangan yang menjurus konflik antarkebijakan.
Penetapan visi, misi, dan program sektoral yang sendiri-sendiri hanya dapat dipahami (disetujui) lingkaran dalam departemen sektoral bersangkutan. Kenyataan ini terpantul dari berbagai rumusan peraturan perundang-undangan yang parsial dan menempatkan kekayaan alam secara eksklusif, tidak integrated sebagai satu kesatuan ekosistem yang semestinya diurus secara holistik. Kekeliruan kebijakan agraria terutama tercermin pada fenomena konsentrasi penguasaan tanah dan kekayaan alam lain di tangan sekelompok kecil orang berduit, sementara puluhan juta petani dibiarkan tak bertanah dan tergusur terus.
Kebijakan yang ada sudah carut-marut, kini sejumlah departemen sektoral malah mengajukan agenda legislasi baru berupa penyusunan RUU sektornya sendiri-sendiri. Sudah sering dikatakan, pengajuan RUU tanpa pengkajian ulang atas kebijakan yang masih berlaku (policy review) bukan saja tidak menjadi solusi, tetapi akan melanggengkan kekeliruan kebijakan.
Yang dinantikan adalah persamaan kesadaran akan pentingnya platform bersama yang meletakkan tanah dan kekayaan alam sebagai milik bersama dan milik bangsa, meminjam Prof Maria SW Soemardjono (2003) sebagai public goods atau social goods. Karena itu, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam hendaknya mencerminkan semangat "untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", sebagaimana dipahat Pasal 33 Ayat 3 konstitusi kita.
Dalam kenyataan inilah gagasan tentang pembaruan kebijakan agraria hendak diletakkan. Namun, ide harmonisasi kebijakan agraria yang diajukan BPN- UGM tidak perlu menjebak kita masuk perangkap perubahan yang tambal sulam sehingga tidak efektif mengubah problem agraria yang sebenarnya.
Lemahnya komitmen
Selain kekeliruan kebijakan, lemahnya komitmen pemerintah untuk menjalankan pembaruan agraria terpantul dari ungkapan pemikiran yang sektoral dan tidak sensitif terhadap krisis agraria. Ketidakmaupahaman atas kenyataan di lapangan dan ketidakmaumengertian aparat pemerintahan atas langkah yang seharusnya ditempuh untuk memperbaiki kenyataan agraria menjadi gejala yang mencolok. Faktor ini dapat menjadi batu sandungan bagi pembaruan watak suprastruktur pemerintahan.
Ketidakadilan akibat ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria tidak ditangkap pemerintah sebagai kenyataan, tetapi sebatas "kasus". Masih banyak pejabat yang menganggap ketimpangan dan konflik agraria sebagai isapan jempol yang diembuskan kalangan yang "pada dasarnya tidak suka" pemerintah, contoh terbaru, kasus gugatan seorang kepala polda atas aktivis LSM di Sulawesi Selatan gara-gara si aktivis menuntut pencopotan kepala polda yang dianggap bertanggung jawab atas tragedi Bulukumba.
Padahal, mengubah secara total kebijakan yang rusak dengan mengubah watak pelaksana kebijakan adalah dua hal yang sama pentingnya dan sama nilainya dalam merealisasikan tujuan perubahan itu sendiri. Kebijakan yang benar dan aparat yang baik melekat pada satu keping mata uang yang sama. Perubahan kebijakan agraria tanpa watak baru aparat pemerintahan hanya menjadikan perubahan berhenti pada teks tanpa konteks. Pembaruan agraria pun menjadi tak ubahnya macan kertas.
Sejumlah watak lama aparat yang harus segera ditumpas tuntas di antaranya merasa paling benar sendiri, mengabaikan rakyat, rela disogok golongan berkantong tebal, dan memasabodohkan kehancuran ekologi. Kebijakan yang lahir dari watak aparat semacam ini mestilah antirakyat dan antikelestarian alam.
Watak baru yang seharusnya melekat di sanubari aparat hendaknya tertuang dalam konsepsi kebijakan yang terpantul dalam praktik pelayanan kepemerintahan, berupa menerima perbedaan, sudi mendengar suara pihak terlemah, mengutamakan kepentingan rakyat banyak-khususnya kaum tani, buruh, nelayan, masyarakat adat, dan miskin kota-serta menjaga kelangsungan layanan alam demi masa depan bangsa.
Syarat perombakan
Guna menjawab kekeliruan kebijakan dan lemahnya komitmen aparat di atas, maka mengubah sedikit-sedikit kulit kebijakan dan memperbaiki bagian tertentu saja dipastikan bukan jawaban tepat. Yang diperlukan lebih dari itu, yakni perombakan total dan mendasar yang mengubah akar-akar ideologis, paradigmatik, konsepsi sekaligus orientasi politik yang melekati sekujur tubuh kebijakan dan mengaliri darah-nadi aparatnya.
Perombakan kebijakan dimaksudkan untuk menjawab tiga problem agraria (ketimpangan, konflik, dan kehancuran ekologis) sekaligus. Hemat penulis, untuk melancarkan perombakan kebijakan perlu syarat. Pertama, keberanian mengubah ideologi pembangunan pertumbuhan ekonomi kapitalistis ke kerakyatan yang berkeadilan. Perlu kehendak kuat untuk memilih ideologi dan orientasi politik agraria baru yang jauh dari watak eksploitatif, diskriminatif, sentralistis, dan kapitalistis.
Kedua, perlu kesungguhan politik pemerintah (presiden dan menteri serta pejabat pembantunya) dan legislatif guna membongkar total seluruh bangunan peraturan perundang- undangan agraria produk Orba lalu meletakkan dasar-dasar kebijakan baru yang mengabdi rakyat. Dibutuhkan keteguhan menolak segala dikte kekuatan kapitalisme global dalam pembentukan kebijakan meski diiming-imingi kemudahan meraup bantuan (baca: utang) luar negeri.
Ketiga, perlu kesiapsiagaan aparat pembentuk maupun pelaksana kebijakan agraria dalam merespons dinamika sosial di lapangan. Para menteri dan pejabat di tiap departemen/institusi sektoral dari pusat hingga daerah harus menghayati betul arah perombakan kebijakan agraria yang akan ditempuh. Aparat yang antirakyat sebaiknya diamputasi dan yang tak mau ikut gerbong, dirumahkan saja.
Hemat penulis, inilah langkah drastis guna mempercepat terwujudnya keadilan agraria. Tanpa itu semua, selain berjalan lamban, perubahan terancam tinggal sekadar mimpi belaka.
Usep Setiawan Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Wednesday, April 1, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment