Wednesday, April 1, 2009

Pengelolaan Sumber Daya Agraria

Dimensi Pengelolaan Sumber Daya Agraria dan Tantangan Kelembagaan

Oleh : Sofwan Samandawai

Ketika sumber daya agraria relatif masih berlimpah ruah, manusia memanfaatkannya dengan mudah. Namun, sumber daya agraria ternyata tidak selamanya berlimpah. Manusia terlalu serakah, menuai tanpa menjaga, mengambil tanpa perhitungan. Ketika jumlah manusia bertambah, sumber daya agraria relatif hampir habis, persaingan terjadi. Dalam situasi tersebut, pengaturan atas pemanfaatan sumber daya menjadi sangat penting dilakukan. Setiap kelompok atau setiap orang mempunyai tujuan tertentu untuk memanfaatkan sumber daya agraria. Kepentingan setiap orang atau kelompok yang sangat heterogen untuk memenuhi kebutuhannya akan sumber daya tersebut saling berbenturan, tarik menarik pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agararia semakin kencang. Masing-masing mengembangkan cara-cara atau mekanisme sendiri untuk mencapai tujuan tersebut. Kenyataannya persoalan kebutuhan sumber daya agraria melibatkan seluruh lapisan dalam struktur sosial ekonomi dan politik yang lebih besar. Kekuasaan yang sangat besar untuk mengatur berada di tangan pemerintah. Ketika pemerintah pun mulai memainkan peran kekuasaannya, tarik-menarik sumber daya makin kompleks. Apalagi ketika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah membuka jalan masuk bagi kepentingan-kepentingan swasta untuk ikut mengelola dan menggunakan sumber daya agraria.

Pengelolaan tanah dan sumber daya agraria bukan persoalan ekonomi semata, melainkan sangat berkaitan erat dengan isu sosial politik. Konsep pengelolaan sumber daya seringkali menjadi alat kepentingan sosial ekonomi dan politik golongan tertentu. Di Indonesia misalnya, tanah dan sumber daya agraria secara konstitusional dikuasai oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat, tetapi kenyataannya Hak Menguasai Negara dalam UUPA sebagai perwujudan Pasal 33 UUD 1945 ditafsirkan pemerintah lebih sebagai hak pemerintah atas nama negara untuk memiliki tanah dan sumber daya agraria secara absolut, yang pada gilirannya menjadi alat akumulasi keuntungan pribadi dengan dalih pemasukan devisa negara. Pengesahan undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dan sumber daya agraria semisal undang-undang pertambangan, undang-undang kehutanan, bahkan undang-undang penanaman modal dalam dan luar negeri, menyebabkan terjadinya tarik-menarik pengelolaan tanah dan sumber daya agraria yang tajam secara sektoral dan menguntungkan segolongan pihak.

Pendekatan kepentingan pemerintah dan pemilik modal besar, melihat sumber daya agraria sebagai alat akumulasi modal yang dapat dieksploitasi tanpa memperdulikan akibatnya bagi masyarakat. Kekuatan birokrasi formal digabungkan dengan kecanggihan teknologi pemilik modal menjadi sarana eksploitasi sumber daya agraria yang sangat kuat. Sementara masyarakat kecil tidak mampu menahan itu semua. Peminggiran-peminggiran struktural yang terjadi dan dialami masyarakat selama ini secara langsung ataupun tidak langsung dapat menciptakan bentuk-bentuk kemiskinan sosial ekonomi politik yang sangat berkaitan dengan kondisi kesejahteraan masyarakat.

Dorongan reformasi struktur sosial ekonomi politik yang masih sangat kuat memunculkan berbagai pandangan dan tindakan yang membuat wacana pengelolaan sumber daya makin ramai. Dorongan yang cukup kuat dan dominan dalam kaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria adalah dorongan untuk mewujudkan sistem pengelolaan dan pemanfaatan yang lebih adil. Dalam kaitan dengan hal tersebut muncul pandangan, bagaimana menciptakan sistem pengelolaan yang adil dan institusi mana yang mampu menjalankan sistem pengelolaan sumber daya agraria secara lebih adil. Salah satu pandangan yang muncul dari banyak pandangan yang ada adalah ‘mengembalikan’ pengelolaan sumber daya agraria kepada masyarakat –lebih spesifik lagi adalah masyarakat adat. Pada satu sisi, pandangan ini mencoba mengurangi dominasi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya agraria. Pandangan ini melihat bahwa masyarakat atau institusi lokal memiliki kearifan untuk mendistribusikan akses dan kontrol sumber daya agraria secara merata kepada seluruh komponen masyarakat. Padahal banyak catatan justru memperlihatkan bahwa pengelolaan sumber daya agraria masyarakat lokal hanya mengalihkan dominasi dan monopoli pengelolaan dari negara ke level yang lebih rendah –masyarakat. Dalam proses pengalihan tersebut belum terjadi proses pendistribusian pengelolaan sumber daya agraria secara lebih merata kepada komponen-komponen masyarakat. Bersamaan dengan itu, dorongan untuk terus mempertahankan peranan negara dalam proses pengelolaan sumber agraria juga cukup besar. Hal ini diwakili oleh pandangan yang mendorong terjadinya arah perubahan perbaikan UUPA sebagai landasan kebijakan pengelolaan sumber daya agraria. Salah satunya diwujudkan dalam proses penggodokan Rancangan Undang Undang Pertanahan Nasional. Rencana ‘perbaikan’ UUPA menjadi UUPN ini pun memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai kemungkinan terjadinya reduksi substansi UUPA, misalnya penggunaan istilah agraria yang berubah menjadi pertanahan. Perubahan istilah ini akan mengubah sistem pengelolaan, pemeliharaan dan pemanfaatan sumber daya lebih sempit hanya ke persoalan tanah sementara ruang-ruang sumber daya lain di atas dan di bawah tanah tidak lagi tercakup dalam istilah baru itu. Isu otonomi daerah juga menambah dorongan untuk memunculkan pentingnya wacana tersebut terus dikembangkan. Walaupun kenyataannya sekarang ini terjadi penarikan kembali rencana desentralisasi pengelolaan administrasi pertanahan dari daerah propinsi ke pusat. Hal ini seharusnya juga menjadi perhatian penting dalam konteks otonomi daerah dan implikasinya terhadap pengembalian sistem pengelolaan sumber daya agraria ke tingkat lokal.

Persoalan penting lainnya dalam isu pengelolaan sumber daya agraria adalah persoalan gender atau akses perempuan yang sering ‘terlupakan’. Selama ini pada tataran praktis keterlibatan perempuan tidak terlalu diperhatikan dalam sistem pengelolaan sumber daya agaria padahal dalam banyak kasus perempuan memiliki peran utama. Pada proses pendaftaran tanah misalnya, perempuan seolah tidak memiliki hak pemilikan dan penguasaan yang sama dengan laki-laki. Permasalahan demikian belum tentu bisa dipecahkan jika sistem pengelolaan, penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria dikembalikan ke bentuk asli lokal. Sangat penting untuk mengkaji apakah benar sistem pengelolaan sumber daya agraria asli lokal menyertakan perempuan di dalamnya, karena keberagaman etnis yang ada di Indonesia berarti juga keberagaman sistem pengelolaan sumber daya agraria.

Persoalan-persoalan tersebut memerlukan penelaahan komprehensif yang tidak mungkin dibahas secara menyeluruh dalam Jurnal Analisis Sosial ini. Jurnal Analisis Sosial kali ini mencoba mengangkat gagasan-gagasan mengenai bentuk, peran, peluang kelembagaan yang efektif di dalam masyarakat dan strategi pembentukan kelembagaannya yang mungkin dilakukan berbagai pihak yang berkepentingan di dalam pengelolaan sumber daya agraria. Jurnal ini pun sebenarnya bercita-cita untuk mengangkat berbagai tulisan hasil-hasil penelitian yang mendalam mengenai topik tersebut dari para peneliti di bidangnya, tetapi ternyata hal itu belum bisa diwujudkan, sehingga format jurnal kali ini bukanlah jurnal yang ideal. Kesulitan mencari tulisan hasil penelitian yang sesuai dengan isu yang diangkat dalam jurnal mungkin memperlihatkan bahwa sebenarnya belum banyak penelitian yang mendalami persoalan kelembagaan atau institusi pengelolaan sumber daya agraria. Setidaknya jurnal ini memberikan sedikit ruang bagi upaya pengembangan pemikiran-pemikiran konstruktif mengenai kelembagaan dalam sistem pengelolaan sumber daya agraria.

Tampaknya hampir semua penulis mengarahkan titik permasalahan ke tataran hukum dan kebijakan, serta pemerintah sebagai pemegang kekuasaan yang menginterpretasi, menghasilkan produk kebijakan dan menjalankan hukum serta kebijakan tersebut atas kepentingan pertumbuhan ekonomi kapitalis. Sementara persoalan mengenai Reforma Agraria, Otonomi Daerah, partisipasi dan gender tidak disentuh secara mendalam oleh para penulis. Para penulis memang memandang pentingnya persoalan-persoalan tersebut tetapi tidak ada satu pun tulisan yang mengelaborasi sisi ini dari sudut pandang yang lain. Apabila hukum dan kebijakan mulai dari tingkat nasional hingga lokal serta kelembagaan pemerintahnya diubah --peluang partisipasi dibuka-- tentunya perubahan itu akan berdampak besar. Dampak yang paling besar tentunya bagi masyarakat di tingkat lokal, tetapi apakah sebenarnya yang akan terjadi, kemana arah perubahannya, dan apa yang harus mereka persiapkan dalam kerangka perubahan itu?

Paparan Sediono MP. Tjondronegoro di dalam tulisan pertama jurnal ini secara kronologis mengungkapkan bahwa pemerintah, dalam menyelenggarakan program pembangunannya, telah melupakan hal penting, yaitu keseimbangan struktur ekonomi agraris dengan struktur ekonomi industri. Hal inil pula yang dipandangnya sebagai penyebab timpangnya struktur pemilikan dan penguasaan tanah yang terjadi hingga sekarang sementara pengawasan yang efektif atas persoalan tersebut tidak ada. Reforma Agraria yang dicita-citakan sebagai upaya memperbaiki kondisi sosial ekonomi politik tidak sempat diwujudkan (hanya sempat berlangsung sesaat) meski UUPA memiliki dorongan ke arah itu. Salah satu masalahnya adalah tidak adanya political will dan komitmen yang pasti dari pemerintah, dan yang penting lagi tulisan ini mengakui tidak adanya kelembagaan penunjang yang efektif hingga tingkat lokal. Dari uraian umum itu tampaknya persoalan posisi serta reposisi peran dan fungsi kelembagaan penunjang seperti BPN dan kantor-kantor pertanahan perlu diperjelas terutama di dalam konteks otonomi daerah serta kaitannya dengan cita-cita Reforma Agraria.

Cita-cita Reforma Agraria sebagai upaya untuk menjamin pengaturan sumber daya agraria yang adil selain disebutkan oleh Tjondronegoro, juga dikemukakan oleh beberapa penulis. Gunawan Wiradi menyebutkan bahwa Reforma Agraria harus dilakukan karena merupakan realisasi pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Kebijakan pembangunan Orba dilihatnya tidak berbasis pada persoalan agraria sehingga menyebabkan marjinalisasi rakyat akibat pengingkaran terhadap akses mereka atas sumber daya. Namun Reforma Agraria yang dimaksud bukan sekedar redistribusi pemilikan, penguasan dan penggunaan tanah (land reform) tetapi juga seperti yang diungkapkan Tjondronegoro harus dilengkapi dengan perangkat infrastruktur seperti kelembagaan yang menjadi penunjang terciptanya penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah secara menyeluruh.

Kecilnya akses kelompok-kelompok miskin dalam masyarakat terhadap pemilikan, penguasaan, bahkan pemanfaatan sumber daya agraria menyebabkan distribusi pemilikan dan penguasaan yang tidak seimbang. Pemilikan dan penguasaan tanah dan sumber daya agraria dalam proporsi yang besar diakumulasi oleh para pemilik modal besar. Sementara kelompok-kelompok miskin cenderung hanya menjadi pekerja yang sangat tergantung pada usaha atau lahan milik para pemodal besar tersebut. Lahan sawah di pedesaan banyak dimiliki oleh orang luar desa atau orang dalam desa yang menjadi tuan tanah. Hal yang serupa terjadi pula di desa-desa sekitar hutan dan perkebunan dengan pemberian HPH dan HGU oleh pemerintah kepada para pemilik modal besar yang mempunyai ‘kedekatan khusus’ dengan orang-orang pemerintahan. Tanah-tanah milik kelompok masyarakat adat dirampas dan berubah menjadi industri-industri komersial milik para pemodal. Kelompok masyarakat yang tinggal di atas tanah tersebut tersingkirkan begitu saja, kalaupun penggantian diberikan tetap tidak dapat mengganti keterikatan sosial ekonomi kelompok masyarakat tersebut terhadap tanah mereka. Perubahan elementer semacam itu pastilah akan membawa perubahan yang sangat besar dalam sistem kehidupan mereka secara keseluruhan.

Permasalahan-permasalahan yang berpijak pada sisi ‘kegagalan’ pengaturan dan pengelolaan yang dilakukan pemerintah Orba dan berlanjut pada era reformasi ini akibat pemerintah telah menyelewengkan konsep Hak Menguasai Negara di dalam UUPA 1960 untuk legitimasi kekuasaannya, dinyatakan pula oleh Subekti Mahanani. Unjuk kekuasaan melalui senjata militer menjadi salah satu bentuk pemarjinalan terhadap perjuangan masyarakat dalam mendapatkan sumber daya agraria. Gagasan populis pengelolaan sumber daya agraria dalam UUPA melalui land reform menjadi tenggelam. Menurutnya, politik kebijakan hukum agraria melanggengkan ketidakadilan. Perubahan positif tampaknya belum bisa diharapkan akan terjadi karena Rancangan Undang-Undang Pertanahan Nasional yang sedang diolah sebagai revisi UUPA 1960 diduga akan makin menyempitkan konsep agraria menjadi pertanahan, yang menjadi salah satu bentuk ‘sesat pikir’ politik agraria pemerintah. BPN sebagai lembaga pemerintah yang mengurusi persoalan agraria tidak memahami hukum sebagai ekspresi rasa keadilan rakyat tetapi hanya menegaskan fungsi kontrol hukum negara atas rakyat. Tetapi penulis tidak menyoroti bagaimana sebenarnya sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya agraria oleh kelompok-kelompok orang di tingkat komunitas itu sendiri, karena gambaran sistem pengelolaan dan pemanfaatan di dalam komunitas itu dapat memperlihatkan kepada kita apakah sistem yang berlaku di dalam komunitas itu disebabkan ‘kegagalan’ pemerintah ataukah sistem itu adalah asli ‘milik’ komunitas tersebut. Dengan demikian pengertian mengenai keadilan yang dimaksud oleh penulis dapat dipahami secara lebih menyeluruh.

Tabrani Yunis memaparkan pemarjinalan masyarakat Aceh dalam mengakses sumber daya agraria. Tulisannya memperlihatkan kondisi pemarjinalan yang sama seperti yang diketengahkan Subekti. Tabrani Yunis juga menyebutkan pihak militer sebagai pihak yang berpengaruh kuat dalam proses pemarjinalan masyarakat lokal. Paparan umum penulis tidak terlalu menyentuh mekanisme yang dikembangkan masyarakat lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya agraria serta kaitannya dengan marjinalisasi yang terjadi.

Tindakan-tindakan pemerintah dalam banyak kasus telah menyebabkan hilangnya alat produksi kelompok tertentu seperti petani yang sangat berkaitan dengan penurunan tingkat kesejahteraan mereka. Hilangnya alat produksi ini dijelaskan oleh Syaiful Bahari sebagai pemicu terjadinya gerakan-gerakan petani dalam melakukan perlawanan untuk mengambil alih kembali sumber daya mereka melalui aksi-aksi penggalangan kekuatan massa untuk memaksa pihak-pihak terkait yang dipandang telah merugikan mereka. Selama ini seringkali gerakan petani ini didorong secara politis oleh pihak-pihak tertentu. Kesadaran baru dalam gerakan petani akan pentingnya pengorganisasian dan penguatan diri kelompok petani untuk mengembangkan sistem produksi alternatif, seperti yang diungkapkan penulis mungkin dapat menjadi titik terang ke arah pembentukan kelembagaan yang efektif dalam menangani permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya agraria.

Sistem produksi alternatif dalam pengelolaan sumber daya agraria pada gerakan petani adalah sudut pandang yang menarik. Pengelolaan sumber daya agraria alternatif ini mengingatkan pada isu mengenai kearifan lokal suatu komunitas mengelola sumber daya agraria mereka misalnya komunitas adat, seperti yang ditampilkan dalam tulisan Kusnaka Adimihardja. Di dalam komunitas adat Baduy atau Kasepuhan yang menjadi contoh kasus dalam tulisan tersebut tampak adanya pengaturan kelembagaan berkenaan dengan peran dan perilaku tiap individu serta fungsi dari setiap sumber daya agraria yang ada di komunitas tersebut. Penelaahan sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya agraria oleh komunitas adat bisa menjadi pelajaran berharga untuk mencari bentuk dan strategi yang dapat diterapkan dan berterima serta dapat memperjelas keberadaan komunitas adat menjadi perdebatan seru di dalam wacana UUPA.

Di dalam konteks otonomi daerah, pembaruan desa dipandang sangat penting dalam kaitannya dengan terciptanya peluang pembaruan agraria. Yando R. Zakaria dan Noer Fauzi menegaskan bahwa berdasarkan UU no. 22/ 1999, desa diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum sehingga yang dibutuhkan adalah pengembalian otonomi desa yang akan menghilangkan dualisme kelembagaan desa yang selama ini berlaku. Pengakuan tersebut berarti juga pengakuan terhadap hak komunitas lokal desa di dalam pengaturan dan pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya agraria. Penulis mengemukakan bahwa pengembalian otonomi desa mempunyai korelasi positif terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya agraria di desa. Tulisan yang menarik ini akan semakin tajam apabila penulis juga menjelaskan bagaimana kondisi yang akan terjadi pada masyarakat desa. Hal ini penting karena persoalan cengkeraman struktur pemerintahan Orba yang lalu sudah sangat kuat dan membuat masyarakat desa itu sendiri menjadi terbiasa dengan struktur desa dan sistem pengelolaan sumber daya agraria yang sudah terbentuk masa itu. Sementara itu masyarakat desa beserta mekanisme pengelolaan sumber daya agraria asli lokal sudah luntur atau hilang sama sekali. Pemikiran mengenai apa saja yang akan ‘hilang’ karena pembaruan desa atau pengembalian otonomi desa itu akan menjadi sangat penting dikemukakan. Dalam konteks tersebut penting kiranya memikirkan kesiapan masyarakat desa atau lokal sendiri terhadap perubahan yang akan terjadi, kemana arah perubahan tersebut, dan apa saja yang harus dipersiapkan oleh mereka. Perubahan atau pembaruan desa itu akan memiliki implikasi penting terhadap sistem pengelolaan sumber daya di tingkat lokal, serta kelembagaan pengelolaan sumber daya agraria seperti apa yang harus dikembangkan. Sudut pandang pemikiran demikian kiranya akan memberi arah yang jelas untuk membangun sistem pengelolaan sumber daya agraria yang dapat dikatakan adil dan partisipatif.

Juni Thamrin mencetuskan gagasan menuju pengelolaan sumber daya agraria yang partisipatif dan berkelanjutan dalam merespons peluang yang tercipta dan yang mungkin diciptakan dalam konteks perubahan kondisi sosial ekonomi politik yang sedang terjadi. Persoalan yang perlu dieksplorasi (‘diperbaiki atau ditata kembali’) adalah tanggung jawab pemerintah untuk memberikan pelayanan administrasi agraria dan peluang penguatan inisiatif masyarakat. Tulisan Juni Thamrin menawarkan langkah-langkah strategis dan teknis yang melibatkan banyak pihak dalam membangun kesadaran partisipatif, seperti pemerintah, LSM, dan anggota masyarakat lainnya. Membangun kedekatan dan keeratan jaringan sosial dalam suatu kelembagaan yang efektif tampaknya memerlukan proses trial and error cukup panjang mengingat masih kuatnya tarik-menarik kepentingan yang ada.

Hal penting berkenaan dengan maraknya permasalahan sumber daya agraria adalah asumsi bahwa secara makro masalah sumber daya agraria tidak didukung dengan informasi-informasi akurat, terutama di tingkat lokal. Dari sisi kepentingan pengumpulan informasi bagi tujuan penyelesaian permasalahan agraria, penting untuk mengetahui metode penelitian yang tepat. Jenis informasi menentukan metode yang digunakan. Endang Suhendar menyajikan tulisan mengenai metode penelitian dalam kajian persoalan agraria yang bisa dilakukan berkenaan dengan jenis informasi yang dibutuhkan. Berbagai metode yang ditampilkan penulis sebenarnya bukanlah hal yang baru, tetapi hingga saat ini rasanya belum ada satu metode penelitian yang secara khusus digunakan dalam penelitian permasalahan agraria dan secara efektif mampu menjelaskan permasalahan penelitian. Pengetahuan mengenai metode ini menjadi sangat penting melihat pembahasan mengenai persoalan atau permasalahan agraria seringkali tidak didasari fakta-fakta mendalam dan menyasar akar permasalahan yang sebenarnya dihadapi.

Seperti telah dikemukakan, persoalan yang belum tampak secara jelas dari tulisan-tulisan tersebut adalah pemikiran mengenai aspek gender dari sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya agraria. Tampaknya persoalan ini masih menjadi permasalahan yang hampir selalu ‘terlupakan’. Jelas persoalan gender merupakan pekerjaan rumah semua pihak terkait dan yang mempunyai perhatian terhadap persoalan pengelolaan sumber daya agraria. Beberapa penulis memang menyebutkan keterlibatan perempuan tetapi tidak secara jelas menggambarkan permasalahan yang dialami perempuan dan potensi keterlibatannya serta peluangnya ke depan di dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya agraria.

Kompleksitas persoalan pengelolaan sumber daya agraria memerlukan pemikiran yang seksama di dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Berbagai gagasan yang tampil dalam Jurnal kali ini diharapkan dapat memicu berbagai gagasan lain yang lebih strategis dan berterima. Ini semua adalah tantangan yang harus dijawab oleh semua pihak yang menaruh perhatian bagi terselenggaranya pengelolaan sumber daya agraria yang adil dan berkelanjutan.

Redaksi

Sofwan Samandawai

No comments: