Wednesday, April 1, 2009

Estetika Kiri

Estetika Kiri: Hantu yang Tak Lagi Menakutkan
Muhammad Al-Fayyadl

Ketika Marx bicara lantang tentang kapitalisme, diam-diam dia sedang merancang konsep seni sosialis, yang—kendati gagal menjadi kenyataan—banyak mendapat aplaus generasi sesudahnya. Contohnya saja, Georg Lukacs. Namun, apa pun alasannya, dunia pemikiran Marxis yang berhubungan dengan seni, kemudian seolah dibalut kontroversi panjang yang tak pernah usai. Di saat kapitalisme meruyak ke sendi-sendi kehidupan, masihkah seni Marxis relevan—atau bahkan kita butuhkan?

Pertama kali, ingatan kita pasti tertuju pada konflik “laten” antara Manikebu dan Manipol. Dasawarsa 1960-an menyaksikan betapa persinggungan ekstrem antar-ideologi telah menghantarkan suatu pertarungan sengit yang bermuara pada paham kesenian. Komunisme, di saat jayanya itu, menjadi motor utama penggerak keyakinan bahwa seni haruslah berada di bawah otoritas politik. Seni sekaligus merupakan cerminan dari kekuasaan yang mengungkungi, mensubordinasi, dan memperalatnya. Karena itu, estetika bukanlah barang langka yang harus tunduk pada keinginan sekelompok elite budaya—karena ia mesti membaur dalam perjuangan kaum proletar, yang tak lain adalah rakyat Indonesia sendiri.

Namun, lebih dari sekadar pergulatan ideologis, konflik tersebut lalu seakan menyisakan luka sejarah yang kemudian meretas jalan panjang dunia kesastraan Indonesia ke arah kebuntuan akut. Polarisasi antara dua elemen di atas memicu realitas buram yang berlanjut pada wilayah “kekuasaan”—sebuah entitas yang tak berdiri sendiri: di atas kepentingan politislah segala keputusan menjadi final, dan seseorang yang terlibat di dalamnya tak pernah lagi netral.

Satu misal yang dapat dibaca adalah kecenderungan stigmatisasi dan ekslusi oleh sastrawan Manipol terhadap sastrawan Manikebu. Di awal 1960-an, di tengah gencarnya proyek membabi-buta itu, harian Bintang Timur, dengan rubrik budayanya, Lentera, melancarkan kritik yang benar-benar menyudutkan para penandatangan Manikebu: sebagai “yang harus dibabat”. Sebuah klise yang sinis, bukan? Dalam konteks ini, dipelopori Pramoedya Ananta Toer, Manipol membuka suatu gerak baru bagi “filsafat” sastra: bahwa kritik adalah sesuatu yang absah demi tegaknya ideologi dan langgengnya proses ideologisasi.

Di masa itu, bentrok antar-ideologi tak terhindarkan menjadi kewajaran dan kekhawatiran. Tapi, justru di sinilah, ideologi mengambil bentuknya yang paling eksesif—ditunjukkan oleh dua hal. Pertama, ketika ideologi mendekati wilayah sentrum kekuasaan, yang terjadi adalah monopoli dan pengucilan atas mereka yang dianggap tak sependapat. Dalam percaturan politik kala itu, potret kekuasaan, dengan dingin, ditampilkan Soekarno—dan begitu pula, ideologi, seolah tak memberi ampun, menggunakan otoritasnya untuk membungkam: komunisme-sosialisme. Catatan politik Iwan Simatupang, dengan getir, mendeskripsikan betapa Soekarno tak lagi menaruh perhatian besar akan terpecahnya masa depan kebudayaan bangsa, di tengah berkecamuknya ancaman revolusi. Ia, ironisnya, kemudian memilih menggunakan kekuasaan untuk sebuah akibat yang tak nyaman: represi. Dan kedua, ketika ideologi menjauh dari kekuasaan, ujung-ujungnya adalah sikap kontra dan resistensi. Sejarah menunjukkan, inilah yang harus dialami Pram—dan kelompok Manipol—di rezim Orba.

Dari situ, dapat ditangkap dua realitas berbeda, yang tak sepenuhnya bertemu. Namun, yang menarik, masa-masa revolusi telah membuat dunia kesastraan kita berada dalam titik persaingan yang tak sehat. Goenawan Mohamad, salah seorang eksponen yang terlibat, lalu berkata: di potongan sejarah yang menyakitkan itu, kita temukan sebuah kegamangan, sikap “apokaliptik” yang tidak lagi berbicara menurut akal sehat dan hati nurani, tetapi lebih sebagai frustasi politik yang acak, intoleran, dan menang-kalah. Alternatifnya lalu jelas: seseorang sastrawan harus memilih untuk berkonfrontasi dan menghindari—sejauh mungkin—rekonsiliasi.

Pram, yang hidup sebatang kara di pulau Buru, tak pernah menyadari bahwa intoleransi adalah sesuatu yang mustahil abadi. Ia utopis, dan karenanya cuma menyisakan harapan yang tak pernah terwujud selamanya. Intoleransi melahirkan radikalisasi, untuk selanjutnya dihadapi dengan reaksi. Radikalisme, demikian saya menyebutnya, mungkin sikap yang tak bijak. Dalam sebuah perbincangan singkat, Pram ditanya tentang mengapa ia tak memaafkan Manikebu—dan menyebut mereka sebagai “pengkhianat”. Ia lalu menjawab: “karena mereka memecah kesatuan untuk menghadapi Barat”—sehingga “merongrong” Soekarno. Apa yang dituturkan lalu menjadi keniscayaan bahwa kekuasaan selalu dijustifikasi demi sebuah pembelaan. Padahal, kita mesti tahu, radikalisme atas nama kekuasaan boleh jadi bakal memicu suatu haluan sikap yang, di masa kini, sulit dimengerti. Karena itu, wajar bila anggapan bahwa mazhab Manikebu menyalahi spirit kebudayaan, seperti disebut Pram, sama membingungkannya dengan anggapan bahwa, sebuah kelompok yang berbeda pandangan mesti dihabisi secara radikal—entah lewat pertarungan politis atau semacamnya.

Saya kira, potret radikalisme estetika kiri cukup menghunjam pada dua tataran sekaligus: pada tingkat diskursus dan realitas historis. Pada dataran wacana, radikalisme estetika kiri tercermin dari penolakannya atas humanisme borjuis, yang cuma mengekor selera borjuasi tanpa berani memilah bahwa rakyat juga punya selera. Di sinilah, politik “rasa” (taste) memainkan perannya. Secara kasuistik, upaya Lekra dan sejumlah mazhab estetik kiri di Nusantara untuk menggusur “kaum kontrarevolusioner”, justru dilakukan awal kali melalui perdebatan dan polemik pada tataran wacana. Para pendukung estetika kiri menyerang humanisme universal, karena berdalih bahwa humanisme memiliki latar belakang sosialnya sendiri: ia tak pernah berada dalam integralitas, karena sifatnya partikularistik dan tergantung pada kontsruk sosial. Maka, ketika muncul klaim universalisme, serta-merta estetika kiri menolak mentah.

Sedangkan, dari jalur kedua, estetika kiri berhasil menggerakkan sebuah great movement, yang di Indonesia benar-benar menyerupai semacam adegan menegangkan (“pembabatan total”—dalam bahasa Pram) antara pemelopor sastra politis dan non-politis. Kutipan Pram, yang diperolehnya dari Maxim Gorky: “if the enemy does not surrender, he must destroyed”, bahwa sastra yang tak mengalah untuk diperbudak politik harus dimusnahkan, memang mencetuskan sikap antitesis: sastra yang tunduk pada kekerasan. Di sinilah, humanisme sosialis yang dikoarkan Pram menjadi gaung kosong yang tak berarti. Dan, jangan lupa, sikap humanitarianistik Pram, lewat tokoh Minke dalam roman-roman kesohornya itu, justru bertolak belakang dengan praksis yang dianut Pram: bahwa tak semua humanisme benar. Ada kriteria dan karakter yang membedakannya.

Nah, masalahnya kemudian: dengan sejumlah alasan di atas, pantaskah kita mengkaji kembali posisi estetika kiri di kancah sastra Indonesia kontemporer? Saya melihat, momen-momen historis antara Manikebu dan Manipol tetap menggurat dalam akar kesadaran kita. Itu artinya, melupakan sejarah adalah sesuatu yang tak mungkin—karena kita selalu terjepit di bawah bayang-bayang ideologi pasar yang acap dehumanistik: kapitalisme. Di saat-saat inilah, estetika kiri jadi tawaran bagus untuk memecah kebuntuan sistem mekanis “pasar”, yang membuat kita linglung: jangan-jangan pikiran kita sedang digiring untuk mencintai iklan dan mengonsumsi permen karet.

Kiri: Mencari Oase Segar
Saya sempat membayangkan: bila tahun 1950-60-an adalah era pergulatan dan resistensi antara dua mazhab sastra, maka di era 1970-an ke belakang, resistensi itu surut, dan justru mengangkat sastrawan Manikebu ke puncak perkembangan sastra. Berbalik dengan itu, sastrawan kiri mengalami masa penantian yang pedih dan pahit—tapi mereka tabah. Bagi mereka, yang penting: larangan penguasa untuk berkarya tidak menghalangi inspirasi dalam melancarkan kritik dan counter-hegemony kekuasaan. Dan, bukankah kita tahu, kekuasaan, di era Orba, begitu kokoh mencengkeram sendi kehidupan, termasuk dengan diluncurkannya sistem ekonomi “pembangunan” (developmentalism) yang ambisius? Estetika kiri, dalam tiga dekade terakhir, memang tak ubahnya hantu yang mengganggu penguasa. Tapi, bukan berarti tanpa pesona. Di tahun 1980, novel Pram, Bumi Manusia, terbit—dan segera publik mengetahui bahwa pengarangnya bukan orang sembarang. Malah, seperti pengakuan Ignas Kleden, di Jerman orang dengan bangga berkata: “Pramoedya ist ein Begriff”—Pramoedya bukan sekadar nama, tetapi sebuah pengertian: konsepsi (Tempo, 10/5/1999).

Dan, seperti kita sadari, estetika kiri juga berawal dari sebuah spirit kritisisme pada kekuasaan. Jauh hari, sebelum Pram lahir, di tahun 1846, Marx menulis buku German Ideology, dan di sana ia dengan apik mempersoalkan fungsi seni dalam masyarakat yang digerogoti kapitalisme. Kehidupan kapitalistik telah menciptakan sebuah harapan dan pengandaian akan tergapainya modernisme, namun dengan latar belakang industrial yang megah. Tapi, masalahnya: kapitalisme juga berandil besar menjebak masyarakat borjuis dalam kenikmatan material, yang menjauhkan mereka dari aktivitas estetik, yaitu merenung dan menghayati karya seni secara par excellence. Estetika justru dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan produksi dan pabrik: dan di sanalah seni dibeli. Marx lalu menyimpulkan: estetik yang lahir dari rahim kapitalisme, sarat dengan kepalsuan yang ditutup-tutupi, namun tak pernah meyakinkan.

Konsep itu kemudian dipakai Marx untuk mengungkap tendensi-tendensi karya sastra. Marx sempat menganilisis novel Eugene Sue, Les Mysteres de Paris, yang disebutnya merepresentasikan motivasi prasangka ideologis kaum borjuis. Dan dia lalu berharap, seandainya dekonstruksi ini bisa terus dilakukan, bukan tak mustahil masyarakat utopis yang diidamkan terwujud: yang menikmati seni sebagai basis membangun kesadaran kritis dan mengukuhkan estetika yang membawa manusia ke dalam labirin eksistensial dan penemuan hakikat kedirian.

Kritik seni Marxian mungkin bisa diukur dari sejauh mana konsepsi Marx mempengaruhi pemikir sesudahnya. Epistemologi yang dibangun Marx, bahwa seni (dan sastra) mesti sejalan dengan struktur dan realitas sosial, merupakan benih awal tumbuhnya aliran realisme sastra dalam psikologi Marxisme. Itu yang lalu ditunjukkan dengan kehadiran Lukacs. Dalam bukunya yang bersejarah, History and Class Consciousness (1919-22), Lukacs, dengan lantang, mempromosikan perlunya kesadaran massif dalam membangun sejarah dan seni. Perlu menggalang aksi-aksi kolektif yang mengarah pada pemahaman aktual realitas sosial, dan melihatnya dalam konteks perjuangan melawan kapitalisme. Bagi Lukacs, hal ini harus disikapi sebagai komitmen membongkar fetisisme estetik yang menumpulkan semangat kritis dalam seni dan sastra. Lewat realisme, sastra diajak memasuk ruang hingar-bingar pabrik dan, demikian pula, realitas sosial yang pahit. Ia harus merefleksi. Di sini, estetika berfungsi dalam dua area: mental-kognitif dan sosial-reaktif. Dari kedua pola fungsi ini, estetika kiri mengalami pencapaiannya justru pada wilayah mental-kognitif. Sebab, inilah yang kelak meretas jalan menuju wacana kritik kapitalisme dan peneguhan humanisasi dari serbuan komoditas yang materialistik.

Saya menilai, kebutuhan untuk membicarakan realisme di masa kini, terletak pada kenyataan bahwa kita belum mempunyai pisau kritik yang tajam, untuk membedah ketimpangan sosial selama ini, kecuali lewat tawaran-tawaran Marxian itu. Karenanya, menjadi wajar bila konsep-konsep Lukacs masih laku di “pasaran” sastra dewasa ini. Pada tingkat wacana itu, estetika kiri menyumbang besar bagi terbentuknya sikap partisipatoris sastrawan dalam relasinya bersama dunia. Ia ikut merasa bahwa sastra bukanlah “menara gading” yang sepi dari realitas sosial—karena perubahan dan transformasi sosial adalah nuansa yang juga melibatkan sastra.

Kalau ini dipahami betul, kita tak akan pernah khawatir estetika kiri terjatuh dalam radikalisme. Mengapa? Alasan utamanya: bahwa radikalisme estetika kiri sebenarnya dipicu oleh praktik dan interpretasi berlebihan terhadap konsep seni Marxian. Artinya, selama masih konseptual, estetika kiri tak berpretensi pada sikap radikal—alih-alih mendorong kita untuk selalu kritis menghadapi kekuasaan dan dominasi. Lebih-lebih, di zaman sekarang.

Dan, tak ada yang perlu ditakutkan atas estetika kiri. Memang, kita menyadari, mewujudkan “kiri” dalam artian sesungguhnya, adalah barang langka, setelah ambruknya komunisme di Soviet dan kemunculan “Kiri-Baru” (New Left), yang agak persis dengan gagasan “Post-Marxism”. Sejumlah pemikir pasca-Lukacs, yang hidup dua puluh tahun kemudian—Theodor W Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin—harus diakui, membawa estetika kiri ke arah yang tak terduga: pembebasan seni dari konformisme dunia industri. Kendati Adorno dan Benjamin tak sepakat untuk mempertahankan seni dari politik, toh keduanya cukup realistis: melihat industrialisme sebagai realitas tak terpungkiri.

Namun, dari sana, kita pun tetap disuguhi kritik bahwa kapitalisme, bahkan dalam bentuk paling demokratis (ingat teori Novak tentang democratic capitalism), tak pernah sejalan dengan substansi seni-sastra sebagai estetika otonom yang menolak komodifikasi. Itu artinya, kapitalisme cuma mereduksi dan membunuh kreativitas seniman untuk menyalurkan hasratnya menurut pertimbangan akal sehat—dan bukannya semata pemenuhan materi. Karena itu, watak kapitalistik bakal terus menguasai dunia, kalau kita membiarkan seni-sastra terjerat dalam sirkulasi pasar, tempat pelbagai libido ekonomi menanamkan investasinya. Kritik “Neo-Kiri”—juga Derrida dan Habermas—berada dalam kerangka ini.

Antara Kritik dan Radikalisme: Kiri sebagai Refleksi
Menjadi “kiri”, kini, tak lagi seheroik dulu. Dalam dunia yang tergagap dengan sekian kemajuan teknologi yang menakjubkan, manusia seolah disihir untuk berebut secercah kebanggaan dari tangan mesin. Kenyataan bahwa kapitalisme digerakkan tenaga mesin, dengan sendirinya menohok jantung eksistensial umat manusia, yang tak rela dirinya kehilangan jati-diri. Karena itu, rasionalitas teknologi yang disokong kapitalisme, kata Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man, hanya menawarkan kebutuhan-kebutuhan palsu (false need), yang ironisnya digemari manusia modern.

Kritik Marcuse itu harus ditempatkan sebagaimana layaknya pemikir estetik kiri lainnya berbicara. Fungsi kritik yang dilontarkan penganut estetika kiri kini menemui signifikansinya, terutama untuk menggarap kritik sosial dan protes kekuasaan. Ambil misal, seseorang belum tentu berhasil bersikap subversif pada penguasa, kalau ia tidak pernah belajar realisme Bertolt Brecht, dan mencobanya di antara sekian kepungan realitas sosial yang sewenang-wenang. Lewat realisme, yang “kiri” ini, kesempatan untuk menyuarakan kepedihan sosial akan lebih terasa, sebab dari sinilah, proses pembelajaran dan penghayatan mendalam atas realitas menjadi bagian inheren dalam seni dan sastra. Dan, saya menjamin, selama kritik sosial itu berlangsung menurut konsep-konsep yang digariskan pemikir estetik kiri tadi—terutama Lukacs—seseorang tak perlu takut estetika kiri mengejawantah menjadi radikalisasi, yang ujung-ujungnya menyebabkan terjadinya fragmentasi kebudayaan, seperti pada kasus kontra-Manikebu di atas.

Berangkat dari kutipan Gorky, seperti diikuti Pram, saya punya kesimpulan bahwa interpretasi dan konteks sosial-politik seorang sastrawanlah yang berperan dalam radikalisasi kesenian. Dan, di Indonesia, Pram mungkin sosok penafsir realisme sosialis—kendati mengaku tak paham benar—yang terperosok dalam kekalutan suasana revolusi, dan ini justru membuatnya antipati terhadap kelompok seni lainnya yang tak sependapat. Dengan kata lain, dalam keadaan tertentu, seorang sastrawan berintegritas pun bukan tak mungkin gampang mengecap salah pihak lain, dan menganggap dirinya benar (truth claim)—dan karenanya menghilangkan arti sebuah kesantunan dan keberagaman. Dan, seandainya Pram mau sedikit bersabar memahami estetika kiri secara utuh dan menyeluruh, tentu ia tak akan terjebak dalam pandangan hitam-putih, yang akhirnya menyudutkan dia dalam stigma dan luka sejarah.

Di antara kritik sosial dan radikalisme praksis, dua fenomena yang identik dengan perjalanan estetika kiri di panggung sejarah, tersimpan kearifan: agar kita mau melihat estetika kiri sebagai wujud dari visi bahwa seni adalah pembebasan (the art of redemption), penyucian eksistensial manusia dari cekaman alienasi dan keterasingan. Dengan begitu, saya kira, kita telah mampu melangkahi tapakan sejarah yang pahit, dan membangun masa depan yang lebih obyektif. Fragmentasi mazhab-mazhab kebudayaan, dalam jangka waktu yang lama, seperti diakui Takdir Alisjahbana, harus tetap mengikutsertakan seni dan sastra dalam reconstructie arbeid, kerja pembangunan, rekonstruksi sosial, dan modernisasi masyarakat. Bandul ambiguitas yang melilit dunia kebudayaan kita dalam lima dasawarsa terakhir, memunculkan pertanyaan serius: benarkah “proyek” nasionalisme kebudayaan yang kita banggakan benar-benar menyentuh aspek kemanusiaan? Padahal, bukankah kemanusiaan (humanity/) sebagai asas mendasar dalam kehidupan berbudaya, selama ini dipertaruhkan, diperebutkan, dan dikoyak oleh perpecahan yang terjadi pada masa-masa revolusi itu?

Saya berpendapat, bukan saatnya estetika kiri dikucilkan dari wacana publik luas. Apalagi, demokratisasi tengah menjalari kisi-kisi kehidupan sosial-politik, dan post-modernisme kini berancang-ancang untuk menuai harapan: di masa ini, rekonsiliasi dan pluralisme adalah upaya terakhir menyelamatkan muka estetika kiri dari stigmatisasi, dan sebaliknya, estetika “kanan”—yang mengklaim bahwa seni dan sastra lepas dari konstruk sosial—dari sikap apriori. Konvergensi dan titik-temu adalah solusi terakhir yang masih tersisa, setidaknya bagi kita, yang sehari-hari menikmati sastra tanpa reserve dan pergulatan. Dan, sejarah masih tetap di sana, meski sarkasme dan kekerasan budaya telah sirna.

No comments: